Partisipasi Politik Ditinjau Dari Perspektif Teori Pertukaran George Homans (skripsi dan tesis)

Teori pertukaran sosial dilandasakan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer, orang menyediakan barang atau jasa yang diinginkan. Ahli teori pertukaran ini memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi, akan tetapi mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata. Homans (2007:118) tertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran dan menghindari hukuman. Proses pertukaran dapat dijelaskan lewat lima pernyataan proposional yang saling berhubungan dan berasal dari psikologi ini sebagai berikut : a. Proposisi sukses: Dalam tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, semakin banyak tindakannya semakin banyak pula ganjarannya. Dalam proposisi ini menurut Homans, bahwa bilamana seseorang berhasil memperoleh ganjaran (menghindari hukuman) maka akan cenderung untuk mengulangi tindakan tersebut. 26 Hal yang ditetapkan Homans (2007:118) mengenai proposisi sukses : 1) Semakin sering hadiah diterima menyebabkan semakin sering tindakan dilakukan, akan tetapi hal ini tidak dapat berlangsung tanpa batas. 2) Semakin pendek jarak waktu antara perilaku dan hadiah, maka semakin besar kemungkinan orang mengulangi perilaku. Pemberian hadiah secara intermitten lebih besar kemungkinannya menimbulkan perulangan perilaku ketimbang menimbulkan hadiah yang teratur. b. Proposisi pendorong: Bila dalam kejadian di masa lalu dorongan tertentu atau sekumpulan dorongan telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka semakin serupa dorongan kini dengan dorongan di masa lalu, dan dengan demikian semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa. c. Proposisi nilai: Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan tindakan itu. Proposisi ini khusus berhubungan dengan ganjaran atau hukuman yang merupakan hasil suatu tindakan. d. Proposisi deprivasi-satiasi: Semakin besar keuntungan yang diterima seseorang sebagai hasil tindakannya, maka semakin besar kemungkinan ia melaksanakan tindakan itu. e. Proposisi persetujuan-agresi: Bila tindakan seseorang tidak memiliki sebuah ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diharapkan, maka dia akan marah, dia menjadi sangat cenderung melakukan perilaku agresif, dan hasil perilaku lebih bernilai baginya. f. Proposisi rasionalitas: Dalam memilih di antara berbagai tindakan alternatif, seseorang akan memilih satu diantaranya, yang dia anggap 27 saat itu memiliki value (V), sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas (P), untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Menurut Surbakti (2006:144) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi yang otonom adalah : a. Kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara hal ini menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan dan politik tempat ia hidup. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat tempat dia hidup. b. Kepercayaan terhadap pemerintah yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat atau tidak. Apabila pemerintah sebelumnya dianggap tidak dapat mengakomodir aspirasi masyarakat, maka pada pemilihan politik selanjutnya akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. 25 Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilukada Adapun tahapan penyelenggaraan pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu : a. Tahapan Persiapan b. Tahapan Pelaksanaan c. Tahapan Penyelesaian

Bentuk-bentuk Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Rush dan Althoff (2002:122) mengidentifikasikan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai berikut: a. Menduduki jabatan politik atau administratif b. Mencari jabatan politik atau administratif c. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik d. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik 23 e. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi politikal) f. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya g. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik h. Voting (pemberian suara) i. Apaty total Menurut Mas’oed dan MacAndrews (2000:225) adalah peran serta atau partisipasi politik masyarakat secara umum dapat kita kategorikan dalam bentuk-bentuk berikut : a. Electrolaral activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pemilihan. Termasuk dalam kategori ini adalah ikut serta dalam memberikan sumbangan untuk kampanye, menjadi sukarelawan dalam kegiatan kampanye, ikut mengambil bagian dalam kampanye atau rally politik sebuah partai, mengajak seseorang untuk mendukung dan memilih sebuah partai atau calon pemimpin, memberikan suara dalam pemilihan, mengawasi pemberian dan penghitungan suara, menilai calon-calon yang diajukan dan lain-lainnya. b. Lobbying, yaitu tindakan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menghubungi pejabat pemerintah ataupun tokoh politik dengan tujuan untuk mempengaruhinya menyangkut masalah tertentu. c. Organizational activity, yaitu keterlibatan warga masyarakat ke dalam organisasi sosial dan politik, apakah ia sebagai pemimpin, aktivis, atau sebagai anggota biasa.   d. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dengan secara langsung pejabat pemerintah atau tokoh politik, baik dilakukan secara individu maupun kelompok orang yang kecil jumlahnya. Biasanya, dengan bentuk partisipasi seperti ini akan mendatangkan manfaat bagi yang orang yang melakukannya. e. Violance, yaitu dengan cara-cara kekerasan untuk mempengaruhi pemerintah, yaitu dengan cara kekerasan, pengacauan dan pengrusakan.

Tujuan Partai Politik (skripsi dan tesis)

Tujuan yang diharapkan dalam mendirikan dan mengembangkan partai politik Erfiza (2012) adalah: 1. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintahan sehingga dapat turut serta dalam mengambil atau menentukan keputusan politik. 2. Untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan para pemegang otoritas. 3. Untuk menjadi sarana dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuatan politik. 4. Untuk menjadi wadah berhimpun bagi masyarakat atau kelompok yang memiliki ideology dan kepentingan yang sama.

Fungsi – Fungsi Partai Politik (skripsi dan tesis)

 Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat mengkomunikasikan pandangan dan prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai dan sebagainya. Agar anggota partai dapat mengetahui prinsip partai, program kerja partai atau pun gagasan partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya, komunikasi politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau media massa yang mendukungnya. Menurut Miriam Budiarjo (2008) fungsi partai politik itu meliputi: 1) Partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan anekaragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat. 2) Partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, 22 peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. 3) Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. 4) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum. Selain itu juga didalam peraturan pemilu 2014 perundang-undangan tentang partai politik, pemilu, pemilihan presiden yang tertuang pada BAB V pasal 10 fungsi dan tujuan partai politik meliputi : 1) Tujuan umum Partai Politik a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 23 c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Kesatuan Negara Republik Indonesia ; dan d. Mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. 2) Tujuan khusus Partai Politik a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa, dan bernegara; dan c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa, dan bernegara. 3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. Dalton dan Martin P. Wattenberg (Pamungkas, 2011) mendaftar sejumlah fungsi partai dari setiap bagian yaitu, pertamaadalah fungsi partai di elektorat (parties in the electorate). Pada bagian ini fungsi partai menunjuk pada penampilan partai politik dalam menghubungkan individu dalam proses demokrasi. Kedua, adalah fungsi partai sebagai organisasi (parties as organization). Pada fungsi ini menunjuk pada fungsi-fungsi yang melibatkan partai sebagai organisasi politik, atau proses-proses didalam organisasi itu sendiri. Ketiga, adalah fungsi partai di pemerintahan (parties in goverment). Pada arena ini partai bermain dalam pengelolaan dan penstrukturan persoalan-persoalan pemerintah.

Tingkat Pengetahuan (skripsi dan tesis)

 Pengetahuan adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif memiliki enam jenjang atau aspek, yaitu: pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), pemahaman (comprehension),   penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis), penilaian/ penghargaan/evaluasi (evaluation). Menurut Benyamin S.Bloom (dalam Notoadmodjo, 2007) pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu :
1) Pengetahuan (Knowledge) Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang dipelajari, dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan, menyatakan dan memilih serta mengulangi informasi.
2) Memahami (Comprehension) Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus mampu menjelaskan sendiri, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan membedakan.
 3) Aplikasi (Aplycation) Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya atau baru. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip- prinsip dan sebagainya. Ketiga komponen ini secara bersama-sama akan membentuk prilaku yang utuh. Dalam partisipasi politik, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
 4) Analisis (Analysis) Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja pengelompokkan, menggambarkan, memisahkan.
5) Sintesis (Sinthesis) Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru yang ada. Kemampuan orang untuk menyusun, merencanakan, atau merancang, membuat komposisi, membuat kembali dan merevisi.
6) Evaluasi (Evaluation) Kemampuan untuk melakukan penelitian suatu materi atau objek tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada. Dalam keadaan ini orang sudah mampu untuk menimbang, membandingkan, member alasan, menyimpulkan dan member dukungan. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut mahasiswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi. Berdasarkan pemaparan yang telah di sampaikan para ahli, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa proses dalam menerima pengetahuan, individu dapat dipengaruhi juga pada sikap, yaitu reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek.

Pengertian Pengetahuan Fungsi Partai Politik (skripsi dan tesis)

Pengetahuan merupakan proses kognitif dari individu untuk memberikan arti terhadap lingkungan, sehingga masing-masing individu akan memberikan arti sendiri-sendiri terhadap stimuli yang diterima walaupun stimuli itu sama (Winardi, 1996).Pengetahuan adalah penyimpanan, pengintegrasian, dan pengorganisasian yang diproses dalam memori yang berguna untuk mengakses pengetahuan tersebut (Solso dan Maclin, 2008).Pengetahuan individu tersebut tentu saja akhirnya mempengaruhi cara pandang terhadap suatu hal, peristiwa, orang dan keadaan. Pengetahuan ini dapat di peroleh dari berbagai sumber, baik lembaga formal, informal, maupun nonformal yang kemudian dapat di jadikan acuan dalam berperilaku.Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan individu. Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik disebutkan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Menurut pandangan Mirriam Budiardjo (Efriza, 2012) partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik melalui cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka miliki. Terdapat emat fungsi partai poltik, diantaranya : partai politik sebagai sarana konumikasi politik, partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, partai politik sebagai sarana rekrutmen olitik dan partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dari uraian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan pengetahuan fungsi partai politik merupakan hasil dari mengetahui melalui panca indra, baik indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, maupun raba sesorang, sehingga individu tersebut mampu menjalankan fungsi partai politik dan mengetahui prinsip partai politik untuk menciptakan ikatan moral terhadap partainya

Fungsi dan Tujuan Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Budiardjo (2008) menyatakan bahwa partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi proses-proses politik dalam penentuan pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Partisipasi politik harus benar- benar dilakukan oleh masyarakat agar kebijkan yang diambil pemerintah lebih berpihak dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Melalui partisipasi politik diharapkan mampu membangun suatu sistem politik yang stabil dan menciptakan suatu kehidupan negara yang lebih baik. Di samping itu, Robert Lane (Rush dan Althof, 2008) dalam studinya mengenai keterlibatan politik, mempersoalkan bahwa partisipasi politik memenuhi empat macam fungsi, yakni : 1) Partisipasi politik masyarakat untuk mendukung program-program pemerintah; 2) Partisipasi politik masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarhkan dan meningkatkan pembangunan; 3) Kontrol terhadap pemerinah dalam pelaksanaan kebijakannnya. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi partisipasi politik pada dasarnya adalah sebagai media untuk menyuarkan aaspirasi masyarkat demi mengarahkan dan mengontrol 17 kebijakan pemerintah agar arah pembangunan negara lebih berpusat pada aspirasi dan kepentingan masyarakat demi mewujudkan kehidupan politik negara yang kuat dan dinamis serta sebagai suatu media untuk mengembangkan sistem politik agar mekanisme politik itu hidup dan berjalan sesuai dengan prosesnya

Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Salah satu faktor yang turut berpengaruh dalam partisipasi politik adalah sosialisasi politik. Menurut Rush dan Althoff (dalam Budiardjo, 2008), “sosialisasi politik merupakan suatu proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.” Pengetahan yang di peroleh oleh individu sangat penting dalam membentuk tindakan individu (over behavior) Rush dan Althof (dalam Budiardjo, 2007) mensugestikan bahwa partisipasi politik itu bervariasi berkaitan dengan empat faktor utama, yaitu :
1) Sejauh mana orang menerima perangsang politik ;
2) Karakteristik pribadi individu ;
3) Karakteristik sosial individu ; dan
4) Keadaan politik atau lingkungan politik di manaindividu, dapat menemukan dirinya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut
, Weiner (dalam Budiardjo, 2007) mengemukakan bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni:
1) Modernisasi
2) Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial
 3) Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa
4) Konflik para pemimpin politik
 5) adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan
 Berdasarkan pendapat para ahlitersirat bahwa partisipasi politik individu dipengaruhi oleh dua faktor, yakni dari dalam diri dan faktor dari luar diri. Faktor dari dalamdiri dipengaruhi oleh pengetahuan individu, karakter pribadi individu dan sikapnya (respon) terhadap rangsangan politik sedangkan faktor dari luardiri dipengaruhi oleh karakteristik sosial, kondisi  politik, modernisasi, perubahan struktur sosial, pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa, serta keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan

Bentuk Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Conway (Widjanarko, 2004) mengklasifikasikan bentuk partisipasi politik dalam dua jenis, yakni konvensional dan non-konvensional. Partisipasi yang bersifat konvensional mengarah pada aktivitas yang diterima sebagai sesuatu yang sesuai dengan budaya politik yang dominan. Sebaliknya, partisipasi politik non-konvensional mengarah pada aktivitas yang tidak diterima dalam budaya politik dominan. Berbeda dengan Conway, Huntington dan Nelson (Priambodo, 2000) membedakan bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kategori sebagai berikut:
1. Electoral Activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau pun tidak langsung berkaitan dengan pemilu. Electoral Activity ini juga mencakup pemberian suara, sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan umum.
2. Lobbying, yaitu tindakan dari individu atau pun sekelompok orang untuk menghubungi pejabat pemerintah atau pun tokoh politik dengan tujuan untuk mempengaruhi pejabat atau pun tokoh pilitik tersebut terkait masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka.
 3. Organizational activity, yaitu keterlibatan warga masyarakat ke dalam berbagai organisasi sosial dan politik.
 4. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh warga negara dengan cara langsung misalnya melakukan komunikasi untuk membangun jaringan kerjasama.
 5. Violence, yaitu cara-cara kekerasan untuk mempengaruhi pemerintah. Penggunaan kekerasan mencerminkan motivasi-motivasi partisipasi yang cukup kuat. Kekerasan dapat ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan- kebijakan pemerintah (huru-hara, pemberontakan) atau mengubah seluruh sistem politik dengan cara revolusi.
Sementara itu, Verba et al (Priambodo, 2000) menemukan bahwa individu-individu cenderung memilih bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan secara tetap sesuai motivasi dan tujuan, tidak berubah-ubah seperti diasumsikan banyak analist. Bentuk-bentuk partisipasi yang sejenis membentuk kelompok (cluster) bersama. Pengelompokan tersebut kemudian dimodifikasi oleh Dalton (2009) sebagai berikut:
1. Voting, yaitu bentuk-bentuk partisipasi politik yang terkait dengan pemilihan (voting/electing). Voting adalah bentuk yang paling sederhana untuk mengukur partisipasi.
2. Campaign activity, yaitu aktivitas kampanye yang mewakili bentuk- bentuk partisipasi yang merupakan perluasan dari pemilihan (extension of electoral participation). Termasuk di dalamnya bekerja untuk partai atau seorang kandidat, menghadiri pertemuan-pertemuan kampanye, melakukan persuasi terhadap orang lain untuk memilih, dan segala bentuk aktivitas selama dan antara pemilihan.
 3. Communal activity. Bentuk-bentuk partisipasi ini berbeda dengan aktivitas kampanye karena aktivitas komunal mengambil tempat di luar setting pemilihan (out side the electoral setting). Termasuk keterlibatan dalam kelompok-kelompok masyarakat yang interest dan concern dengan kebijakan umum seperti kelompok studi lingkungan, kelompok wanita, atau proteksi terhadap konsumen.
4. Contacting personal on personal matters. Bentuk partisipasi ini berupa individu melakukan kontak terhadap individu berkait dengan suatu materi tertentu yang melekat pada orang tersebut. diperlukan inisiatif dan informasi yang tinggi berkait isu yang spesifik, dalam kontak yang bersifat perseorangan ini. Bentuk partisipasi ini seringkali digunakan untuk membangun pengertian, kepercayaan, mencari koneksi, atau pun membangun jaringan.
5. Protest, yaitu bentuk-bentuk partisipasi yang unconventional seperti demonstrasi dan gerakan protes. Walaupun individu-individu yang memilih bentuk partisipasi ini sering berada di luar jalur/saluran yang normal, namun mereka seringkali menjadi bagian penting dalam proses demokratisasi.

Pengertian Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

 Setiap warga negara berhak dan wajib untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan dan bernegara. Partisipasi warga negara dapat mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam kehidupan politik. Dalam kehidupan politik partisipasi warga negara tidak hanya berkaitan dengan pemilihan pimpinan negara saja, tetapi partisipasi warga negara tersebut juga mampu secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Lebih lanjut Budiardjo (2007) mendefinisikan bahwa : “Partisipasi politik sebagai kegiatan individu atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara, dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.” 10 Sementara Conway (dalam Widjanarko, 2004) mengatakan bahwa terminologi partisipasi politik memiliki makna sebagai upaya warga negara dalam mempengaruhi dan memilih struktur otoritas dan kebijakan pemerintah. Definisi ini menunjukkan bahwa pertisipasi poolitik merupakan kegiatan yang dilakukan langsung oleh warga negara.
 Tidak jauh berbeda, Samuel P. Hunington dan Joan M.Nelson (dalam Budiardjo, 2007) mengatakan : “By political participation we mean activity by private citizen designed to influence government dicision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective” Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan adalah partisipasi politik bukan semata sikap-sikap, namun merupakan kegiatan-kegiatan yang bersifat empiris , merupakan kegiatan warga negara asli, bukan individuindividu yang bermain di wilayah pemerintahan; pokok perhatiannya adalah kegiatan yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, dan kegiatan tersebut tidak memperdulikan berhasil atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai, yaitu mempengaruhi keputusan dan tindakan pemerintah. Herbert McClosky (Budiarjo, 2007) mengatakan, “The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rules and, directly or indirectly, in the formation of public policy”. (Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian 11 dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum). Hal senada juga dijelaskan oleh Norman H. Nie dan Sidney Verba “By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the actions they take” Sementara itu, Dalton (Priambodo, 2000) mengatakan “We can organize potential of participation into three grouping : personal characteristics, group effects, and political attitudes”. Ini menunjukkan adanya keterkaitan partisipasi politik dengan karakteristik personal, pengaruh kelompok, dan sikap politik. Dari definisi-definisi tersebut, peneliti kemudian menariknya ke dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu partisipasi politik pada mahasiswa. Ini seperti halnya yang dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang juga dilakukan pada lingkup mahasiswa. Peneliti kemudian menarik kesimpulan bahwa partisipasi politik pada mahasiswa adalah suatu kegiatan suka rela individu ataupun kelompok mahasiswa, baik langsung maupun tidak langsung, untuk aktif dalam kehidupan politik yang bertujuan mempengaruhi kebijakan pemerintahan, pembentukan kebijakan umum, dan semua bentuk aktivitas yang dimaksud mempengaruhi pemerintah. Kegiatan tersebut adalah pemberian suara dalam pemilu, keikutsertaan dalam kampanye politik, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah ,  dan kritik terhadap kebijakannya. Selanjutnya pengertian inilah yang digunakan dalam penelitian ini.

Tinjauan Tentang Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Hak untuk berpartisipasi dalam hal pembuatan keputusan politik di abad ke 14 telah dibatasi hanya untuk sekelompok kecil orang yang berkuasa, kaya dan keturunan orang terpandang. Kecenderungan ke arah partisipasi rakyat yang lebih luas dalam politik bermula pada masa renaisance dan reformasi abad ke 15 sampai abad 17 dan abad 18 dan 19. Tetapi cara-cara bagaimana berbagai golongan masyarakat (pedagang, tukang, orang-orang profesional, buruh kota, wiraswasta industri, petani desa dan sebagainya), menuntut hak mereka untuk berpartisipasi lebih luas dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di berbagai negara. Menurut MacAndrew seperti dikutip oleh Mas’oed (2001:40-50), ada kemungkinan dalam menganalisa partisipasi politik dari segi organisasi kolektif yang berlainan untuk digunakan dalam menyelenggarakan partisipasi dan biasanya yang menjadi landasan yang lazim adalah : a. Kelas yang menyangkut perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang sama b. Kelompok merupakan perorangan yang meliputi ras, agama, bahasa, atau etnisitas yang sama c. Golongan, dengan perorangan yang akan dipersatukan oleh interaksi yang akan terus menerus atau intens dan salah satu manivestasinya adalah pengelompokan patron- klien.
Pembentukan pemerintah yang didasarkan pada partai politik seringkali menciptakan harapan yang tersebar luas  bahwa orang dalam menjalankan kekuasaan politik bukan karena kelahiran melainkan berkat kemahiran politik ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi seseorang ataupun masyarakat dalam mengambil keputusan dalam pemilihan umum yang mempengaruhi partisipasi politik yaitu : 1) Pendidikan, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya dengan peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Olah karena itu pendidikan tinggi dapat memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik dapat juga dengan mengembangkan kecakapan dalam menganalisa menciptakan minat dan kemampuan dalam berpolitik. 2) Perbedaan jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi juga dengan mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik, bahwa kemajuan sosial ekonomi suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan oleh rakyat dalam partisipasi politiknya dengan menunjukan derajat kepentingan mereka. 3) Aktifitas kampanye, pada umumnya kampanye-kampanye politik hanya dapat mencapai pengikut setiap partai, dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara. Dengan demikian yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan tingkatdan bentuk partisipasi politik masyarakat adalah terletak dalam kedudukan partisipasi tersebut. Mengambil bagian dalam sebuah aktivitas dapat mengandung pengertian ikut serta tanpa ikut menentukan bagaimana pelaksanaan aktivitas tersebut tetapi dapat juga berarti ikut serta dalam menentukan jalannya aktivitas tersebut, dalam artian ikut menentukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas tersebut. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan yaitu: ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan), ada keterlibatan secara emosional, dan memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.

Fungsi Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)

Dalam negara demokratis (pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat) maka salah satu ciri utamanya adalah pemilhan umum untuk memilih partai politik yang akan mendapat kepercayaan rakyat. Pemilihan umum merupakan gambaran yang ideal bagi suatu pemerintahan yang demokratis. Menurut Seymour Martin Lipset demokrasi yang stabil membutuhkan konflik atau pemisahan sehingga akan terjadi perebutan jabatan politik, oposisi terhadap partai yang berkuasa dan pergantian partai-partai berkuasa[1].

Karena itu pemilu bukan hanya untuk menentukan partai yang berkuasa secara sah, namun jauh lebih penting dari adalah sebagai bukti bahwa demokrasi yang berjalan dengan stabil, dimana terjadi pergantian partai-partai politik yang berkuasa

Arti Pemilhan Umum (skripsi dan tesis)

Pada hakikatnya pemilu di Negara manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin Negara. pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya.

Pemilihan umum merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis. Fungsinya sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi. Esensinya sebagai sarana demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan Negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan Negara yang benar-benar memancarkan kebawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan perwakilan[1].

Pemilihan Umum pada hakekatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak politik rakyat pada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kendaraan politik, partai politik kemudian hadir dan menawarkan kader-kadernya untuk mewakili hak-hak politik rakyat dalam negara. Tetapi untuk memperjuangkan hak-hak politik rakyat partai politik terlebih dahulu harus memperoleh eksistensi yang dapat dilihat  dari perolehan suara dalam pemilihan umum.

Pemilihan umum adalah suatu sarana atau cara untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan, kepentingan rakyat perlu diwakali. Karena pada saat sekarang ini tidak mungkin melibatkan rakyat secara langsung dalam kegiatan tersebut mengingat jumlah penduduk sangat besar. Maka dari itu partai politik manawarkan calon-calon untuk mewakili kepentingan rakyat. Pemilihan umum merupakan saat dimana partai politik bertarung untuk memperoleh eksistensi di lembaga legislatif.

 

Eksistensi Partai (skripsi dan tesis)

Penulis melihat eksistensi partai sebagai keberadaan sebuah partai politik untuk memegang bagian dalam sistem politik karena kedudukan atau status yang dimilikinya. Keberadaan atau eksistensi partai politik dalam sistem politik ditentukan oleh jumlah suara yang diperoleh pada pemilu, sehingga penulis mengaggap untuk mengukur eksistensi partai adalah dengan melihat upaya dari partai politik dalam memperoleh suara pada pemilu.

Untuk memperoleh suara dalam pemilu diperlukan mesin partai yaitu kader yang hadir melalui proses rekrutmen. Rekrutmen partai politik dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui eksistensi sebuah partai politik. Merupakan suatu hal yang mutlak bagi partai politik untuk merekrut kader untuk berpartisipasi secara aktif dalam kampanye dan mengajukan calon untuk menduduki posisi struktural dalam pemerintahan ( pilkada) mereka harus mendapatkan simpati rakyat dengan menawarkan ide dan tujuan yang membuat mereka merasa bahwa mereka bagian dari proses politik (simbol integritas) dengan begitu mereka akan membentuk pemerintahan dan saluran internal untuk menghasilkan program yang memuaskan untuk sebagian besar warga negara (fungsi agregasi), (Scimitter (1999: 477-478)[1], sementara menurut  Ramlan Subakti rekutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan[2].

Basis massa merupakan salah satu indikator eksistensi suatu partai, dimana loyalitas seorang konstituen pada sebuah partai ditentukan oleh identitas partai tersebut. Menurut  M. Khoirul Anwar & Vina Salviana identitas partai merupakan perasaan terikat pada kelompok dimana ia menjadi anggota maupun kelompok yang ia pilih[3]. Loyalitas massa pendukung partai akan berpengaruh terhadap perolehan suara sebuah partai politik dalam pemilu, bahkan partai akan melakukan segala upaya agar loyalitas konstituenya tetap terjamin termasuk menggunakan cara-cara yang dianggap sesuai dengan situasi dan kondisi.

Aktor sentral dalam partai politik merupakan indikator eksistensi sebuah partai politik. Menurut Bima Arya aktor central dalam partai politik lebih penting bagi pemilih untuk menentukan partai apa yang dipilih ketimbang alasan-alasan lainnya seperti keyakinan agama, ideologi, etnis dan geografis[4]. Dengan karakter pemilih Indonesia yang rata-rata masih menyandarkan diri pada ketokohan personal dalam preferensi pilihan politiknya, untuk kebutuhan merebut simpati rakyat, kharisma dan popularitas citra figur tokoh adalah kekuatan referen partai politik di Indonesia.

Selain indikator yang telah disebutkan di atas strategi partai merupakan salah satu indikator eksistensi partai, berbagai strategi partai politik yang telah dilakukan sebagaimana yang tertuang dalam platform partai atau dalam manifesto partai yang telah digariskan arah dan perjuangan partai untuk mencapai tingkat popularitas dalam memenangkan suatu pemilu yang berlangsung.

Salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengetahui eksistensi partai politik adalah dengan melihat institutionalisasi partai politik, yang dimaksud dengan institutionalisasi partai politik ialah situasi di mana terdapat stabilitas dalam kompetisi antar-partai, sehingga partai akan memiliki akar stabil di masyarakat, dan partai-partai yang berkompetisi dalam pemilihan umum diterima sebagai alat yang sah untuk menentukan siapa yang akan mengelolah pemerintah, dan partai memiliki aturan yang relatif stabil dan terstruktur (Mainwaring dan Scully, 1995;1)[5]. Secara lebih spesifik Vicky Randall dan Lars Svasand  (2002; 13-14) mengusulkan empat kriteria untuk mengukur eksistensi partai[6] yaitu :

  • Derajat kesisteman

Derajat kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik. AD/ART partai politik dirumuskan secara komprehensif dan rinci sehingga mampu berfungsi sebagai acuan dan prosedur dalam melaksanakan semua fungsinya sebagai partai politik. Suatu partai politik dapat dikatakan telah terinstitutionalisasi dari segi kesisteman bila partai politik melaksanakan fungsinya semata-mata menurut AD/ART yang dirumuskan secara komprehensif dan rinci itu. Derajat kesisteman suatu partai poilitik dapat dilihat dari  asal-usul partai politik tersebut,  apakah dibentuk dari atas, dari bawah, atau dari atas yang disambut dari bawah. Berikutnya siapakah yang lebih menentukan dalam partai, apakah seorang pemimpin yang disegani atau pelaksanaan kedaulatan anggota menurut prosedur dan mekanisme yang ditetapkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Siapakah yang menentukan dalam pembuatan keputusan faksi-faksi dalam partai ataukah partai secara keseluruhan merupakan salah satu indikator derajat kesisteman suatu partai politik dan  bagaimana partai memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan, apakah bersifat klientelisme atau pertukaran dukungan dengan pemberian materi atau menurut konstitusi partai (AD/ART).

Pemimpin yang dominan dalam partai politik tidaklah dengan sendirinya buruk. Peran pemimpin dominan akan menimbulkan akibat buruk bila sang pemimpin menggunakan kharismanya untuk melanggengkan dominasinya, sedangkan peran dominan pemimpin akan menimbulkan akibat positif bila sang pemimpin menggunakan kharismanya membangun kesisteman dalam partai.

Faksi, dan pengelompokan dalam partai juga tidak dengan sendirinya buruk. Bila pengelompokan dalam partai terbentuk atas dasar primordial, maka pengelompokan akan merusak solidaritas partai karena akan menimbulkan konflik diantara faksi partai tersebut. Tetapi bila pengelompokan berdasar perbedaan pola dan arah kebijakan, maka pengelompokan atau faksi itu justru akan membuat  partai politik tersebut akan kaya dengan ide dan konflik yang terjadi justru lebih membangun partai politik tersebut.

Partai politik merupakan wadah konflik atau wadah mengatur dan menyelesaikan konflik. Partai politik juga merupakan peserta konflik dalam pemilihan umum dan dalam pembuatan keputusan di lembaga legislatif. Bahkan, dari fungsinya, partai politik berfungsi menampung dan mengagregasikan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi suatu alternatif kebijakan publik. Dengan melaksanakan fungsi agregasi kepentingan ini, partai politik juga berperan sebagai pihak yang menyelesaikan konflik. AD/ART yang dirumuskan secara komprehensif dan rinci harus mampu memberi kaidah dan prosedur penuntun tindakan partai politik untuk melaksanakan fungsi sebagai lembaga konflik, peserta konflik, dan peyelesaian konflik.

  • Identitas nilai

Identitas nilai merupakan orientasi kebijakan dan tindakan partai politik menurut ideologi atau platform partai. Identitas nilai seperti ini tidak hanya tampak pada pola dan arah kebijakan yang diperjuangkan partai politik tetapi juga tampak pada basis sosial pendukungnya. Lapisan sosial atau golongan masyarakat memberi dukungan kepada suatu partai karena mengidentifikasi orientasi politiknya dengan ideologi atau platform partai politik tersebut. Indikator derajat identitas nilai suatu partai politik dapat dilihat dari  bagaimana  hubungan partai dengan kelompok masyarakat tertentu, apakah partai politik tersebut merupakan gerakan sosial yang didukung kelompok masyarakat tertentu, seperti buruh, petani, dunia usaha, kelas menengah, komunitas agama tertentu, komunitas kelompok etnik tertentu, dan apa yang akan di dapat jika menjadi anggota partai tersebut apakah anggota tersebut akan mendapatkan materi ataukah partai politik tersebut dapat bertindak berdasarkan ideologi partai.

Suatu partai politik dapat dikatakan telah terinstitutionalisasi dari segi identitas nilai, apabila partai itu telah memiliki lapisan sosial atau golongan masyarakat sebagai pendukung loyal atau basis sosial. Karena pola dan arah kebijakan yang diperjuangkannya dan bila dukungan yang diberikan kepada partai itu bukan semata-mata karena menerima materi tertentu dari partai tetapi karena orientasi politiknya sesuai ideologi atau platform partai itu.

Partai politik yang mempunyai basis sosial pendukung yang jelas akan memiliki identitas nilai yang jelas pula, seperti partai buruh sesuai namanya jelas memiliki basis sosial pendukung dari kalangan buruh karena pola dan arah kebijakan yang diperjuangkan partai itu berorientasi pada kepentingan buruh.

  • Derajat otonomi

Derajat otonomi suatu partai politik dalam pembuatan keputusan berkait dengan hubungan partai dengan aktor luar partai, baik dengan sumber otoritas tertentu yaitu penguasa, pemerintah maupun dengan sumber dana seperti pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar, dan sumber dukungan massa yaitu organisasi masyarakat. Pola hubungan suatu partai dengan aktor di luar partai dapat berupa hubungan ketergantungan kepada aktor luar, hubungan itu bersifat saling tergantung  dan hubungan itu berupa jaringan  yang memberi dukungan kepada partai.

Indikator institusional partai politik dapat di ukur dari kemandirian partai tersebut dalam membuat suatu keputusan, apabila keputusan partai politik itu tidak didikte pihak luar tetapi diputuskan sendiri dengan atau tanpa konsultasi dengan aktor luar yang menjadi mitra atau jaringan pendukung partai itu. Suatu partai akan memiliki otonomi dalam pembuatan keputusan apabila partai tersebut mandiri dalam pendanaan.

  • Pengetahuan publik

Derajat pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pertanyaan apakah keberadaan partai politik itu telah tertanam bayangan masyarakat seperti dimaksudkan partai politik itu. Yang menjadi isu utama di sini bukan terutama tentang sikap masyarakat mengenai partai politik umumnya, tetapi tentang kiprah masing-masing partai politik bagi masyarakat. Bila sosok dan kiprah partai politik tertentu telah tertanam pada pola pikir masyarakat seperti dimaksudkan partai politik tersebut itu, maka pihak lain baik individu maupun lembaga di masyarakat akan menyesuaikan aspirasi dan harapannya atau sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik itu.

Institutionalisasi partai politik dapat dari segi pengetahuan publik, apabila masyarakat umum mendefinisikan sosok dan kiprah partai politik itu sesuai identitas nilai atau platform partai tersebut dan masyarakat pun dapat memahami mengapa suatu partai politik melakukan jenis tindakan tertentu dan tidak melakukan jenis tindakan lain. Derajat pengetahuan publik ini merupakan fungsi dari waktu dan kiprah partai politik tersebut. Makin tua umur suatu partai politik makin jelas definisi atau pengetahuan publik mengenai partai itu. Makin luas dan mendalam kiprah suatu partai dalam percaturan politik, makin mudah bagi kalangan masyarakat untuk mengetahui sosok dan kiprah partai politik itu.

Selain beberapa indikator yang telah di sebutkan di atas eksistensi partai politik dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar partai itu sendiri. Sebagai institusi, partai politik mengikuti aturan main yang telah di sepakati, menurut Miriam Budiardjo, institusi adalah organisasi yang tertata melalui pola perilaku yang diatur oleh peraturan yang telah diterima sebagai standar[7]. Dalam mempertahankan eksistensi partai politik dihadapkan oleh aturan main. Mekanisme penetapan calon terpilith berdasarkan pada sistem suara terbanyak merupakan mekanisme yang menjadikan tantangan bagi partai politik sebagai institusi yang menerima pengaruh dari adanya perubahan ini terutama pada upaya untuk memperoleh eksistensi pada Pemilu Legislatif 2009. Selain mekanisme suara terbanyak eksistensi partai dipengaruhi oleh sistem kepartaian.

   Sistem multi-partai merupakan sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia, sistem memberi kesempatan bagi tumbuhnya partai-partai baru, salah satu hasil reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan berpendapat dan berkumpul yang ditandai dengan banyaknya partai dengan berbagai asas dan ciri tetap harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai baru bermunculan dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai kesempatan untuk mempropagandakan ide-ide dan program-program mereka. Namun disisi lain sistem multi-partai merupakan tantangan tersendiri bagi partai-partai lain untuk memperoleh eksistensi.

Perilaku memilih masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi eksistensi partai. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum adalah sebuah keputusan bagi seseorang apakah akan menggunakan hak pilihnya atau tidak dan akan memilih partai yang mana. Partai politik memperjuangkan untuk memperoleh suara seseorang dalam pemilu untuk memperoleh eksistensinya. Dari sudut pandang pilihan rasional pemilih pertimbangan untung dan rugi, digunakan untuk membuat keputusan  tentang partai politik atau kandidat yang akan dipilih[8].

Partai Politik (skripsi dan tesis)

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Partai Politik adalah kendaraan untuk mencapai tujuan politik.  Partai Politik diterjemahkan sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945.[1]

 

 

Substansi sebuah partai politik adalah sebuah lembaga yang didirikan atas suatu kehendak. Kehendak yang dimaksud disini adalah sebuah konsep ideologis yang mendasari dibentuknya sebuah parpol.  Sehingga yang membedakan antara partai politik yang satu dengan yang lain adalah  konsep ideoligis atau platform partai. Masing-masing parpol memiliki konsep khas, yang berbeda dengan partai politik lainnya, mereka yang memiliki cara pandang yang sama, konsep ideologis yang sama, bergabung dalam satu partai politik tertentu.

Partai politik dianggap sebagai pusat politik dalam sistem Demokrasi, tujuan partai politik ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

Dalam literatur politik, setidaknya dikenal 80 defenisi mengenai partai politik. Namun, terlepas dari variasi yang ada, para pakar politik sepakat bahwa partai politik memiliki beberapa ciri umum sebagai berikut :

  1. Kumpulan orang-orang yang se-ide dan berupaya mewujudkan ide-ide mereka dalam kehidupan masyarakat,
  2. Memiliki organisasi yang rapi, yang menjamin kontinyutas kegiatan sepanjang tahun,
  3. Berupaya menyusun agenda kebijakan publik, serta berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan atas agenda tersebut,
  4. Berambisi menempatkan wakil-wakilnya dalam jajaran pemerintahan.

