Faktor- faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, menurut Mangkunegara (2015:120)
yaitu:
a) Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,
kondisi fisik, pendidikan, pengalam kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara
berfikir, persepsi, dan sikap kerja.
b) Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan),
kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan,
interaksi social, dan hubungan kerja
Pengertian Kepuasan Kerja
Robbins (2015: 170) disebutkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap umum
terhadap pekerjaan seseorang sebagai perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima
pekerja dengan banyaknya ganjaran yang diyakini seharusnya diterima. Dan Setiap
individu pekerja memiliki karakteristik yang berbeda – beda, maka tingkat kepuasan
kerjanya pun berbeda–beda pula tinggi rendahya kepuasan kerja tersebut dapat
memberikan dampakyang tidak sama.
Menurut (Ii & Teori, 2014). Pada dasarnya kepuasan kerja (Job Satisfaction)
merupakan hal yang bersifat individual karena setiap individu akan memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap
individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu,
maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Dan menurut Menurut Stephen P
Robins dalam Isniar Budiarti et.al (2018:141) kepuasan adalah suatu kondisi dimana
kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan
ketidaksukaan dikaitkan dengan pegawai yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh
pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan diterima
setelah melakukan sebuah pengorbanan.
Indikator Pemberdayaan
Kahn (2007:54) dalam Arifin, dkk (2014:16) menyatakan bahwa pemberdayaan
dapat dilihat dari indikator sebagai berikut
1. Keinginan
a) Pegawai diberi kesempatan mengidentifikasikan permasalahan.
b) Menggambarkan keahlian tim dan melatih pegawai untuk mengawasi
sendiri
2. Kepercayaan diri
a) Menggali ide dan saran dari pegawai
b) Menyediakan jadwal instruksi kerja dan mendorong penyelesaian yang baik
3. Kredibilitas
a) Memandang pegawai yang lain sebagai partner
4. Komunikasi
a) Menetapkan kebijakan komunikasi terbuka
b) Menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendiskusikan
permasalahan secara terbuka
Bentuk Pemberdayaan
Menurut (Ii et al., 2011) pemberdayaan memberikan partipatif dan program
keterlibatan karyawan yang tidak mengurangi perasaan tidak memiliki atau membiarkan
orang merasa bahwa pekerjaan mereka berarti dan berharga. Sebagai contoh, mengizinkan
bawahan untuk melakukan sebuah tugas dan diberikan tanggungjawab dalam pengambilan
keputusannya juga. Ada beberapa bentuk pemberdayaan yaitu ;
A. Participative Management
Partisipasi seorang bawahan bersamasama dengan seorang atasan dalam hal
pengambilan keputusan. Pemberdayaan ini dilakukan karena semakin rumitnya pekerjaan,
sehingga terkadang atasan tidak mengerti apa yang dilakukan oleh seorang bawahan.
Pemberdayaan ini diharapkan pegawai dapat memberikan kontribusi dan dicapai
keputusan yang terbaik.
B. Representative Participation
Partisipasi karyawan diwakilkan oleh sekelompok karyawan saja. Hal ini, kelompok
diizinkan untuk mengambil keputusan bersama-sama manajemen.
C. Quality Circles
Partispasi sekelompok pegawai yang memiliki tanggungjawab dalam hal kualitas di
perusahaan. Kelompok ini mendiskusikan masalah, menyarankan solusi dan menjalankan
tindakan koreksi. Kelompok ini pada umumnya memberikan umpan balik, kemudian
manajemen yang pada akhirnya memiliki keputusan akhir mengenai solusi yang akan
dijalankan.
D. Employee Stock Ownership Plans
Program perusahaan terhadap kayawan dalam hal kepemilikan saham
perusahaan.Kepemilikan ini diharapkan kepuasan kerja pegawai meningkat dan bekerja
lebih efektif, karena kinerja yang baik berarti akan menguntungkan pula bagi karyawan
tersebut.
Pengertian Pemberdayaan
Menurut Sedarmayanti (2013:286), secara harfiah, kata pemberdayaan dapat
diartikan lebih berdaya dari sebelumnya, baik dalam hal wewenang tanggung jawab
maupun kemampuan individual yang dimilikinya. Pemberdayaan merupakan pemberian
tanggung jawab dan wewenang terhadap pekerjaan untuk mengambil keputusan-keputusan
(Tarigan, 2019). Dan menurut Khan (2007:54) dalam Ariffin dkk (2014:16),”Pemberayaan
merupakan hubungan antar personal yang berkelanjutan untuk membengun kepercayaan
antara pegawai dan manajemen”. Dan menurut (Rizaldi, n.d.) Pemberdayaan, yaitu
terdapatnya kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan dan tersedianya
kesempatanuntuk menggunakan ketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki karyawan.