Partai politik adalah unsur penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Partai politik menghubungkan masyarakat madani dengan negara dan lembaga-lembaganya. Selain itu, partai menyuarakan pandangan serta kepentingan berbagai kalangan masyarakat. Serupa lembaga-lembaga politik lainnya, partai politik tentu memiliki kelemahan dan kekurangan. Akan tetapi, sentimen anti partai, emoh partai, yang berkembang selama ini bersumber dari orde politik yang melecehkan peran serta warga negara supaya segolongan masyarakat dapat berkuasa dan mengontrol seluruh rakyat dan sumberdaya nasional dengan cara-cara yang monopolistik dan monolitik.

Partai politik dapat berarti organisasi yang mempunyai basis ideologi yang jelas, dimana setiap anggotanya mempunyai pandangan yang sama dan bertujuan untuk merebut kekuasaan atau mempengaruhi kebijaksanaan negara baik secara langsung maupun tidak langsung serta ikut pada sebuah mekanisme pemilihan umum untuk bersaing secara kompetitif guna mendapatkan eksistensi.

Lapalombara dan Myron Weiner melihat partai politik sebagai organisasi untuk mengekspresikan kepentingan ekonomi sekaligus mengapresiasikan dan mengatur konflik[2]. Partai politik dilihat sebagai organisasi yang mempunyai kegiatan yang berkesinambungan serta secara organisatoris memiliki cabang mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah.

Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka[3].

Menurut Ichlasul Amal partai politik merupakan satu keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis[4]. Partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara absah (legitimate) dan damai.

Partai Politik sebagai lembaga kontrol politik tentu saja mempunyai peranan yang sentris untuk menunjukkan kesalahan atau penyimpangan administrasi yang dilakukan oleh oknum yang ingin merusak tatanan demokrasi Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Leo Agustino bahwa salah satu fungsi partai politik adalah melakukan kontrol politik. Kontrol politik sangat dibutuhkan dalam negara demokratis, ia tidak saja sebagai sarana untuk menyediakan nuansa checks and balances yang aktual, tetapi juga kontrol politik berupa kegiatan dalam menunjukkan kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa[5]. Entah dalam hal isi suatu kebijakan ataupun implementasi kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah, tidak hanya itu tujuan dari kontrol politik yang dilakukan oleh partai politik adalah berusaha meluruskan pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang tengah terjadi. Penyimpangan yang akut, kekeliruan yang mewabah, serta berbagai persoalan politik yang terjadi, sebenarnya dapat diselesaikan manakala kontrol politik menjadi instrumen penting dalam membangun kehidupan politik yang sehat.

Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk patisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela di mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam pemilihan umum, menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan, duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan tersebut, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.

 

Carl J. Friedrich melihat partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil[6]. Sejalan dengan Carl J. Friedrich,  R. H. Soltau melihat partai politik sebagai sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih guna menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka[7].

Berbeda dengan dua pemikir sebelumnya yang melihat partai politik lebih berorintasi pada kekuasaan Sigmund Neumann  dalam karangannya Modern Political Parties mengemukakan bahwa Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda[8]. Sigmund Neumann melihat partai politik sebagai sarana untuk mewadahi kepentingan politik.

 

 

Perlu diterangkan bahwa partai berbeda dengan gerakan (movement). Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Dibanding dengan partai politik, gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamentil sifatnya dan kadang-kadang malahan bersifat ideologi. Orientasi ini merupakan ikatan yang kuat di antara anggota-anggotanya dan dapat menumbuhkan suatu identitas kelompok (group identity) yang kuat. Organisasinya kurang ketat dibanding dengan partai politik. Berbeda dengan partai politik, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilihan umum.

Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Partai politik bertujuan memperjuangkan suatu kepentingan dalam skala yang luas melalui mekanisme pemilu, sedangkan kelompok penekan atau kelompok kepentingan yang lain seperti kelompok profesi, kelompok adat, organisasi kemasyarakatan hanya mengejar kepentingan-kepentingan sesaat dalam ruang lingkup yang lebih kecil serta melewati meknisme politik formal seperti pemilu

PENDEKATAN INSTITUSIONAL BARU (skripsi dan tesis)

Pendekatan institusional baru lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain, berbeda dengan institusional lama yang memandang institusi negara sebagai suatu hal yang statis dan terstruktur. Pendekatan intitusional baru memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu.

Institusional baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis atau perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu[1]. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh aktor beserta juga dengan segala pilihannya. Inti dari Institusional baru dirumuskan oleh Robert E. Goodin Sebagai Berikut :

  • Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara kolektif.
  • Pembatasan – pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial dan perilaku dari mereka yang memengang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami perubahan terus-menerus.
  • Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka masing-masing .
  • Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga mempengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi dari aktor dan kelompok-kelompok.
  • Pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai peninggalan dari tindakan dan pilihan-pilihan masa lalu.
  • Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing[2].

 

Pendekatan institusional baru lebih banyak mengkaji tentang bagaimana mengajak masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hal ini bertujuan untuk membentuk institusi yang lebih bernilai dalam konteks tertentu.

Pemilihan umum merupakan saat dimana terjadinya partisipasi yang paling konvensional yang dapat ditemui dihampir semua negara demokratis melalui proses pemberian suara. Melalui pemberian suara saat  pemilihan umum ini rakyat kemudian dapat ikut berpartisipasi dalam sistem politik melalui wakil yang telah dipilihnya dalam pemilu, seperti yang dikemukakan oleh Ramlan Subakti bahwa pemilihan umum merupakan sarana memobilisasi dan menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintah dengan jalan ikut serta dalam proses politik[3].

Penggalangan dukungan rakyat terhadap negara memerlukan partai politik sebagai institusi yang hadir untuk mewujudkan hal tersebut. Partai politik menjalankan fungsi-fungsinya dalam sistem politik antara lain sebagai sarana partisipasi politik dan fungsi sebagai pemandu kepentingan, tetapi fungsi utama dari partai politik ialah mencari dan mempertahankan eksistensi dalam bentuk kekuasaan untuk mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi partai tersebut.

Sebagai sebuah institusi pola perilaku partai politik tertata oleh aturan yang telah ditetapkan, tetapi pada kenyataanya aktor dalam partai politik memiliki kecenderungan dalam menentukan pola perilaku partai politik tersebut.

[1] Miriam Budiardjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), (PT. Gramedia Pustaka      Utama. Jakarta. 2008) hal. 96

[2] Miriam Budiardjo. Op.Cit hal. 98

[3] Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (PT. Grasindo. Jakarta, 2010) hal. 233

 

TEORI PILIHAN POLITIK (skripsi dan tesis)

Setiap masyarakat dan setiap saat tertentu, tingkat-tingkat, landasan-landasan, dan bentuk-bentuk partisipasi politik jauh lebih banyak dibentuk oleh faktor-faktor politik daripada oleh faktor-faktor lainnya (Huntington,1994:38). Didalam setiap  masyarakat, sikap elit politik terhadap partisipasi politik mungkin merupakan faktor tunggal yang paling efektif dalam mempengaruhi sifat pertisipasi politik dimasyarakat itu. Partisipasi yang dimobilisasi hanya terjadi apabila kaum elit politik berupaya melibatkan massa rakyat dalam kegiatan politiknya (Huntington,1994:89). Partisipasi politik yang dimobilisasi pada akhirnya akan menuju kepada sebuah pilihan politik tertentu. Pilihan politik terbentuk karena elit politik yang menginginkan manfaat partisipasi yang luas, berupa dukungan bagi mereka sendiri dan bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Bagi banyak elit politik, partisipasi itu paling banter merupakan satu alat dan bukan suatu nilai utama (Huntington,1994:40). Pilihan politik sebagai wujud partisipasi yang biasanya ditentukan oleh efek-efek terhadap kemampuan para elit politik :

a. Meraih kekuatan dan tetap berkuasa

b. Untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan politik lainnya, seperti kemerdekaan nasional, perubahan revolusioner, pembangunan ekonomi, dan pemerataan sosio-ekonomi (Huntington,1994:41). Pilihan politik terbentuk karena beberapa aspek yang mempengaruhinya. Aspek-aspek tersebut adalah :

1. Patron Klien

Istilah “patron‟ berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132). Menurut Scott (1972) dalam Suprihatin (2002) mengemukakan hubungan patron klien sebagai suatu keadaan khusus dari persekutuan dyadic (dua orang) yang melibatkan sebagian besar persahabatan, sementara seorang atau kelompok yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi berperan sebagai patron, menggunakan pengaruh, dan penghasilannya untuk memberikan perlindungan dan kebaikan kepada seseorang atau kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok in berperan sebagai klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang meliputi pelayanan pribadi kepada patron.

Menurut Scott (1972) dalam (Rustinsyah, 2011) hubungan patron klien adalah a special case of dyadic (two person) ties involving a largerly instrumental friendship in which an individual of higher socio economic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection as benefits for both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to their patron. Hubungan patron klien bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal pribadinya, dan saling mempercayai. Lande (1964) dalam (Rustinsyah, 2011) menyebut model patron klien sebagai solidaritas vertikal. Ciri-ciri hubungan patron klien menurut Scott (1972) adalah

(1) terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran. Ketidak seimbangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi barang atau jasa yang sangat diperlukan bagi klien dan keluarganya agar mereka dapat tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri klien muncul akibat pemberian tersebut, selama pemberian itu masih mampu memenuhi kebutuhan klien yang paling pokok. Jika klien merasa apa yang dia berikan tidak dibalas sepantasnya oleh patron, dia akan melepaskan diri dari hubungan tersebut tanpa sangsi

(2) bersifat tatap muka, sifat ini memberi makna bahwa hubungan patron klien adalah hubungan pribadi, yaitu hubungan yang didasari rasa saling percaya. Masing-masing pihak mengandalkan penuh pada kepercayaan, karena hubungan ini tidak disertai perjanjian tertulis. Dengan demikian, walaupun hubungan patron klien bersifat instrumental, artinya kedua belah pihak memperhitungkan untung-rugi, namun unsur rasa selalu menyertai.

(3) bersifat luwes dan meluas, Dalam relasi Inl bantuan yang diminta patron dapat bermacam-macam, mulai membantu memperbaiki rumah, mengolah tanah, sampai ke kampanye politik. Klien mendapat bantuan tidak hanya pada saat mengalami musibah, tetapi juga bila mengalami kesulitan mengurus sesuatu.

Dengan kata lain, hubungan ini dapat  dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak, sekaligus sebagai jaminan sosial bagi mereka. Adanya unsur ketimpangan dalam pertukaran dikatakan Scott (1972) sebagai disparity in their relative wealth, power and status. A client, in this sense, is someone who has entered an inequal exchange relation in which he is unable to reciprocate fully. A debt of obligation binds him the patron. Foster (1963) dalam Rustinsyahm (2011) dalam hubungan patron klien atau timbal balik terjadi pada orang yang sama statusnya (colleague contracts). Foster menyebut hubungan patron klien sebagai dyadic contracts. 2. Komunitas Religius Kata community menurut Syahyuti dalam Sari (2009) berasal dari bahas latin “cum” yang mengandung arti kebersamaan dan “munus” yang berarti memberi antara satu sama lain. Maka dapat diartikan komunitas sebagai sekelompok orang yang saling berbagi dan mendukung antara satu sama lain. Iriantara (2004) dalam Sari (2009) mendefinisikan makna komunitas adalah sekumpulan individu yang mendiami lokasi 64 tertentu dan biasanya terkait dengan kepentingan yang sama. Sedangkan menurut Wanger (2004) dalam Sari (2009) komunitas itu adalah sekumpulan orang yang saling berbagi masalah, perhatian atau kegemaran, terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan cara saling berinteraksi terus menerus. Pengertian komunitas menurut Kertajaya Hermawan (2008) adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Menurut James Martineau dalam Rakhmat (2004) istilah religi berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation atau kewajiban. Dalam Encyclopedia of Philosophy, istilah religi ini dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.

3. Karisma

Secara etimologi kata karisma berasal dari bahasa Yunani “Charisma” yang berarti karunia atau bakat khusus (Hariyono, 2009). Karisma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya. Selain itu karisma menurut KBBI berarti atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu. Max Weber dalam Rebiru (1992) mengartikan karisma sebagai gejala sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya. Pengakuan atau kepercayaan kepada tuntutan kekuatan gaib merupakan unsur integral dalam gejala karisma. Karisma adalah pengakuan terhadap suatu tuntutan sosial. Weber dalam Hariyono (2009) mengartikan karisma sebagai sifaf yang melekat pada seorang pemimpin dengan mengatakan 66 pemimpin kharismatik adalah seseorang yang seolah-olah diberi tugas khusus dan karena itu dikaruniai bakat-bakat khusus oleh Tuhan untuk memimpin sekelompok manusia mengarungi tantangan sejarah hidupnya.

4. Rasional

Sulaiman (2011) dalam Wulandari (2014) menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat berpikir rasional sangat penting agar seseorang mampu bersaing untuk maju. Kemampuan berpikir jernih dan rasional diperlukan pada pekerjaan apapun, ketika mempelajari bidang ilmu apapun, untuk memecahkan masalah apapun, sehingga dengan kata lain berpikir rasional ini merupakan aset berharga bagi karir seorang. Kemampuan berpikir rasional menurut Dewey dalam Daryanto (2009; Wulandari, 2014) meliputi langkah-langkah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan. Sedangkan menurut Richetti dan Treogoe dalam Fitriyanti (2009; Wulandari (2014) “Rational thinking helps us arrive at a conclusion to be able to do something”. Menurut Syah (2008) dalam Wulandari (2014) 67 menyatakan bahwa berpikir rasional merupakan perwujudan perilaku belajar terutama yang berkaitan dengan pemecahan masalah

TEORI PILIHAN RASIONAL (skripsi dan tesis)

 

Di antara pendekatan-pendekatan teoritis mutakhir dalam ilmu politik adalah apa yang disebut sebagai teori pilihan rasional. Pendekatan ini mengambil banyak pada contoh dari teori ekonomi dalam membangun model-model yang berdasarkan pada aturan prosedural, biasanya tentang perilaku rasional dari individu-individu yang terlibat (Heywood, 2014:23). Selain itu pendekatan ini menyediakan paling tidak sebuah alat analitis yang berguna, yang dapat menyediakan wawasan tentang aksiaksi dari para pemilih, pelobi, birokrat dan politisi, juga tentang perilaku dari negara-negara di dalam sistem internasional. Pendekatan pilihan rasional menurut Sitepu (2012:91) lebih menitik beratkan pada perhitungan untung rugi. Pendekatan ini melihat bahwa kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan adalah tidak hanya “ongkos” memilih akan tetapi kemungkinan suaranya itu dapat memberikan pengaruh terhadap hasil yang diharapkan dan juga sebagai alternatif berupa pilihan yang ada. Bagi pemilih pertimbangan untung dan rugi dipergunakan untuk membangun sebuah keputusan tentang partai politik atau seorang kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih. Pendekatan model pilihan rational menurut Surbakti (2010:186) terdapat lima faktor yang mempengaruhi, yaitu :

1. Struktural Pendekatan

struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai.

2. Sosiologis

Menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama.

3. Ekologis

Digunakan dalam suatu daerah pemilihan yang terdapat pebedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit territorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan dan kabupaten. Kelompok masyarakat, seperti penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, subkultur tertentu, dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit territorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum. Pendekatan ekologis ini sangat diperlukan karena karakteristik  data hasil pemilihan umum untuk tingkat provinsi berbeda dengan karakteristik kabupaten, atau data karakteristik kabupaten berdeda dengan karakteristik data tingkat kecamatan.

4. Psikologis sosial

Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleo faktorfaktor lain.

5. Pilihan rasional

Kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi ini digunakan pemilih untuk dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.

Prinsip dasar teori pilihan rasional berasal dari ekonomi neoklasik. Dalam sosiologi dipopulerkan oleh James S. Coleman pada jurnal rationality and society (1989) dalam Ritzer (2004), yang dimaksudkan untuk menyebarkan pemikiran yang bersasal dari perspektif pilihan rasional. Teori pilihan rasional merupakan tindakan rasional dari individu atau aktor untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan tujuan tertentu dan tujuan tersebut ditentukan oleh nilai atau pilihan (prefensi). Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Aktor juga dipandang mempunyai pilihan atau nilai, keperluan, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihannya. Teori pilihan rational sebagai landasan tingkat mikro, untuk menjelaskan fenomena tingkat makro. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor, dimana aktor dipandang sebagai mempunyai tujuan dan mempunyai maksud. Ada dua unsur utama teori Coleman dalam Ritzer (2004), yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman menjelaskan bahwa dalam suatu sistem sosial minimal terdapat dua orang aktor yang mengendalikan sumber daya tersebut. Keberadaan sumber daya tersebut menjadi pengikat yang mengakibatkan sifat saling membutuhkan diantara keduannya. Sehingga secara tidak langsung tindakan yang melibatkan kedua aktor tersebut menuju pada tingkatan sistem sosial.

Analisis Fenomena Makro menggunakan teori pilihan rasional :

1. Perilaku Kolektif

Teori pilihan rasional dapat menganalisis perilaku kolektif, meskipun sifat perilaku kolektif tidak stabil dan kacau. Teori pilihan rasional dapat menjelaskan penyebab adanya perilaku kolektif yang liar dari seorang atau beberapa aktor terhadap aktor lain. Menurut teori pilihan rasional, adanya perilaku yang demikian dikarenakan mereka berupaya memaksimalkan kepentingan mereka. Adanya upaya memaksimalkan kepentingan individual tersebut menyebabkan keseimbangan kontrol antara beberapa aktor dan menghasilkan keseimbangan dalam masyarakat. Namun, dalam perilaku kolektif, adanya upaya memaksimalkan kepentingan individu tak selalu menyebabkan keseimbangan sistem.

2. Norma

Menurut Coleman, norma diprakarsai dan dipertahankan oleh beberapa orang. Mereka memahami keuntungan dibentuknya norma tersebut, dan kerugian apabila terjadi pelanggaran terhadap norma. Aktor berusaha memaksimalkan utilitas mereka, sebagian dengan menggerakkan hak untuk mengendalikan diri mereka sendiri dan memperoleh sebagian hak untuk mengendalikan aktor lain. Tetapi ada pula keadaan di mana norma berperan menguntungkan orang tertentu dan merugikan orang lain. Dalam kasus tertentu, aktor menyerahkan hak (melalui norma) untuk mengendalikan tindakan orang lain. Selanjutnya keefektifan norma tergantung pada kemampuan melaksanakan consensus tersebut. Konsensus dan pelaksanaannyalah yang mencegah tanda-tanda ketidakseimbangan perilaku kolektif. Coleman melihat norma dari tiga sudut unsur utama teorinya dari mikro ke makro, tindakan bertujuan di tingkat mikro dan dari makro ke mikro. Norma adalah fenomena makro yang ada berdasarkan tindakan bertujuan di tingkat mikro.

3. Aktor Korporat

Dengan kasus norma, Coleman bergerak ke level makro dan melanjutkan analisisnya pada level ini ketika  membahas aktor korporat. Dalam suatu kelompok kolektif, aktor tidak dapat bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, melainkan untuk kepentingan bersama. Ada berbagai aturan dan mekanisme agar dapat berpindah dari pilihan individu menuju pilihan kolektif. Coleman beragumen bahwa aktor korporat dan aktor manusia memiliki tujuan. Terlebih lagi dalam struktur korporat seperti organisasi, aktor manusia bisa mengejar tujuan mereka yang berbeda dengan tujuan korporat. Coleman mulai dari individu dan dari gagasan bahwa semua hak dan sumber daya tersedia pada level ini. kepentingan individu menetukan seluruh peristiwa. Didunia modern aktor korporat semakin penting

TEORI ELIT PARTAI (skripsi dan tesis)

Gaetano Mosca dalam Surbakti (2010:94) menjelaskan distribusi kekuasaan dalam masyarakat menjadi dua kelas, yaitu :

1. Kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan.

2. Kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan. Jumlah orang yang berkuasa atau memerintah dalam suatu masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang diperintah. Itu sebabnya mengapa elit politik dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

Diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti mempertahankan status sebagai elit politik. Non elit yang telah menerima konsensus dasar elit saja yang dapat diterima dalam lingkungan elit. Golongan elit memiliki konsensus mengenai nilai-nilai dasar suatu sistem dan berusaha memelihara serta mempertahankan sistem itu. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh elit politik bukanlah cerminan aspirasi khalayak, juga bukan hasil tuntutan yang diajukan 46 khlayak, melainkan lebih merupakan cerminan nilai-nilai yang dipegang oleh kelompok elit (Surbakti, 2010:95). Mosca menjelaskan hubungan dinamis antara elit dan massa. Dalam pandangannya, para elit berusaha bukan hanya mengangkat dirinya di atas anggota masyarakat lain, tetapi juga mempertahankan statusnya terhadap massa di bawahnya, melalui para “sub-elit” yang terdiri dari kelompok besar dari “seluruh kelompok menengah yang baru, aparatur pemerintahan, manager, administrator, ilmuwan lainnya (Widjaya, 1988). Setiap masyarakat di manapun berada akan selalu dipimpin oleh sekelompok kecil individu yang berkuasa atas sejumlah besar anggota masyarakat lainnya, yang disebut massa, untuk tunduk dan mematuhi perintah-perintahnya. Massa bersedia untuk tunduk dan mentaati perintah-perintah tersebut karena pada diri elit terlekati kekuasaan yang jumlahnya lebih besar ketimbang yang dimilikinya (Darwis, 2011).

Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan yang ada dalam masyarakat tidak terdistribusikan secara merata.Terdapat sekelompok kecil individu dengan jumlah kekuasaan yang lebih besar dibandingkan  sejumlah besar individu dengan kekuasaan yang sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali (Haryanto, 2005). Putnam dalam Mas‟oed (2001) menyampaikan bahwa elit merupakan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik yang lebih dibandingkan dengan yang lain. Fokus kajiannya adalah kekuasaan, yang terbagi ke dalam dua konsepsi. Pertama, kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi individuindividu lain. Kedua, kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif, seperti undangundang. Karena itu, Putnam membagi elit ke dalam dua kelompok, yakni mereka yang memiliki kekuasaan politik “penting”, dan mereka yang tidak memilikinya. Menurut Keller, sebagaimana dikutip oleh Duverger (2006), bahwa studi tentang elit memusatkan perhatian pada empat hal. Pertama, anatomi elit berkenaan dengan siapa, berapa banyak dan bagaimana para elit itu muncul. Kedua, fungsi elit berkenaan dengan apa tanggungjawab sosial elit. Ketiga, pembinaan elit menyangkut tentang siapa yang mendapatkan kesempatan menjadi elit, imbalan apa yang mereka terima, dan kewajiban- 48 kewajiban apa yang menunggu mereka. Keempat, keberlangsungan (bertahannya) elit berkenaan dengan bagaimana dan kenapa para elit itu dapat bertahan, serta bagaimana dan kenapa diantara mereka hancur atau tidak dapat bertahan. Secara konfiguratif, menurut Dogan dalam Darwis (2011), bahwa kategorisasi elit beragam tergantung pada posisi jabatan dan ruang lingkup batas otoritas kekuasaan yang dipegangnya. Menurutnya elit yang monohirarki (mono-hierarchical) dapat dikatakan elitis yang sangat fokus pada puncak kekuasaan. Sedangkan, poliarki (polyarchical) kekuasaan menyebar di berbagai institusi dengan beragam perbedaan kewenangan. Perbedaan sesungguhnya, menurut Dogan dalam Darwis (2011), tergantung sistem politik yang dianut oleh negara itu sendiri. Namun Dogan menegaskan bahwa pada prinsipnya, elit merupakan populasi yang kecil dan pemegang kekuasaan untuk membedakan dengan populasi yang tidak memiliki kekuasaan relatif jumlah besar.

Partai menurut Heywood (2014:392) adalah sebuah kelompok masyarakat yang diorganisasikan untuk tujuan memenangkan kekuasaan pemerintahan, melalui sarana pemilihan atau yang lain. Partai-partai dapat bersifat otoriter atau demokratis, mereka mungkin meraih kekuasaan melalui pemilihan atau melalui revolusi dan mereka mungkin mengusung ideologi-ideologi aliran kiri, kanan atau tengah, bahkan mengingkari ide-ide politik sama sekali. Perkembangan partai-partai politik dan pembentukan sebuah sistem partai telah diakui sebagai salah satu tanda modernisasi politik. Dalam dinamika partai politik diaras lokal, kita temukan “orang kuat partai” yang secara individu memiliki kemampuan untuk menentukan arah dan kebijakan partai. Orang inilah yang disebut Keller (1995) sebagai elite penentu. Orang kuat partai ini secara individual mampu mengekspresikan pengaruh dan memastikan distribusi dan alokasi sumber-sumber kekuasaan bukan karena yang bersangkutan menduduki jabatan tertinggi di puncak piramida elit partai (ketua umum), tetapi meski hanya sebagai pengurus harian partai karena yang bersangkutan memiliki kapasitas pribadi yang mumpuni dibanding orang lain maka orang ini bisa menjadi orang penting di partai. Orang kuat 50 partai ini bahkan bisa menerobos ketentuan partai dan menentukan policy partai karena memiliki kelebihan-kebihan diatas rata-rata pengurus partai lainnya. Meminjam istilah Putnam dalam analisa elit individu seperti ini disebut “orang kuat partai” karena memiliki reputasi dan kontribusi pengambilan keputusan yang lebih besar dibanding posisinya di partai

Jaringan sosial sebagai modal sosial (skripsi dan tesis)

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157). Jaringan sosial merupakan hubungan yang tercipta antara banyak dalam suatu kelompok ataupun antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain. Yang menjadi ciri khas dari teori jaringan adalah adanya pemusatan perhatian pada struktur makro dan mikro, yang artinya bahwa aktor bukan hanya individu saja namun dapat kelompok, organisasi bahkan ruang lingkup yang lebih besar sekalipun. Hubungan dapat terjadi dalam struktur sosial yang lebih luas hingga yang lebih sempit (Ritzer,Douglas.2010:383).

Barnes (1969) mengemukakan analisisnya (Agusyanto, 2007) bahwa jaringan dibedakan atas jaringan total digunakan untuk menyebut jaringan sosial yang kompleks, dan jaringan partial untuk menyebut jaringan yang hanya berisi satu jenis hubungan sosial. Lain hal lagi bila jaringan sosial ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan-jaringan. Berdasarkan pendapat pakar Antropologi dan Sosiologi, jaringan sosial dapat di bedakan dalam tiga jenis yaitu : a. Jaringan interest (kepentingan), terbentuk dari hubungan-hubungan sosial yanng bermuatan kepentingan. b. Jaringan power, hubungan-hubungan sosial yang membentuk jaringan bermuatan power. Power disini merupakan suatu kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambil keputusan orang atu unit sosial lainnya mellalui pengendalian (Adams: 1977 dalam Agusyanto, 2007). c. Jaringan sentiment (emosi), seperti judulnya jaringan ini terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi. Hubungan sosial itu sendiri sebenarnya menjadi tujuan tindakan sosial misalnya percintaan, pertemanan atau hubungan kerabat, dan sejenisnya. Struktur sosial yang terbentuk dari hubungan-hubungan emosi pada umumnya lebih mantap atau permanen. Kedhusin (Rudito,Famiola 2008:147) mengemukakan ada 3 jaringan sosial yaitu :

a. Jaringan individu (egosentris) yaitu jaringan yang berhubungan dengan modal tunggal atau individu. Sebagai contoh teman baik saya.

b. Jaringan sosial (social-centric) digambarkan dalam model dan batasan analisisnya, seperti jaringann antara mahasiswa dalam sebuah kelas, jaringan pekerja dan manajemen dalam sebuah pabrik atau tempat kerja.

c. Jaringan terbuka (open system) yaitu batasan tidak dianggap penting. Contohnya jaringan politik, jaringan antar perusahaan dan jaringan antara mahasiswa.

Perilaku Dan Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour) adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik. Perilaku politik bersumber dari budaya politik, dimana adanya kesempatan dari pelaku kegiatan akan tindakan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pelaku kegiatan adalah pemerintah dan dan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.

Dalam mengkaji perilaku politik ada tiga analisis yaitu :

a) Individu actor politik meliputi actor politik (pemimpin), aktivis politik, dan individu warga Negara biasa.

Factor yang mempengaruhi perilaku politik seorang actor politik adalah pertama, lingkungan social politik tak langsung (system politik, system ekonomi, system budaya dan media massa). Kedua, lingkungan politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian actor (keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan). Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Keempat, factor lingkungan social politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi actor secara langsung (cuaca, keadaan keluarga, suasana kelompok, dan lain-lain).

b) Agregasi politik adalah individu aktor politik secara kolektif (kelompok kepentingan, birokrasi, parpol,lembaga pemerintahan dan bangsa).

c) Tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelist, dan demokrat.

Partisipasi Politik didefenisikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam “No Easy Choice, Political participation in developing”; partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Sedangkan, Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.

Kemudian Hutington dan Nelson membuat rambu-rambu dalam partisipasi politik antara lain :

• Partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga Negara biasa yang dapat diamati bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi.

• Kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik.

• Kegiatan yang berhasil maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah tetap termasuk dalam partisipasi politik.

• Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

• Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan sesuai prosedur yang wajar maupun kekerasan.

• Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan atas kesadaran sendiri maupun atas desakan. Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik.

Misalnya, kegiatan  warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah. Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan antara lain :

 Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.

 Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

 Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.

 Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.

Teori Kekuasaan menurut Marx Weber (skripsi dan tesis)

Analisis terpenting dalam kajian Weber adalah Weber tidak mau mereduksi stratifikasi berdasarkan sudut pandang ekonomi, namun Weber memandang bahwa stratifikasi bersifat multidimensional. Artinya adalah kajian Weber tidak hanya memberikan pengaruh pada kajian ekonomi, tetapi juga memberikan analisis terhadap aspek bidang keilmuan lainnya. Menurutnya masyarakat terstratifikasi berdasarkan ekonomi, status dan kekuasaan. Kekuasaan terhadap manusia dapat dilakukan memlalui pengaruh secara fisik dengan cara penghukuman maupun dengan cara mempengaruhi opini melalui propaganda (Lukes,1986). Propaganda merupakan jalur memperoleh kekuasaan yang sulit dikalahkan oleh lawan bila propaganda itu mampu menghasilkan suatu kesepakatan. Kekuasaan terdapat dalam bentuk kekayaan, tentara, pemerintahan, jasa dan pengaruh. Kekayaan bisa merupakan hasil  kekuasaan dengan mempergunakan kekuatan tentara dan pengaruh. Sekarang kekuatan ekonomi yang menjadi sumber kekayaan adalah sumber asal semua jenis kekuasaan yang lain (Bouman, 1982).

Namun Weber kurang sependapat dengan pandangan tersebut. Ia mengatakan bahwa kekuasaan harus dilihat dari esensi masing-masing. Kekuasaan ekonomi belum tentu identik dengan kekuasaan yang lain. Orang mencari kekuasaan belum tentu karena ingin menjadi kaya raya. Orang mencari kekuasaan karena pertimbangan kehormatan. Kekuasaan dan kehormatan memerlukan jaminan dari adanya ketertiban berdasarkan hukum. Tertib hukum merupakan faktor tambahan penting untuk memperluas kekuasaan dan kehormatan meskipun tidak selamanya menjamin. Weber (1947) menyatakan bahwa didalam kekuasaan terdapat kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, walaupun orang tersebut melakukan pernolakan. Adanya kesempatan untuk merealisasikan kehendaaknya pada orang lain dalam bentuk pemaksaan tanpa memperdulikan apapun yang menjadi dasar. Dengan kata lain, kekuasaan menurut Weber adalah kesempatan untuk menguasai orang lain.

Kemudian, Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang dalam kehidupan manusia yang menyangkut dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan. Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut antara lain :

1) Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.

2) Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas.

Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Universitas Sumatera Utara Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious. Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.

3) Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya

Pengertian kekuasaan menurut ahli (skripsi dan tesis)

Kekuasaaan merupakan konsep yang paling mendasar dalam ilmu-ilmu sosial dan didalamnya terdapat perbedaan titik penekanan yang dikemukakan. Menurut Russel (1988) terdapat batasan umum dari kekuasaan yaitu merupakan produk pengaruh yang diharapkan. Ketika seseorang ingin memperoleh tujuan yang diinginkannya dan juga diinginkan oleh orang banyak, maka orang tersebut harus memiliki kekuasan yang besar. Faktor pendorong yang menimbulkan keinginan berkuasa antara lain faktor eksplisit dan implisit yang berupa dorongan untuk memperoleh kekuasaan. Faktor eksplisit dari dalam diri seseorang, sedangkan faktor implisit adalah faktor dari luar yang mempengaruhi seseorang untuk berkuasa. Adapun pengertian kekuasaan menurut para ahli antara lain :

a. Walter Nord

Kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya.

b. Miriam Budiardjo

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.

c. Ramlan Surbakti

Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.

d. Max Weber

Kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang actor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan.

Dampak Pengangguran (skripsi dan tesis)

Ditinjau dari sudut individu, pengangguran menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial kepada yang mengalaminya. Keadaan pendapatan menyebabkan para penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang (Sadono Sukirno (2004)

Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Menurut Kuznet (Tulus Tambunan, 2001), pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut epektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan peran pemerintah yang cukup epektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur. Penelitian Adit Agus Prastyo (2010) Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan” Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2003- 2007, menunjukan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negarif dan signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan

Teori Pertumbuhan Kuznet (skripsi dan tesis)

Kuznet mendefinisikan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai “ peningkatan kemampuan suatu negara untuk menyediakan barang-barang ekonomi bagi penduduknya, pertumbuhan kemampuan ini disebabkan oleh kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian ideology yang dibutuhkannya”. Ketiga komponen pokok dari definisi ini sangat pentinga artinya:

1. Kenaikan output nasional secara terus menerus merupakan perwujudan dari pertumbuhan ekonomi dan kemampuan untuk menyediakan berbagai macm barang ekonomi merupakan tanda kematangan ekonomi.

2. Kemajuan teknoogi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinabungan, namunn belum merupakan syarat yang cukup, untuk merealisir potensi pertumbuhan yang terkandung dalam teknologi baru.

3. Penyesuaian kelembagaan, sikap dan ideology harus dilakukan. Inovasi teknologi tanpa disertai inovasi sosial ibarat bola lampu tanpa aliran listrik. Akumulasi modal, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Kita mengembangkan model ini secara bertahap. Tahap pertama adalah mengkaji  bagaimana penawaran dan permintaan terhadap barang menentukan akumulasi modal.

Teori Pertumbuhan Endogen (skripsi dan tesis)

Teori pertumbuhan Endogen menjelaskan bahwa pertumbuhan GNP sebenarnya merupakan konsekuensi alamiah atas adanya ekuilibrium jangka panjang. Teori pertumbuhan Endogen memiliki kemiripan srtuktural terhadap teori Neoklasik namun sangat berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan kesimpulannya. Perbedaan teoritis yang signifikan berasal dari dikeluarkanya asumsi Neoklasik tentang hasil marjinal yang semakin menurun atas investasi modal, memberikan peluang terjadinya skala hasil yang semakin meningkat dalam poduksi agregat dan seringkali berfokus pada peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian modal. Teori pertumbuhan Erdogan berupaya menjelaskan keberadaan skala kecil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Karena teknologi masih memainkan peranan penting dalam teori ini, maka tidak perlu lagi untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Todaro dan Smith, 2006)

Pertumbuhan Ekonomi (skripsi dan tesis)

Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaianpenyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Simon Kuznetz dalam Todaro, 2004). Menurut Robinson Tarigan (2004) pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi di wilayah tersebut. Menurut pandangan kaum historis, diantaranya Friedrich List dan Rostow, pertumbuhan ekonomi merupakan tahapan proses tumbuhnya perekonomian mulai dari  perekonomian bersifat tradisional yang bergerak di sektor pertanian dimana produksi bersifat subsisten, hingga akhirnya menuju perekonomian modern yang didominasi oleh sektor industri manufaktur. Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Mudrajad Kuncoro, 2003). Sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan pelakunya adalah inovator atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur.

Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita dimana ada dua sisi yang perlu diperhatikan, yaitu sisi output totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya. Output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk (Sri Aditya, 2010). Menurut Nafziger (Sri Aditya, 2010), pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan produksi suatu negara atau kenaikan pendapatan per kapita suatu negara. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh 19 adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Kuznet (2001), pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Menurut penelitian Hermanto S. Dan Dwi W. (2007) menyatakan bahwa ketika perekonomian berkembang di suatu wilayah (negara atau kawasan tertentu yang lebih kecil) yang terdapat lebih banyak pendapatan untuk dibelanjakan dan memiliki distribusi pendapatan dengan baik di antara wilayah tersebut, maka akan dapat mengurangi kemiskinan Menurut Todaro (2003), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu :

1. Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia bermuara pada peningkatan kualitas modal manusia, yang pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap angka produksi.

2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

3. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi caracara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaanpekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni :

a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.

b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau output modal yang sama

c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif.

Menurut Kuncoro (2010) PDRB merupakan indicator pertumbuhan ekonomi yaitu suatu proses kenaikan output nasional suatu periode tertentu terhadap terhadap periode sebelumnya. Dalam perkembangannya terdapat banyak teori mengenai pertumbuhan ekonomi, antara lain: teori pertumbuhan klasik, teori pertumbuhan neoklasik, teori pertumbuhan endogen, dan teori pertumbuhan kuznet.

1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Aliran klasik muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad 19-an di masa revolusi industri, dimana suasana waktu itu merupakan awal bagi adanya pembangunan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi klasik dikembangkan oleh penganut aliran klasik yaitu Adam Smith dan David Rikardo yang lebih menekankan terhadap peran tenaga kerja yang akan menciptakan pendapatan nasional dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi a) Adam Smith Orang yang pertama kali membahas pertumbuhan ekonomi secara sistematis adalah Adam Smith dalam bukunya An Inquiri Into Natural And Causes Of The Wealth Of National (1776) ia mengemukakan tentang proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang secara sistematis. Menurut Smith terdapat 2 aspek utama pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk umur pokok dari sistem produksi suatu negara. Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara menurut Smith ada tiga yaitu:

1. Sumber daya alam yang tersedia

2. Sumber daya insani

3. Stok barang modal yang ada

b) David Ricardo Teori Ricardo dikemukakan pertama kalai dalam bukunya berjudul The Principle Of Political Economi And Taxation yang diterbitkan pada tahun 1917. Teori ini juga menjelaskan tentang hukum tambah hasil yang semakin berkurang, artinya ketika output bertambah dengan hasil yang semakin berkurang jika input variabel bertambah sedang input lain tetap. Perangkat teori yang dikembangkan Ricardo menyangkut 4 kelompok permasalahan yaitu: 1. Teori tentang nilai dan harga barang 2. Teori tentang distribusi pendapatan sebagai pembagian hasil dari seluruh produksi dan disajikan dalam bentuk upah, teori sewa tanah, teori bunga dan laba 3. Teori tentang pandangan internasional 4. Teori tentang akumulasi dan pertumbuhan ekonomi Ciri-ciri prekonomian menurut Ricardo yaitu:

1. Jumlah tanah tebatas

2. Tenaga kerja (penduduk) meningkat atau menurun tergantung pada apakan tingkat upah berada di atas atau di bawah tingkat upah minimal (tingkat upah alamiah)

3. Akumulasi modal terjadi bila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik modal berada di atas tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik mereka melakukan investasi.

4. Kemajuan teknologi terjadi sepanjang waktu 5. Sektor pertanian dominan

Teori Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Thomas Robert Malthus (1766-1834), menunjukkan bahwa suatu saat pertumbuhan jumlah penduduk akan melebihi persediaan bahan makanan. Ketika keadaan ini terjadi akan mengakibatkan jumlah bahan makanan menjadi terbatas. Penduduk berpendapatan rendah yang tidak mendapatkan bahan makanan akan menjadi miskin. SEMERU adalah sebuah lembaga independent yang melakukan penelitian dan kajian kebijakan publik. Dalam melakukan kajian di bidang kemiskinan dan ketimpangan. SEMERU (2001) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan ketika seseorang kehilangan harga diri, terbentur pada ketergantungan, terpaksa menerima perlakuan kasar dan hinaan, serta tak dipedulikan ketika mencari pertolongan. SEMERU membagi kemiskinan dalam 9 dimensi, yaitu:

1. Ketidakmampuan menuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan,sandang dan papan),

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi)

3. Tidak adanya jaminan masa depan ( karena tidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga) 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual meupun masal

5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam

6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan

8. Ketidakmampuuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun menal, dan

9. Ketidakmampuan dan ketiakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)

Emil Salim (1982, dalam Togar Saragih,2006:5-6) mengemukakan ciri-ciri orang miskin adalah

a) Umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah modal dan keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki kecil sehingga kesempatan untuk memperoleh pendapatan terbatas.

b) Tidak mempunyai kemungkinan utuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup memperleh tanah garapan ataupun modal usaha, disamping itu tidak terpenuhinya syarat untuk mendapatkan kredit perbankan, menyebabkan mereka berpaling ke renternir.

c) Tidak memiliki tanah, jika adapun relative kecil. Mereka umumnya jadi buruh tani, atau pekerja kasar di luar pertanian. Pekerjaan pertanian bersifat musiman menyebabkan kesinambungan kerja kurang terjalin. Mereka umumnya sebagai pekerja bebas, akibatnya dalam situasi penawaran tenaga kerja yang besar tingkat upah menjadi rendah dan mendukung atau mempertahankan mereka untuk selalu hidup dalam kemiskinan.

Salah satu teori kemiskinan, yaitu teori Lingkaran Setan Kemiskinan (Vicious Circle of Poverty) yang dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (1953) mengatakan bahwa, suatu negara miskin karena negara itu pada dasarnya memang miskin. Teori ini merupakan konsep yang mengandaikan suatu hubungan melingkar dari sumbersumber daya yang cenderung saling mempengaruhi satu sama lain secara sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara miskin terus menerus dalam suasana kemiskinan. Dengan kata lain, lingkaran setan merupakan analogi yang mengumpamakan bahwa kemiskinan itu ibarat sebuah lingkaran yang tidak memiliki pangkal ujung, sehingga akan terus berputar pada lingkaran yang sama.

Menurut Nurkse Dalam mengemukakan teorinya tentang lingkaran setan kemiskinan, pada hakikatnya Nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan masa lalu tetapi juga disebabkan oleh hambatan pembangunan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal ini Nurkse 16 mengatakan : “Suatu negara menjadi miskin karena ia merupakan negara miskin” (A country is poor because it is poor). Menurut pendapatnya, inti dari lingkaran setan kemiskinan adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terhadap terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Di satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan, dan di lain pihak oleh perangsang untuk menanam modal. Di negara berkembang kedua faktor itu tidak memungkinkan dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Jadi menurut pandangan Nurkse, terdapat dua jenis lingkaran setan kemiskinan yang menghalangi negara berkembang mencapai tingkat pembangunan yang pesat, yaitu dari segi penawaran modal dan dari segi permintaan modal. Dari segi penawaran modal lingkaran setan kemiskinan dapat dinyatakan secara berikut. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan tingkat pembentukan modal yang rendah. Keadaan yang terakhir ini selanjutnya akan dapat menyebabkan suatu negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktivitas akan tetap rendah. Dari segi permintaan modal, corak lingkaran setan kemiskinan mempunyai bentuk yang berbeda. Di negara-negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagi jenis barang terbatas, dan hal yang belakangan disebutkan ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah. Sedangkan pendapatan yang rendah disebabkan oleh produktivitas yang rendah yang diwujudkan oleh pembentukan modal yang terbatas  pada masa lalu. Pembentukan modal yang terbatas ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal. Di sisi lain Nurkse menyatakan bahwa peningkatan pembentukan modal bukan saja dibatasi oleh lingkaran perangkap kemiskinan seperti yang dijelaskan di atas, tetapi juga oleh adanya international demonstration effect. Menurut Todaro (2000), bahwa pandangan ekonomi baru menganggap tujuan utama pembangunan ekonomi bukan hanya pertumbuhan PDB semata, tapi juga pengentasan kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.

Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Pengertian kemiskinan menurut kamus umum bahasa Indonesia, secara harfiah kata miskin diberi arti tidak berharta benda. Sayogyanya membedakan tiga tipe orang miskin, yakni miskin (poor), sangat miskin (very poor) dan termiskin (poorest). Inpres nomor XII Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Program Raskin, penggolongan ini berdasarkan pendapatan yang diperoleh setiap tahun. Orang miskin adalah orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk beras yakni 320 kg/orang/tahun. Jumlah tersebut dianggap cukup memenuhi kebutuhan makan minimum (1.900 kalori/orang/hari dan 40 gr protein/orang/hari). Orang yang sangat miskin berpenghasilan antara 240 kg sampai 320 kg beras/orang/tahun, dan orang yang digolongkan sebagai termiskin berpenghasilan berkisar antara 180 kg, 240 kg beras/orang/tahun. Pengertian kemiskinan menurut Amarta Sen dalam Bloom dan Canning (2001) dalam Revi (2010) adalah seorang dikatakan miskin bila mengalami “capability deprivation” dimana seorang tersebut mengalami kekurangan kebebasan yang substantive.

Menurut Bloom dalam clanning kebebasan substantif ini memiliki dua sisi yaitu kesempatan dan rasa aman. Kesempatan membutuhkan pendidikan dan keamanan membutuhkan kesehatan. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi non makanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Teknik Penghitungan Garis Kemiskinan Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi, yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara, yaitu garis kemiskinan periode lalu yang di inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumdi penduduk referensi dan kemudian disetarakan dengan nilai energi 2.100 kilokalori perkapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2.100 kilokalori dengan cara mengalikan 2.100 terhadap harga implisit rata-rata kalori. Garis Kemiskinan NonMakanan merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Nilai kebutuhan minimum per komoditi/sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi /sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil survei paket komoditi kebutuhan dasar 2004 (SPKKD 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumahtangga per komoditi non-makanan yang lebih rinci dibandingkan data Susenas modul konsumsi. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengukur kemiskinan berdasarkan dua kriteria yaitu:

a) Kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) yaitu keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per orang per tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80%, dan berobat ke Puskesmas bila sakit.

b) Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, minimal satu kali per minggu makan daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 meter per segi per anggota keluarga, tidak ada anggota keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan

Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan antara lain : pertumbuhan ekonomi (Siregar dan Wahyuniarti,2008), pendidikan (Siregar \ dan Wahyuniarti,2008), pengangguran (Prasetyo,2010), kependudukan (Wongdesmiwati,2009), dan kesehatan (Myrdal,2000).

1 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari Negara yang bersangkutan untuk menyediakan barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional (Kelembagaan), dan ideologi terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada menurut Michael Todaro (2004). Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, maupaun ekonom Neoklasik, Robert Solow dan Trover Swan, menyatakan pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu :

a. Jumlah penduduk

b. Jumlah stok barang modal

c. Luas tanah dan kekayaan alam

d. Tingkat teknologi yang digunakan

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada sebelumnya. Sedangkan menurut Schumpater, faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi adalah proses inovasi dan pelakunya adalah inovator atau wiraswata. Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Menurut Todaro (2004), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu

a. Akumulasi modal

Termasuk semua investasi baru yang berwujud, misalkan tanah, bangunan, peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (Human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa yang akan datang.

b. Pertumbuhan penduduk angkatan kerja

Pertumbuhan penduduk yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja secara tradisonal telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

c. Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisonal. Ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi, yaitu :

1. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi dari kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.

2. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labour saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi yang bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau modal yang sama.

3. Kemajuan teknologi dalam meningkatkan modal, terjadi jika penggunaaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara produktif.

2 Pendidikan

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pendidikan dibagi tiga, yaitu : 1. Pendidikan Formal Adalah jalur pendidikan yang struktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah, dan tinggi jenjang pedidikan formal : a. Pendidikan Dasar (SD) dan madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS). b. Pendidikan Menegah, merupakan lanjutan dari pendidikan dasar. Pendidikan menengah tediri atas, Sekolah Menengah Atas (SMA), 17 Sekolah Menengah Kejurusan (SMK), Madrasah Aliyah (MA), serta bentuk lain yang sederajat. c. Pendidikan Tinggi, merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, dll. 2. Pendidikan Non Formal Adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan dengan terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal. 3. Pendidikan Informal Adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal maupun informal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

3 Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang paling utama (Todaro, 2005).

1. Jenis- jenis pengangguran : 18 Pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau tidak bekerja secara optimal. Berdasarkan pengertian diatas, maka pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

a. Pengangguran Terselubung (Disguissed Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.

b. Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.

c. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.

2. Macam-macam pengangguran

Berdasarkan penyebab terjadinya dikelompokan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Pengangguran konjungtural (Cycle Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi. b. Pengangguran struktural (Struktural Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan ole

h perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran struktuiral bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, seperti : akibat  permintaan berkurang, akibat kemajuan dan teknologi, dan akibat kebijakan pemerintah.

c. Pengangguran friksional (Frictional Unemployment) adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja. Pengangguran ini sering disebut pengangguran sukarela. d. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang muncul akibat pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.

a. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin

b. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan perekonomian (karena terjadi resesi). Pengangguran siklus disebabkan oleh kurangnya permintaan masyarakat (aggrerat demand). Indikator pengangguran terbuka yang digunakan oleh BPS adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT).

Menurut Tambunan (2001), pengangguran dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan dengan berbagai macam cara, antara lain :

1. Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pandapatan saat ini, maka bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income proverty rate dengan consumption poverty rate.

2. Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran yang ada.

.4 Kependudukan Penduduk mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan suatu wilayah. Karena itu perhatian terhadap penduduk tidak hanya dari sisi jumlah, tetapi juga kualitas. Penduduk yang berkualitas merupakan modal bagi pembangunan dan diharapkan dapat mengatasi berbagai akibat dari dinamika penduduk (BPS,2011). Pertumbuhan penduduk yang cepat akan berpengaruh terhadap tingkat kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Kepadatan penduduk dapat didefinisikan sebagai jumlah orang persatuan luas lahan (per km2 , per mil) di suatu daerah. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat diakibatkan karena tingginya angka kelahiran di suatu wilayah tersebut. Salah satu implikasinya akan tingginya angka kelahiran adalah banyaknya jumlah anak-anak di wilayah tersebut. Dengan demikian, jumlah angkatan kerja secara otomatis menanggung beban yang lebih banyak untuk menghidupi anak-anak dibawah usia 14 tahun. Penduduk yang berusia lanjut maupun yang masih anak-anak secara ekonomis disebut beban ketergantungan artinya, mereka merupakan anggota masyarakat yang tidak produktif, sehingga menjadi beban angkatan kerja yang produktif (Todaro,2006).Laju pertumbuhan maupun penurunan penduduk tidak cukup menggambarkan kondisi kemiskinan tersebut disuatu daerah. Dalam hubungannya dengan tingkat kemiskinan, selain jumlah penduduk harus memperthatikan pada variable lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat di daerah itu, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, tingkat penyerapan tenaga kerja, serta laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga jumlah penduduk yang diimbangi dengan perbaikan dalam pembangunan manusia seharusnya mampu mengurangi tingkat kemiskinan di daerah tersebut (BPS,2010)

5 Kesehatan Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mendukung pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Langkah-langkah yang telah ditempuh adalah peningkatan akses kesehatan terutama bagi penduduk miskin melalui pelayanan kesehatan gratis; peningkatan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular termasuk polio dan flu burung; peningkatan kualitas, keterjangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan dasar; peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; penjaminan mutu, keamanan dan khasiat obat dan makanan; penanganan kesehatan di daerah bencana; serta peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Kemampuan untuk bertahan hidup lama diukur dengan indikator harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth/e0). Angka e0 untuk tingkat provinsi yang disajikan merupakan hasil penghitungan secara tidak langsung dengan menggunakan paket program Mortpack berdasarkan data rata-rata jumlah anak lahir dengan rata-rata jumlah anak masih hidup yang menurut umur ibu 15-49 tahun, yang bersumber dari data hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas ) dengan memperlihatkan tren hasil sensus penduduk (SP). Selain angka kematian bayi, Angka Harapan Hidup (AHH) juga digunakan sebagai indikator untuk menilai derajat kesehatan penduduk. Semakin tinggi nilai angka harapan hidup di suatu wilayah, maka mengindikasikan pembangunan sosial ekonomi terutama yang terkait dengan fasilitas kesehatan wilayah tersebut semakin maju. Semakin maju pembangunan daerah di bidang kesehtan menunjukan tingkat kesehatan yang ada dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk masyarakat miskin. Berdasarkan teori mengenai lingkaran kemiskinan yang dikemukakan Myrdal bahwa semakin tinggi tingkat kesehatan masyarakat yang ditunjukan dengan meningkatnya nilai AHH maka produktivitas akan semakin meningkat . peningkatan produktivitas dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan menurunkan tingkat kemiskinan. Artinya semakin tinggi angka harapan hidup maka tingkat kemiskinan akan menurun.

Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2000) sebagai berikut :

1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitas nya rendah.

2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berate produktivitasnya juga akan rendah, upahnya nya pun rendah.

3. kemiskinan muncul karena adanya akses modal. Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty ) .

Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya  produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, redahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya.

Logika berpikir yang dikemukakan Nurkse yang dikutip Kuncoro (2000) yang mengemukakan bahwa Negara miskin itu karena dia miskin (a poor country is poor because it is poor). Dalam mengemukakan teorinya tentang lingkaran setan kemiskinan, pada hakikatnya Nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan masa lalu tetapi juga disebabkan oleh hambatan pembangunan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal ini Nurkse mengatakan : “Suatu Negara menjadi miskin karena ia merupakan Negara miskin” (A country is poor because is poor). Menurut pendapatnya inti dari lingkaran setan kemiskinan adalah keadaankeadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terhadap teciptanya pembentukan modal yang tinggi. Di satu pihak pembentukan modal ditentukan  oleh tingkat tabungan dan di lain pihak oleh perangsang untuk menanam modal. Di Negara berkembang kedua faktor itu tidak memungkinkan dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Jadi, menurut pandangan Nurkse, terdapat dua jenis lingkaran setan kemiskinan yang menghalangi Negara berkembang mencapai pembangunan yang pesat yaitu. Dari segi penawaran modal dan permintaan modal. Dari segi penawaran modal ingkaran setan kemiskinan dapat dinyatakan sebagai berikut. Tingkat pendapatan masyarakat redah yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan suatu Negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktivitasnya akan tetap rendah yang akan mempengaruhi kemiskinan. Dari segi permintaan modal, corak lingkaran setan kemiskinan mempunyai bentuk yang berbeda di setiap negara. Di Negara-negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas, dan hal ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat rendah. Sedangkan pendapatan masyarakat yang rendah disebabkan oleh produktivitasnya rendah ditunjukan oleh pembentukan modal yang terbatas pada masa lalu dan mengakibatkan pada masa yang akan datang. Pembentukan modal yang terbatas ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal, sehingga kemiskinan tidak berujung pada pangkalnya.

Ukuran-Ukuran Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS,2004), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antar wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis ukuran penduduk, ukuran ini sering disebut juga dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki garis kemiskinan dibawah maka dinyatakan dalam kondisi miskin.

Menurut Sayogyo dalam Suryawati (2005), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Daerah pedesaan :

a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 320 Kg nilai tukar beras per orang per tahun.

b. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 240 Kg nilai tukar beras per orang per tahun.

c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 180 Kg nilai tukar beras per orang per tahun. Daerah perkotaan :

a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 480 Kg nilai tukar beras per orang per tahun. b. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 380 Kg nilai tukar beras per orang per tahun.

c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 270 Kg nilai tukar beras per orang per tahun.

Bank Dunia (2000) mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang, jika pendapatan kurang dari US$ 1 per hari, maka dikatakan miskin. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasioanl (BKKBN,2010), mengukur kemiskinan berdasarkan dua kriteria, yaitu :

a. Kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), yaitu keluarga tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan agama dengan baik, minimum makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per orang per tahun, lantai rumah bersemen minimal 80%, dan berobat ke puskesmas bila sakit.

b. Kriteria Keluarga Sejahtera 1(KS 1), yaitu keluarga yang tidak berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, minimal satu kali per minggu makan daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun, rata-rata luas lantai rumah 8 meter persegi per anggota keluarga, tidak ada keluarga umur 10 tahun samapai 60 tahun yang buta huruf, semua anak yang berusia 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga memiliki pengahasilan yang tetap atau rutin, dan tidak ada yang sakit dalam tiga bulan

Definisi Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Kemiskinan dapat dicirikan keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga Negara (Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN). Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Menurut Chambers (1998) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu:

1) kemiskinan (proper),

2) ketidakberdayaan (powerless),

3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency),

4) ketergantungan (dependence), dan

5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Kemiskinan dapat dibagi dengan empat bentuk (Suryawati,2005), yaitu:

(1) kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja;

(2) kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan;

(3) kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar;

(4) kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

Indeks Pembangunan Manusia (skripsi dan tesis)

Indikator pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia, baik dari sisi dampaknya terhadap kondisi fisik manusia (kesehatan dan kesejahteraan) maupun yang bersifat non-fisik (intelektualitas). Pembangunan yang berdampak pada kondisi fisik masyarakat tercermin dalam angka harapan hidup serta kemampuan daya beli, sedangkan dampak non-fisik dilihat dari kualitas pendidikan masyarakat (Sukmaraga, 2011).  Indeks pembangunan manusia merupakan indikator strategis yang banyak digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan secara menyeluruh di suatu wilayah. Dalam hal ini IPM dianggap sebagai gambaran dari hasil program pembangunan yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Demikian juga kemajuan program pembangunan dalam suatu periode dapat diukur dan ditunjukkan oleh besaran IPM pada awal dan akhir periode tersebut. IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelektualitas dan standar hidup layak. Pada pelaksanaan perencanaan pembangunan, IPM juga berfungsi dalam memberikan tuntunan dalam menentukan prioritas perumusan kebijakan dan penentuan program pembangunan. Hal ini juga merupakan tuntunan dalam mengalokasikan anggaran yang sesuai dengan kebijakan umum yang telah ditentukan oleh pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari 3 (tiga) indeks yang menggambarkan kemampuan dasar manusia dalam memperluas pilihan-pilihan, yaitu:

1. Indeks Harapan Hidup

2. Indeks Pendidikan

3. Indeks Standar Hidup Layak

Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan antara lain : pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003), pendidikan (Siregar dan Wahyuniarti, 2008), pengangguran (Todaro, 2003), kependudukan (Todaro, 2003), dan kesehatan (Myrdal, 2000). a. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologi terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada menurut Todaro (2003). Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, maupaun ekonom  Neoklasik, Robert Solow dan Trover Swan, (dalam Todaro, 2003) menyatakan pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu:

1. Jumlah penduduk

2. Jumlah stok barang modal

3. Luas tanah dan kekayaan alam

4. Tingkat teknologi yang digunakan

Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada sebelumnya. Sedangkan menurut Schumpater, faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi adalah proses inovasi dan pelakunya adalah inovator atau wiraswata. Menurut Boediono (1985) dalam Budhi (2013), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Menurut Todaro (2003), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu:

a. Akumulasi Modal Termasuk semua investasi baru yang berwujud, misalkan tanah, bangunan, peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa yang akan datang.

b. Pertumbuhan Penduduk Angkatan Kerja Pertumbuhan penduduk yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

c. Kemajuan Teknologi Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi, yaitu: 1. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi dari kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama

. 2. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labour saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi yang bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau modal yang sama.

3. Kemajuan teknologi dalam meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara produktif.

b. Pendidikan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik  secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Siregar dan Wahyuniarti, 2008).

Pendidikan dibagi tiga , yaitu: 1. Pendidikan Formal Adalah jalur pendidikan yang struktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah, dan tinggi jenjang pendidikan formal:

a. Pendidikan Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS).

b. Pendidikan Menegah, merupakan lanjutan dari pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas, Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah (MA), serta bentuk lain yang sederajat.

c. Pendidikan Tinggi, merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, dll.

2. Pendidikan Non Formal Adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan dengan terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan 26 bagi masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal.

3. Pendidikan Informal Adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal maupun informal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

c. Pengangguran Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang paling utama (Todaro, 2003).

1. Jenis- jenis pengangguran: Pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau tidak bekerja secara optimal. Berdasarkan pengertian diatas, maka pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

a. Pengangguran Terselubung (Disguissed Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.

b. Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. c. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.

2. Macam-macam pengangguran Berdasarkan penyebab terjadinya dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Pengangguran konjungtural (Cycle Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi.

b. Pengangguran struktural (Struktural Unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran struktural bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, seperti: akibat permintaan berkurang, akibat kemajuan dan teknologi, dan akibat kebijakan pemerintah.

c. Pengangguran friksional (Frictional Unemployment) adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja. Pengangguran ini sering disebut pengangguran sukarela.

d. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang muncul akibat pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.

1. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesinmesin.

2. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan perekonomian (karena terjadi resesi).

Pengangguran siklus disebabkan oleh kurangnya permintaan masyarakat (agrerat demand). Indikator pengangguran terbuka yang digunakan oleh BPS adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Menurut Tambunan (2001), pengangguran dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan dengan berbagai macam cara, antara lain:

1. Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income proverty rate dengan consumption poverty rate.

2. Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran yang ada.

d. Kependudukan

Penduduk mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan suatu wilayah. Karena itu perhatian terhadap penduduk tidak hanya dari sisi jumlah, tetapi juga kualitas. Penduduk yang berkualitas merupakan modal bagi pembangunan dan diharapkan dapat mengatasi berbagai akibat dari dinamika penduduk (BPS, 2011). Pertumbuhan penduduk yang cepat akan berpengaruh terhadap tingkat kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Kepadatan penduduk dapat didefinisikan sebagai jumlah orang persatuan luas lahan (per km2 , per mil) di suatu daerah. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat diakibatkan karena tingginya angka kelahiran di suatu wilayah tersebut. Salah satu implikasinya akan tingginya angka kelahiran adalah banyaknya jumlah anakanak di wilayah tersebut. Dengan demikian, jumlah angkatan kerja secara otomatis menanggung beban yang lebih banyak untuk menghidupi anak-anak di bawah usia 14 tahun. Penduduk yang berusia lanjut maupun yang masih anak-anak secara ekonomis disebut beban ketergantungan artinya, mereka merupakan anggota masyarakat yang tidak produktif, sehingga menjadi beban angkatan kerja yang produktif (Todaro, 2003). Laju pertumbuhan maupun penurunan penduduk tidak cukup menggambarkan kondisi kemiskinan tersebut di suatu daerah. Dalam hubungannya dengan tingkat kemiskinan, selain jumlah penduduk harus memperhatikan pada variabel lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat di daerah itu, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, tingkat penyerapan tenaga kerja, serta 30 laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga jumlah penduduk yang diimbangi dengan perbaikan dalam pembangunan manusia seharusnya mampu mengurangi tingkat kemiskinan di daerah tersebut (BPS, 2010)

e. Kesehatan

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Myrdal, 2000). Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mendukung pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Langkah-langkah yang telah ditempuh adalah peningkatan akses kesehatan terutama bagi penduduk miskin melalui pelayanan kesehatan gratis; peningkatan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular termasuk polio dan flu burung; peningkatan kualitas, keterjangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan dasar; peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; penjaminan mutu, keamanan dan khasiat obat dan makanan; penanganan kesehatan di daerah bencana; serta peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat (Myrdal, 2000). Kemampuan untuk bertahan hidup lama diukur dengan indikator harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth/e0). Angka e0 untuk tingkat provinsi yang disajikan merupakan hasil penghitungan secara tidak langsung dengan menggunakan paket program Mortpack berdasarkan data rata-rata jumlah anak lahir dengan rata-rata jumlah anak masih hidup yang menurut umur ibu 15-49 31 tahun, yang bersumber dari data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dengan memperlihatkan tren hasil sensus penduduk. Selain angka kematian bayi, Angka Harapan Hidup (AHH) juga digunakan sebagai indikator untuk menilai derajat kesehatan penduduk. Semakin tinggi nilai angka harapan hidup di suatu wilayah, maka mengindikasikan pembangunan sosial ekonomi terutama yang terkait dengan fasilitas kesehatan wilayah tersebut semakin maju. Semakin maju pembangunan daerah di bidang kesehatan menunjukkan tingkat kesehatan yang ada dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk masyarakat miskin. Berdasarkan teori mengenai lingkaran kemiskinan yang dikemukakan Myrdal bahwa semakin tinggi tingkat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai AHH maka produktivitas akan semakin meningkat. Peningkatan produktivitas dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan menurunkan tingkat kemiskinan. Artinya semakin tinggi angka harapan hidup maka tingkat kemiskinan akan menurun.

Ukuran Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Pada umumnya terdapat dua indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan di suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Mengukur kemiskinan dengan mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif (Tambunan, 2001).

a. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut merupakan ketidakmampuan seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya untuk mencukupi kebutuhan dasar minimum yang diperlukan untuk hidup setiap hari. Kebutuhan minimum tersebut diterjemahkan dalam ukuran finansial (uang). Nilai minimum tersebut  digunakan sebagai batas garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. World bank menggunakan ukuran kemiskinan absolut ini untuk menentukan jumlah penduduk miskin. Menurut world bank, penduduk miskin adalah mereka yang hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar PPP (Purchasing Power Parity). Akan tetapi, tidak semua negara mengikuti standar minimum yang digunakan world bank tersebut, karena bagi negara-negara berkembang level tersebut masihlah tinggi, oleh karena itu banyak negara menentukan garis kemiskinan nasional sendiri dimana kriteria yang digunakan disesuaikan dengan kondisi perekonomian masing-masing negara. ‘Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menentukan kemiskinan absolut Indonesia merupakan ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum energi kalori (2.100 kilo kalori per kapita per hari) yang dipergunakan tubuh dan kebutuhan dasar minimum untuk sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan kebutuhan dasar lain.

b. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses penentuannya sangat subyektif. Mereka yang berada dibawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secara relatif. Kemiskinan relatif ini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. =Badan pemerintah yang menggunakan ukuran kemiskinan relatif misalnya BKKBN. BKKBN mendefinisikan miskin atau kurang sejahtera dalam pengertian Pembangunan Keluarga Sejahtera yang terdiri atas keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera. Keluarga pra-sejahtera adalah keluargakeluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana. Sedangkan keluarga sejahtera adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis, serta kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.

Teori Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Sharp, et al (1996) dalam Mudrajat Kuncoro (2004) mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pada kepemilikan sumberdaya yang menyebabkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Teori ini ditemukan oleh Ragnar Nurkse (1953) dalam Kuncoro, 2004, yang mengatakan: ”a poor country is poor because it is poor” (Negara miskin itu miskin karena dia miskin). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Oleh karena itu, setiap usaha untuk mengurangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini (Mudrajad Kuncoro, 2004). Be

Menurut pendapatnya inti dari lingkaran setan kemiskinan adalah keadaankeadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terhadap terciptanya pembentukan modal yang tinggi. Di satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan dan di lain pihak oleh perangsang untuk menanam modal. Di Negara berkembang kedua faktor itu tidak memungkinkan dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Jadi, menurut pandangan Nurkse, terdapat dua jenis lingkaran setan kemiskinan yang menghalangi negara berkembang mencapai pembangunan yang pesat yaitu dari segi penawaran modal dan permintaan modal. Dari segi penawaran modal lingkaran setan kemiskinan dapat dinyatakan sebagai berikut. Tingkat pendapatan masyarakat rendah yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan suatu negara menghadapi Perkembangan teknologi Permintaan rendah Produktivitas rendah Kesehatan menurun Pendapatan rill rendah Banyak sumber alam yang tidak dieksploitasi Tabungan rendah Buta huruf tinggi Investasi rendah 19 kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktivitasnya akan tetap rendah yang akan mempengaruhi kemiskinan. Dari segi permintaan modal, corak lingkaran setan kemiskinan mempunyai bentuk yang berbeda di setiap negara. Di negara-negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas, dan hal ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat rendah. Sedangkan pendapatan masyarakat yang rendah disebabkan oleh produktivitasnya rendah ditunjukkan oleh pembentukan modal yang terbatas pada masa lalu dan mengakibatkan pada masa yang akan datang. Pembentukan modal yang terbatas ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal, sehingga kemiskinan tidak berujung pada pangkalnya.

Menurut Budhi (2013) yang mengutip pendapat Chambers bahwa ada lima “ketidakberuntungan” yang melingkari orang atau keluarga miskin yaitu sebagai berikut:

a. Kemiskinan (poverty) memiliki tanda-tanda sebagai berikut: rumah mereka reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang serta pendapatan yang tidak menentu;

b. Masalah kerentanan (vulnerability), kerentanan ini dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin menghadapi situasi darurat. Perbaikan ekonomi yang dicapai dengan susah payah sewaktu-waktu dapat lenyap ketika penyakit menghampiri keluarga mereka yang membutuhkan biaya pengobatan dalam jumlah yang besar;

c. Masalah ketidakberdayaan. Bentuk ketidakberdayaan kelompok miskin tercermin dalam ketidakmampuan mereka dalam menghadapi elit dan para birokrasi dalam menentukan keputusan yang menyangkut nasibnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya;

d. Lemahnya ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kualitas maupun kuantitas sehingga konsumsi gizi mereka sangat rendah yang berakibat pada rendahnya produktivitas mereka;

e. Masalah keterisolasian. Keterisolasian fisik tercermin dari kantong-kantong kemiskinan yang sulit dijangkau sedang keterisolasian sosial tercermin dari ketertutupan dalam integrasi masyarakat miskin dengan masyarakat yang lebih luas.

Penyebab Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Ditinjau dari sumber penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi menjadi kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Kemiskinan kultural biasanya dicirikan oleh sikap individu atau kelompok masyarakat yang merasa tidak miskin meskipun jika diukur berdasarkan garis kemiskinan termasuk kelompok miskin. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur masyarakat yang timpang, baik karena perbedaan kepemilikan, kemampuan, pendapatan dan kesempatan kerja  yang tidak seimbang maupun karena distribusi pembangunan dan hasilnya yang tidak merata. Kemiskinan struktural biasanya dicirikan oleh struktur masyarakat yang timpang terutama dilihat dari ukuran-ukuran ekonomi. Kemiskinan memang merupakan masalah multidimensi yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Kondisi kemiskinan setidaknya disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: Pertama, rendahnya taraf pendidikan dan kesehatan berdampak pada keterbatasan dalam pengembangan diri dan mobilitas. Hal ini berpengaruh terhadap daya kompetisi dalam merebut atau memasuki dunia kerja. Kedua, rendahnya derajat kesehatan dan gizi berdampak pada rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan selanjutnya akan mengurangi inisiatif. Ketiga, terbatasnya lapangan pekerjaan semakin memperburuk kemiskinan. Dengan bekerja setidaknya membuka kesempatan untuk mengubah nasibnya. Keempat, kondisi terisolasi (terpencil) mengakibatkan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain tidak dapat menjangkaunya. Kelima, ketidakstabilan politik berdampak pada ketidakberhasilan kebijakan pro-poor. Berbagai kebijakan dan programprogram penanggulangan kemiskinan akan mengalami kesulitan dalam implementasi jika tidak didukung oleh kondisi politik yang stabil.

. Kemiskinan (skripsi dan tesis)

Kemiskinan dapat diartikan sebagai keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum. Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan kualitas hidup. Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Menurut Chambers (1998) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu:

1. Kemiskinan (proper),

2. Ketidakberdayaan (powerless),

3. Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency),

4. Ketergantungan (dependence), dan

5. Keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

Kemiskinan bukan hanya kekurangan uang ataupun tingkat pendapatan yang rendah, tetapi juga banyak hal lain seperti: keterbatasan sumber daya, tingkat kesehatan rendah, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Kemiskinan dapat dibagi dengan empat bentuk (Suryawati, 2005), yaitu:

1. Kemiskinan Absolut: Bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja;

2. Kemiskinan Relatif: Kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan;

3. Kemiskinan Kultural: Mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar;

4. Kemiskinan Struktural: Situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi sering kali menyebabkan suburnya kemiskinan.

Subsistem Ketahanan Pangan Keluarga (skripsi dan tesis)

Menurut Novitri (2005) yang mengutip pendapat Thaha (2000) menjelaskan bahwa terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil interaksi dari berbagai subsistem ketahanan pangan, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi (Novitri, 2005).

1. Subsistem Ketersediaan Pangan Subsistem ini mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus selalu dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya serta stabil dari waktu ke waktu.

2. Subsistem Distribusi Subsistem ini mencakup upaya memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan. Hal ini ditujukan dalam rangka meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu ataupun masyarakatnya.

3. Subsistem Konsumsi Subsistem ini menyangkut tingkat pendidikan masyarakat agar memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkatan kebutuhannya. Konsumsi pangan Universitas Sumatera Utara tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tubuh yang baik, cerdas dan produktif. Tidak tercapainya ketiga subsistem tersebut maka ketahanan pangan tidak mungkin terwujud, sehingga menimbulkan kerawanan pangan. Rawan pangan merupakan suatu keadaan dimana suatu wilayah baik fisik maupun ekonomi tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan untuk seluruh warganya (Novitri, 2005).

Pengertian Ketahanan Pangan Keluarga (skripsi dan tesis)

Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, defenisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang menggalakkan konsep secure, adequate, and suitable supply food for everyone. Perkembangan lingkungan strategis global dan domestik, dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan dan paradigma pembangunan ke arah yang lebih terdesentralisasi, demokratis dan lebih terbuka pada ekonomi pasar yang lebih kompetitif, maka arah dan pendekatan pembangunan ketahanan pangan perlu disesuaikan dan dikoreksi ke arah paradigma baru yang lebih tepat (Adriani M & Bambang W, 2012). Paradigma baru dalam pembangunan dan pemantapan ketahanan pangan antara lain:

(1) pendekatan pengembangan dari ketahanan pangan pada tataran agregat (makro) menjadi ketahanan pangan berbasis rumah tangga;

(2) pendekatan manajemen pembangunan, dari pola sentralistik menjadi pola desentralistik;

(3) pelaku utama pembangunan, dari peran pemerintah menjadi dominasi peran masyarakat;

(4) fokus pengembangan komoditas, dari beras menjadi komoditas pangan dalam arti luas;

(5) keterjangkauan rumah tangga atas pangan, dari penyediaan pangan murah menjadi peningkatan daya beli; dan

(6) perubahan perilaku keluarga terhadap pangan, dari sadar kecukupan pangan menjadi sadar kecukupan gizi (Afandi, 2011).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Hal itu diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2006 Tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan. Secara rinci pengertian ketahanan pangan dapat dipahami sebagai berikut (Novitri, 2005) :

a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup mencakup aspek volume dan keragamannya untuk memenuhi kebutuhan zat mikro, yang dibutuhkan oleh manusia untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif.

b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kima, serta benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama.

c. Terpenuhinya pangan yang terjangkau, diartikan pangan secara fisik mudah diperoleh oleh setiap waktu oleh rumah tangga dengan harga terjangkau. Pada dasarnya konsep ketahanan pangan terkait dengan beberapa hal seperti : ketersediaan pangan, stabilitas harga, dan keterjangkauan pangan/akses terhadap pangan.