Indikator Keadilan organisasional
Al-Zu’bi (2010) menyatakan bahwa indicator-indikator untuk mengukur keadilan
organisasional adalah sebagai berikut:
1. Keadilan distributif
a) hasil yang mereka terima dari organisasi adil.
b) Jadwal kerja yang adil
c) imbalan yang mereka terima secara adil
2. Keadilan prosedural
a) aturan dan prosedur yang mengatur secara adil
b) pemimpin mendengarkan masalah karyawan sebelum membuat keputusan
c) keputusan kerja diterapkan secara konsisten kepada seluruh karyawan
3. Keadilan interaksional
a) perlakuan pimpinan kepada karyawan adil
Aspek Keadilan Organisasi
Keadilan Distributif
Robbins dan Timothy (2012: 122) mendefinisikan “kompensasi sebagai nilai balas
jasa yang diterima pegawai atau karyawan dalam bekerja. Didalam mengukur kompensasi
maka digunakan keadilan distributif (distributive justice)”. Keadilan distributif
berhubungan dengan distribusi balas jasa yang diterima individu yang bekerja dalam
sebuah organisasi, keadilan distributif berhubungan dengan besaran gaji yang diterima
dengan dasar utama waktu bekerja, tingkat kesulitan, jam kerja hingga adanya risiko kerja.
Keadilan Prosedural
Keadilan procedural adalah keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan
untuk menentukan distribusi imbalan (Robbins dan Timothy, 2012). Sedangkan menurut
Kaswan (2015), berpendapat bahwa keadilan organisasional menjadi elemen utama yang
berfokus pada keadilan yang terjadi di tempat kerja dan kepuasan yang dirasakan oleh
karyawan. Sehingga keadilan organisasi didasari oleh bagaimana setiap karyawan menilai
sikap dan perilaku karyawan lain dan bagaimana perilaku organisasi terhadap mereka.
Dan Menurut Kreitner dan Kinicki (2010:221) dalam bukunya yang berjudul
Organizational Behavior, keadilan organisasional mencerminkan sejauh mana karyawan
melihat bagaimana mereka diperlakukan secara adil di tempat kerja. Dapat identifikasi dari
tiga komponen yang berbeda dari keadilan organisasi antara lain keadilan distibutif,
keadilan prosedural dan keadilan interaksional.
Keadilan Interaksional
Keadilan interaksional menurut Kreitner dan Kinicki (2010:222) adalah “keadilan
yang berkaitan dengan kualitas perlakuan antar pribadi yang orang terima ketika prosedur
diterapkan”. Bentuk keadilan tidak berhubungan dengan hasil atau prosedur yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan, melainkan berfokus pada apakah sopan dan
hormat atau tidak seseorang..
Definisi Keadilan organisasional
Menurut Robbins dan Timothy (2012:143) “keadilan organisasional pertama
sekali berkembang melalui teori relative deprivation oleh Stouffer pada tahun empat
puluhan. Pada dasarnya keadilan organisasi menyatakan bahwa reaksi seseorang terhadap
suatu hasil (outcome) akan tergantung pada bagaimana perbandingan hasil yang dihasilkan
oleh individu dengan hasil orang lain”. Dan juga menurut Robbins dan Judge (2014:144)
“keadilan organisasi didefinisikan sebagai persepsi keseluruhan dari apa yang adil ditempat
kerja, terdiri dari atas keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan informasional dan
keadilan interpersonal”. Dan menurut (Al-Zu’bi, 2010) “Keadilan organisasional
merupakan bagaimana karyawan menentukan apakah karyawan di perlakukan secara adil
di tempat kerja dan bagaimana penentuan tersebut dapat mempengaruhi hal-hal berkaitan
dengan pekerjaan lainnya”.
Menurut Ivancevich et al (2011:136), “keadilan organisasional merupakan penelitian
ilmu organisasi yang berfokus pada persepsi dan penilaian oleh karyawan mengenai
kewajaran prosedur dasar dan keputusan organisasi mereka. Inti keadilan adalah bahwa
karyawan membandingkan usaha dan penghargaan yang mereka terima dengan orang lain
dalam situasi kerja yang serupa”.