Konsep ketahanan pangan paling tidak harus memenuhi lima unsur pokok,  yaitu berorientasi pada kebutuhan rumah tangga dan individu, setiap bahan pangan tersedia dan mudah diakses, mengutamakan aksesibilitas baik bagi rumah tangga maupun individu secara fisik, maupun sosial-ekonomi, bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan gizi secara aman yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, serta mampu hidup sehat dan produktif (Soemarno, 2010). Secara umum, konsep ketahanan pangan lazimnya memenuhi lima syarat utama, yaitu ketersedian pangan, akses pangan, penyerapan pangan, stabilitas pangan serta status gizi. Ketersediaan pangan merupakan syarat yang menunjukkan bahwa pangan tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup, aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan mapun bantuan pangan, dimana pangan tersebut juga harus mampu mencukupi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kebutuhan yang aktif dan sehat (Soemarno, 2010).

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga dan individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan pangannya sendiri. Penyerapan pangan merupakan syarat yang mengambarkan penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup yang sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air serta kesehatan lingkungan. Stabilitas pangan merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi menjadi kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan sementara (Soemarno, 2010). Ketahanan pangan bukan hanya merupakan suatu isu gizi dan kesehatan yang hanya mencakup tingkat nasional, maupun regional saja, tetapi juga tingkat rumah Universitas Sumatera Utara tangga. Ketahanan pangan keluarga sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan keluarga (household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan seharihari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat (Suhadi Purwantoro, 2009). Hal lain dinyatakan Hasan (1995) yang dikutip oleh Suhadi Purwantoro (2009) menyatakan bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat (Suhadi Purwantoro, 2009). Menurut Suhadi (2012) yang mengutip pendapat Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki risiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup (Suhadi Purwantoro, 2012).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi ketahanan pangan keluarga Universitas Sumatera Utara tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 4 faktor. Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 faktor yang memengaruhi ketahanan pangan yaitu: kecukupan ketersediaan pangan secara nasional, stabilitas ketersediaan pangan, aksesibilitas terhadap pangan serta kualitas/keamanan pangan (Adriani M & Bambang W, 2012). Hasil perhitungan angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin, serta komposisi penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010, diperoleh rata-rata angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein pada tingkat konsumsi masing-masing adalah sebesar 2150 kkal dan 57 gram per kapita per hari dengan proporsi anjuran protein hewani 25%. Sementara itu, angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein pada tingkat ketersediaan pangan mencapai 2400 kkal dan 63 gram per kapita per hari. (Hardinsyah dkk, 2010). Walaupun ketahanan pangan di tingkat nasional dan provinsi sudah dapat dikatakan tergolong aman dan terjamin, hal tersebut belum dapat menentukan ketahanan pangan di tingkat keluarga. Ketahanan pangan di tingkat keluarga adalah kemampuan sebuah keluarga untuk cukup tahan dalam hal pangan untuk menjamin kecukupan intake makanan bagi seluruh anggota keluarga. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi, meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi (Sukandar dkk, 2006). Konsep ketahanan pangan terdiri dari berbagai subsistem yang dapat menjadi acuan untuk mengukur derajat ketahanan pangan suatu keluarga.

Akses pangan (skripsi dan tesis)

Akses pangan merupakan subsistem kedua dalam ketahanan pangan. Subsistem ini merupakan subsistem antara yang menghubungkan subsistem ketersediaan dan subsistem penyerapan pangan. Tanpa adanya akses pangan tidak akan tercapai ketahanan pangan.  Pangan mungkin tersedia secara fisik di suatu daerah, akan tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu karena terbatasnya:

i) akses fisik: infrastruktur pasar, akses untuk mencapai pasar dan fungsi pasar; ii) akses ekonomi: kemampuan keuangan untuk membeli makanan yang cukup dan bergizi; dan/atau iii) akses sosial: modal sosial yang dapat digunakan untuk mendapatkan mekanisme dukungan informal seperti barter, meminjam atau adanya program dukungan (Badan Ketahanan Jawa Timur dan World Food Programme WFP 2015).

a. Akses Fisik

Kegiatan ekonomi yang tinggi perlu dukungan faktor atau input, salah satu input produksi yang memberikan peluang bagi peningkatan produktifitas yang sangat potensial adalah tenaga listrik, sarana dan prasarana perhubungan serta infrastruktur pedesaan. Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah akan membuka peluang yang lebih besar untuk meningkatkan volume pekerjaan yang telah dijalankan atau menambah peluang kerja baru yang lebih baik. Indikator ini merupakan indikasi tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2015). Tersedianya infrastruktur yang handal dan berkualitas memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui dampak positif terhadap produktivitas, membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan baik disektor pertanian maupun non pertanian. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dapat menjangkau petani yang lebih terpencil serta memberikan bantuan teknis dan informasi untuk meningkatkan produksi (Dewan Ketahanan Pangan 2009).

b. Akses Ekonomi

Akses ekonomi terhadap makanan bergizi adalah penentu utama kerawanan pangan dan gizi di Indonesia. Walaupun pangan mungkin tersedia di pasar terdekat, akan tetapi akses rumah tangga ke pangan tergantung pada pendapatan rumah tangga dan stabilitas harga pangan. Pangan yang bergizi cenderung lebih mahal harganya di pasar. Disisi lain, daya beli rumah tangga miskin terbatas, sehingga sering kali “hanya sekadar mengisi perut” dengan jalan membeli pangan pokok yang relatif murah tetapi kurang gizi mikro, protein dan lemak. Strategi ini tentu saja memberikan dampak negatif bagi anggota keluarga yang rentan seperti balita, anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, dan ibu hamil dan menyusui (Dewan Ketahanan Pangan 2009). 1) Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Indikator ini menunjukkan ketidakmampuan dalam mengakses pangan (sebagai kebutuhan dasar manusia) secara baik karena rendahnya daya beli. Kemiskinan sebenarnya secara teoritis merupakan indikator kunci yang berperan besar dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu wilayah. Dengan tingginya kemiskinan maka akses terhadap pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah dan itu akan menyebabkan rendahnya income masyarakat. Rendahnya income menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Dan rendahnya daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan harapan sebagai syarat asupan gizi yang cukup juga berpeluang besar tidak dapat dipenuhi (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2015).

2) Tingkat Pengangguran

Total angkatan kerja adalah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran (sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan usaha). Konsep pengangguran terbuka saat ini mencakup penduduk yang aktif mencari pekerjaan, penduduk yang sedang mempersiapkan usaha/pekerjaan baru, penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan serta penduduk yang tidak aktif mencari pekerjaan dengan alasan sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah perbandingan total pengangguran terbuka dibagi dengan jumlah angkatan kerja (Dewan Keta hanan Pangan 2009). Indikator ini digunakan dengan harapan tidak hanya akan muncul instrumen kebijakan yang meningkatkan kinerja ekonomi dari jenis pekerjaan yang telah ada tetapi juga dipikirkan pembukaan dan atau pengembangan usaha baru yang menyerap tenaga kerja lokal (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2015).

3) Rumah tidak Layak

Indikator ini adalah berkenaan dengan kepemilikan aset keluarga. Dan juga sinergis dengan indikator atas aspek kemiskinan (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2015).

c. Akses Sosial Pada kondisi normal akses sosial terkait preferensi individu/rumah tangga terhadap pangan. Preferensi itu sendiri tidak lepas dari pengaruh pengetahuan dan tingkat pendapatan dari individu rumah tangga. Sedangkan pada kondisi abnormal, akses sosial terkait oleh konflik sosial, perang, bencana dan sebagainya. Masyarakat yang tingkat pendidikan rendah maka cenderung akan membentuk komunitas yang relatif sulit terbuka untuk hal-hal yang lebih baik (inovasi) sehingga hal ini akan bedampak pada semakin terbatasnya pilihan pekerjaan yang dapat dipilih Implikasi dari hal di atas adalah semakin lemahnya akses ekonomi masyarakat tersebut (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2015)

Aspek Dalam Ketahanan Pangan (skripsi dan tesis)

Di Indonesia konsep ketahanan pangan dituangkan dalam Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam definisi tersebut ditegaskan lima bagian dalam konsep tentang ketahanan pangan tersebut, yaitu:

 a. Terpenuhinya pangan yang cukup dari segi jumlah (aspek ketersediaan/ availabelity), yaitu bahwasanya pangan ada dan jumlahnya mencukupi bagi masyarakat, baik yang bersifat nabati maupun hewani.

 b. Terpenuhinya mutu pangan (aspek kesehatan/ healthy), yaitu bahwasanaya pangan yang ada atau diadakan memenuhi standar mutu yang baik dan layak untuk dikonsumsi manusia. Kaitannya dalam pemenuhan kebutuhan gizi mencukupi kebutuhan akan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.

 c. Aman (aspek kesehatan/ healthy), yaitu bahwasanya pangan yang dikonsumsi memenuhi standar kesehatan bagi tubuh dan tidak mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan manusia. d. Merata (aspek distribusi/distribution), yaitu bahwasanya pangan terjamin untuk distribusi secara merata ke setiap daerah sehingga pangan mudah diperoleh masyarakat.

e. Terjangkau (aspek akses), yaitu bahwasanya pangan memungkinkan untuk diperoleh masyarakat dengan mudah dan harga wajar.

 Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) mengemukakan tiga pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaaatan pangan (utilitas). Ketersediaan pangan menyangkut kemampuan individu memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasarnya. Sementara itu, aksesbilitas pangan berkaitan dengan cara seseorang mendapatkan bahan pangan. Sedangkan utilitas pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan berkualitas (Hakim 2014

Pengertian Ketahanan pangan (skripsi dan tesis)

Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai mengemuka saat terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia pada 1971. Sebagai kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pertama kali digunakan oleh PBB untuk membebaskan dunia, terutama negara-negara sedang berkembang dari krisis produksi dan suplai makanan pokok. Fokus ketahanan pangan pada masa itu, sesuai dengan definisi PBB adalah menitik beratkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan dunia dari krisis pangan. Definisi tersebut kemudian disempurnakan pada International Conference of Nutrition pada 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB, yakni tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang, baik dalam jumlah maupun mutu pada setiap individu untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Maknanya adalah tiap orang setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup agar hidup sehat dan produktif (Hakim 2014). World Food Summit pada tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup aktif dan sehat (Safa’at, S 2013). 6 Beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok , yaitu ketersediaan pangan dan aksesesabilitas masyarakat terhadap pangan tersebut. Ketersediaan dan kecukupan pangan mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Penyediaan pangan dapat ditempuh melalui produksi sendiri dan impor dari negara lain. Komponen kedua yaitu aksesbilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang dapat disempurnakan melalui kebijakan niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen (Arifin 2001).

Pengertian Konflik (skripsi dan tesis)

Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk (2002: 175) konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi konflik (Bunyamin Maftuh, 2005: 47) yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada oleh persamaan.

Sedangkan menurut Scannell (2010: 2) konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Hunt and Metcalf (1996: 97) membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intrapersonal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal). Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat 14 menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu yang bersangkutan. Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict). Dalam penelitian ini titik fokusnya adalah pada konflik sosial remaja, dan bukan konflik dalam diri individu (intrapersonal conflict)

Keberagaman dan Pengelolaan Keberagamaan Dalam Masyarakat (skripsi dan tesis)

Keragaman oleh Hartini   diartikan sebagai sejumlah karakteristik penting manusia yang berpengaruh pada nilai, kesempatan, dan persepsi individu terhadap diri sendiri maupun orang lain. Karakteristik tersebut terdiri dari dua jenis yaitu primary characteristics (usia, etnis, gender dan kemampuan juga ketrampilan yang dimiliki) dan secondary characteristics (geografi, pengalaman kerja, pendapatan, agama, budaya, bahasa, gaya berkomunikasi, status keluarga, gaya bekerja, dan pendidikan). Hal sama diutarakan Kreitner & Kinicki, (2010) bahwa Keberagaman yang dimaksud merupakan perbedaan individu yang membuat setiap orang memiliki keunikan dan berbeda dari dan sama satu sama lain. [1]

A.B Tangdiling memberikan beberapa pola pembauran etnis yang efektif, diantaranya adalah pola take and give, sosialisasi terbuka, acuan budaya nasional, pembentukan wadah bersama, adaptasi/penyesuaian diri, dan perkawinan antar suku yang akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut[2]:

  1. pola take and give

pola saling menguntungkan dalam setiap tahapan kehidupan social merupakan dambaan semua warga masyarakat. Wujdu dari pola “take and give” bentuknya dapat bermacammacam. Antara lain: saling menghargai/menghormati satu sama lain, pertukaran barang mengenai kebutuhan yang berbeda, mengambil peran atau posisi yang berbeda dalam suatu ranfkaian yang produktif dan tawar menawar dalam kepentingan tertentu

  1. sosialisasi terbuka

sosialisasi terbuka merupakan interaksi yang dijalankan dalam lingkungan social yang lebih luas. Dengan demikian pola piker dan wawasannya akan lebih terbuka. Bilamana seseorang telah dibekali dengan pola piker seperti ni maka ia akan mudah menyesuiakan dengan orang lain meskipun berbeda budaya

  1. acuan budaya nasional

Apabila kelompok etnik dalam masyarakat pluralis mempertahankan budaya kelompok etniknya maka pembauran emang sangat sulit berlangsung dan akan semakin memperkuat kesenjangan itu, setiap kelompok etnik harus mengacu pada budaya nasional ((umum) sebagai miliki bersama. Hal ini merupkaan wahan yang efektif untuk mempersatukan kelompok-kelompok etnik yang berbeda budaya itu, sehingga mereka bisa melakukan kerjasama untuk kepentingan bersama. Adapun unsur-unusr budaya nasional itu antara lain adalah: perasaan sebangsa setanah air, serta penggunaan hak dan kewajiban sebagai warga negara

  1. pembentukan wadah bersama

pembentukan wadah bersama yang para pengurus dan anggotanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dalam suatu masyarakat. Wadah ini dapat menampung aspirasi semua pihak dan memcahkannya secar bersama-sama dalam wadah itu, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan-keputusan yang diambil.

  1. adaptasi/penyesuaian diri

pada masyarakat yang berbeda secara social dan budata, warganya dapat melakukan adaptasi soisal tau penyesuaian. Hal ini dimaksudkan bahwa seorang akan diterima oleh kelompok lain jika ia mampu beradaptasi secara social dan menyesuaikan diri. Caranya ialah dengan memebi batas toleransi pada kegiatan-kegiatan social budaya yang memang dirasakan sebagai suatu tindakan yang tidak mengganggu diirnya, berikut pada saat yang bersangkutan melaksanakan suatu kegiatan, orang lain juga merasa tidak terganggu

  1. perkawinan antar suku

perkawinan antar suku bangsa merupakan salah satu wahan pembauran bangsa. Jika terjadi dalam jumlah yang banyka emang daoa mengakrabkan hubungan secara social antara kelompok-kelompok etnis tertentu.

Kossek dan Lobel (dalam Barak, 2005) menjelaskan empat pendekatan dalam pengelolaan keberagaman. Pada awalnya teori ini diterapkan dalam pengelolaan keberagamaan secara manajemen namun secara meluas, teori ini diterapkan dalam kelompok masyarakat. Langkah-langkah pengelolaan keberagaaamn, antara lain: (1) diversity enlargement, pendekatan ini berfokus pada peningkatan representasi dari individu yang berbeda etnis dan latar belakang budaya dalam organisasi. Tujuannya adalah untuk mengubah budaya dengan mengubah komposisi demografis tenaga kerja; (2) diversity sensitivity, pendekatan ini mengakui kesulitan dalam mengembangkan potensi dengan menyatukan individu dari beragam latar belakang dan budaya di masyarakat. Tujuannya adalah melatih kepekaan masyarakat terhadap stereotip dan diskriminasi serta mendorong kolaborasi komunikasi yang baik; (3) cultural audit,  pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kendala yang membatasi kemajuan masyarakat dari berbagai latar belakang dan blok kolaborasi antara kelompok; (4) strategi keberagamaan sebagai kerangka kerja yang komprehensif untuk mengelola keberagaman sumber daya manusia. Pendekatan ini berfokus pada pengelolaan keberagaman sebagai sarana untuk mencapai tujuan kelompok masyarakat. Dimana dalam proses ini melibatkan proses mengidentifikasi hubungan antara tujuan pengelolaan keberagaman, harapan individu dan hasil organisasi.

Pengelolaan keberagamaan di Indonesia dijalankan atas  dasar budaya-budaya daerah yang hidup di Indonesia dibangun oleh tiga dasar yang dominan yakni, nilai religius, nilai solidaritas dan nilai estetika. Dengan kesamaan tiga nilai tersebut, seharusnya mempermudah proses penyesuaian dan pembauran budaya yang didukung oleh suku-sukubangsa yang juga sangat beragam. Selain tiga hal tersebut, setiap masyarakat juga memiliki rumusan adat istiadat yang isinya disusun berdasarkan hasil interaksi dan interpretasi masyarakat setempat sehingga memiliki traits yang spesifik, maka adat istiadat tersebut sering disebut sebagai suatu kearifan lokal. [3]

 

Resolusi Konflik (skripsi dan tesis)

1.6. Resolusi konflik (conflict resolution) memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik. Weitzman & Weitzman mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). [1]Lain halnya dengan Fisher et al (2001:7) yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berseteru. Sedangkan menurut Mindes (2006:24), resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.[2]

Menurut Maftuh resolusi konflik (conflict resolution) adalah upaya untuk menyelesaikan, mencegah, atau mengatasi konflik. Dalam pernyataan lebih lanjut disebutkan bahwa resolusi konflik dapat digunakan secara bergantian dengan pengelolaan konflik (conflict management) yang tidak mempunyai perbedaan mendasar antara keduanya”. Untuk menyelesaikan konflik antar kelompok sosial-kultural memerlukan pengelolaan lingkungan dalam waktu lama, seperti penyelesaian konflik yang terjadi di perusahaan, masyarakat, dan Negara. [3]

Meskipun demikian, baik resolusi maupun pengelolaan keragaman etnis keduanya melibatkan tiga strategi untuk menyelesaikan konflik, yakni: pertama penyelesaian konflik kekerasan oleh pihak-pihak yang berkonflik (negosiasi); kedua penyelesaian konflik kekerasan dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediasi); dan ketiga penyelesaian konflik kekerasan melalui keputusan atau kebijakan pihak ketiga (arbitrasi).

Simon Fisher dkk (2000:7) juga menegaskan bahwa pengelolaan konflik berbeda jauh dari resolusi konflik dimana yang pertama bertujuan membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan yang kedua berusaha secara terarah untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru antara kelompok-kelompok yang berkonflik. Dengan demikian, pengelolaan konflik menurut Fisher berkemungkinan menyelesaikan konflik kekerasan secara permanen dalam jangka panjang.

Sudut pandang lain tidak hanya memberikan definisi namun juga pada aktor yang terlibat dalam resolusi konflik. Pandangan mengenai siapa pelaku resolusi konflik dalam perkembangan generasi telah mengalami berbagai perubahan. Pada awalnya pelaku resolusi konflik dilakukan melalui pendekatan state-centric. Dimana peran pemerintah (serta berbagai lembaga negara) menjadi satu-satunya organ yang dapat berperan dalam resolusi konflik. Selanjutnya berkembang pula pada civil society dan berkurangnya state centric. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa resolusi konflik dapat dikonstruksikan pada pada arsitektur kompleks dan komplementar.

Demikian pula sudut pandang mengenai tahapan dalam resolusi konflik memberikan perbedaan dalam bagaimana resolusi konflik berjalan. Menurut Wirawan menunjukkan perlunya intervensi pihak ketiga. Dimana keputusan intervensi pihak ketiga nantinya final dan mengikat. Kedua, Mediasi. Mediasi ini adalah cara penyelesaian konflik melalui pihak ketiga juga yang disebut sebagai mediator. Ketiga, Rekonsialisasi. Proses penyelesaian konflik dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi, dimana masyarakat pada saat itu hidup dengan damai.[4] Dalam sudut pandang lain menunjukkan bahwa tahapan resolusi konflik meliputi (1) Yudikasi adalah model penyelesaian mengacu pada hukum yang berlaku, baik syariat Islam atau undang-undang negara. (2) Abritrase adalah model penyelesaian konflik melalui orang kepercayaan. (3) Mediasi adalah resolusi konflik dengan cara mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dengan perantara orang netral yang disetujui pihak-pihak yang berkonflik. (4) Negosiasi adalah konflik diselesaikan dengan musyawarah di mana pihak yang berkonflik sama-sama untung dan (5) rekonsiliasi menyelesaikan dengan sama-sama kedua atau lebih pihak mengakui kesalahan dan menganggap semua persoalan yang telah ada dianggap tidak ada dan menyepakati program bersama untuk masa depan.[5]

Menurut Miall (1999) resolusi konflik harus menggunakan pihak ketiga sebagai mediasi, yaitu: arbitrasi; merupakan penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang memiliki sumber kekuasaan. Mediasi  adalah penyelesaian konflik oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menindas pihak-pihak yang berkonflik agar konflik selesai.  Sedangkan menurut Dahrendorf (1986), mediasi merupakan bentuk yang paling ringan dari campur tangan pihak luar dalam menyelesaikan pertentangan. Kedua kelompok yang bertentangan sepakat untuk berkonsultasi dengan pihak luar yang diminta memberikan nasihat. Akan tetapi, nasihat tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap kelompok yang bertentangan. Sekilas, hal ini hanya menjanjikan pengaruh sedikit, tetapi dari pengalaman di berbagai bidang kehidupan sosial menunjukkan bahwa mediasi merupakan suatu tipe penyelesaian pertentangan yang berhasil.

Fisher menyatakan bahwa penyelesaian suatu konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1). Negosiasi, proses untuk memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan pilihan dan mencapai penyelesaian melalui interaksi tatap muka; (2) Mediasi, suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga sehingga pihak-pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sendiri; (3) Arbitrasi atau perwalian dalam sengketa, tindakan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan dan menjalankan suatu penyelesaian.  [6]

Menurut Miall menyatakan bahwa tugas penyelesaian konflik adalah membantu pihak-pihak yang merasakan situasi yang mereka alami sebagai sebuah situasi zero – sum (keuntungan diri sendiri adalah kerugian pihak lain). Agar melihat konflik sebagai keadaan non-zero-sum (di mana kedua belah pihak sehingga mengarah ke hasil yang positif). Untuk menciptakan hasil non- zero- sum, mewajibkan akan adanya pihak yang berfungsi menyelesaikan konflik. [7]

Sedangkan menurut Johan Galtung memperkenalkan tiga pendekatan perdamaian dalam resolusi konflik. Pertama, pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), yaitu upaya untuk mengurangi atau menghentikan kekerasan melalui intervensi yang dilakukan oleh pihak penengah, umumnya dilakukan oleh militer. Kedua, penciptaan perdamaian (peacemaking), yaitu upaya untuk menciptakan kesepakatan politik antarpihak yang bertikai, baik melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi, maupun konsolidasi. Ketiga, pembangunan perdamaian (peacebuilding) yaitu upaya rekonstruksi dan pembangunan sosial ekonomi pasca konflik untuk membangun perubahan sosial secara damai. Dengan tiga tahapan ini, diharapkan konflik bisa terselesaikan sampai ke akar masalah, sehingga di masa mendatang konflik tersebut tidak pecah kembali. [8]

Dalam penelitian ini akan mengguanakan teori yang dikemukakan oleh Elli Y Setiadi yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi dapat diselesaikan dalam beberapa proses integrasi social. Integrasi social merupakan penyatuaduan dari kelompok masyarakat dengan asal berbeda menjadi satu kelompok besar. Hal sama terjadi dalam konflik Kalbar dimana konflik muncul karena adanya perbedaan dari kelompok-kelompok kecil. Penyelesaian muncul untuk memberikan kesatupaduan kelompok-kelompok kecil tersebut dalam satu kelompok masyarakat besar yang saling berbaur. Dengan demikian kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki akar kebudayaan namun menjunjung loyalitas terhadap kelompok masyarakat besar. [9]

Adapun proses resolusi konflik melalui integrasi social tersebut menempuh tahapan sebagai berikut:

  1. Proses interaksi

Proses interaksi merupakan proses paling awal untuk membangun suatu kerjasama dengan ditandai adanya kecenderungan positif yang dapat melahirkan aktivitas bersama. Porses interaksi diladasi dengana danya saling pengerttian dengan aling menjaga hak dan kewajban antar pihak

  1. Proses identifikasi

Proses interaksi dapat berlanjut menjadi proses identifikasi jika masing-masing pihak dapat menerima dan memahami keberadaan pihak lain seuuthnya. Pada dasarnya proses identifikasi adalah proses untuk memahami sifat dan keberadaan orang lain. Jika berlangsung dengan lancer, proses ini menghasilkan hubungan kerja yang lancer sehingga menghasilkan hubungan kerjasama yang lebih erat. Hal itu disebabkan masing-masing pihak mengetahui karakternya dan saling menjaga hubungan tersebut

  1. Kerjasama

Kerjasama timbul apabila setiap orang menyadari bahwa mereka semua mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mereka mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut melalui kerja sama, kesadaran  terhadap kepentingan sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.

  1. Akomodasi

Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menhancurkan pihak lawan sehingga lawan kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu:

1)        Mengurangi pertentangan antara orang perseorangan atau kelompk manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi dalam hal ini bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesis antara kedua pendapat tersebut agar menghasilkan pola yang baru.

2)        Mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk sementara waktu atau secara temporer

3)        Akomodasi kadang-kadang diusahakan untuk memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok social yang sebagainya akibat faktor social, psikologis dan kebudayaan, hidup terpisah seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sstem berkasta

4)        Mengusahakan peleburan antara kelompok social yang terpisah, misalkan perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti yang luas

  1. Asimilasi

Proses social dalam taraf kelanjutan yang ditandai dengan adanya usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang perseorangan atau kelompok manusia dan meliputi saha-usaha untuk meningkatkan kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan meperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama.

  1. Integrasi

Proses penyesuaian antara unsur masyarakat yang berbeda sehingga membentuk keserasian fungsi dalam kehidupan. Apabila dua pihak atau lebih yang akan terintegrasi mampu mejalankan peran masing-masing, akan terbentuk hubungan dalam masyarakat yang dinamakan integrasi social. Dalam integrasi social terdapat kesamaan pola piker, gerak langkah, tujuan serta orientasi serta keserasian fungsi dalam kehidpan. Hal ini dapat mewujudkan keteraturan sosial dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa resolusi konflik hadir sebagai proses pemufakatan atau perdamaian dalam menyamakan persepsi dan cara pandang yang dimiliki oleh individu dan kelompok sebagai sebuah nilai bangsa. . Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik dalam memecahkan masalahnya. Oleh karenanya dalam langkah pemufakatan ini maka menuntut adanya proses mediasi dan refleksi sebagai langkah komunikasi menyatukan persepsi untuk mencari sebuah solusi yang mendamaikan. Dimana dalam tahapannya menggunakan

Koflik Etnis (skripsi dan tesis)

Konflik sendiri secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana dua atau lebih aktor berjuang untuk mendapatkan sumber langka dalam waktu yang sama,7 atau setidaknya aktor-aktor tersebut mempunyai posisi yang dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu waktu yang sama. [1]

Terdapat beberapa model analisis konflik yang sering digunakan, diantaranya Lingkaran Konflik (conflict wheel), Pohon Konflik (Conflict Tree), Pemetaan Konflik (Conflict Mapping), Model Eskalasi Glasl (Glasl Escalation Model), Analisa Perspektif Konflik (Conflict Perspective Analysis), Pemetaan Kebutuhan-Ketakutan (Needs-Fears Mapping), Model Peran Multi-Kausal (Multi-Causal Role Model).[2]

Dalam penelitian ini, model analisis konflik yang digunakan adalah model Kerangka Titian Damai karena cukup sederhana tetapi komprehensif. Model ini dikenal dengan istilah Kerangka Titian Damai (Titian Damai Framework), yang menganalisis berbagai elemen konflik.[3] Pertama, analisis terhadap proses konflik yang terdiri atas eskalasi dan deeskalasi. Eskalasi adalah proses peningkatan level konflik, sementara deeskalasi adalah proses penurunan level konflik. Proses ini dapat dilihat melalui penggambaran kronologi konflik. Dalam penerapan analisis ini dapat dilihat dari dinamika konflik di Kalbar yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Hal ini penting untuk melihat bagaiamana proses eskalasi dan deeskalasi terjadi sehingga memungkinkan adanya identifikasi yang tepat.  Kedua, analisis terhadap isu konflik, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik yang terdiri atas faktor struktural, akselerator, dan pemicu yang dianalogikan sebagai rumput kering, angin, dan api. Faktor struktural, yang diibaratkan rumput kering, meliputi hal-hal mendasar yang menyebabkan konflik terjadi seperti kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi dan sudah berlangsung lama. Faktor akselerator, diibaratkan dengan angin kencang, merupakan faktor yang membuat konflik bisa menjadi semakin besar. Faktor pemicu, yang diibaratkan sebagai api, merupakan faktor yang memicu konflik terjadi (membakar rumput kering). Apabila diterapkan dalam kajian dapat dilihat dari sumber penyebab munculnya konflik di Kalbar. Pada kurun waktu yang terjadi maka dapat diketahui sumber konflik apakah terjadi karena faktor yang sama atau berbeda sehingga memberikan gambaran lengkap mengenai penyebab konflik yang terjadi di Kalbar itu sendiri. Ketiga, Kerangka Titian Perdamaian juga menganalisis aktor konflik yang terdiri atas provokator/securitizing, fungsional, dan kelompok rentan (vulnerable groups), serta para pemangku kepentingan. Aktor sekuritisasi adalah para pihak yang bereaksi abnormal karena kepentingannya terancam (provokator). Aktor fungsional adalah pihak yang dapat diberdayakan/diajak untuk menyelesaikan konflik. Terakhir, kelompok rentan adalah kelompok yang mudah digerakkan oleh aktor sekuritisasi/provokator.  Dengan demikian apabila diterapkan pada kajian konflik Kalbar dapat dilihat dari actor yang terlibat baik dari actor yang provokator/securitizing, fungsional, dan kelompok rentan.

 

Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerja sama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Modal sosial muncul dari hasil interaksi di dalam masyarakat dengan proses yang lama. Meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi, dan kemudian menjalin kerja sama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri. Interaksi semacam ini melahirkan modal sosial yang berupa ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut para ahli modal sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003).

Sedangkan Burt tahun 1992 (dalam Suparman 2012) mendefinisikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi(berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Sejalan dengan Fukuyama (dalam Anconk 2007) menjelaskan bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilaiatau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Adapun menurut Cohen dan Prusak tahun 2001 (dalam Suparman 2012), modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilainilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Sependapat dengan penjelasan dari Cohen dan Prusak, (Hasbullah, 2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), hubungan timbal balik dan aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Modal sosial juga adalah sebuah potensi yang dimana dapat meningkatkan kesadaran bersama tentang banyaknya kemungkinan peluang yang bisa dimanfaatkan dan juga kesadaran bahwa nasib bersama akan saling terkait dan ditentukan oleh usaha bersama yang dilakukan. Berbagai pandangan tentang kapital sosial tersebut di atas bukan sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa penampakan kapital sosial di masyarakat. Dengan menyimak tentang berbagai pengertian kapital sosial yang sudah dikemukakan di atas, kita bisa mendapatkan pengertian kapital sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, nilai dan norma dan kepercayaan.

Hubungan Kinerja Usaha dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Heady and Wooden (2004), menggunakan data tahun 2001 dan 2002 yang diamabil pada survey rumah tangga, pendapatan dan dinamika buruh di Australia. Penelitian ini menaganalisis pengaruh kekayaan (pendapatan) pada kesejahteraan subjektif dan kesehatan. Pandangan yang diterima di kalangan psikolog dan ekonom adalah sama, dimana pendapatan rumah tangga memiliki efek statistik yang cukup signifikan pada ukuran kesejahteraan subjektif subjektif, walaupun pendapatan merupakan ukuran yang tidak sempurna dari keadaan ekonomi rumah tangga. Penelitian Sacks et all (2010) pada 132 negara, dengan membuat jajak pendapat terhadap kesejahteraan subjektif subjektif, dengan mengeksplorasi hubungan antara kesejahteraan subjektif dan pendapatan. Hasil penelitian menyatakan kepuasan hidup rata-rata lebih tinggi di negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih besar, walaupun pendapatan absolut tetap memainkan peran penting dalam mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Kepuasan hidup warga Negara tumbuh sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Hasil akhir yang diperoleh dalam penelitian ini menyatakan tingkat pertumbuhan kesejahteraan subjektif sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan pendapatan warga Negara.

Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Aryogi (2013) pada obyek individu dalam rumah tangga berdasarkan perwakilan SUSENAS yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2007. Hasil penelitian  menyatakan bahwa, upaya peningkatan pendapatan melalui aktivitas berbagai sektor perekonomian diperlukan agar terjadi peningkatan dalam kesejahteraan subjektif. Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL). Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko berpengaruh secara langsung dan berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan menuju peningkatan kesejahteraan subjektif

Hubungan Modal Sosial dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang sejalan dalam hubungan ini adalah penelitian Suandi (2014) terhadap 132 keluarga pada bulan Nopember 2012 di dua kecamatan, yaitu: 82 Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Jambi. Hasil penelitian menyatakan bahwa modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap kesejahteraan subjektif ekonomi keluarga. Penelitian Johannes (2009) yang mengkaji efek dari modal sosial terhadap kemiskinan rumah tangga menggunakan hasil survey terhadap 2.001 rumah tangga di Kamerun. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, keanggotaan dalam asosiasi sebagai indikator modal sosial berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan per kapita rumah tangga (mengurangi kemiskinan). Hasil analisis lebih lanjut tenyata bagi pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif hidup rumah tangga disarankan untuk mempertimbangkan dan mempromosikan modal sosial sebagai salah satu implementasi yang relevan. Sedangkan penelitian Rose (2009) di Rusia, menyatakan bahwa beberapa bentuk dan keadaan jaringan modal sosial menghasilkan sejumlah peningkatan kesejahteraan subjektif individu (pribadi). Juga ditekankan bahwa modal sosial tidak harus dianalisis secara terpisah tetapi sebagai bagian dari portofolio sumber daya yang digunakan individu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan subjektif.

Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Sejumlah penelitian yang terkait hubungan ini adalah: (1) Suryanita (2006) pada pengusaha industri pakaian jadi di Kota Semarang, dimana orientasi kewirausahaan mempunyai efek positif dan signifikan terhadap kinerja pemasaran, (2) Suci (2006) pada kabupaten/kota yang memiiliki industri kecil menengah (IKM) Bordir di Provinsi Jawa Timur dengan 365 responden, dimana temuannya orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pada IKM 81 border di Provinsi Jawa Timur, (3) Risnawati dan Noermijati (2011) pada koperasi primer di Kota Palu Sulawesi Tengah, yang menyatakan orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja koperasi, baik kinerja keuangan maupun kinerja non keuangannya, dan (4) Rudy dan Soegianto (2013) pada karyawan/pemilik PT. Mentari Esa Cipta di Jakarta sejalan dengan studi ini, dimana hasilnya ternyata ada pengaruh positif dan signifikan antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta.
Demikian juga penelitian Yang (2006) pada UKM di Taiwan, yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan orientasi kewirausahaan yang tinggi dapat memberi kontribusi terhadap kinerja bisnis yang lebih tinggi. Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor kontekstual yang membentuk orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi terhadap kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sangat terkait dengan peningkatan pendapatan PKL seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko

Hubungan Modal Sosial dan Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Penelitian terkait dalam hubungan modal sosial dengan kinerja usaha adalah penelitian Rudy dan Soegianto (2013) yang berjudul “Analisis Pengaruh Modal Sosial dan Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta”, dengan responden para karyawan dan manajer/pemilik PT. Mentari Esa Cipta di Jakarta, yang menyatakan ternyata tidak ada pengaruh yang signifikan antara modal sosial terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta. Penelitian Subroto (2015) terhadap pelaku UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten, juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara modal sosial terhadap kinerja pada UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten. Penelitian di luar negeri yang dilakukan oleh Durojaiye et all (2013) terhadap bisnis perdagangan bahan makanan di Southwestern Nigeria, yang menyatakan bahwa modal sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan keuntungan penjualan bahan makanan di Negeria

Hubungan Modal Sosial dan Orientasi Kewiruausahaan (skripsi dan tesis)

Penelitian Thobias, dkk. (2013), yang berjudul “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku Kewirausahaan: Suatu studi pada pelaku usaha mikro kecil menengah di Kecamatan Kabaruan, Kabupaten Kepulauan Talaud”, dengan 74 responden, dimana modal sosial berpengaruh positif bagi pengusaha mikro kecil menengah (MKM) yang ada terhadap orientasi kewirausahaan pelaku MKM tersebut. Penelitian Primadona, dkk (2014) terhadap wirausahawan etnis Minang, dimana kebijakan dan model kewirausahaan dengan modal sosial secara langsung berpengaruh pada etnis Minang, karena berhasilnya etnis Minang selama ini di dalam berwirausaha sangat ditopang oleh nilai modal sosial.
Penelitian Wimba (2015) yang menyatakan bahwa modal sosial secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan pada UKM kerajinan kayu di Provinsi Bali. Penelitian di luar negeri melalui penelitian Atazadeh, et al (2014) di Tabriz (Iran) dengan sampel 400 responden, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kewirausahaan dan modal sosial, dimana pada berbagai kepercayaan, kerjasama dan norma dalam partisipasi memiliki dampak yang signifikan pada kewirausahaan. Ada hubungan positif yang signifikan antara pengaruh emosi dan karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan seperti pengambilan risiko, dan pragmatisme. Ini berarti terjadi peningkatan efek yang memperkuat rasa percaya dan karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan seperti risiko, pengendalian internal dan pragmatisme

Industri Kreatif (skripsi dan tesis)

Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) pengertian industri kreatif didefinisikan sebagai “Industri yang berasal dari pemanfaatan  kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.” Contohnya: industri batik, industri tenun, industri jasa arsitektur, industri jasa periklanan, dsb. Ekonomi kreatif dan industri kreatif akhir-akhir ini semakin hangat dibicarakan baik oleh pemerintah, swasta dan pelakunya sendiri. Khususnya pemerintah sudah semakin menaruh perhatiannya. Sedikitnya ada Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Komunikasi dan Informasi, dan Departemen Tenaga Kerja. Karena istilah “industri” pada industri kreatif, menimbulkan banyak interpretasi, bagaimanakah mencocokkan secara kontekstual antara ekonomi kreatif, industri kreatif dengan Undang-undang No. 5/1984 tentang Perindustrian. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025 yang dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI (2008) dijelaskan adanya evoluasi ekonomi kreatif.
Berdasarkan dokumen rencana ini dapat diketahui bahwa adanya pergeseran dari era pertanian ke era industrialisasi lalu ke era informasi yang disertai dengan banyaknya penemuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta globalisasi ekonomi. Perkembangan industrialisasi menciptakan pola kerja, pola produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan efisien. Pandangan tentang ekonomi kreatif dan industri kreatif dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Industri dapat dibedakan menjadi sektor-sektor utama (menutur BPS ada 16 sektor utama), yang mendasari pembagian lapangan usaha. Kelompok industri kreatif ini (misalnya: musik, periklanan, tekstil, arsitektur, dll.) akan memiliki lapangan usaha yang merupakan bagian dari beberapa sektor industri. Sebagian besar dari lapangan usaha industri kreatif ini merupakan industri jasa.
2) Ekonomi kreatif merupakan keseluruhan dari industri kreatif, yaitu seluruh industri yang tercakup dalam kelompok industri kreatif.
Selanjutnya menurut Depertemen Perdagangan RI (2008), jenis-jenis industri kreatif di Indonesia meliputi:
(1) periklanan; yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan,
(2) arsitektur; yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan informasi produksi,
(3) pasar seni dan barang antik,
 (4) kerajinan; yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan,
(5) desain; yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan,
 (6) desain tekstil; yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya,
 (7) Video, Film dan Fotografi; yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusinya,
 (8) permainan interaktif; yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi,
(9) musik; yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik,
(10) seni pertunjukan; yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten dan proses 69 produksi pertunjukan,
(11) Penerbitan & Percetakan; yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan karya tulis serta digital,
 (12) layanan komputer dan piranti lunak; yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi (IT),
13) televisi dan radio; yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio, dan
 (14) Riset dan Pengembangan; yang terkait dengan usaha inovatif dan produk baru

Konsep Industri (skripsi dan tesis)

 Secara umum industri didefinisikan sebagai usaha atau pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri pada dasarnya tidak hanya berfokus kepada produksi dari barang atau jasa, tetapi juga terhadap distribusi, pertukaran (sales, komersialisasi) serta konsumsi dari barang dan jasa. Hanya saja industri selalu  dikaitkan dengan pabrikasi atau manufaktur (secondary industry), karena pada era industrialisasi ditandai dengan perkembangan secara dramatis dari industri manufaktur ini. Industri merupakan bagian dari ekonomi, atau bisa dikatakan industri merupakan segmentasi dari ekonomi dalam upaya manusia untuk memilah-milah aktivitas ekonomi secara lebih mendetil (Depatemen Perdagangan RI, 2008).
Sedangkan industri kecil didefinisikan secara berbeda-beda oleh sejumlah badan pemerintah ataupun berbagai macam instansi. Beberapa macam definisi industri kecil tersebut antara lain:
(1) menurut Depperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan) Tahun 1999, industri kecil merupakan kegiatan usaha industri yang memiliki investasi sampai Rp. 200.000.000,- tidak termasuk bangunan dan tanah tempat usaha;
(2) menurut Biro Pusat Statistik (2012), mendefinisikan industri kecil adalah usaha rumah tangga yang melakukan kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang termasuk pengusaha;
 (3) menurut Bank Indonesia, industri kecil yakni industri yang asset (tidak termasuk tanah dan bangunan), bernilai kurang dari Rp. 600.000.000,-; dan (4) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995: a. (Pasal 1): ayat 1, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, b. (Pasal 5):
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
2)  memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-,
3) milik warga negara Indonesia,
4) berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar,
5) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Kategori industri kecil menurut Departemen Perindustrian (Disperindag Provinsi Bali. 2015) adalah sebagai berikut: (1) Industri Kecil Modern, yang meliputi industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya (intermediate process technologies), mempunyai skala produksi yang terbatas, tergantung pada dukungan industri besar dan menengah dan dengan system pemasaran domestik dan ekspor, menggunakan mesin khusus dan alat-alat perlengkapan modal lainnya. Dengan kata lain, industri kecil yang modern telah mempunyai akses untuk menjangkau system pemasaran yang relatif telah berkembang baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor;
 (2) Industri Kecil Tradisional, pada umumnya mempunyai ciri-ciri antara lain, proses teknologi yang digunakan secara sederhana, mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif sederhana, lokasi di daerah pedesaan, akses untuk menjangkau pasar yang berada di luar lingkungan yang berdekatan terbatas; dan
(3) Industri Kecil Kerajinan, yang sangat beragam, mulai dari industri kecil yang menggunakan proses teknologi yang sederhana sampai industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan sudah menggunakan proses teknologi yang tinggi.
Selanjutnya BPS Provinsi Bali (2015b) dalam penjelasan konsep dan metode pengukuran sektor industri pengolahan, menerangkan beberapa hal berikut,
1) Industri pengolahan (manufaktur) adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan merubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehinggga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan.
2) Jasa industri adalah kegiatan industri yang melayani keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain, sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapat imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon), misalnya perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.
 3) Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya, serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas risiko usaha tersebut.
 4) Klasifikasi atau pengelompokan industri pengolahan terdiri dari empat jenis, yaitu:
 Industri besar adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.
  Industri Sedang adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 – 99 orang.
 Industri Kecil adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 5 – 19 orang.
  Industri Rumah Tangga (RT) adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 1 – 4 orang.
 Kelompok lapangan usaha dalam industri pengolahan terdiri atas 16 jenis, meliputi industri: (1) batubara dan kilang migas (pertambangan), (2) makanan dan minuman, (3) pengolahan tembakau, (4) tekstil dan pakaian jadi, (5) kulit, barang dari kulit dan alas kaki, (6) kayu, barang dari kayu dan gabus, anyaman bambu dan rotan, (7) kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media, (8) kimia, farmasi dan obat tradisional, (9) karet, barang dari karet dan plastik, (10) barang galian bukan logan, (11) logam dasar, (12) barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik, (13) mesin dan perlengkapan, (14) alat angkutan, (15) furnitur, dan (16) pengolahan lainnya. Usaha industri tenun dalam kelompok industri pengolahan termuat dalam industri tekstil dan pakaian jadi

Konsep Ekonomi Kelembagaan (skripsi dan tesis)

 Kelembagaan dapat didefinisikan sebagai batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan berbagai interaksi baik politik, sosial dan ekonomi (North, 1990). Kelembagaan dipandang sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) untuk menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa 61 yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. North (1990) mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang nyata hanya dengan hanya memperbaiki kebijakan ekonomi makro. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi. Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah. Menurut North institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut sanksi dari peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia secara berulangulang.
Selanjutnya konsep ekonomi kelembagaan mewadahi kondisi bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan asset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan) dan lain-lain. Intinya, selalu ada intensif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (non- market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan (institusion) (Yustika, 2013). 62 Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisiplinier sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya dan yang lain sebagai satu kesatuan analitis.
 Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode yang dibangun dari tiga premis penting (Yustika, 2013) yaitu: (1) partikular, dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat, yang berarti setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain); (2) subyektif, dimaknai sebagai penelitian yang melihat realitas atau fenomena sosial dan lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “ orang dalam”; dan (3) non prediktif, dimaknai sebagai paradigma penelitian yang tidak hanya masuk ke wilayah prediksi ke depan, tetapi yang ditekankan di sini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena

Kesejahteraan Masyarakat Secara Makro dan Subjektif (skripsi dan tesis)

Menurut Todaro and Smith, 2006, bagaimanapun masalah kesejahteraan itu dikemas, terlihat bahwa pendapatan atau konsumsi, atau pemenuhan hasrat dan kesenangan subjektif semata, belum secara tepat mendefinisikan kesejahteraan. Hampir semua pendekatan tentang kesjahteraan berujung kepada pertimbangan terhadap kesehatan dan pendidikan, selain pendapatan. Pandangan tentang indikator kesejahteraan yang meliputi pendapatan, kesehatan, dan pendidkan di tingkat makro, oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dinyatakan sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). IPM oleh PBB dipandang sebagai peringkat pembangunan manusia sebagai indikator kesehjahteraan makro bagi semua Negara dari skala 0 (tingkat yang paling rendah) hingga
1 (tingkat yang paling tinggi), yang didasarkan pada tiga tujuan atau produk akhir pembangunan, yaitu:
(1) masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup (kesehatan),
(2) pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (2/3) dan rata-rata tahun bersekolah (1/3) (pendidikan), dan
(3) standar kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan riil per kapita dan disesuaikan dengan paritas daya beli (pendapatan).
Pengelompokan IPM adalah : tingkat pembangunan manusia rendah (0,000 hingga 0,499), tingkat pembangunan manusia menengah (0,500 hingga 0,799), dan tingkat pembangunan manusia tinggi (0,800 hingga 1,000). Kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna (Bade and Parkin, 2001). 1) Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (sosial welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2) Sebagai pelayanan sosial. Pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal sosial services).
 3) Sebagai tunjangan sosial. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, dan ketergantungan.
 4) Sebagai proses atau usaha terencana, yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.  Tujuan tercapainya kesejahteraan diharapkan dapat mendukung standar hidup dan mengurangi kesenjangan, dengan demikian harus menghindari ledakan biaya dan mencegah perilaku yang kondusif bagi moral hazard. Semua tujuan ini harus dicapai dan dapat meminimalkan biaya administrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang bertugas menjalankan itu. Tujuan kesejahteraan disusun melalui konsep ekonomi kelembagaan dalam lingkup negara, melalui terobosan dan pengaturan berdasarkan pada tiga pilar:
a) tunjangan keluarga,
b) pelayanan kesehatan yang komprehensif, dan
 c) kebijakan pendidikan murah.
Penelitian Hagfors and Kajanoja (2007) di Finlandia menghasilkan gagasan bahwa risiko dan kemiskinan masyarakat harus ditanggung oleh kesejahteraan negara, dimana kesejahteraan negara meningkatkan kesetaraan pada masyarakat dengan menutup risiko dan menyamakan peluang serta distribusi pendapatan. Inti permasalahan yang dimunculkan adalah kesetaraan yang diciptakan oleh kesejahteraan negara sejalan (positif) terkait dengan kepercayaan umum antara rakyat dan peran modal sosial dalam menjembatani keterkaitan ini. Pengurangan risiko itu sangat berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, secara umum kepercayaan dan modal sosial yang menjembataninya semakin penting dalam perekonomian saat ini. Perubahan historis teori ekonomi neo-klasik tidak dijadikan acuan, yang dilihat hanya peran kebijakan sosial masa kini dan kesetaraan, serta keterkaitan hubungan antara modal sosial dan kesejahteraan. Analisis kesejahteraan sosial diukur melalui kegiatan ekonomi dari individuindividu yang membentuk masyarakat. Oleh karena itu, individu dengan kegiatan ekonomi yang terkait, adalah unit dasar yang akan menggabungkan kesejahteraan sosial, baik dari kelompok, komunitas, atau masyarakat. Kesejahteraan sosial mengacu pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan bisa dianggap sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu dalam masyarakat (Bade and Parkin , 2001). Salah satu usaha meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat adalah melalui usaha pengembangan masyarakat, perkembangan fisik lingkungan, dan perkembangan manajemen terhadap profesinya, dalam rangka mencapai kemandirian masyarakat.
Adanya pengaruh tiga usaha tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat ditandai dengan meningkatnya pendapatan riil, tingkat pendidikan, kesehatan serta rasa aman dan nyaman. Kemandirian masyarakat digambarkan dengan meningkatnya kemandirian di dalam pengadaan modal usaha, kemandirian dalam berpartisipasi dalam pembangunan desa, dan kemandirian didalam peningkatan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Kejahteraan sosial masyarakat sendiri pada akhirnya mempengaruhi kemandirian masyarakat melalui ukuran kesejahteraan ekonomi subjektif (KES).
 Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) menurut Hayo and Seifert dalam Suandi (2007) banyak diteliti karena ada tiga alasan penting, yaitu :
 (1) KES merupakan kunci penting dalam kebijakan ekonomi, dimana makro ekonomi suatu negara berko-relasi positif dengan KES,
(2) KES menjadi dasar pertimbangan dalam politik ekonomi, karena kepuasan ekonomi individu dan masyarakat akan mempengaruhi dukungan politik terhadap ekonomi pasar dan demokrasi, dan
(3) KES 57 menjadi dasar dalam melihat kondisi ekonomi objektif dan subjektif dalam membuat perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subjektivitas dan relativitas, dan kedua istilah ini menggunakan terminologi persepsi. Menurut Ravallion and Lokshin dalam Suandi (2007), pendekatan subjektivitas dapat menggambarkan kesejahteraan yang lebih komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan jasa di pasar. Kesejahteraan dalam konteks subyektivitas dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti : aktivitas ekonomi, semangat hidup, tingkat independensi, dan kebahagiaan di waktu luang. Sedangkan pendekatan relativitas memiliki beberapa konsekuensi, yaitu :
 (1) kesejahteraan yang dirasakan bukan hanya sesaat, tetapi mampu membandingkan kesejahteraan sekarang dengan waktu yang lampau dan di masa yang akan datang,
 (2) ada unsur penyerapan informasi baru dari luar, dan
 (3) tidak mampu menggambarkan persepsi kesejahteraan secara keseluruhan.
Pendekatan yang sering digunakan dalam persepsi kesejahteraan subjektif adalah kepuasan dan kebahagiaan. Secara operasional, variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan karena tingkat kepuasan lebih mampu melihat gap antara inspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Sen dalam Suandi (2007) menyatakan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi yang mampu menjangkau berbagi kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan institusi dan masyarakat. 58 Disamping itu, kepuasan individu, keluarga, dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan Kesejahteraan masyarakat merupakan jumlahan KES semua individu yang tinggal di suatu daerah atau masyarakat. Sedangkan kesejahteraan subjektif (individu) akan mencerminkan kualitas hidup seseorang. Banyak faktor yang mempengaruhi kulaitas hidup seseorang, yang terpenting adalah tujuan dan dimensi subjektif dari kualitas hidup itu sendiri. Pengukuran tujuan dan dimensi subjektif kualitas hidup seseorang dikembangkan oleh The International Wellbeing Group (2013) melalui Indeks Kesejahteraan Pribadi (IKP), sebagai ukuran kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif diukur melalui pertanyaan tentang kepuasan yang diarahkan kepada perasaan seseorang terhadap diri mereka sendir

Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Pengukuran kinerja akan memberikan informasi situasi dan posisi relatif terhadap target atau mengetahui apakah perencanaan dan aktifitasnya telah secara optimal dijalankan (Robbins dan Judge, 2008). Para wirausaha memegang informasi prestasi untuk mengetahui posisi kinerjanya relatif terhadap orang lain, kelompok lain, maupun terhadap sasaran usaha. Bila prestasi pada suatu di bawah target, maka akan dijadikan dasar untuk mengejar ketertinggalan dan mecarikan tindakan manajerial atas upaya, menambah input dan atau memerbaiki proses kerja sehingga kinerjanya dapat kembali sesuai perencanaan.
 Monitoring kinerja di lapangan relatif mudah dilakukan seperti halnya monitoring kinerja proses operasional di fasilitas produksi yang sudah terotomatisasi. Variabel ukur tak sepenuhnya dengan mudah diakses (muncul sendiri dari proses) atau diukur (karena sifatnya yang kualitatif) atau hal-hal lain yang menyebabkan rendahnya objektivitas dalam pengukuran. Definisi kinerja merujuk pada tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam periode waktu tertentu. Tujuan perusahaan yang terdiri dari: tetap berdiri atau eksis (survive), untuk memperoleh laba (benefit) dan dapat berkembang (growth), dapat tercapai apabila perusahaan tersebut mempunyai performa yang baik (Jauch dan Glueck, dalam Suci, 2006).
Kinerja (performa) perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, tingkat turn over dan pangsa pasar yang diraihnya. Strategi perusahaan selalu diarahkan untuk menghasilkan kinerja usaha dan pemasaran (seperti volume penjualan dan tingkat pertumbuhan penjualan) yang baik dan juga kinerja keuangan yang baik. Hal ini menyebabkan beragam pengukuran kinerja dalam penelitian bidang bisnis terus berkembang dengan dasar indikasi yang bervariasi. Rasio-rasio akuntansi dan ukuran-ukuran pemasaran merupakan dua kelompok besar indikator kinerja perusahaan, tetapi indikator-indikator ini telah banyak dikritik karena indikator-indikator itu tidak cukup jeli dalam menjelaskan halhal yang bersifat intangibel dan seringkali tidak tepat digunakan untuk menilai sumber dari keunggulan bersaing. Sudut pandang stategi berbasis sumber daya menyarankan pengukuran dengan mengkombinasikan ukuran kinerja secara finansial dan non finansial untuk keuntungan secara ekonomis yang sesungguhnya. Kinerja perusahaan meliputi dua hal yaitu pengukuran kinerja berdasarkan faktor keuangan dan pengukuran kinerja berdasarkan penjualan unit produk. Kedua hal ini dapat dipakai secara bersama-sama dalam mengukur kinerja perusahaan secara umum. Bentuk implementasinya yaitu dengan menggunakan empat indikator, yakni: (1) peningkatan produksi, (2) peningkatan jenis hasil usaha, (3) peningkatan volume penjualan, dan (4) peningkatan laba usaha (kemampulabaan)

Orientasi Kewirausahaan (skripsi dan tesis)

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovatif, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Kemendikbud, 2013).  Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai pelopor untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Sedangkan wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai serta menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia yang unggul dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan. Bentuk aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan yang direfleksikan dengan kemampuan inovatif, proaktifi, dan kemampuan dalam pemecahan masalah (Prawirokusumo, 2010). Orientasi kewirausahaan mengacu kepada proses, praktik, dan aktivitas pembuatan keputusan yang mengarah kepada usahaa baru (new entry), melalui penciptaan produk atau jasa baru (Lumpkin and Dess, 1996). Orietansi kewirausahaan mencakup tiga dimensi, meliputi:

(1) kemauan untuk berinovatif (inovatif),
(2) kecenderungan untuk menjadi proakatif terhadap pasar (proaktif), dan
 (3) keberanian mengambil keputusan atau risiko (pemecahan masalah).
 Dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan adalah inovatif (innovativeness). Keinovatifan mengacu kepada kecenderungan perusahaan ikut serta dan mendukung gagasan baru, kebaruan (novelty), eksperimentasi, dan proses kreatif yang berakibat  pada proses teknologi, jasa, dan produk baru. Oleh karenanya, keinovatifan mirip dengan suatu iklim, budaya atau orientasi bukan hasil. Keinovatifan terjadi sepanjang suatu kontinum, contoh dari mencoba lini produk baru atau mengadakan percobaan produk baru, mencoba menguasuai suatu teknologi terbaru. Lebih lanjut dinyatakan bahwa keinovatifan akan mengarah kepada perangkap, karena pengeluaran pada pengembangan produk baru dapat menjadi pemborosan sumberdaya jika upaya ini tidak memberi hasil.
Dimensi kedua orientasi kewirausahaan adalah proaktif (proactiveness) terhadap pasar. Proaktif berkaitan dengan melihat kedepan (foward looking), penggerak pertama upaya pencarian keunggulan untuk membentuk lingkungan dengan memperkenalkan produk baru atau memproses persaingan ke depan. Keproaktifan adalah penting karena menyiratkan pendirian untuk melihat kedepan (foward looking) yang disertai dengan aktivitas yang inovatif atau spekulasi baru. Dengan demikian, perusahaan yang proaktif adalah leader bukan follower, karena perusahaan memiliki kemauan dan tinjauan ke masa depan untuk meraih kesempatan baru. Lebih lanjut, perusahaan yang proaktif sering merupakan perusahaan yang mengajukan produk baru dan seringkali memperkenalkan produk baru mendahului pesaingnya.
 Dimensi ketiga dari orientasi kewirausahaan adalah pemecahan masalah melalui keberanian mengambil keputusan/risiko (risk taking), yang didefinisikan sebagai sejauhmana para pimpinan/manajer berkeinginan membuat komitmen terhadap sumberdaya yang berisiko. Sama seperti keinovatifan, pengambilan risiko terjadi secara kontinu yang berkisar dari risiko yang relatif aman sampai risiko yang sangat  tinggi (misalnya meluncurkan produk baru di pasar baru. Meskipun banyak risiko dapat menurunkan kinerja pengembangan produk baru, risiko itu sendiri tak dapat dihindari karena kinerja akhir dari pengembangan produk baru tidak dapat diketahui sebelumnya. Perusahaan pasti seringkali memanfaatkan sumberdaya pada proyek pengembangan ketika kesempatan ditangkap oleh pasardan sebagian tanpa pengetahuan tentang bagaimana proyek pengembangan ini akan menghasilkan. Pengambilan risiko meliputi perangkap dan bahaya, tetapi perusahaan sering bertindak tanpa mengetahui apakah tindakan mereka akan menghasilkan.
Menurut Nadim and Seymour (2007), konsep orientasi kewiraushaan akan melibatkan tiga unsur yaitu :
 (1) pengusaha (orang-orang atau pemilik usaha yang berusaha untuk menghasilkan nilai, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar,
(2) aktivitas kewirausahaan (tindakan giat manusia dalam mengejar nilai tambah, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar, dan
 (3) kewirausahaan (fenomena yang terkait dengan aktivitas kewirausahaan). Aktivitas (kegiatan) kewirausahaan melibatkan pemahaman empat pertimbangan utama, yaitu:
 (a) aktivitas kegiatan manusia;
(b) memanfaatkan kreativitas, inovatif dan/atau peluang,
(c) menciptakan bisnis dan lingkungan baru yang lebih luas, dan
(d) penciptaan nilai.
Pemahaman orientasi kewirausahaan diukur dengan capaian kompetensi kewirausahaaan yang oleh Entrepreneurial Development Institut (EDI) of India (Jyotsna dan Saxena, 2012) diidentifikasi melalui:
(1) inisiatif; bertidak sesuai pilihan bukan karena paksaan, mengawali tindakan,
 (2) gigih mencari peluang; pola pikir yang dilatih untk mencari peluang usaha dari pengalaman sehari-hari,
 (3) kegigihan dalam berusaha (Persistensi); sikap pantang menyerah dan mencari informasi terus menerus sampai berhasil,
(4) rasa ingin tahu tinggi; sikap rajin mencari ide-ide dan informasi baru, konsultasi dengan ahlinya., (5) proaktif mencari pasar dan pesanan kerja; sikap kerja yang aktif untuk mencari konsumen dan menyelesaikan tugas sesuai jadwal,
(6) proaktif merancang produk baru; selalu mencari sumber rincian standar atas produk baru yang dapat dikerjakan,
(7) berorientasi pada perluasan pasar; sikap proaktif pada perluasan pasar dan pemasaran,
 (8) proakif menggalang dukungan dan mempengaruhi orang lain dalam suatu usaha,
 (9) ketegasan dalam bertindak (Assertiveness); mampu menyampaikan visi secara tegas dan meyakinkan orang lain tentang visi tersebut,
(10) percaya diri; sikap tidak terlalu takut terhadap resiko yang terkait dengan usaha,
(11) perencanaan sistematik; mempunyai perencanaan yang matang dan mem-punyai tujuan akhir, dan
 (12) berani mengambil keputusan dan risiko; mampu mengamati gejala, mendiagnosa dan memutuskan, serta siap menanggung risikonya.
Kompetensi (1) s/d (4) diproksi sebagai indikator untuk inovatif, kompetensi (5) s/d (8) diproksi sebagai indikator untuk proaktif, dan kompetensi (9) s/d (12) diproksi sebagai indikator untuk kemampuan mengambil keputusan dan pemecahan masalah. Penelitian Callaghan (2009), memaparkan dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Kinerja wirausaha didefinisikan dalam kontek ini sebagai konstruksi yang terdiri dari pendapatan dan kepuasan berkelanjutan. Orientasi kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor kontekstual yang membentuk orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi terhadap kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sangat terkait dengan peningkatan pendapatan seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko. Penelitian ini juga memberikan bukti bahwa faktor-faktor pembelajaran yang terkait, berkontribusi untuk membentuk orientasi kewirausahaan yang secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan (kesejahteraan).

Pengukuran Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Pengukuran modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan yang berguna untuk modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda (Woolcock, 2000). Pengukuran modal sosial sangat tergantung pada bagaimana modal sosial itu dimaknai.
Menurut The World Bank Group (2011), modal sosial diukur dengan sejumlah cara yang inovatif, meskipun untuk mendapatkan satu ukuran yang valid mungkin mustahil. Hal ini disebabkan oleh :
 (1) definisi yang paling komprehensif dari modal sosial yang multidimensi, ternyata menggabungkan tingkat dan unit analisis yang berbeda,
(2) adanya upaya untuk mengukur konsep dari sifat-sifat ambigu seperti rasa percaya, norma, masyarakat, jaringan dan organisasi selalu menimbulkan masalah
(3) beberapa survei terdahulu sering dipakai acuan untuk mengukur modal sosial melalui kompilasi indeks dari berbagai item perkiraan, seperti tingkat kepercayaan pada pemerintah, tren perolehan suara dalam pemilu, keanggotaan dalam organisasi kemasyarakatan, jam kerja yang dihabiskan secara sukarela.
Survei terbaru saat ini sedang diuji yang diharapkan akan menghasilkan lebih banyak indikator langsung dan akurat untuk pengukuran modal sosial. Mengukur modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan untuk mewakili pengukuran modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda. Pretty and Ward (2001) menyatakan terdapat empat aspek utama yang membangun modal sosial, yaitu :
 (1) hubungan dari rasa percaya,
(2) resiproksitas dan pertukaran,
(3) aturan umum, norma, dan sanksi, serta
 (4) koneksi, kerjasama, dan kelompok.
Rasa percaya mempermudah jalinan kerjasama dan mengurangi biaya trasaksi. Rasa percaya dibedakan atas dua tipe, yaitu rasa percaya terhadap orang yang dikenal (thick trust) dan rasa percaya terhadap orang yang belum dikenal (thin trust). Resiproksitas dan pertukaran juga berperan meningkatkan rasa percaya. Resiproksitas ada dua tipe, yaitu resiproksitas spesifik yang berkaitan dengan pertukaran simultan dan resiproksitas difusif yang merujuk pada pertukaran yang berkelanjutan. Determinan modal sosial seperti rasa percaya, norma, dan jaringan kerja dapat berdampak positif atau negatif terhadap kinerja pembanguan ekonomi. Rasa saling percaya yang tinggi akan mendorong peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi, asalkan mampu membangun kondisi persaingan yang sehat. Norma akan mempunyai dampak positif bila kemungkinan berkembangnya kreativitas lebih besar dibandingkan kemungkinan melemahnya etika kerja. Jaringan kerja akan berdampak positif terjadi bila dampak proteksi pada perilaku senang meminjam (rent-seeking) lebih besar daripada pengurangan (crowding out) waktu kerja.  Fokus dari pengukuran modal sosial itu sebenarnya ingin melihat pada kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola inter-relasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, serta dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma dan nilai nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip tentang persamaan, kebebasan, dan nilai-nilai kemajemukan serta humanitarian. Akhirnya dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur pokok pengukuran modal sosial adalah.
1). Rasa Percaya; kepercayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang sangat tinggi di dalam melakukan apapun dengan orang lain. Rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993, 1995 dan 2002).
Pandangan Fukuyama (2000), menyatakan bahwa rasa percaya adalah sikap saling mempercayai di masyarakat tersebut, saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Beberapa indikator yang sesuai dengan unsur rasa percaya pada pelaku usaha industri tenun, misalnya: rasa peduli dan toleransi terhadap orang lain,  kepercayaan terhadap tokoh agama, rasa saling percaya terhadap orang lain, kepercayaan terhadap pemerintah, dsb.
 2). Norma Sosial; norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Unsur modal sosial ini dapat berasal dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti hanya kode etik professional. Menurut Fukuyama (2000) norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama. Hasbullah (2005) menyatakan norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat apalagi dalam kehidupan sekarang dan tidak lagi dipandang sebagai modal yang penting di dalam tantanan kehidupan masyarakat setempat.
 Beberapa indikator norma sehubungan dengan pelaku usaha industri tenun dikaitkan dengan budaya setempat, seperti: norma keharmonisan sesuai Tri Hita Karana (THK), kepatuhan terhadap aturan (awig-awig) yang ada, kemudahan mencari bantuan modal, kemudahan memperoleh bantuan pembinaan kewirausahaan (manajemen), dsb. Dalam hal ini, Konsep THK merupakan konsep harmonisasi hubungan yang selalu dijaga masyarakat Hindu Bali meliputi: parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan antar-manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan) yang bersumber dari kitab suci agama Hindu Baghawad Gita. Oleh karena itu, konsep THK yang berkembang di Bali, merupakan konsep  nilai kultur (budaya) lokal yang telah tumbuh, berkembang dalam tradisi masyarakat Bali, dan bahkan saat ini telah menjadi landasan falsafah bisnis, filosofi pengembangan pariwisata, pengaturan tata ruang, dan rencana stratejik pembangunan daerah. (Windia dan Ratna, 2011).
 3). Jaringan Kerja; modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi serta membangun jaringannya agar mampu membuat modal sosial berperan. Beberapa indikator jaringan kerja yang berhubungan dengan pelaku usaha industri tenun, seperti: kepadatan atau partisipasi dalam kegiatan bersama, kerjasama dengan teman/ karyawan dalam satu usaha (bonding), kerjasama pada sesama pelaku usaha lain (bridging), kerjasama dan bantuan dari pemerintah (linking), dsb

Modal Sosial dalam Pembangunan dan Kesejahteraan (skripsi dan tesis)

Pembangunan yang dialakukan seluruh negara di dunia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi tetapi juga mencakup kesejahteraan lainnya seperti kebebasan sipil, kebebasan dari tindak kejahatan, lingkungan hidup yang bersih serta kondisi penduduk yang sehat secara fidik dan mental (OECD, 2011). Lebih jauh dijelaskan bahwa kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:
 (1) modal alam,
 (2) modal fisik, dan
(3) modal manusia dan modal sosial.
Modal alam, fisik dan manusia dikenal dengan modal tradisional pembangunan, sedangkan modal sosial erat kaitannya modal  manusia. Jika modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, maka modal sosial merujuk pada rasa percaya, norma dan jejaring yang memfasilitasi kerjasama antar manusia di dalam maupun antar kelompok. Modal sosial terbentuk dari hubungan sosial antar manusia, sehingga besaran modal sosial tergantung dari kapabilitas sosial tiap individu. Kapabilitas sosial mempunyai peran yang sama penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD, 2011). Ini yang menyebabkan modal sosial sering dianggap sebagai perekat yang memungkinkan modal pembangunan lainnya berkerja secara efektif dan efisien. Modal sosial bersama modal manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia, tetapi keduannya juga berperan melalui modal pembangunan lainnya dalam bentuk kapabilitas manusia dan sosial.
Narayan and Pritchett ( 1999) menjelaskan lima mekanisme bagaimana modal sosial mempengaruhi hasil pembangunan, yaitu.
1) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memantau kinerja pemerintah, baik karena pejabat pemerintah lebih tertanam dalam jaringan sosial atau karena memantau penyediaan layanan publik seperti barang publik;
2) Meningkatkan kemungkinan tindakan kooperatif dalam memecahkan masalah dengan elemen lokal yang dimiliki oleh umum;
 3) Memfasilitasi difusi inovatif dengan meningkatkan keterkaitan individu;
4) Mengurangi ketidaksempurnaan informasi dan memperluas jangkauan penegakan mekanisme, sehingga meningkatkan transaksi dalam output, kredit, tanah dan pasar tenaga kerja;
5) Meningkatkan asuransi formal ( atau jaring pengaman informal) antara rumah tangga, sehingga memungkinkan rumah tangga untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi, walaupun lebih berisiko, aktif dalam kegiatan dan teknik produksi.
Sementara itu Cullen and Kratzmann (2000) menyatakan bahwa kehadiran modal sosial dapat membantu meningkatkan penggunaan manusia, alam, modal fisik, dan modal keuangan. Dalam hal ini, modal sosial dapat menyebabkan manajemen pembangunan yang lebih efisien dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian, modal sosial dapat menjadi agen mediasi antara bentuk-bentuk modal, memperkuat dan meningkatkan efek yang terjadi. Di sisi lain, rendahnya tingkat modal sosial cenderung mengarah pada mengecilnya manfaat bentuk-bentuk modal yang lain bagi masyarakat secara keseluruhan.
The World Bangk Group (2011), memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan modal sosial merupakan kontributor potensial untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi metode dan alat pengukuran modal sosial yang relevan. Hal ini sangat menarik karena modal sosial terdiri dari konsep-konsep seperti kepercayaan, norma-norma dalam komunitas, dan jaringan yang sulit untuk diukur. Tantangannya meningkat ketika muncul permasalahan pencarian alat ukur yang mampu untuk mengukur bukan hanya kuantitas tetapi juga kualitas dari modal sosial pada berbagai skala. Sejumlah peneliti modal sosial mengidentifikasi metode dan alat yang dapat mengukur dan memenuhi syarat agar modal sosial dapat digunakan oleh pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan, sehingga memungkinkan untuk menganalisis dampak yang ada dan menciptakan modal sosial baru yang bisa menguntungkan bagi masyarakat miskin dan bangsa

Dimensi Modal Sosial (skrpsi dan tesis)

Akhirnya, pengelompokan sumber dan dimensi modal sosial sangat dipengaruhi oleh metoda pendekatan yang digunakan dalam pengukuran modal sosial. Mengacu dari pembahasan konsep modal sosial, dalam penelitian ini digunakan tiga kelompok utama sebagai refleksi modal sosial, yaitu :