Empat istilah penting dalam teori ini adalah:
1) Orang (Person)
Individu kepada siapa keadilan dan ketidakadilan.
2) Perbandingan dengan orang lain (Comparision other)
Setiap kelompok atau orang yang digunakan oleh seseorang sebagai referensi
berkenaan dengan rasio input dan hasil.
3) Input
Karakteristik individu yang dibawa oleh seseorang ke tempat kerja. Hal ini
mungkin yang dicapai (keterampilan, pengalaman, pembelajaran) atau yang
diturunkan (jenis kelamis, ras, dll).
4) Hasil (Output)
Apa yang diterima seseorang dari pekerjaan (misalkan pengakuan, tunjangan, gaji)
Indikator Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Menurut Luthans (2011:149) mengemukakan ada lima Indikator yang memiliki
kontribusi dalam perilaku Organizational Citizenship Behavior, yaitu:
1. Altruism, yaitu perilaku yang dilakukan oleh individu secara sukarela dalam
perannya sebagai seorang karyawan yang lebih mementingkan kepentingan orang
lain daripada kepentingan diri sendiri. Misalnya, karyawan membantu pekerjaan
rekan kerja lainnya yang sedang tidak enak badan. Disamping itu tujuan karyawan
untuk meringankan beban kerja rekan kerjanya, hal ini juga akan membantu
organisasi dalam pencapaian target tepat waktu dan bagi karyawan berguna sebagai
latihan meningkatkan ukuran kinerja.
2. Civic Virtue, yaitu perilaku yang dilakukan oleh individu secara sukarela dalam
peranannya sebagai karyawan untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam
mengatasi masalah-masalah organisasi demi kelangsungan organisasi. Misalnya,
ketika adanya ancaman pesaing baru dalam bisnis, karyawan ikut berkontribusi
dalam memberikan ide-ide terhadap penyelesaian masalah tersebut.
3. Sportmanship, yaitu perilaku yang dilakukan oleh individu secara sukarela dalam
peranannya sebagai karyawan berupa toleransi untuk bertahan dalam suatu kondisi
yang kurang nyaman atau tidak menyenangkan tanpa mengeluh sedikitpun.
Misalnya demi mempertahankan kelangsungan hidup organisasi, terjadi perubahan
aturan dalam organisasi yang tidak sesuai dengan ekspektasi karyawan, karyawan
harus bisa menerima kondisi tersebut dan tetap bersikap positif.
4. Conscientiousness, yaitu perilaku yang dilakukan oleh individu secara sukarela
dalam peranannya sebagai karyawan untuk meningkatkan kinerjanya dengan
berbagai cara, bahkan ketika harus membutuhkan kreativitas dan inovasi demi
peningkatan organisasi. Misalnya, memiliki inisiatif untuk meningkatkan
kompetensinya, baik dengan cara melakukan training ataupun mengikuti seminarseminar yang ada secara sukarela
5. Courtesy, yaitu perilaku yang dilakukan oleh individu secara sukarela dalam
peranannya sebagai karyawan untuk mencegah terjadinya permasalahan dalam
organisasi baik karena adanya provokasi dari luar organisasi maupun dari individu
didalam organisasi. Misalnya, memberikan peringatan kepada rekan kerja maupun
organisasi untuk selalu berhati-hati dalam menanggapi isu-isu yang berdampak
negatif bagi organisasi, dan selalu berusaha memberikan informasi yang benar bagi
organisasi.
Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB)
JinLiang dan Hai-Zhen, (2012) mengatakan bahwa “Dimensi organizational
citizenship behavior terutama altruism, conscientiousness, dan sportsmanship dapat
menurunkan tingkat turn over karyawan”. Dan dua bentuk organizational citizenship
behavior lainnya courtesy dan civic virtue dapat membuat karyawan lebih lama berada di
dalam pekerjaan, kualitas yang tinggi dalam perusahaan, dan membantu kesuksesan
perusahaan. Berikut ini manfaat organizational citizenship behavior bagi organisasi, yaitu:
1. Meningkatkan produktivitas rekan kerja Karyawan yang menolong rekan kerja lain
akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dengan begitu akan
meningkatkan produktivitas rekan kerja tersebut.
2. Meningkatkan produktivitas manajer