 (1) Rasa percaya,
(2) Norma/etika, dan
 (3) Jaringan Kerja.
1) Rasa Percaya
 Dasar perilaku manusia dalam membangun modal sosial adalah rasa percaya, melalui moralitas yang tinggi. Manusia dapat hidup damai bersama dan berinteraksi satu sama lain, memerlukan aktivitas kerjasama dan koordinasi sosial yang diarahkan oleh tingkatan moralitas. Kasih sayang dalam keluarga dilandasi oleh rasa saling percaya antar individu, sedangkan rasa percaya menjadi alat untuk membangun hubungan. Adanya hubungan lebih luas yang harmonis akan mampu menekan biaya transaksi dalam hal komunikasi, kontrak dan kontrol. Rasa percaya merupakan sikap yang siap menerima resiko dan ketidakpastian dalam berinteraksi. Kerjasama yang baik dimulai dari rasa percaya yang tinggi terhadap seseorang, semakin tebal rasa percaya terhadap orang lain akan semakin kuat jalinan kerjasama yang terbentuk. Kepercayaan sosial akan muncul dari interaksi yang didasari oleh adanya norma dan jaringan kerja pada pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut.
Aktivitas memonitor perilaku orang lain agar sesuai norma yang dianut dan disepakati tidak akan diperlukan lagi bila sudah terbentuk rasa saling percaya. Tingkat homogenitas (homogenity), komposisi populasi, dan tingkat ketidaksamaan (inequality) akan menentukan tingkatan rasa percaya. Pada daerah dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat ketidaksamaan yang rendah akan memberikan tingkat rasa percaya yang tinggi. Ketuhanan, etika, dan hukum merupakan sumber utama dari rasa percaya, sedangkan penyusunan  kelembagaan dan kekeluargaan menjadi bentuk struktural dari rasa percaya.
Rasa saling percaya dapat tumbuh berdasarkan interaksi intensif antar teman dan keluarga. Rao (2001) menyatakan bahwa rasa saling percaya (mutual trust) berperan penting dalam membangun ekonomi pasar yang sehat. Rasa percaya akan mengurangi gejolak dalam penegakan kontrak dan biaya monitoring sehingga mampu mengefisiensikan biaya transaksi. Kebenaran dan norma akan membangun rasa percaya yang berkelanjutan, tetapi keterbatasan manusia akan sifat rasionalitas cukup berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut. Oleh karena itu, perlu memperluas dan mengintensifkan komunikasi agar selalu tersedia informasi yang benar. Sejumlah penelitian memperlihatkan hasil bahwa rasa percaya berpengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, demikian pula sebaliknya, keberhasilan peme-rintah dalam pembanguan ekonomi dapat memperkuat rasa percaya sosial masyarakat terhadap pemerintah.
2) Norma/Etika
 Norma sangat berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga keuntungan yang dihasilkan setiap individu proporsional dengan usaha yang dilakukan dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, individu dalam kelompok harus berjuang dalam mencapai tujuan bersama dengan sukarela. Individu dalam kelompok diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan individu. Norma merupakan nilai universal yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999) menyatakan modal sosial sebagai norma  informal yang bersifat instan dan dapat membangun kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma sebagai bagian dari modal sosial dapat dibangun dari norma/etika yang disepakati antar teman. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, rasa percaya, norma dan komunitas sosial yang terbentuk sangat berkaitan dengan modal sosial yang muncul sebagai hasil dari modal sosial tetapi bukan modal sosial secara fisik.
Menurut Plateau (2000), pembangunan ekonomi yang berkembang telah terjadi manakala tujuan dan nilai-nilai sosial memperoleh ruang yang lebih luas. Prinsip keadilan yang mengarahkan seseorang dalam berperilaku tidak mementingkan diri sendiri, dipandang sebagai norma sosial yang merupakan aturan bagi setiap individu berperilaku bersama dalam suatu kelompok.
3) Jaringan Kerja
Setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan pilihan dengan siapa berinteraksi, dan dengan alasan tertentu pula. Jaringan kerja merupakan system pada saluran komunikasi untuk mengembangkan dan menjaga hubungan interpersonal. Biaya transaksi akan muncul sebagai akibat adanya bangunan saluran komunikasi. Nilai-nilai bersama (norma) juga berperan pada keinginan untuk bergabung membentuk jaringan kerja dengan orang lain. Munculnya koalisi dan koordinasi juga disebabkan adanya jaringan kerja. Keputusan melakukan investasi dalam suatu jaringan kerja disebabkan oleh adanya kontribusi saluran komunikasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakatnya, sehingga posisi individu pada struktur tersebut menjadi dasar pada evaluasi modal  sosial. Coleman (1988), mengatakan densitas dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama pada suatu organisasi. Modal sosial memberi manfaat pada individu dan jaringan kerja individu itu sendiri. Modal sosial merupakan jumlah dari modal interaksi yang dimiliki sejumlah individu yang terbentuk atas dasar norma yang dianut bersama. Modal sosial mempunyai ekternalitas ekonomi yang positif pada tingkat lokal melalui proses aktivitas aksi bersama (collective action), yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial dan struktur sosial dalam jaringan kerja tertutup. Hubungan sosial tergantung dari tingkat ketertutupan struktur sosial yang sangat penting dalam membangun kepercayaan dan penegakan norma yang efektif.
Woolcock (2000), memaparkan bahwa dalam modal sosial terdapat tiga hubungan, yaitu: (1) modal sosial mengikat (bonding sosial capital), (2) modal sosial menyambung (bridging sosial capital), dan (3) modal sosial mengait (linking sosial capital). Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding), pada umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan persahabatan. Hubungan antar individu dalam kelompok seperti ini mempunyai interaksi yang intensif, antar muka dan saling mendukung. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging), terbentuk dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekuensi yang relatif lebih rendah, seperti kelompok etnis tertentu, kelompok agama, paguyuban, sekaa, atau kelompok sosial lainnya. Sedangkan modal sosial yang bersifat mengait (linking), umumnya terbentuk dari interaksi individu atau kelompok dalam organisasi formal, 36 seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah, kelompok tani (subak), kelompok profesi, dsb. Cullen and Kratzmann (2000) juga menyebutkan bahwa ikatan kuat yang mengikat (bonding) banyak terjadi pada hubungan anggota keluarga, tetangga, dan teman-teman dekat. Hubungan ini biasanya berfokus pada hati dan berfungsi sebagai mekanisme perlindungan sosial selama dibutuhkan. Hubungan ini juga bertindak sebagai kendaraan utama untuk transmisi norma-norma perilaku pada anak-anak (sosialisasi) dan mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia. Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak-anak sangat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kepercayaan orang lain di luar keluarga. Dinamika keluarga juga mendorong upaya timbal balik dan pertukaran, yang merupakan dua faktor penting lainnya dalam lingkup modal sosial. Dukungan material dan emosional dibagi secara bebas antara anggota keluarga untuk menghasilkan kesediaan secara implisit pada dukungan tersebut (The World Bank, 2011).
Modal sosial bonding menjadi penting dalam difusi informasi, menetapkan norma-norma, mengendalikan penyimpangan, mencipta-kan kondisi saling membantu, dan melindungi kelompok yang rentan. Jenis modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai sumber utama kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi para anggotanya. Namun ikatan yang kuat seperti ini dapat membatasi pertumbuhan ekonomi melalui pemberlakukan hambatan dalam menjalin hubungan eksternal. Hubungan dalam interaksi antar orang-orang dari latar belakang etnis dan pekerjaan yang berbeda membentuk modal sosial menyambung (bridging). Jenis 37 modal sosial ini sangat penting bagi keberhasilan masyarakat sipil karena memberikan kesempatan untuk berpartisipasi, meningkatkan jaringan untuk pertukaran, dan saluran untuk menyuarakan keprihatinan kelompok yang mempengaruhi perubahan. Modal sosial menyambung ini adalah yang paling bermanfaat dalam hal pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi masyarakat dan pemerintah yang efektif, secara positif akan meningkatkan peran warga dikaitkan dengan solidaritas, integritas, dan partisipasi (jaringan keterlibatan masyarakat). Jaringan kerja masyarakat yang terjadi melalui ikatan dan norma asih-asuh timbal balik akan memperkuat sentimen kepercayaan dalam masyarakat dan juga berfungsi untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan organisasi sosial. Modal sosial mengait (linking) mengacu pada sifat dan tingkat hubungan vertikal antara kelompok-kelompok orang yang memiliki saluran dan akses terbuka, sumber daya, dan kekuasaan atau pemerintah. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat juga tercakup dalam hubungan modal sosial. Sektor publik (yaitu : negara dan lembaga-lembaga) sangat berperan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Undang-undang dan peraturan pemerintah menentukan dimensi ruang yang tersedia untuk masyarakat sipil, yang memungkinkan untuk berkembang atau mati/layu. Kehadiran modal sosial tidak selalu berarti adanya hubungan inklusif dalam masyarakat. Pendapatan dan kesenjangan kekayaan (linking yang lemah), ketegangan rasial dan etnis (bridging yang rendah), dan perbedaan dalam partisipasi politik serta keterlibatan masyarakat yang lemah (bonding yang lemah), semuanya berhubungan dengan kurangnya kohesi sosial. Kohesi sosial yang tinggi/kuat dapat ditunjukkan 38 dengan tingkat kepercayaan yang kuat dan norma timbal balik bagi kelompokkelompok dengan ikatan (bonding) yang kuat, banyaknya bridging yang harmonis, dan adanya mekanisme pengelolaan konflik (demokrasi responsif, peradilan yang independen, dll ) melalui hubungan antar kelompok termasuk pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, kohesi sosial mencerminkan adanya hubungan terintegrasi, baik hubungan horizontal (bonding dan bridging ) maupun hubungan secara vertikal dengan modal sosial linking (Gambar 2.1) .

Diagram menggunakan segitiga untuk menggambarkan hubungan antara kohesi (kerapatan) sosial terhadap modal sosial, yang meliputi :
 a. Tiga titik pada segitiga, yaitu :
(1) Linking (hubungan vertikal);
 (2) Bonding (keluarga, agama, dan etnis); dan
(3) Bridging (hubungan lintas sektoral)
b. Tiga posisi pada sisi segitiga, meliputi :
 (1) Kohesi sosial rendah (sisi segitiga antara linking dan bonding), yang terdiri dari kondisi: pengecualian, penindasan dan otoriter, ketimpangan/ketidakadilan, korupsi dan birokrasi yang tidak efisien, dan masyarakat tertutup;
 (2) Kohesi sosial yang tinggi (sisi segitiga antara linking dan bridging), yang terdiri dari kondisi : Inklusif, supremasi hukum dan demokrasi, akses dan kesetaraan kesempatan; serta efisiensi dengan birokrasi yang tidak korup; dan
(3) Hubungan modal sosial horisontal (sisi segitiga antara bonding dan bridging).

Sisi Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Analisis modal sosial dapat dilihat dari dua sisi yaitu:

 1) tingkatan analisis yang digunakan dan
 2) manifestasi modal sosial yang diteliti. Point pertama, memandang modal sosial dari level mikro samapai dengan makro.
Point kedua, memperluas jangkauan modal sosial dari menifestasi struktural ke kognitif (BPS Pusat, 2013a). Pada point pertama, modal sosial level mikro meliputi individu, rumah tangga, atau masyarakat dalam kominutas tertentu. Pada level ini modal sosial tercermin dari hubungan horizontal. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial pada komunitas tertentu akan menjamin kepatuhan terhadap norma, nilai, dan resiprositas antar manusia. Jejaring sosial yang terbentuk akan menciptakan eksternalitas yang bisa positif atau negatif bagi komunitas secara keseluruhan. Modal sosial pada level meso memandang modal sosial secara lebih luas baik pada hubungan horizontal maupun vertikal di dalam kelompok ataupun antar kelompok. Hubungan vertikal dilakukan terhadap pemilik otoritas/kekuasaan yang lebih tinggi sebagai akibat dari struktur sosial dalam kelompok. Pandangan ini sesuai dengan konsep modal sosial dari Coleman (1998). Pada level makro, modal sosial merujuk pada hubungan sosial yang sangat luas meliputi lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan memungkinkan norma untuk berkembang. Modal sosial dipandang sebagai pembentuk utama hubungan antar institusi formal (pemerintah maupun non pemerintah) dan tata kelola yang dianut (politik, hukum, peradilan, kebebasan politik dan sipil). Pada point kedua, manifestasi modal sosial dapat dilihat dari variabel yang digunakan untuk membangun indikator modal sosial. Modal sosial struktural mengacu  pada wujud yang lebih mudah dan nyata terlihat, seperti: institusi lokal, organisasi, dan jaringan antar orang, berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik, atau tujuan lain. Sedangkan modal sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih abstrak seperti rasa percaya, norma, dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antar orang-orang dalam mencapai tujuan bersama. Pengukuran kelompok/organisasi dapat diamati secara langsung berdasarkan ukuran keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan. Dalam hal ini, norma dan rasa percaya harus diperhatikan secara tidak langsung melalui persepsi masyarakat yang bertindak menurut kepatuhannya terhadap norma yang berlaku. Modal sosial struktural dan kognitif saling melengkapi, dimana struktur organisasi membantu menerjemahkan norma dan keyakinan ke dalam daerah perilaku tujuan sehingga berorientasi adanya koordinasi.
Partisipasi masyarakat jarang terjadi secara spontan, melainkan melibatkan persiapan sosial yang memerlukan proses :
(1) mengumpulkan informasi tentang keadaan dan sumber daya yang ada;
(2) analisis situasi;
(3) pemilihan prioritas tindakan;
(4) bergabung bersama-sama ke dalam kelompok atau organisasi yang mereka pilih sendiri; dan
 (5) bekerja dengan sarana untuk menerapkan persiapan.
Persiapan sosial membutuhkan pola yang sistematis dalam konteks aksi-refleksi-reaksi, yang merupakan praktek inti dalam dasar pembangunan partisipatif

Bentuk Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Tiga bentuk dari modal sosial menurut Coleman (1998), yaitu :

 (1) Struktur kewajiban (obligations), ekspektasi, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, bentuk modal sosial tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Perspektif ini memperlihatkan bahwa, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan rasa saling percaya yang tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi sebaliknya,
 (2) Jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah penting sebagai basis tindakan, tetapi harus disadari bahwa informasi itu mahal dan tidak gratis. Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi, demikian pula sebaliknya, dan
 (3) Norma serta sanksi yang efektif (norms and effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk memperoleh prestasi (achievement) tentu saja bisa digolongkan sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda dan berpotensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu seoptimal mungkin.

Konsep Modal Sosial (skripsi dan tesis)

 Berkembangnya ilmu ekonomi kelembagaan dalam pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE), muncul sebagai akibat adanya aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), dan rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah koordinasi, dan perkembangan teknologi. Dalam NIE, informasi pasar yang sempurna dan simetris, ketiadaan biaya transaksi, dan rasioanlitas yang tidak terbatas sebagai asumsi neo-klasik sudah dianggap tidak relastik lagi dan justru menjadi lebih longgar. Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu pada tahun 1972 dan Coleman tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang diperkenalkan adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam hubungan sosial. Individu yang terlibat dalam hubungan sosial dapat mempergunakan sumber daya sosial ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sejumlah intelektual menggunakan teori modal sosial sebagai salah satu bahan diskusi penting yang mempertemukan berbagai disiplin ilmu.
Berbeda dengan dua modal lainnya yang lebih dulu popoler dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), modal sosial akan berfungsi jika sudah berinteraksi dengan struktur sosial. Modal ekonomi yang dimiliki  seseorang/perusahaan mampu melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni bila keberadaannya tidak muncul akan membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih. Sejumlah definisi tentang modal sosial dipaparkan oleh para ahli, misalnya :
1. Uphoff dalam Hobbs (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerjasama.
2. Putnam (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kelembagaan sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan.
 3. Hobbs (2000), menyatakan modal sosial sebagai fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma (etika timbal balik), dan jaringan (keterlibatan sipil), yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Secara luas disepakati bahwa fasilitas modal sosial yang saling menguntungkan adalah aksi kolektif.
4. Bank Dunia (2000) dalam www.worldbank.org, menyatakan modal sosial sebagai aturan, norma, kewajiban, dan kepercayaan yang tertanam dalam hubungan sosial, struktur sosial, serta pengaturan kelembagaan masyarakat yang memungkinkan anggota untuk mencapai tujuan individu dan komunitas.
 Pandangan terbaru The Worl Bank Group (2011), menyatakan bahwa cakupan lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan norma-norma lebih memungkinkan untuk berkembang. Analisis ini memperluas pentingnya modal sosial untuk hubungan kelembagaan yang paling formal dan terstruktur, seperti: pemerintah, rezim politik, aturan hukum, sistem pengadilan, serta kebebasan sipil dan politik.
Pandangan ini tidak hanya memaparkan kebajikan dan keburukan modal sosial, serta pentingnya menempa hubungan antar personal dan di masyarakat, tetapi mengakui bahwa kapasitas berbagai kelompok sosial untuk bertindak sesuai dengan kepentingan mereka sangat bergantung pada dukungan atau ketiadaan yang yang mereka terima dari negara serta sektor swasta. Pembangunan ekonomi dan sosial tumbuh subur ketika perwakilan dari negara, sektor korporasi, dan masyarakat sipil membuat forum, dan melalui forum diupayakan menjadi sarana untuk mengidentifikasi dan mengejar tujuan bersama. Berdasarkan konsep dan pandangan tentang modal sosial seperti diungkapkan sejumlah pakar, maka dalam penelitian ini digunakan konsep modal sosial sebagai jaringan bersama dengan norma, rasa percaya dan pemahaman yang memfasilitasi kerja sama diantara atau antar kelompok. Modal sosial mengacu pada lembaga, hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Modal sosial baru dapat diimplementasikan bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial. Modal sosial berhubungan dengan norma atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif. Hal ini  berimplikasi, bahwa modal sosial lebih memfokuskan kepada sumber (sources) daripada konsekuensi atas modal sosial itu sendiri. Deskripsi tentang modal sosial, seperti kepercayaan, norma dan hubungan timbal-balik, dikembangkan sebagai sebuah proses yang terus-menerus.

Kerumunan (Crowd) (skripsi dan tesis)

 

Kerumunan (crowd) merupakan kelompok sosial yang relatif tidak teratur. Dalam suatu kerumunan sering terjadi banyak hal mengenai interaksi yang bersifat sementara, spontan dan tidak terduga Bahkan menjadikan kedudukan sosial seseorang menjadi sama dengan orang lain yang hadir dalam kerumunan itu sendiri. (Soerjono Soekanto, 2010:129) Kerumunan itu sendiri apabila dilihat dari artikulasi dengan struktur sosial terbagi menjadi dua, yaitu :
 a. Formal Audience Khalayak penonton atau pendengar yang formal (formal audience) merupakan kerumunan-kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan tujuan, tetapi sifatnya pasif. Contohnya adalah penonton film, orang-orang menghadiri khotbah keagaaman.
b. Planned Expressive Group Kelompok ekspresif yang telah direncanakan (planned expressive group) adalah kerumunan yang pusat perhatiannya tak begitu penting, tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpan dalam aktivitas kerumunan tersebut serta kepuasan yang dihasilkannya. Fungsinya adalah sebagai penyalur keteganganketegangan yang dialami orang karena pekerjaan sehari-hari. Contoh orang-orang yang berpesta, berdansa dan sebagainya (Soerjono Soekanto. 2010:130). Suporter sepakbola terdiri dari ratusan bahkan ribuan aktor didalamnya, maka tak heran apabila suporter merupakan kerumunan yang ada dalam stadion ketika ada tim yang bertanding. Bagaimana 23 cara-cara suporter dalam menunjukkan eksistensi mereka dapat diketahui dengan teori kerumunan tersebut

Konsep Suporter (skripsi dan tesis)

Kata ‘suporter’ berasal dari kata kerja (verb) dalam bahasa Inggris to support dan akhiran (suffict) –er. To support artinya mendukung, sedangkan akhiran –er menunjukkan pelaku. Jadi suporter dapat diartikan sebagai orang yang memberikan suport atau dukungan (Suryanto. 2011 dalam suryantopsikologi.wordpress.com). Sementara itu suporter adalah orang yang memberikan dukungan, sehinga bersifat aktif. Di lingkungan sepakbola, suporter erat kaitannya dengan dukungan yang dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme terhadap tim. Jika manajer adalah otak tim, pemain adalah energi tim, maka suporter adalah inspirator permainan. Tidak salah apabila mereka sering disebut pemain ke 12 (Ubaidillah Nugraha. 2008 : 53).
 Ada beberapa hal yang membedakan antara suporter sepakbola dengan suporter cabang olahraga lain. Misalnya dari segi jumlah dan penampilan. Dari segi jumlah, suporter sepakbola jauh lebih banyak daripada suporter olahraga lain. Selain karena popularitasnya, juga karena kapasitas tempat (stadion) yang cenderung lebih besar daripada olahraga lainnya. Dari segi penampilan, suporter sepakbola dikenal lebih fanatik dan atraktif dalam mendukung suatu kesebelasan. Fanatisme ataupun sikap atraktif bisa dilihat dari atribut yang mereka gunakan dan juga yelyel atau lagu yang mereka tampilkan di stadion (Anung Handoko. 2007: 33). Suporter merupakan kelompok sosial yang terbentuk karena ada minat yang sama dalam diri setiap anggotanya untuk mendukung tim yang dibanggakannya (Bimo Walgito, 2010:11). Sementara itu kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soerjono Soekanto, 2010: 104).

Komponen Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Modal sosial pada penelitian ini cenderung melihat pada bagaimana kelompok sosial pada suporter terakomodir melalui tiga bentuk yaitu melalui norma, jaringan, dan kepercayaan.

a) Konsep Norma (Norms)
Dasar pengertian norma yaitu memberikan pedoman bagi seseorang untuk bertingkah laku dalam masayarakat. Kekuatan mengikat norama-norma tersebut sering dikenal dengan empat pengertian antara lain cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom) (Soerjono Soekanto. 2010: 174). Kelompok sosial seperti pada suporter sepakbola dalam hal ini adalah Paserbumi tentu juga memiliki norma sebagai pedoman bagi anggota didalamnya, maka pada penelitian ini ingin mengungkap seberapa kuat suatu norma itu berfungsi serta memberikan pengaruh terhadap tingkah laku anggota Paserbumi. Apabila dilihat dari bentuknya maka norma terbagi menjadi dua macam yaitu norma tertulis dan norma tidak tertulis, maka pembahasan norma pada penelitian ini melihat bagaimana kedua bentuk norma tersebut mampu mengorganisir seluruh anggota maupun pengurus pada Paserbumi
b) Konsep Kepercayaan (Trust)
Taqiudin Subki (2011: 17) dalam makalahnya mengutip dari Fukuyama menyampaikan bahwa kepercayaan (trust) muncul jika di suatu kelompok terdapat nilai (shared value) sebagai dasar dari kehidupan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Eric M Uslaner dalam Handbook of Social Capital membedakan kepercayaan menjadi dua, yaitu kepercayaan moralistik dan kepercayaan strategis. Kepercayaan moralistik adalah pernyataan tentang bagaimana orang harus bersikap. Sementara itu kepercayaan strategis mencerminkan harapan kita tentang bagaimana orang akan berperilaku (Castiglione, 2007: 103). Kepercayaan moralistik merupakan keyakinan bahwa orang lain memiliki nilai-nilai dasar moral dan karena itu harus diperlakukan seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka. Nilai-nilai tersebut dapat disampaikan bervariasi dari satu orang ke orang lain. Hal terpenting adalah rasa koneksi dengan orang lain karena kita melihat mereka sebagai anggota komunitas kita sendiri yang kepentingannya harus ditanggapi dengan serius. Bukan berarti kepercayaan strategis bersifat negatif akan tetapi didasarkan pada ketidakpastian (Castiglione, 2007: 103). Dari konsep tersebut maka modal sosial berupa kepercayaan (trust) dalam keanggoatan Paserbumi termasuk dalam moralistik ataukah strategis, bila dilihat dari perkembangan Paserbumi yang mengalami pasang surut ditengah konflik dualisme liga.
 c) Konsep Jaringan (Networks)
 Jaringan ialah sekelompok orang yang memiliki norma-norma atau nilai-nilai informal di samping norma-norma atau nilai-nilai yang diperlukan untuk transaksi biasa di pasar (Fukuyama, 2005: 245). Jaringan (net-work) sosial adalah ikatan antarsimpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan antarmedia (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat oleh kepercayaan, bentuk strategis, dan bentuk moralitas. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat pihak-pihak yang berinteraksi (Agus Salim. 2008: 73). Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, di mana ‘ikatan’ yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person) (Ruddy Agusyanto. 2007: 13). Hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang (titik) dengan orang-orang lain di mana melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu (Ruddy Agusyanto. 2007: 14). Dari beberapa definisi diatas maka jaringan sosial adalah suatu ikatan atau hubungan sosial antar manusia yang salin berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Conseptualisation of the wider benefits of learning yang dikemukakan oleh Schuller juga mencamtumkan mengenai jaringan/teman ke dalam konsep tersebut, sehingga jaringan/teman juga mempunyai peran yang penting dalam suatu modal, baik modal manusia, modal sosial maupun modal identitas (Schuller, 2004: 11) Jaringan sosial meliputi aktor/node (individu) sebagai pelakunya yang kemudian berhubungan sosial baik dengan individu lain ataupun kelompok bisa dikatakan sebagai ikatan atau ties. Nan lin menjelaskan bahwa aktor/kelompok dalam jaringan sosial saling terikat untuk mencapai tujuan tertentu (Castiglione, dkk. 2007: 64). Terkait dengan suporter Paserbumi ialah bagaimana suporter sebanyak itu dapat terkoordinir menjadi sebuah jaringan padahal secara tidak langsung interaksi diantara mereka tidak terlalu intensif, namun apabila tim Persiba berlaga dukungan terus digulirkan oleh Paserbumi. Analisis Steven N. Durlauf mengenai membership, bahwa dalam suatu keanggotaan apabila mempunyai ikatan (ties) yang kuat dengan yang lainnya, maka dia akan mudah untuk mengakses sumber daya kelompok itu sendiri, seperti halnya membuat keputusan dan cenderung mengecualikan mereka yang bukan anggota (Castiglione, dkk. 2007: 595). Membership group merupakan suatu kelompok di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut (Soerjono Soekanto. 2010: 123). Membership (keanggotaan) pada suporter Paserbumi terkait dengan munculnya dualisme kompetisi masihkah tetap stabil, mengingat dualisme tersebut merupakan salah satu penyebab pecahnya beberapa suporter di tim sepakbola lain

Multikulturalisme (skripsi dan tesis)

Masyarakat mengenal kata multikulturalisme sebagai sesuatu yang beraneka ragam. Terdapat tiga pengertian tentang multikulturalisme menurut Liliweri, yaitu :
1. Multikulturalisme adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna yang saling berkaitan. Pertama, multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. Kedua, multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan karena, bagaimanapun juga semua kelompok etnik atau suku bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan bangsa.
 2. Sebagian besar negara, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diintroduksi ke dalam pemerintahan agar pemerintah dapat menjadikannya sebagai kebijakan pemerintah. Rasionalisasi masuknya multikulturalisme dalam perumusan kebijakan pemerintahan karena hanya pemerintah yang dianggap sangat representatif ditempatkan di atas kepentingan maupun praktik budaya dari semua kelompok etnik dari suatu bangsa. Akibatnya setiap kebijakan pemerintah diharapakn mampu mendorong lahirnya sikap apresiasif, toleransi, prinsip kesetaraan antara berbagai kelompok etnik termasuk kesetaraan bahasa, agama, maupun praktik budaya lainnya.
3. Pendidikan multikulturalisme (multicultural education). Multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar belakang kebudayaan dari peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat sekurangkurangnya dari sekolah sebagai lembaga pendidikan, dapat terbetuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, keseimbangan dan demokrasi dalam artian luas (Liliweri, 2005:68). Perkembangan masyarakat yang modern belakangan ini menumbuhkan semangat para kaum minoritas untuk menuntut pengakuan atas identitas dan kebudayaan mereka yang berbeda. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok sosial dengan sistem norma dan kebudayaan yang berbeda. Masyarakat multikultural merupakan bentuk dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri dari berbagai golongan, suku, etnis, ras, agama, dan budaya.
Penguatan dan pengembangan wawasan multikulturalisme diyakini bisa menjadi alternatif terhadap penguatan politik identitas. Sebab, dalam perspektif multikulturalisme, keragaman dan perbedaan tidak saja diakui, tapi juga dirayakan sebagai berkah kehidupan. Dalam menyelesaikan segala macam persoalan, multikulturalisme menawarkan dialog, keterbukaan, sikap toleran dan penolakan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan. Dalam hal ini, multikulturalisme adalah titik tolak bagi terciptanya perdamaian. Menurut Parekh dalam Munir, terdapat lima macam multikulturalisme, yaitu sebagai berikut :
1. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu pada kehidupan masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok kultural secara otonom. Keragaman diterima, namun masing-masing kelompok berusaha mempertahankan identitas dan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat umum lainnya.
2. Multikulturalisme akomodatif yaitu sebuah masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, namun yang dominan juga memberikan ruang bagi kebutuhan kultur yang minoritas. Antara yang dominan dan minoritas saling hidup berdampingan, tidak saling menentang dan tidak saling menyerang. Jembatan akomodasi tersebut biasanya dengan merumuskan dan menerapkan hukum, undang-undang atau peraturan lainnya
. 3. Multikulturalisme otonomis, dalam masyarakat ini, setiap kelompok masyarakat kultur berusaha mewujudkan equality (kesetaraan) dengan budaya yang dominan serta berusaha mencapai kehidupan otonom dalam kerangka politik yang dapat diterima secara kolektif. Tujuan akhir dari kelompok ini adalah setiap kelompok dapat tumbuh eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal dan interaktif. Dalam masyarakat ini mengutamakan upaya tercapainya kultur kolektif yang dapat menegaskan dan mencerminkan perspektif distingtif mereka. Dalam pelaksanaannya, biasanya terjadi pertentangan antara kelompok dominan dengan kelompok minoritas.
5. Multikulturalisme kosmopolitan. Dalam masyarakat ini akan berusaha menghilangkan sama sekali batas-batas kultur sehingga setiap anggota secara individu maupun kelompok tidak lagi terikat oleh budaya tertentu. Kebebasan menjadi jagoan utama dalam keterlibatan dan eksperimen pengetahuan intelektual serta mengembangkan kehidupan kulturalnya masing-masing secara bebas (Munir, 2008: 110).
 Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang berbeda dalam kelompok sosial, budaya, dan suku. Meskipun berbeda kelompok sosial, budaya, dan sukunya, masyarakat multikultural sangat menjunjung tinggi perbedaan serta hak dan kewajiban dari setiap perbedaan yang ada. Masyarakat multikultural sangat memperjuangkan kesederajatan kelompok minoritas dan mayoritas baik secara hukum maupun sosial. Multikulturalisme adalah suatu gerakan pembacaan untuk penyadaran terhadap bentuk-bentuk penghargaan atas perbedaan yang di dalamnya politik identitas bisa lebih leluasa bermain (Abdilah S, 2002). Relevansinya dengan konteks Malaysia adalah bahwa Malaysia merupakan sebuah negara dengan masyarakat yang terdiri dari bergam suku, etnis, budaya, dan agama yang berbeda yang ingin disatukan menjadi satu kesatuan. Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan jika multikulturalisme menurut peneliti adalah keanekaragaman masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial, budaya, etnis dan agama yang berbeda yang harus dijunjung tinggi serta diperlakukan sama di dalam kehidupan bermasyarakat maupun di dalam pemerintahan. Masyarakat multikultural tidak bedanya dengan masyarakat yang plural, yaitu masyarakat yang hidup dengan segala perbedaan. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu menampung seluruh perbedaan yang ada secara sama, sehingga mampu membentuk integrasi sosial yang baik di dalam kehidupan bermasyarakat.

Politik Identitas (skripsi dan tesis)

Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep yang menjadi basis untuk pengenalan sesuatu hal. Kita akan mengenali sesuatu halnya itu kalau kita tahu identitasnya. Ini juga akan berarti bahwa kalau kita mengenali identitas sesuatu hal, maka kita akan memiliki pengetahuan akan sesuatu halnya itu. Politik identitas merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh. Dalam filsafat sebenarnya wacana ini sudah lama muncul, namun penerapannya dalam kajian ilmu politik mengemuka setelah disimposiumkan pada suatu pertemuan internasional Asosiasi Ilmuwan Politik Internasional di Wina pada 1994 (Abdilah, 2002: 16).

 Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain. Pendapat Jeffrey Week tersebut menekankan pentingnya identitas bagi tiap individu maupun bagi suatu kelompok atau komunitas (Widayanti, 2009: 14). Namun demikian, sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang terutama dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau wanita. Sedangkan untuk identitas non-fisik adalah nama yang digunakan, juga status yang ada pada keluarga pada saat dilahirkan. Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan (citizenship)). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of bellonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness) (Setyaningrum, 2005: 19). Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas” (politica of identity). Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme 16 politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik (Setyaningrum, 2005: 19).

Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka (Widayanti, 2009: 13). Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas dan akan kita pakai dalam pembahasan berikutnya mengenai politik identitas. Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari „sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas‟. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference) (Setyaningrum, 2005: 26). Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas merupakan karekteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas dengan komunitas lain. 17 Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan posisi seseorang. Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu: 1. Primodialisme. Identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun. 2. Konstruktivisme. Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatanikatan kultural dalam masyarakat. 3. Instrumentalisme. Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan (Widayanti, 2009: 14-15). Politik identitas bisa dikatakan terjadi di setiap kelompok atau komunitas, salah satunya yang terjadi dalam serial film Upin dan Ipin. Masing-masing individu yang memiliki identitas pribadi yang berbeda dari suku, etnis dan agama telah bergabung menjadi satu komunitas yang memiliki identitas kolektif. Walaupun mereka memiliki identitas kolektif sebagai warga negara Malaysia yang sah, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka tetap memiliki ego untuk memperjuangkan identitas pribadinya. Disinilah terjadi persaingan antar individu dalam suatu komunitas yang ada dalam film Upin dan Ipin ini. Hal ini disebut sebagai politik identitas. 18 Menurut Cressida Heyes (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007) mendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalamanpengalaman ketidakadilan yang dialami bersama anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu (www.assignmentfilzaty.blogspot.com).

Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Dalam hal ini Cressida Heyes beranggapan jika politik identitas lebih mengarah kepada kepentingan terhadap individu atau kelompok yang terpinggirkan dari pada pengorganisasian. Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalamya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing. Hal ini dikarenakan kepribadian dan identitas individu yang berbeda dan unik, sangat mungkin terjadi dominasi antar individu yang sama-sama memiliki ego dan tujuan pribadi. Sehingga menyebabkan pergeseran kepentingan terkait dengan perebutan kekuasaan dan persaingan untuk 19 mendapatkan posisi strategis bagi tiap individu di dalam komunitas tersebut (www.desantara.or.id/politik-identitas-sebagai-modus-multikulturalisme). Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas menurut peneliti adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya. Politik identitas sering digunakan untuk merekrut dukungan orang-orang yang termarjinalkan dari kelompok mayoritas

Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Fenomena perubahan sosial dan politik memberikan ruang yang sangat luas bagi berkembangnya varian varian analisis sosial politik yang saling berkaitan, tidak hanya pada lingkup kajian keilmuan tertentu secara eksklusif, tetapi juga melihat pola hubungan antara kepentingan satu keilmuan dengan bidang ilmu yang lainnya. Pada awalnya, pembahasan mengenai konsep modal sosial hanya digunakan dalam ranah ilmu ekonomi yang dimaknai sebagai “sejumlah uang yang diakumulasi yang dapat diinvestasikan dengan harapan akan memperoleh hasil yang menguntungkan dimasa yang akan datang” baru sekitar tahun 1960-an, masih dengan menggunakan perspektif ekonomi, konsep modal sosial berkembang dengan menggunakan manusia dan kapasitasnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keterampilan sebagai alat pelengkap yang bisa mengukur produktivitas dari investasi modal fisik seperti alat produksi.

 Selanjutnya pada kurun waktu 1980-an berkembang diskursus tentang modal sosial dengan cakupan analisis yang lebih luas lagi dengan mengaitkannya pada konsep ilmu sosial yang diperdebatkan pengaruh dari tulisan tulisan Pierre Bourdieu, James Coleman, dan Robert Putnam.Modal sosial selalu membicarakan kualitas hubungan antar manusia, terutama dalam melihat pesatnya perkembangan hubungan asasiasional, Alexis de Tocqueville melihat bagaimana relasi sosial asasiasional yang dibangun memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan demokrasi dan memberikan dukungan bagi kekuatan ekonomi di Amerika. Yang menjadi fokus utama konsep modal sosial adalah bagaimana jaringan sosial menjadi aset yang sangat berharga dan memberi dasar bagi terjadinya kohesi atau kerekatan sosial karena memberikan ruang sekaligus dorongan orang untuk saling terikat satu sama lain untuk saling memberikan manfaat.
Dengan mengutip Putnam (1993), Jhon field mendefinisikan modal sosial sebagai “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi”.45 Norman Uphoff mengaitkan definisi modal sosial dengan konsep aset yang dimaknai sebagai: “Segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif dimasa mendatang lebih efesien, efektif, inovatif dan dapat diperluas/disebarkan dengan mudah, sedangkan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama.” Lebih jauh Uphoff menjelaskan bahwa modal sosial bisa lebih mudah difahami dengan membaginya menjadi

 “Kategori struktural yaitu yang berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringan-jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari tindakan kolektif, dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial. Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi- norma-norma, nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama.”
Dua kategori diatas tidak bisa dianalisis secara terpisah, karena keduanya saling berkaitan dan menjadi faktor subjektif yang bisa menjelaskan fenomena sosial, struktural ataupun kognitif menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku individu maupun masyarakat walaupun bentuk dari keduanya berbeda. Yaitu kategori struktural lebih bersifat eksternal dan kategori kognitif bersifat internal, sinergi kedua kategori tersebut akan mampu menunjukkan bagaimana modal sosial yang dibentuk dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma dapat membangun dan membentuk struktur sosial

Nasionalisme (skripsi dan tesis)

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. James G Kellas memaknai nasionalisme sebagai: “Nasionalism is both an ideology and a form of behaviour. The ideology of nationalism builds on peoples awareness of nation (national self-consciousness) to give a set of attitudes and programme of action, they may be cultural, economic or political. Since ‘nation’ can be defined in ethnic, social, or official sense, so nationalism can take these form also”33 (Nasionalisme merupakan sebuah ideologi dan bentuk perilaku. Ideologi nasionalisme dibangun di atas masyarakat yang memiliki kesadaran berbangsa (kesadaran diri nasional) yang ditunjukkan dengan sikap dan aksi, dalam bentuk budaya, ekonomi atau politik).

 Nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa. Anthony D. Smith mengemukakan nasionalisme sebagai “sebuah ideologi, nasionalisme memiliki sasaran untuk mencapai pemerintahan yang kolektif, penyatuan wilayah, dan identitas budaya, juga kerapkali mempunyai program politik dan budaya yang jelas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.”Pemahaman tersebut berkaitan dengan sasaran nasionalisme itu sendiri yaitu dicapainya otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional yang disatukan dalam sebuah pemahaman mengenai sebuah bangsa yang aktual dan bangsa yang potensial. Komponen utama pembahasan mengenai nasionalisme adalah konsep mengenai bangsa dan kelompok etnis yang menjadi subyek sekaligus obyek dari nasionalisme itu sendiri. Pemahaman mengenai bangsa (nation), seperti yang dikemukakan M.D La Ode dengan mengutip Hans Kohn bahwa: “Nationalism astate of mind, in wich supreme loyality of the individual is felt to be due the nation-satate. A deep attachment to one’s native soil, to local traditions and to established territorial authority has existed in varying strenght throughthout history (Nasionalisme merupakan bentuk tertinggi dari sebuah loyalitas yang dirasakan oleh seorang individu atas sebuah bangsa. Ini juga merupakan sebuah perasaan yang mendalam terhadap tanah asal (kampung halaman) seseorang, tradisi lokal dan otoritas teritorial yang didirikan dan sepanjang sejarah)

 Nasionalisme dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai kelompok etnis atau etnosentris (kesukuan) dipandang sebanding dengan pemaknaan tentang nation atau bangsa. Bedanya adalah bahwa kelompok etnis nyaris dimaknai sama dengan makna nation atau bangsa, sedangkan etnosentrisme lebih berakar dalam perspektif psikologi sosial dari pada makna nasionalisme yang lebih berakar pada dimensi psikologis, namun demikian kelompok lebih memiliki dimensi ideologis dan politis. James G. Kelles melihat korelasi makna nasionalisme dalam konteks kelompok etnis sebagai: “the term ‘ethnic group’ is frequently used to describe a quasi-national kind of ‘minority group’ within the state, wich has somehow not achived the status of nation”(Istilah ‘kelompok etnis’ sering digunakan untuk menggambarkan jenis kuasi-nasional ‘kelompok minoritas dalam negara, yang tidak mencapai status negara). Lebih lanjut Kellas mengatakan bahwa etnisitas bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah namun merupakan sebuh kontruksi yang dibuat oleh negara.
 Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme mengklaim dan menuntut loyalitas dari setiap individu untuk bangsa dan kepentingan nasional sedangkan politik etnis lebih melihat pada komitmen kelompok dan etnis tertentu, Kellas mencoba mengintegrasikan makna politik nasionalisme dan etnisitas sebagai sebuah kesatuan yang bisa digunakan untuk melihat sebuah tatanan politik dari sebuah bangsa. Dalam perkembangannya, nasionalisme ditentukan oleh interaksi politik, ekonomi dan perkembangan budaya. Lebih lanjut Kellas mengemukakan bahwa ada dua aspek yang saling berkaitan mengenai nasionalisme politik, yaitu: pentingnya identitas nasional dan adanya keinginan untuk memperbaiki sistem sosial dan politik dari dominasi seseorang atau kelompok tertentu.Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. La Ode melanjutkan bahwa dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia (disebut sebagai etnis Cina), nasionalisme dibagun berdasarkan dua nilai substansi fundamental dari makna nasionalisme itu sendiri yaitu nasionalisme kultural dan nasionalisme politik, dimana nasionalisme kultural menjadi manifestasi nilai kultural etnis Tionghoa sebagai asal leluhurnya dan nasionalisme politik merupakan manifestasi nasionalisme sebagai bagian dari rakyat Indonesia, dan uniknya dua substansi fundamental nasionalisme tersebut bisa digunakan secara simultan dan menjadi nilai secara konsisten didalam diri individu atau bisa juga digunakan bergantian tergantung dari kondisi dan perkembangan politik nasiona

Multikulturalisme (skripsi dan tesis)

Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang ditunjukkan dengan tatanan hidup saling berdampingan namun tetap membaur dalam sebuah unit politik. Seperti dicontohkan bagaimana harmonisasi yang terjadi antara masyarakat Cina, India, dan Melayu yang dekat secara geografis namun memiliki budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya namun  mampu bersinergi sebagai kekuatan etnoreligius tanpa menghilangkan identitas kultural masing-masing. Clifford Geertz berkomentar bahwa kemerdekaan nasional merangsang sentimen-sentimen etno religious di negara-negara baru karena termotivasi oleh visi dan misi tentang kemerdekaan yang memperebutkan kontrol atas negara. Karena itu dibutuhkan kekuatan yang lebih besar dari sekedar kekuatan negara yaitu kekuatan masyarakat secara lebih kondusif yang dibangun diatas nilai nilai pluralisme dan multikulturalisme. Masyarakat menjadi ujung tombak dari kontrol yang harus dilakukan terhadap berkembangnya konflik diantara kekuatan-kekuatan kelompok baik yang berbasis etnis maupun agama, karena seiring berkembangnya kapitalisme modern, struktur sosial secara langsung telah membuat kotak-kotak budaya yang ada didukung oleh ekonomi pasar yang seharusnya mampu memperkuat cita-cita demokratis keselarasan sipil dan kewarganegaraan.

 Hal tersebut penting untuk dilakukan untuk memperkuat pembentukkan nation building dengan menggunakan kotak-kotak budaya yang sudah ada atau dengan pembentukkan faksi-faksi baru yang akan muncul seiring dengan berkembangnya kesadaran sosial dan politik masyarakat. Secara sederhana, multikulturalisme dimaknai sebagai pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya (misal bahasa-bahasa minoritas), dan pada saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang.Cashmore menjelaskan dalam kaitannya dengan kebijakan negara, multikulturalisme bertujuan pada dua hal:
(1). Untuk memelihara keselarasan antara kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam,
(2) untuk menstrukturkan hubungan  antara negara dan minoritas etnik.
 Pembahasan mengenai multikulturalisme selalu dikaitkan dengan konsep konsep kewarganegaran, seperti konsep bangsa, etnis, suku dan rakyat atau penduduk. Secara historis, konsep kebangsaan di Indonesia selalu merujuk pada fenomena tentang ras, keberagaman suku, masa penjajahan, gerakan kemerdekaan. Kymlica menjelaskan konsep kebangsaan ini berawal dari konsep bangsa yang bersifat sosial-budaya-politik, sementara konsep negara lebih berorientasi pada hukum, lebih jauh Kymlica mengemukakan bahwa bagsa adalah komunitas sejarah, yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan, yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air yang berbagi bangsa dan budaya yang spesifik

Model Dalam Politik Identitas (skripsi dan tesis)

Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu dilakukan identifikasi bagaimana konstruksi sebuah identitas muncul yang menurutnya bisa dilihat dengan 3 model bentukkan identitas, yaitu:

a. Legitimizing identity atau legitimasi identitas, yaitu identitas yang dibangun oleh institusi (penguasa) yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Institusi ini menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas tertentu pada seseorang atau kelompok.
 b. Resistance identity atau resistensi identitas, yaitu identitas yang dilekatkan oleh aktor aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu resistensi dan membentuk identitas baru yang berbeda dari kebanyakan anggota komunitas sosial yang lain, konstruksi identitas inilah yang oleh Coulhoun dimaknai sebagai politik identitas.
c. Project identity atau proyek identitas, konstruksi identitas pada model ini dilakukan oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan membentuk identitas baru untuk bisa mencapai posisi posisi tertentu dalam masyarakat, hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa merubah struktur sosial secara keseluruhan.

Politik Identitas (skripsi dan tesis)

 

Ada beberapa pemahaman yang muncul mengenai pemahaman tentang politik identitas sebagai sebuah teori dalam ilmu politik. Memaknai politik identitas harus dilekatkan pada konsep identitas itu sendiri, yang oleh Suparlan disebut juga sebagai jati diri. Masih menurut Suparlan, identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang dikaitkan dilekatkannya rangkaian ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang menandainya masuk dalam satu kelompok atau golongan tertentu. Sementara Buchari dengan mengutip Jumadi (2009) mengemukakan bahwa konsep identitas secara umum dapat dimaknai sebagai sebuah citra yang membedakan individu atau suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain, hal tersebut dilakukan secara simultan dalam interaksi sosial sampai memunculkan opini tertentu yang berkaitan dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut.
 Secara tegas, Cressida Heyes dalam Stanford Encyclopedia of Philosophymendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalamanpengalaman ketidakadilan yang dialami bersama anggota- anggota dari kelompokkelompok sosial tertentu.22Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan atas pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Politik identitas seakan-akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensial tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Merujuk pada Castells yang mengatakan bahwa identitas merupakan atribut yang melekat kepada seseorang secara kultural, masyarakat Tionghoa di Indonesia secara tegas teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat non pribumi yang terpisah dari masyarakat asli Indonesia walaupun dalam diri mereka melekat identitas kesukuan Indonesia seperti Jawa (Cina jawa), Batak (Cina Batak), Manado (Cina manado), Betawi (Cina Benteng), dan lain lain, identifikasi tersebut tidak hanya diberikan oleh orang diluar Tionghoa tetapi dilekatkan pula oleh komunitas mereka sendiri berdasarkan struktur silsilah etnis mereka secara genetik dan budaya nenek moyang. Politik identitas dikalangan orang Tionghoa bisa dengan sangat mudah tampak pada streotip yang ditunjukkan dan menjadi asumsi umum misalnya kebiasaan orang Tionghoa yang hidup berkelompok di wilayah tertentu24 (disebut pecinan), perayaan tradisi yang dilakukan secara bersamaan seperti Imlek dan Cap Go Meh, namun demikian, Castells juga menegaskan bahwa: “Identities can also be originated from dominant institutions, they become identities only when and if social actors internalize them and construct their meaning around this internalization”25Castells mengemukakan bahwa identitas tidak hanya tentang bagaimana individu mengidentifikasi dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana kelompok dominan memberikan klaim dan menginternalisasi seseorang atau kelompok tertentu yang dilekatkan pada ciri-ciri dan streotif yang dilekatkan pada mereka.

Representasi Politik (skripsi dan tesis)

Menurut Nuri Suseno dalam bukunya yang berjudul Representasi Politik, bahwa perkembangan representasi politik dapat diamati sejauh mana keberadaan Negara dalam pelaksanaan demokrasinya yang sangat dipengaruhi oleh perubahan fenomena politik. Viera dan Runciman mengatakan bahwa semua negara modern saat ini merupakan negara perwakilan. Representasi yang secara sederhana diartikan “menghadirkan yang tidak ada atau yang tidak hadir” berubah untuk memahami praktik politik demokrasi (Nuri Suseno, 2013:16). Pada awalnya, menurut Hanna Pitkin representasi sepanjang sejarah tidak ada hubungan dengan demokrasi, ahkan tidak identik dengan demokrasi itu sendiri. Demokrasi dipandang sebagai pemerintahan rakyat sedangkan representasi adalah menghadirkan yang tidak hadir. Tentunya ini sangat berlawanan.Demikian pula yang dikatakan Benard Manin dalam The Principles of Representative Government (1997), pemerintahan perwakilan tidak sama dengan demokrasi (Nuri Suseno, 2013:26). Menurut perspektif Manin dalam melihat state dan civil sebagai representasi politik dari perspektif demokrasi, lembaga yang dipandang sentral didalam pemerintahan perwakilan adalah “election” atau pemilihan dengan distinction.Sehingga dari election lahirlah wakil-wakil politik.

Menurut Hanna Pitkin, dikatakan layak seseorang wakil dalam perspektif demokrasi adalah (1) authorization (otorisasi), (2) substantive acting for (tindakan mewakili dalam artian sesungguhnya), dan (3) accountability (pertanggungjawaban atau penanggunggugatan). Dari sini, paradigma yang semula menentang antara represtasi dengan demokrasi berbeda dapat menemukan benang merahnya (Nuri Suseno, 2013:30-31) Repsentasi politik dari perspektif demokrasi cenderung dinamis, sebagaimana yang diungkap oleh Laura Montanaro. Montanaro melihat representasi politik dari intuisi normative demokrasi, bahwa representasi tidak harus dari election (representasi electoral) tetapi adanya self appointed representation yang berasal dari individu, kelompok masyarakat non pemerintahan (lokal, nasional, atau global). Demokrasi yang inklusif memungkinkan representasi politik yang tereklsusikan untuk hadir dan terwakili diarena pengambilan keputusan. Representasi politik sering dipahami sebagai keterwakilan suatu pihak atas pihak lain. Namun konsep ini bukan berarti menjadi konsep mutlak dari representasi.
Seperti yang tercantum dalam kutipan berikut: …the very notion of representation tells us that the represented is not present. Prevailing conceptual definitions in any period are shaped by its advocates who are themselves formed by their political representation is both contingent and contested, a complex combination of elements that is ill-suited to simple definition or application… (…gagasan representasi menunjukkan bahwa pihak yang direpresentasikan tidak hadir. Definisi-definisi konseptual yang ada dalam suatu periode dibentuk oleh para penganjurnya, mereka sendiri dibentuk oleh konteks dan prioritas politik pada masanya.
Makna representasi politik, dengan demikian, [bersifat] sementara dan dapat diperdebatkan, sebuah kombinasi yang kompleks dari unsurunsur yang kurang cocok bagi definisi atau penerapan yang sederhana…). (Nuri Suseno, 2013:25) Kutipan diatas menunjukan bahwa konsep dari representasi politik tidak mudah dipahami dan didefinisikan secara universal. Hal ini dikarenakan ada banyak perdebatan mengenai makna dari representasi politik. Representasi politik terlalu kompleks dan terdiri dari unsur-unsur yang sukar untuk didefinisikan. Representasi politik tidak hanya seputar wakil dan pihak yang diwakilinya, namun lebih dari itu. Menurut Hanna Pitkin, setidaknya ada 4 pandangan berbeda tentang representasi yakni formal, substantif, simbolis dan deskriptif. Pandangan formal dan deskriptif melihat representasi pada way of acting atau acting for. Sedangan pandangan simbolis dan substantive memandang dari way of being atau standing for. Gambaran representasi dari Pitkin sendiri dianggap representasi tradisonal karena fokus yang kuat pada pemilu baik pada gagasan maupun praktik serta fokus yang kuat pada karakter dan penampilan perwakilan dari wakil disatu sisi dan mengabaikan yang diwakili disisi lainnya (Nuri Suseno, 2013:33-34). Perkembangan representasi dan election haruslah dikaitkan dengan state dan civil serta the people menurut Urbinati. Sehingga diperlukan pembenahan pada institusi- institusi representasi politik. Teori representasi politik ini tidak semata dikaitkan dengan agen-agen atau institusiinstitusi pemerintahan tetapi memandang representasi politik sebagai bentuk proses politik yang terstruktur dalam hubungan diantara institusi- institusi dan masyrakat sehingga dengan demikian tidak terbatas hanya pada pemusyawarahan atau pengambilan keputusan didalam majelis

Politik Identitas (skripsi dan tesis)

Secara teoritis politik identitas menurut Lukmantoro adalah politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari polit ik perbedaan. Politik Identitas merupakan tidakan politis dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula dari upaya memasukan nilai- nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separa tis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu. Sedangkan Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah penandaan aktivitaspolitis (Cressida Heyes, 2007). Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas.Jika dicermati Politik identitas sebenarnya merupakan nama lain dari  biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang. Sebagai contoh adalah politik ras dan politik gender. (Hellner, 1994:4).

Menurut Agnes Heller politik identitas adalah gerakan politik yang focus perhatiannya pada perbedaan sebagai satu kategori politik utama. Politik identitas muncul atas kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas partikular, dalam bentuk relasi dalam identitas primordial etnik dan agama. Namun, dalam perjalanan berikutnya, politik identitas justru dibajak dan direngkuh oleh kelompok mayoritas untuk memapankan dominasi kekuasaan. Penggunaan politik identitas untuk meraih kekuasaan, yang justru semakin mengeraskan perbedaan dan mendorong pertikaian itu, bukan berarti tidak menuai kritik tajam. Politik identitas seakanAkan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bias dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing.

Jadi secara umum teori umum politik identitas dan berbagai hasil penelitian menunjukkan, ada dua faktor pokok yang membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul (salient) untuk dipakai dan berpengaruh dalam proses politik. Pertama, ketika etnis dan agama menjadi faktor yang dipertaruhkan. Ada semacam keperluan untuk mempertahankan atau membela identitas yang dimiliki suatu kelompok. Kedua, ketika proses politik tersebut berlangsung secara kompetitif. Artinya, proses politik itu menyebabkan kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan tidak ada yang dominan, sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak jauh-jauh hari. Pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah proses politik di mana berbagai faktor seperti identitas menjadi pertaruhan. Tinggal sekarang bagaimana aktor-aktor yang terlibat di dalamnya mengelola isu-isu seperti etnis dan agama, menjadi hal yang masuk pertaruhan

Indikator Implementasi Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Indikator implementasi kebijakan didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indicator implementasi kebijakan harus merupakan suatu yang akan diukur dan dihitung serta digunakan sebagai dasar untuk menilai maupun melihat tingkat kinerja 22 suatu program yang dijalankan untit kerja. Dengan demikian, tanpa indicatorimplementasi kebijakan , sulit bagi kita untuk menilai implementasi (keberhasilan atau kegagalan) kebijakan/ program/ kegiatan dan pada akhirnya. Selanjutnya peneliti menetapkan indicator implementasi kebijakan menurut Rondineli dan Cheema (1983:28) di kutip dari Purwanto dan sulistyastuti (2012:90) mengindentifikasi empat factor yang mempengaruhi kinerja implementasi yaitu :

1. Kondisi lingkungan, yaitu berkaitan dengan kondisi geografi,sosial, ekonomi dimana implementasi tersebut dilakukan. Kebijakan yang berkualitas tidak akan berhasil ketika di implementasikan dalam situasi dan kondisi lingkungan yang tidak kondusif terhadap upaya pencapaaian tujuan

2. Hubungan antar organisasi, yaitu dukungan dan koordinasi yang baik yang terjalin antara satu organisasi pemerintah dengan organisasi pemerintah lainnya, dalam uupaya pelaksanaan implementasi

3. Sumber daya, yaitu sumber daya yang dimiliki oleh implementor dalam menunjang pelaksanaan implementasi di lapangan maupun di dalam organisasi itu sendiri.

4. Karakter institusi implementor, yaitu kesanggupan dari implementor dalam melaksanakan implementasi yang yang diberikan kepadanya dan seusai dengan tugas dan fungsi institusi implementor itu sendiri. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk meilhat keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan proses penilaian implementasi sebagai suatu system penilaian secara berkala terhadap impelemntasi kebijakan yang mendukung kesuksesanpelaksanaanya.

Proses penilaian dilakukan dengan membandingkan Implementasi kebijakan terhadap  standar yang telah ditetapkan atau membandingkan Implementasi kebijakan denagn keadaan di lapanganIndikator Implementasi Kebijakan Publik Indikator implementasi kebijakan didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indicator implementasi kebijakan harus merupakan suatu yang akan diukur dan dihitung serta digunakan sebagai dasar untuk menilai maupun melihat tingkat kinerja   suatu program yang dijalankan untit kerja.

Dengan demikian, tanpa indicatorimplementasi kebijakan , sulit bagi kita untuk menilai implementasi (keberhasilan atau kegagalan) kebijakan/ program/ kegiatan dan pada akhirnya. Selanjutnya peneliti menetapkan indicator implementasi kebijakan menurut Rondineli dan Cheema (1983:28) di kutip dari Purwanto dan sulistyastuti (2012:90) mengindentifikasi empat factor yang mempengaruhi kinerja implementasi yaitu :

1. Kondisi lingkungan, yaitu berkaitan dengan kondisi geografi,sosial, ekonomi dimana implementasi tersebut dilakukan. Kebijakan yang berkualitas tidak akan berhasil ketika di implementasikan dalam situasi dan kondisi lingkungan yang tidak kondusif terhadap upaya pencapaaian tujuan

2. Hubungan antar organisasi, yaitu dukungan dan koordinasi yang baik yang terjalin antara satu organisasi pemerintah dengan organisasi pemerintah lainnya, dalam uupaya pelaksanaan implementasi

3. Sumber daya, yaitu sumber daya yang dimiliki oleh implementor dalam menunjang pelaksanaan implementasi di lapangan maupun di dalam organisasi itu sendiri.

4. Karakter institusi implementor, yaitu kesanggupan dari implementor dalam melaksanakan implementasi yang yang diberikan kepadanya dan seusai dengan tugas dan fungsi institusi implementor itu sendiri.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk meilhat keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan proses penilaian implementasi sebagai suatu system penilaian secara berkala terhadap impelementasi kebijakan yang mendukung kesuksesan pelaksanaanya. Proses penilaian dilakukan dengan membandingkan Implementasi kebijakan terhadap standar yang telah ditetapkan atau membandingkan Implementasi kebijakan denagn keadaan di lapangan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Dan Kegagalan Impelementasi Kebijakan.(skripsi dan tesis)

Berdasarkan penjelasan proses dari implementasi kebijakan diatas bahwa diketahu bahwa terdapat factor-faktro yang dapat menentukan lajunya dari imepelmentasi kebijakan tersebut. menurut Goggin et ,al yang di kutip Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 89) faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah : Kebijakan diasumsikan sebagai suatu “pesan” dari pemerintah federal (pusat) kepada pemerintah daerah.keberhasilan impelemtasi tersebut sangat dipenagruhi oleh 3 hal pokok :

1.Isi kebijakan (the content of the policy massage),

2. Format kebijakan ( The from of the policy message) 3. Reputasi actor (the reputation of the communicator) Berdasarkan urain diatas nahwa isi kebijakan meliputi sumberdaya .manfaat kebijakan, serta keterlibatn public. Format kebijkan terdiri dari kejelasan kebijakan (policy clarity), konsistensi kebijakan (policy consistency),frequensi serta penerimaan isi kebijakan (Receipt of massage).

Sedangkan reputation of communicator terdiri dari legitimasi dan kredibilitas actor-aktor pemerintah daerah. Lalu menurut Goggin et ,al (1990) di kutip oleh Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 87) bahwa ada empat tipe implementasi sebuah kebijakan yang menunjukan potensi kegagalan dan keberhasilan pencapaian tujuan suatu kebijkan /program yaitu :

1. Penyimpangan (defiance): tipe implementasi ini diwarnai terjadinyapengunduran datu bahkan pembatan implementasi oleh impelementor yang disertai perubahan-perubahan,baik tujuan,kelompok sasaran maupun mekanisme impelementasi, yang berakibat tidak tercapanya sarsaran

2. Penundaan (delay) : yaitu penundaan tanpa modifikasi. Dalam kasus ini impelemntor menunda pelaksanaan implementasi,namun tidak melakukan perubahan-perubahan terhadap isi kebijakan

3. Penunda strategi (strategic delay) : yaitu menundaan diserai modifikasi yang bertujuan memperbesar keberhaslin implementasi

4. Taat (compliance) : yaitu tipe implementasi dimana implementor menjalakan impelemntasi tanpa disertai dengan perubahan isi dan mekanisme impelemntasi kebijakan.

Proses Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tentu harus melewati proses-proeses tertentu sehingga impelementasi kebijakan itu dapat berhasil ada hal yang harus di perhatikan dalam proeses dari implementasi yaitu :

a. Keterkaitan Antara Variabel Dalam Impelmentasi

Keterkaitan variable ini bertujuan untuk mengindentifikasi secara cemapa tapa sebenarnya factor-faktor yang akan memepengaruhi kegagalan atau keberhasialn dari implementasi, para ahli biasyana membedakan berbagai variable dalam dua kelompok besar, yaitu varaibel tergantung (dependent variabel) yang hendak dijelaskan yaitu kinerja impelemntasi kebijakan dengan variable bebas (independent) yaitu berbagai faktor yang mempangaruhi kinerja implementasi tersebut

b. Keterlibaan Publik

Perlu dipahami bahwa impelementasi sauatu kebijakan atau program tidak dilakukan dalam ruang hampa. Impelemntasi terjadi dalam suatu wilayah yang didalamnya terdapat berbagai faktor seperti : kondisi geografis, sosial,ekonomi dan politik yang memiliki kontribusi penting dalam kegiatan implementasi. Dalam proses implementasi publik yang melibatkan publik akan terjadi interaksi aktoraktor,baik dari kalangan pemerintah maupun non-pemerintah yang menimbulkan adanya dinamika politik yang menyertai proses impelemtasi itu sendiri.Oleh karena itu kebijakan publik akan berujung pada tindakan pemerintah (governmental actions) yang didukung oleh dua hal, yatiu : sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah dan nilai-nilai yang ingin dicapai dan tindakan pemerintah tersebut dilakukan bukan dalam ruang hampa, melaikan dalam konteks dimana tindakan-tindakan individu maupun lembaga non-pemerintah terjadi juga.

Menurut keviniem (1986:253),non-governmental actors dapat disebut sebagai factor lingkungan dalam proses implementasi. Lingkungan kebijakan yang kondusif tentu akan menciptakan kondisi yang memungkinkan implementasi untuk dapat berhasil.Sebaliknya lingkungan kebijakan yang buruk justru akan membuat implementasi kebijakan menjadi terhambat atau gagal sama sekali. Dengan demikian factor lingkungan memberikan pengaruh pada proses implementasi. Interaksi dalam proses implementasi dengan lingkungannya menghasilkan empat kategori atau tipologi implementasi, yaitu : cooperation (kerja sama), conformity (dukungan), counter action (tindakan tandingan) dan detachment (pemutusan hubungan).

Menurut Stich dan Eagle dikutip oleh Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 84) manyatakan bahwa : Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses implementasi dan keterlibatan masyrakat seharunya dipahami lebih dari sekedar adanya kebutuhan atau tuntutnan demokrasi. Keterlibatan masyarakat memiliki makana yang lebih tinggi, yaitu sebagai media pembelajaran bersama antar pemerintah dengan masyarakat Berdasarkan pemaparan proses dari impementasi kebijakan maka untuk memahami lebih jauh impelemntasi kebijakan perlu dilihat lebih detail dengan mengikuti proses implementasi yang dilalui para implementor dalam upaya mewujudkan tujauan dari kebijakan tersebut.

Pengertian Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar-benar aplikabel di lapangan dan berhasil menghasilkan output dan outcomes seperti direncanakan. Secara lebih sepesifik defnisi dari peran impelemntasi menurut dikemukakan oleh Van Horn dan Van Meter yang dikutip oleh Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 21) yang merumuskan implementasi sebagai:  “Those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”(Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).

Sedangkan penjelasan implementasi menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 58) adalah : “policy impelementation as a process, a series of substantial descision and action directed toward putting a prior authoritative federal decision into effect” (Impelementasi kebijakan sebagai sebuah proses , serangkaian keputuasn dan tindakan penting yang diarahkan dalam penetapan keputusan oleh pemerintah yang memilki dampak dari keputusan tersebut) Dari pendapat di atas impelemntasi perlu adanya indentifikasi siapa implementornya dan peran mereka dalam proses implementasi sehingga impelemntasi akan lebih mudah dipahami dan dijalankan dalam pelaksanaanya. Sedangkan pengertian kebijakan publik sebagaimana banyak dikemukakan oleh para pakar menyatakan bahwa kebijakan publik sama dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Definisi kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Lalu Pengetian kebijakan publik dilihat secara perspektif instrument menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 64) adalah: “alat untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan uapaya pemerintah mewujudkan niali-nilai kepublikan (Public value)”.

Sedangkan pengertian secara umum dengan nilai-nilai yang ada dalam kebijakan public yang di utarakan oleh Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 64) adalah sebagai berikut :

1. Alat untuk mewujudkan nilai-nilai didealkan masyarakat seperti keadilan,persamaan dan keterbukaan

2. memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyrakat misalnya masalah kemisikinan, penggauran, kriminalitas, dan pelyanan public yang buruk

3. Memanfaatkan peluang baru bagi kehidupan yang lebih baik bagi masyrakat seperti dorongan investasi,novasi,pelyanan dan peningkatan ekspor

4. Melindungi masyrakat dari praktis swasta yang merugikan misalnya pembuatan undang-undang konsumen,ijin trayek dan ijin gangguan.

Sedangkan pengertain secara sepesifik dikemukan menurut Friedrich dalam Wahab (2002:3) mengatakan bahwa : Kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Berdasarkan penjelasan impelmentasi dan kebijakan dia atas dapat dipahami bahwa impelemntasi kebijakan adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan niali-nilai kepublikan yang berupa masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat dan juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat oleh pihak swasta atau asing .

Senada dengan penjelasan di atas tentang pengertian implementasi kebijkan menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 21) adalah sebagai berikut: Adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluran kebijakan (to deliver Policy output) yang dilakukan oleh implementor kepada kelompok sasaran (target group) sebagai uapaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan.Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam jangka panjang hasil kebijakan akan mampu terwujud

Pengertian Administrasi Dan Administrasi Negara (skripsi dan tesis)

Secara etimologis istilah administrasi berasal dari bahasa inggris dari kata administration yang infinitifnya ialah to administer. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictonary of Curent English (1974), kata to administer diartikan sebagai to manage (mengelola) atau to direct (menggerakan). Berdasarkan uraian diatas, maka secara etimologis administrasi dapat diartikan sebagai kegiatan memberikan bantuan dalam mengelola informasi, mengelola manusia, mengelola harta benda ke arah suatu tujuan yang terhimpun dalam organisasi. Berkaitan dengan hal itu, menurut Siagian (2001:4) mengungkapkan bahwa: Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari keputusan- keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Sedangkan pengertian dari administrasi menurut The Liang Gie yang dikutif Syafiie (2003:4) secara sederhana mengandung pengertian bahwa : Administrasi adalah segenap rangkaian kegiatan penataan terhadap pekerjaan pokok yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kerja sama mencapai tujuan tertentu. 9 Negara sebagai objek material administrasi negara, berkaitan dengan hal ini maka pengertian negara menurut Roger H. Soultau yang dikutif oleh Syafiie (2003:9) bahwa : “Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”. Pengertian Administrasi Negara menurut Prajudi Atmosudirdjo yang juga dikutif oleh Syafiie (2003:32) adalah sebagai berikut: “Administrasi Negara adalah administrasi dari negara sebagai organisasi dan administrasi yang mengejar tujuan-tujuan yang bersifat kenegaraan”. Sementara itu menurut George J. Gordon yang dikutip oleh Syafiie (2003:33) mengungkapkan bahwa: Administrasi Negara dapat dirumuskan sebagai seluruh proses baik yang dilakukan organisasi maupun perseorangan yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislative, eksekutif, serta peradilan

Pengertian Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah:  “Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102). Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.

Pengertian implementasi kebijakan di atas, maka Edward III mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. Comunication (Komunikasi)

2. Resources (Sumber Daya)

3. Disposition (Disposisi)

4. Bureaucratic Structur (Struktur Birokrasi) (Edward 1980:147)

Pertama, Komunikasi implementasi mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Selain itu juga dalam komunikasi implementasi kebijakan terdapat tujuan dan sasaran kebijakan yang harus disampaikan kepada kelompok sasaran, hal tersebut dilakukan agar mengurangi kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan. Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transformasi (transmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency). Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para pelaksana, target group dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga dapat diketahui yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran.

Kedua, sumber daya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap terlaksanakanya keberhasilan terhadap suatu implementasi, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, akan tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan maka tidak akan berjalan dengan efektif. Sumber daya yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan dapat berwujud, seperti sumber daya manusia, dan sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, sumber daya informasi dan kewenangan.  Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi. Implementasi sangat tergantung kepada sumber daya manusia (aparatur), dengan demikian sumber daya manusia dalam implementasi kebijakan di samping harus cukup juga harus memiliki keahlian dan kemampuan untuk melaksanakan tugas, anjuran, perintah dari atasan (pimpinan). Oleh karena itu, sumber daya manusia harus ada ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaan yang di tanganinya. Sumber daya anggaran merupakan sumber daya yang mempengaruhi implementasi setelah adanya sumber daya menusia, terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan terhadap publik yang harus diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Terbatasnya anggaran menyebabkan disposisi para pelaku rendah bahkan akan terjadi goal displacement yang dilakukan oleh pelaku terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Sumber daya peralatan juga merupakan sumber daya yang mempengaruhi terhadap keberhasilan dan kegagalan suatu implementasi, menurut Edward III yaitu : “Sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan”. (Edward III, 1980:102) Terbatasnya fasilitas peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan menyebabkan gagalnya pelaksanaan kebijakan, karena dengan terbatasnya fasilitas sulit untuk mendapatkan informasi yang akurat, tepat, andal, dan dapat dipercaya  akan sangat merugikan pelaksanaan akuntabilitas. Sumber daya informasi dan kewenangan juga menjadi faktor penting dalam implementasi, informasi yang relevan dan cukup tentang berkaitan dengan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan. Informasi tentang kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, dimaksudkan agar para pelaksana tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam menginterpretasikan tentang bagaimana cara mengimplementasikan. Kewenangan juga merupakan sumber daya lain yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan. Menurut Edward III menegaskan bahwa kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. (Edward III, 1980:103)

Ketiga, disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan, disposisi itu seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratik. Apabila pelaksana kebijakan mempunyai karakteristik atau watak yang baik, maka dia akan melaksanakan kebijakan dengan baik sesuai dengan sasaran tujuan dan keinginan pembuat kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn terdapat tiga macam elemen yang dapat mempengaruhi disposisi, antara lain: “Tiga elemen yang dapat mempengaruhi disposisi, yaitu: pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, arah respon mereka apakah menerima, netral atau 45 menolak (acceptance, neutrality, and rejection), intensitas terhadap kebijakan”.(Van Meter dan Van Horn dalam Widodo,2007: 105) Elemen yang dapat mempengaruhi disposisi adalah pengetahuan, dimana pengetahuan merupakan elemen yang cukup penting karena dengan pengetahuan tinggi yang dimiliki oleh aparatur dapat memabantu pelaksanaan implementasi tersebut. Pemahaman dan pendalaman juga dapat membantu terciptanya dan terlaksananya implementasi sesuai dengan tujuan yang akan di capai. Respon masyarakat juga dapat menentukan keberhasilan suatu implementasi, karena dapat menentukan sikap apakah masyarakat menerima, netral atau menolak. Keempat, struktur birokrasi merupakan suatu badan yang paling sering terlibat dalam implementasi kebijakan secara keseluruhan. Struktur Organisasi merupakan yang bertugas melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan kebijakan. Didalam struktur birokrasi terdapat dua hal penting yang mempengaruhinya salah satunya yaitu aspek struktur birokrasi yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP ini merupakan pedoman bagi pelaksana kebijakan dalam bertindak atau menjalankan tugasnya. Selain SOP yang mempengaruhi struktur birokrasi adalah fragmentasi yang berasal dari luar organisasi.

Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi menurut Edward III di atas, maka Van Meter dan Van Horn juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. “Ukuran dan tujuan kebijakan

2. Sumber-sumber kebijakan

3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana

4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

5. Sikap para pelaksana, dan

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik” (Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79).

Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu : Kesatu yaitu ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah direncanakan. Dalam ukuran Sistem Informasi Pertanahan yang menjadi sasaran adanya kepuasan pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat dan adanya kemudahan dalam pembuatan berbagai urusan tentang pertanahan salah satunya tentang pendaftaran tanah. Tujuan dari implementasi Sistem Informasi Pertanahan, yaitu untuk memberikan layanan secara cepat dan aman dalam proses pembuatan, pengukuran, pengurusan, pendaftaran dan lainnya yang bersangkutan dengan masalah pertanahan. Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142).

Sumber-sumber kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan. Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya.

Menurut Subarsono kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7). Pendapat lain, menurut Edwards III yang dikutip oleh Subarsono watak, karakteristik atau ciri-ciri yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis (Edwards III dalam Subarsono, 2006:91-92). Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi sangat dipengaruhi oleh sifat ataupun ciri-ciri dari pelaksana tersebut. Apabila implementor memiliki sifat atau karakteristik yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. 48 Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh Wahab bahwa: “Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2004:77)

Menurut Edward III yang dikutip oleh Widodo, komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi antara lain: dimensi transformasi atau penyampaian informasi kebijakan publik, kejelasan, dan konsistensi (Edward III dalam Widodo, 2007:97). Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya. Kelima, menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Widodo, bahwa karakteristik para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono, 2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Hal tersebut dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap badan/instansi pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing- masing berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi

Pengertian Kebijakan (skripsi dan tesis)

Kebijakan Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris “policy”. Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksanaan berasal dari kata “wisdom”. Peneliti berpandangan bahwa istilah kebijakan berbeda dengan istilah kebijaksanaan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih lanjut, sedangkan kebijakan mencangkup peraturan-peraturan yang ada di dalamnya termasuk konteks politik. Pendapat Anderson yang dikutip oleh Wahab, merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi (Anderson dalam Wahab, 2004:3).

Oleh karena itu, kebijaksanaan  menurut Anderson merupakan langkah tindakan yang sengaja dilakukan oleh aktor yang berkenaan dengan adanya masalah yang sedang di hadapi. Kebijakan menurut pendapat Carl Friedrich yang dikutip oleh Wahab bahwa: “Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan” (Friedrich dalam Wahab, 2004:3). Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Hal tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut akan mendapat kendala ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat

Pengertian Implementasi (skripsi dan tesis)

Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dengan adanya jaringan komputerisasi menjadi lebih cepat dan tentunya dapat menghemat pengeluaran biaya. Pelayanan tersebut terjadi sudah tidak membutuhkan banyak tenaga manusia lagi melainkan yang dibutuhkan adalah manusia yang mempunyai ahli untuk mengoprasionalkan jaringan komputerisasi tersebut. Oleh karena itu, dalam menunjang terciptanya tertib administrasi dan peningkatan pelayanan publik, perlu didukung dengan adanya implementasi yang berorientasi pada pelayanan dan tujuan yang akan di tercapai. Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah: “Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”(Webster dalam Wahab, 2004:64).

Implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Pengertian implementasi selain menurut Webster di atas dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi adalah : “Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individuindividu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”. (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2004:65) Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi merupakan tindakan oleh individu, pejabat, kelompok badan pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang membawa dampak pada warganegaranya. Namun dalam praktinya badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari Undang-Undang, sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Mazmanian dan Sebastiar juga mendefinisikan implementasi sebagai berikut: “Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan”.(Mazmanian dan Sebastiar dalam Wahab,2004:68) 39 Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk perintah atau keputusankeputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang bersangkutan

Pergeseran Dari Good Governance ke Sound Governance (skripsi dan tesis)

Pada pertengahan 1900, good governance menjadi salah satu agenda pengembangan yang penting karena besarnya kesadaran bahwa baik pasar maupun demokrasi kurang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali kecuali jika pemerintah mampu mendesain dan mengimplementasikan kebijakan publik yang tepat, mengelola sumber daya dengan adil, transparan dan efisien dan respon kepada kesejahteraan sosial dan tuntutan ekonomi dari warga negara. (Grindle, 1997: 5-8) Good governance harus dilakukan dengan kualitas dari sumber daya manusia, organisasi dan institusi dalam sektor publik. Untuk mencapai good governance berarti perlu upaya mengembangkan sumber daya manusia, memperkuat organisasi dan mereformasi (atau menciptakan) institusi di sektor publik. Juga dibutuhkan waktu, komitmen, ide inovatif, pembangunan konsensus, perubahan perilaku dan norma personel yang bekerja dalam institusi, aturan main yang baru, desain dan alokasi sumber daya yang efisien. Menjelang berlangsungnya reformasi politik di Indonesia atau sekitar tahun 1996, beberapa lembaga internasional seperti UNDP dan World Bank, memperkenalkan terminologi baru yang disebut sebagai good public governance atau good governance (Dwiyanto, 2008: 76-81). Governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta atau warga negara yang bisa saja institusi non pemerintah ini memegang peran dominan dalam governance tersebut atau pemerintah tidak mengambil peran apapun –“governance without government”.

Menurut UNDP, good governance memiliki delapan prinsip sebagai berikut:

a. Partisipasi

b. Transparansi

c. Akuntabilitas

d. Efektif dan efisien

e. Kepastian hukum

f. Responsif

g. Konsensus

h. Setara dan inklusif

Ada pula yang menyebutkan sepuluh prinsip, mirip dengan daftar di atas, yaitu:

( http://www.goodgovernance.or.id/Sitemap. asp, 22 Januari 2004):

a. Partisipasi: warga memiliki hak (dan mempergunakannya) untuk menyampaikan pendapat, bersuara dalam proses perumusan kebijakan publik, baik langsung maupun tidak langsung.

b. Penegakan hukum: hukum diberlakukan bagi siapapun tanpa pengecualian, hak asasi manusia dilindungi, sambil tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

c. Transparansi: penyediaan informasi tentang pemerintah(an) bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

d. Kesetaraan: adanya peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk beraktivitas/berusaha.

e. Daya tanggap: pekanya para pengelola instansi publik terhadap aspirasi masyarakat

f. Wawasan ke depan: pengelolaa masyarakat hendaknya dimulai dengan visi, misi dan strategi yang jelas.

g. Akuntabilitas: pertanggungjawaban para penentu kebijakan kepada para warga.

h. Pengawasan publik: terlibatnya warga dalam mengontrol kegiatan pemerintah termasuk parlemen.

i. Efektivitas dan efisiensi: terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya antara lain: pelayanan mudah, cepat, tepat, dan murah.

j. Profesionalisme: tingginya kemampuan dan moral para pegawai pemerintah termasuk parlemen.

Dari berbagai prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa sistem administrasi good governance harus melibatkan banyak pelaku, dan institusi di luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik. Dengan demikian, dalam penyelesaian masalah kepentingan publik selalu melibatkan multistakeholders dari berbagi lembaga yang terkait dengan masalah dan kepentingan publik itu. Stakeholders dalam tata pemerintahan (governance) tersebut memiliki kedudukan yang setara dan hanya diikat oleh suatu jaringan dan prosedur yang sengaja diciptakan untuk memfasilitasi mereka dalam perumusan, pelaksanaan, monitoring, dan juga evaluasi kebijakan. Dwiyanto (2008: 223-231) menyatakan bahwa praktek good governance mensyaratkan adanya transparansi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Pemerintah dituntut untuk terbuka dan menjamin akses stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses kebijakan publik, alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Terhadap alokasi anggaran, masyarakat dan stakeholders juga memiliki hak untuk mengakses informasi mengenai  jumlah anggaran yang dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu termasuk juga alasan yang melatarbelakanginya sehingga mereka dapat menilai seberapa banyak uang yang dimiliki pemerintah digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak. Dengan memiliki akses terhadap berbagai jenis informasi semacam itu maka masyarakat dan stakeholders dapat menilai apakah pemerintah telah benar-benar mengabdi pada kepentingan masyarakat atau kepentingan pihak lain. Masyarakat secara mudah dapat menentukan apakah akan memberikan dukungan kepada pemerintah, atau sebaliknya mengkritik agar pemerintah lebih berpihak kepada publik. Lebih dari itu, hak untuk memperoleh informasi adalah hak asasi dari setiap warga negara agar dapat melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah secara tepat. Di Indonesia, hak warga negara untuk mengetahui apa yang terjadi dalam suatu birokrasi publik seringkali masih sangat terbatas. Transparansi masih menjadi barang mewah sehingga tidak semua orang dapat menikmatinya. Padahal transparansi memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kemampuan pemerintah untuk mewujudkan berbagai indikator governance yang lain.

Hak publik untuk memperoleh informasi publik sudah mulai dijamin dengan terbitnya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam keterkaitan dengan akuntabilitas publik, warga dapat menilai tindakan pemerintah bersifat akuntabel atau tidak, tergantung pada kemampuan warga untuk memahami dengan mudah apa yang dilakukan 66 oleh pemerintah, mengapa pemerintah melakukannya, dan seberapa jauh tindakan pemerintah itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Di sini transparansi memiliki peran penting dalam pengembangan akuntabilitas publik karena dengan mewujudkan transparansi maka setidak-tidaknya pemerintah mempermudah warga untuk mengetahui tindakannya, rasionalitas dari tindakan itu, serta membandingkan dengan sistem nilai yang ada. Tanpa transparansi maka tidak akan ada akuntabilitas publik. Transparansi juga memberikan implikasi kepada prinsip partisipatif. Warga hanya akan mau dan dapat terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik jika aturan main atau hak dan kewajiban warga dalam kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik itu terbuka dan mudah diketahui oleh warga. Jika hal tersebut dapat diketahui dengan jelas dan mudah maka warga dapat mengambil keputusan apakah perlu terlibat dalam kegiatan tersebut atau tidak. Transparansi juga memiliki kontribusi yang sangat penting terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan praktek KKN. Tidak transparannya proses penegakan hukum berdampak kepada diskriminasi dalam penegakan hukum dan proses peradilan. Rendahnya transparansi sering memberi peluang kepada para pemegang kekuasaan dan pejabat publik untuk menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan praktek KKN.

Karena keterkaitannya dengan ciri-ciri good governance lainnya yang sangat kuat dan kontribusinya terhadap good governance sangat besar, maka transparansi menjadi aspek penting untuk mewujudkan good governance di Indonesia. Keberhasilan dan kegagalan untuk 67 mewujudkan transparansi akan sangat besar artinya bagi upaya memperbaiki pemerintahan dan pengelolaan kekuasaan di Indonesia. Konsep Good Governance dalam perjalanannya menuai banyak kritik. Antara lain pernyataan Presiden Tanzania, Julius K Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika tahun 1998, yaitu: “Good Governance tidak lebih sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good Governance hanya mengkerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin besar”. Konsep Good Governance yang awalnya dibawa oleh lembaga-lembaga donor yaitu IMF dan World Bank (Bank Dunia) serta dikembangkan oleh UNDP dinilai terlalu ideologis dan westernized serta diabsolutkan untuk diterapkan di negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dalam Good Governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dan warga negara di negara tertentu. Sementara aktor terbesar yang berkuasa di atas tiga elemen tersebut yaitu “dunia internasional” tidak dimasukkan ke dalam elemen Good Governance. Kegagalan memasukkan variabel-variabel penting yaitu kearifan lokal dan arus globalisasi ke dalam Good Governance berdampak kepada kegagalan menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Keberhasilan membangun relasi antara pemerintah, swasta dan warga negara tidak dibarengi dengan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Menghadapi kelemahan konsep Good Governance seperti tersebut di atas, muncul paradigma baru yang digagas Farazmand (2004) yaitu  Sound Governance.

Ada tiga alasan utama munculnya paradigma Sound Governance, yaitu:

a. Sound Governance memunculkan pandangan baru yang lebih komprehensif dengan empat faktor yaitu menambah satu dari tiga yang sudah ada dalam konsep Good Governance sehingga inklusifitas relasi politik antara pemerintah, swasta dan warga negara yang sifatnya domestik, dilengkapi dengan satu aktor lagi yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional ini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian inernasional.

b. Good Governance dianggap terlalu westernized dan dipaksakan. Sound Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan mengedepankan penghormatan atas nilai dasar budaya lokal, dicontohkan kebesaran kerajaan Persia dalam pengelolaan pemerintahan sebelum dikuasai oleh budaya barat.

c. Good Governance menekankan pada prinsip-prinsip yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, yaitu: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, akuntabilitas, konsensus, kesetaraa, efisiensi dan efektivitas serta respon.

Sound Governance lebih fleksibel sehingga memberikan kebebasan untuk melakukan inovasi dalam mencari proses untuk mencapai tujuan meskipun masih menekankan perlunya prasyarat dasar universal terkait demokrasi, transparansi dan akuntabilitas. Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Without policy and administrative innovation, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to governand becomes a target of criticism and failure (Farazmand, 2004)

paradigm Reinventing Government dan Good Government (skripsi dan tesis)

Suwitri (2011) menambahkan paradigma ilmu administrasi negara menjadi tujuh, yaitu paradigm Reinventing Government dan Good Government.

Paradigma 6: Reinventing Government Pada paradigma ini, ilmu administrasi negara menggunakan ilmu administrasi bisnis untuk memberikan pelayanan kepada publik. Selanjutnya Denhart (2003) menerapkan teori bisnis dalam wilayah publik sehingga New Public Management (NPM) menjadi New Public Service (NPS). NPM mendasarkan pada dua kelompok teoritis yaitu studi kebijakan publik dan studi manajemen publik.  Reinventing Government dikenalkan oleh D. Osborne dan T. Gaebler (1992) dan kemudian dioperasionalkan oleh Osborne dan Plastrik (1997). Dalam paradigma ini, pemerintah harus bersifat:

(1) catalytic

, (2) community owned,

(3) competitive,

(4) mission driven,

(5) result oriented,

(6) customer driven,

(7) enterprising,

(8) anticipatory,

(9) decentralized, dan

(10) market-oriented.

Paradigma NPM dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas dan kinerja pelayanan publik.

Tujuh komponen doktrin dalam NPM adalah

(1) pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik,

(2) penggunaan indikator kinerja,

(3) penekanan yang lebih besar pada control output,

(4) pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil,

(5) pegeseran ke kompetisi yang lebih tinggi,

(6) penekanan gaya sektor swasta pada praktek manajemen dan

(7) penekanan pada disiplin dan kehematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya.

Kritik terhadap NPM adalah pelayanan kepada masyarakat dianalogkan dengan pelayanan kepada pelanggan dalam dunia bisnis dan terlalu mementingkan produktivitas dan semangat wirausaha kurang memperhatikan sisi kemanusiaan. Masyarakat sebagai sasaran pelayanan pemerintah juga memiliki kebutuhan atau perhatian yang tidak bisa disamakan dengan pelanggan dalam bisnis, antara lain tuntutan keadilan sosial, kemanusiaan dan kesejahteraan umum.

g. Paradigma 7: Good Governance

NPM berjalan seiring dengan New Public Service (NPS). Pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila diikuti kepemerintahan yang baik (good governance). Denhart (2003) menyatakan bahwa pencapaian good governance dalam government merupakan era NPS. Nilai-nilai / prinsip dalam NPS adalah:

1) Melayani masyarakat bukan pelanggan

2) Mengutamakan kepentingan publik

3) Lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan

4) Lebih berpikir strategis dan bertindak demokratis

5) Menyadari bahwa akuntabilitas bukan suatu yang mudah

6) Melayani daripada mengendalikan

7) Menghargai orang bukan hanya produktivitas semata

Sementara itu, ruang lingkup suatu administrasi publik meliputi 6 dimensi strategis sebagai berikut (Keban, 2004: 9-10):

a. Dimensi kebijakan

b. Dimensi organisasi

c. Dimensi manajemen

d. Dimensi moral dan etika

e. Dimensi lingkungan

f. Dimensi akuntabilitas kinerja

Administrasi publik yang ideal adalah yang benar-benar mampu menggunakan keahlian dan keterampilan di bidang kebijakan, organisasi, manajemen, menerapkan prinsip-prinsip etika yang berlaku dan mampu mengenal dan menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan, serta memberikan hasil nyata dan dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk kinerja. Dimensi-dimensi tersebut semua menentukan dalam pencapaian tujuan dan apabila salah satu dari dimensi tidak berfungi dengan baik maka akan mengganggu dimensi yang lain.

Dimensi kebijakan menyangkut proses pembuatan keputusan untuk penentuan tujuan dan cara alternatif terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Dimensi organisasi berkenaan dengan pengaturan struktur dan hirarki yang meliputi pembentukan unit, pembagian tugas antar unit (lembaga-lembaga publik), penetapan prosedur, aturan dan standar untuk mencapai tujuan organisasi. Dimensi manajemen menyangkut proses bagaimana kegiatan-kegiatan yang telah dirancang dapat diimplementasikan untuk mencapai tujuan organisasi melalui prinsipprinsip tertentu. Dimensi etika moral memberikan tuntutan moral terhadap administrator tentang apa yang salah dan apa yang benar atau apa yang baik dan apa yang buruk. Dimensi akuntabilitas publik menggambarkan bukti nyata tentang kehadiran dan kegunaan riil dari adminsitrasi publik dalam suatu negara. Dinamika dimensi internal administrasi publik yaitu kebijakan, manajemen, organisasi, moral dan kinerja dalam administrasi publik sangat dipengaruhi oleh dimensi eksternal yaitu lingkungan. Lingkungan diartikan sebagai semua faktor yang berada di luar batas organisasi. Mencakup lingkungan umum, yang mempengaruhi secara tidak langsung dan lingkungan khusus yang mempengaruhi secara langsung.

Terdapat dua paradigma umum tentang hubungan antara organisasi dengan lingkungan yang dibangun atas dasar respon organisasi terhadap lingkungannya (Keban, 2004), yaitu:

a. Paradigma sistem tertutup, yaitu menggambarkan interaksi yang terbatas dari suatu organisasi terhadap lingkungannya, apa yang dikerjakan oleh organisasi hampir tidak tergantung dengan dinamika lingkungannya.

b. Paradigma sistem terbuka, yaitu menggambarkan interaksi yang begitu intensif antara suatu organisasi dengan lingkungannya, eksistensi dan perkembangan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.

Paradigma administrasi publik menurut Henry (skipsi dan tesis)

Sketsa perubahan paradigma administrasi publik menurut Henry tersebut selanjutnya banyak digunakan oleh para pakar administrasi publik lainnya untuk menggambarkan perkembangan ilmu administrasi publik, yaitu (Henry, 1975: 368-386; T Keban, 2004: 29-33 dan Suwitri, 2011: 15-24) :

a. Paradigma 1: Dikotomi Politik dan Administrasi (1900 s.d. 1926)

Paradigma ini me”lokasi”kan administrasi negara pada birokrasi pemerintahan, sedangkan lembaga legislatif dan yudikatif ber”lokasi” di penetapan tujuan dan keinginan negara (kebijakan negara) sehingga keduanya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari administrasi negara. Sedangkan fokus kurang dibahas secara jelas dalam paradigma ini.

b. Paradigma 2: Prinsip-Prinsip Administrasi (1927 s.d. 1937)

Banyak pihak yang menolak dikotomi politik dan administrasi sehingga mulai dicari prinsip-prinsip administrasi negara sebagai fokus dari administrasi publik, yang lalu ditemukan oleh Luther H Gullick dan Lyndall Urwick yaitu POSDCORB: planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, budgeting. John Gaus (1950) menyatakan bahwa administrasi negara adalah juga ilmu politik. Sepanjang tahun 1938 sampai dengan 1950 masih terus terjadi tantangan-tantangan dalam perkembangan ilmu administrasi publik apakah merupakan ilmu administrasi murni atau cenderung sebagai public policy?

c. Paradigma 3: Adminsitrasi sebagai Ilmu Politik (1950 s.d. 1970)

Terdapat hubungan yang sangat erat antara ilmu administrasi negara dengan ilmu politik dalam proses perumusan kebijakan. Pemikiran ini merupakan cikal bakal perkembangan Ilmu Kebijakan Publik. Lokasinya adalah birokrasi pemerintahan sedangkan fokusnya malah kabur.

d. Paradigma 4: Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956 s.d. 1970)

Pada paradigma ini, ilmu administrasi negara mencari induk baru yaitu ilmu administrasi. Ilmu administrasi adalah gabungan dari teori organisasi dan ilmu manajemen. Prinsip manajemen dikembangkan secara ilmiah dan mendalam yaitu perilaku organisasi, analisis manajemen, penerapan teknologi modern, operation research, merupakan fokus. Namun lokasinya kurang jelas. Mulai muncul keinginan memisahkan antara prinsip administrasi dalam organisasi publik dan privat. Lokasi ilmu administrasi negara berada pada organisasi publik. Minnowbrook Conference di Syracuse University pada tahun 1968 yang diikuti oleh para peneliti muda bidang administrasi publik menyampaikan kritik yang tajam tentang adminsitrasi publik yang tradisional (Marini: 1971 dalam Schaefer, tanpa tahun). Konferensi ini diadakan sebagai respon terhadap perkembangan permasalahan administrasi publik di Amerika dan upaya mendorong peneliti muda bidang adminsitrasi publik untuk mengembangkan pemikirannya dalam menghadapi permasalahan publik. Hasil pemikiran konferensi di Minnowbrook adalah New Public Administration yang dikenalkan oleh Dwight Waldo.

e. Paradigma 5: Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970 s.d. …)

Dengan ditemukannya lokasi pada organisasi publik, maka jelas administrasi negara berfokus pada administrasi negara. Nicholas Henry mengemukakan adanya paradigma ilmu administrasi negara baru, dimana fokus administrasi negara adalah teori organisasi dan ilmu manajemen, sedangkan lokasinya adalah kepentingan publik dan masalah publik. Yeremias T Keban menambahkan bahwa pada 1983 terjadi paradigma baru yaitu POSDCORB yang disampaikan oleh G.D. Garson dan E.S. Overman dalam akronim PAFHRIER kepanjangan dari Policy Analysis, Financial, Human Resources, Information, dan External Relation, paradigma ini kemudian menjadi perhatian manajemen publik. (Garson and Overman, 1991). Sepuluh tahun kemudian terjadi pergeseran paradigma yang disebut “post bureaucratic paradigm” yang dikembangkan oleh Barzelay (1992) dan Armajani (1997), dalam Keban (2004)

Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Suatu implementasi kebijakan akan menghasilkan keberhasilan yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dan kelompok yang menjadi sasaran kebijakan tersebut.

Arif Rohman (2009: 147) menyatakan, bahwa ada tiga faktor yang yang dapat menentukan kegagalan dan keberhasilan dalam inplementasi kebijakan yaitu:

a. Faktor yang terletak pada rumusan kebijakan yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan, menyangkut kalimatnya jelas atau tidak, sasarannya tepat atau tidak, mudah dipahami atau tidak, mudah diinterpretasikan atau tidak, dan terlalu sulit dilaksanakan atau tidak.

b. Faktor yang terletak pada personil pelaksana, yakni yang menyangkut tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi, komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan diri, kebiasaan-kebiasaan, serta kemampuan kerjasama dari para pelaku pelaksana kebijakan. Termasuk dalam personil pelaksana adalah latar belakang budaya, bahasa, serta ideologi kepartaian masingmasing.semua itu akan sangat mempengaruhi cara kerja mereka secara kolektif dalam menjalankan misi implementasi kebijakan.

c. Faktor yang terletak pada sistem organisasi pelaksana, yakni menyangkut jaringan sistem, hirarki kewenangan masing-masing peran, model distribusi pekerjaan, gaya kepemimpinan dari pemimpin organisasinya, aturan main organisasi, target masing-masing tahap yang ditetapkan, model monitoring yang biasa dipakai, serta evaluasi yang dipilih.

Sedangkan menurut Sabatier dan Mazmanian (Sudiyono, 2007: 90-100) mengemukakan adanya berbagai kondisi yang mendukung agar implementasi dapat dilaksanakan secara optimal, yaitu:

a. Program harus mendasarkan diri pada sebuah kajian teori yang terkait dengan perubahan pelaku kelompok sasaran guna mencapai hasil yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengambilan atau perumusan kebijakan didasarkan pada teori sebab akibat. Teori ini terdiri dua bagian, bagian pertama adanya keterkaitan antara pencapaian dengan tolak ukur atau hasil yang diharapkan. Bagian kedua khusus mengenai cara pelaksanaan kebijakan yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran.

b. Undang – Undang atau peraturan tidak boleh ambigu atau bermakna ganda. Dalam hal ini pemerintah harus dapat mengkaji ulang produkproduk hukum. Sasaran kebijakan harus memiliki derajat ketepatan dan kejelasan, dimana keduanya berlaku secara internal maupun dalam keseluruhan program yang dilaksanakan oleh pihak pelaksana.

c. Para pelaku kebijakan harus memiliki kemempuan manajerial, dan politis dan komitmen terhadap tujuanyanng akan dicapai. Para pemimpin dan perumus kebijakan dapat mengambil langkah baik pada ranah merencanakan sebuah peraturan maupun dalam pengangkatan personil baru non layanan masyarakat, guna meningkatkan isi dan keterdukungan pemimpin terhadap pancapaian tujuan Undang-Undang.

d. Program harus didukung oleh para pemangku kepentingan (pemilih, perumus undang-undang, pengadilan yang mendukung).

e. Prioritas umum dari sasaran perundang-undangan tidak signifikan direduksi oleh waktu dengan adanya kebijakan yang sangat darurat pada publik, atau perubahan keadaan sosial ekonomi yang sesuai dan didasarkan pada teori perundang-undangan secara teknis ataupun memperoleh dukungan publik.

Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Implementasi kebijakan sebagaimana dikatakan oleh Grindle (Sudiyono, 2007: 77) bahwa : “sesungguhnya tidak semata – mata terbatas pada mekanisme penjabaran keputusan – keputusan politik ke dalam prosedur rutin melalui saluran birokrasi, tetapi terkait dengan masalah konflik, yaitu siapa memperoleh apa dalam suatu kebijakan, bahkan pelaksanaan kebijakan merupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan kemungkinan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan”. Suatu kebijakan jika tidak segera diimplementasikan, tidak akan dapat diketahui tingkat keberhasilannya untuk orang banyak. Sehingga kebijakan hanya akan menjadi rencana bagus yang akan tersimpan rapi dalam tumpukan arsip-arsip lainnya. Dalam kamus Webster sebagaimana dikutip Solichin dalam bukunya Sudiyono (2007: 80) menyebutkan bahwa “to implement berarti to provide the means for carrying out”, mengimplementasikan berarti melengkapi atau menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu. Linberry (Sudiyono, 2007: 80) menyatakan bahwa implementasi mencakup komponen:

a. Menciptakan dan menyusun staf sebuah agen baru untuk melaksanakan sebuah kebijakan baru.

b. Menterjemahkan tujuan legislatif dan serius memasukkannya ke dalam aturan pelaksanaan, mengembangkan panduan atau kerangka kerja bagi para pelaksana kebijakan.

c. Melakukan koordinasi terhadap sumberdaya agen dan pembiayaan bagi kelompok sasaran, mengembangkan pembagian tanggungjawab para agen dan antar para agen serta hubungan antar agen. d. Mengalokasikan sumberdaya untuk memperoleh dampak kebijakan.

Menurut Van Meter dan Van Horn (Arif Rohman, 2009: 134) implementasi kebijakan dimaksudkan sebagai keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan kepada pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Yakni tindakan-tindakan yang merupakan usaha sesaat untuk menstransformasikan keputusan ke dalam istilah operasional, maupun usaha berkelanjutan untuk mencapai perubahanperubahan besar dan kecil yang diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengawali gagasan teorinya tentang implementasi dengan menyampaikan enam variabel, yang meliputi:

(1) stanndar dan tujuan kebijakan;

(2) sumberdaya;

(3) komunikasi;

(4) interorganisasi dan aktivitas pengukuhan;

(5) karakteristik agen pelaksana;

(6) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta karakter pelaksana. (Arif Rohman, 2009: 137)

Menurut M. Grindle (Arif Rohman, 2009:134) menambahkan, bahwa proses implementasi mencakup tugas-tugas membentuk suatu ikatan yang memungkinkan arah suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari 23 aktifitas pemerintah.

Seorang ahli yang bernama Charles O. Jones (Arif Rohman, 2009: 135) mendasarkan diri pada konsepsi aktifitas – aktifitas fungsional. Menurutnya, implementasi adalah suatu aktifitas yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program. Ada tiga pilar aktifitas dalam mengoperasikan program tersebut adalah :

a. Pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit – unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa berjalan.

b. Interpretasi, yaitu aktifitas menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.

c. Aplikasi, yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.

Menurut James E. Anderson (Sudiyono, 2007: 81) menyatakan, bahwa implementasi kebijakan mencakup empat aspek, yaitu:

(1) siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan;

(2) esensi proses administratif;

(3) kepatuhan terhadap kebijakan;

(4) pengaruh implementasi pada isi dan dampak kebijakan

Pengertian Kebijakan Publik (skripsi dan tesis) (skripsi dan tesis)

Kebijakan (policy) seringkali dicampuradukkan dengan kebijaksanaan (wisdom). Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan akal. Tentunya suatu kebijakan bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan akal manusia. Namun, akal manusia merupakan unsur yang dominan di dalam mengambil keputusan dari berbagai pilihan dalam pengambilan keputusan kebijakan. James E. Anderson menyebutkan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang memiliki tujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok pelaku terkait dengan suatu permasalahan tertentu. (Sudiyono, 2007: 4). Harold D.Lasswell dan Abraham Kaplan juga menyebutkan kebijakan merupakan sebuah program yang diarahkan pada tujuan, nilai, dan praktek. Artinya kebijakan merupakan sebuah program yang disusun berdasarkan tujuan, termasuk nilai-nilai pembuat kebijakan dan fisibilitas dalam praktek. Dengan demikian kebijakan mengandung unsur fisibilitas teknis, sosial, dan politik. (Sudiyono, 2007: 3). Hugh Heclo menyebutkan bahwa kebijakan adalah cara bertindak yang disengaja untuk menyelesaikan beberapa permasalahan. Menurut Perserikatan Bngsa – Bangsa (PBB), bahwa kebijakan adalah sebagai pedoman untuk  bertindak. Pedoman tersebut bisa berwujud amat sederhana atau kompleks, bersifat umum ataupun khusus, luas ataupun sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas atau suatu rencana

Indikator Hasil Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Indikator kedua adalah policy outcome, yaitu untuk menilai hasil implementasi suatu kebijakan. Dalam berbagai literatur, indikator outcomejuga disebut sebagai indikator dampak kebijakan (policy impact). Berbagai perubahan yang muncul sebagai konsekuensi implementasi suatu kebijakan atau program tersebut perlu diukur untuk dapat diketahui sejauh mana kinerja implementasi kebijakan atau program.

Menurut Purwanto (2012: 106) menjelaskan bahwa manfaat lain mengetahui dampak kebijakan adalah:

1) Untuk menguji implementasi suatu pilot project apakah dapat dikembangkan menjadi suatu program

2) Untuk menguji design suatu program yang paling efektif sehingga ditemukan suatu cara untuk mengintegrasikan berbagai program.

3) Untuk menguji apakah modifikasi suatu program membuahkan hasil atau tidak.

4) Untuk mengambil keputusan terhadap keberlangsungan suatu program

Indikator Keluaran Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Sebagaimana telah disebutkan dalam kerangka logis pengukuran kinerja implementasi suatu kebijakan didepan, indikator utama untuk mengukur kinerja dibedakan menjadi dua,yaitu: indikator output dan indikator outcome. Indikator output digunakan untuk mengetahui konsekuensi langsung yang dirasakan oleh kelompok sasaran sebagai akibat adanya realisasi kegiatan, aktivitas, pendistribusian hibah, subsisdi dan lain-lain yang dilaksanakan dalam implementasi suatu kebijakan. Untuk mengethaui kualitas hasil kebijakan yang diterima oleh kelompok sasaran, maka evaluator dapat merumuskan berbagai indikator.

Menurut Purwanto (2012: 105) menjelaskan bahwa langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi policy output dari suatu kebijakan atau program yang akan dievaluasi.

b. Mengidentifikasi kelompok sasaran kebijakan atau program, apakah kelompok sasaran tersebut individu, keluarga, komunitas dan lain-lain.

c. Mengidentifikasi frekuensi kegiatan penyampaian output yang dilakukan oleh implementer.

d. Mengidentifikasi kualitas produk yang disampaikan oleh implementer kepada kelompok sasaran.

Secara umum apabila kebijakan atau program yang ingin dievaluasi tersebut merupakan kebijakan distributif, yaitu kebijakan yang dimaksudkan untuk membantu anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang kurang beruntung melalui instrumen material seperti pelayanan gratis, subsisdi, hibah dan lain-lain. Menurut Purwanto (2012: 106) menjelaskan bahwa berbagai indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas hasil kebijakan adalah sebagai berikut:

a. Akses, indikator akses digunakan untuk mengetahui bahwa program atau pelayanan yang diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran.

b. Cakupan (coverage), indikator ini digunakan untuk menilai seberapa besar kelompok sasaran yang sudah dapat dijangkau (mendapatkan pelayanan, hibah, transfer dana dan sebagainya) oleh kebijakan publik yang diimplementasikan. Prosedur yang digunakan untuk mengukur cakupan adalah:

1) Menetapkan siapa saja yang menjadi kelompok sasaran (keluarga miskin, petani, PNS dan sebagainya) idealnya evaluator memiliki data seluruh kelompok sasaran yang memiliki hak (eligible) untuk menjadi kelompok sasaran tersebut.

2) Membuat proporsi (perbandingan) jumlah kelompok sasaran yang sudah mendapatkan layanan terhadap kelompok total target.

c. Frekuensi, frekuensi merupakan indikator untuk mengukur seberapa sering kelompok sasaran dapat memperoleh layanan yan dijanjikan oleh suatu kebijakan atau program.

d. Bias, bias merupakan indikator yang digunakan untuk menilai apakah pelayanan diberikan oleh implementer bias (menyimpang).

e. Service delivery (ketepatan layanan), indikator yang digunakan untuk menilai apakah pelayanan yang diberikan implementasi suatu program dilakukan tepat waktu atau tidak.indikator ini sangat penting untuk menilai output yang memiliki sensitifitas terhadap waktu.

f. Akuntabilitas, indikator ini digunakan untuk menilai apakah tindakan para implementer dalam menjalankan tugas kepada kelompok sasaran dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

g. Kesesuaian program dengan kebutuhan, indikator ini digunakan untuk mengukur apakah berbagai keluaran kebijakan atau program sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran.

Indikator Pengukuran Kinerja Kebijaan Publik (skripsi dan tesis)

Untuk dapat membuat justifikasi apakah suatu kebijakan gagal atau berhasil maka seorang peneliti perlu melakukan penilaian terhadap kinerja kebijakan tersebut. Alat bantu yang dapat dipakai oleh seorang peneliti untuk dapat menilai baik atau buruknya kinerja implementasi suatu kebijakan disebut sebagai indikator. Dalam kebijakan publik, indikator merupakan instrumen penting untuk mengevaluasi kinerja suatu kebijakan. Dengan adanya indikator maka peneliti dapat mengetahui keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, program atau proyek. Sebagai alat ukur, indikator dapat bersifat kualitatif (naratif) maupun kuantitatif (angka). Angka atau deskripsi tersebut sangat berguna dalam menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Indikator yang baik akan membantu peneliti mengenali kondisi yang akan muncul ketika tujuan suatu kebijakan dapat diwujudkan.

Ciri-ciri indikator yang baik dalam teori kebijakan publik sebagaimana dijelaskan Purwanto (2012: 104) antara lain:

a. Memiliki relevansi dengan kebijakan atau program yang akan dievaluasi. Hal ini sangat jelas, indikator yang baik mesti mencerminkan realitas kebijakan dan program.

b. Memadai, dalam arti jumlah indikator yang digunakan memiliki kemampuan menggambarkan secara lengkap kondisi tercapainya tujuan suatu kebijakan.

c. Data yang diperlukan mudah diperoleh dilapangan sehingga tidak akan menyulitkan evaluator.

d

. Indikator yang disusun idealnya bersifat general dan representatif serta dapat dibandingkan dengan kebijakan yang sama ditempat lain.

Pengukuran Kinerja Pelayanan Publik (skripsi dan tesis0

 

Oxford english dictionary mendefinisikan kinerja sebagai: “The accomplishment, execution, carrying out, working out of anything ardered or undertaken”, dari definisi tersebut kinerja dapat diartikan sebagai keberhasilan suatu tindakan, tugas atau operasi yang dilakukan oleh orang, kelompok orang atau organisasi (Purwanto,2012: 99). Kinerja dengan demikian dapat merujuk keluaran (output), hasil (outcome) atau pencapaian (accomplishment). Jika dikaitkan dengan kebijakan, kinerja suatu kebijakan dapat didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian implementasi dalam mewujudkan sasaran dan tujuan suatu kebijakan. Baik itu berupa keluaran kebijakan (policy output), maupun hasil kebijakan (policy outcome). Dalam menentukan tinggi-rendahnya kinerja implementasi suatu kebijakan maka penilaian terhadap kinerja (performance measurement) merupakan suatu yang penting. Penilaian terhadap kinerja adalah penerapan metode yang dipakai oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan pokok dalam studi implementasi, yaitu: (1) apa isi dan tujuan dari suatu kebijakan: (2) apa tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan teresbut: dan (3) apakah setelah tahapan-tahapan tersebut dilakukan implementasi yang dijalankan tadi mampu mewujudkan tujuan kebijakan atau tidak

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 142) menyatakan
bahwa ada enam faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya
jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis
dengan budaya sosial yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika
ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan
pada level warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik pada
level yang dikatakan berhasil.
2. Sumber Daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia
merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu
keberhasilan proses implementasi.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat dalam implementasi kebijakan
publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan
akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok
dengan para agen pelaksananya. Selain itu cakupan atau luas wilayah
17
implementasi kebijakan juga perlu diperhitungkan manakala hendak
menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi
kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/ Kecendrungan (disposition) para pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi
kebijakan. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal
betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan.
5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihakpihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya
kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula
sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Hal terakhir yang juga perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut
mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Karena
itu lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif juga perlu
diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan.

Menurut Grindle dalam Agustino (2008:192) menyatakan bahwa
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua variabel besar yaitu:
1. Isi Kebijakan (content of policy)
Variabel isi kebijakan mencakup sejauh mana kepentingan kelompok
sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, Jenis manfaat
yang diterima oleh target group, Sejauh mana perubahan yang diinginkan
dari suatu kebijakan, Apakah letak dari sebuah program sudah tepat,
Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan impelmentatornya dengan
rinci dan Apakah sebuah program di dukung oleh sumber daya manusia.
2. Lingkungan Implementasi (conteks of policy)
Variabel lingkungan kebijakan mencakup seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, strategi yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, Karakteristik institusi dan rejim yang sedang
berkuasa dan Tingkat kepatuhan dan responsivitas sasaran.
Sedangkan menurut Mazmanian dan Sebastier dalam Agustino, (2008: 196)
terdapat tiga kelompok variabel yang berpengaruh terhadap implementasi
suatu kebijakan yaitu:
1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problem)
Kelompok variabel karakteristik masalah mencakup: a) Tingkat kesulitan
teknis dari masalah yang bersangkutan; b) Tingkat kemajemukan dari
kelompok sasaran; c) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi;
dan d).Cakupan perubahan perilaku yang diinginkan.
2. Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure
implementation)
Kelompok variabel karakteristik kebijakan/ undang-undang mencakup:
a) Kejelasan isi kebijakan; b) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki
dukungan teoritis; c) Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap
kebijakan tersebut; d) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan
antar berbagai institusi pelasana; e) Kejelasan dan konsistensi aturan yang
ada pada badan pelaksana; f) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan
kebijakan; dan g) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk
berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.
3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup a) Kondisi sosial
ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi; b) Dukungan publik
terhadap sebuah kebijakan; c) Sikap dari kelompok pemilih; dan
d) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementator.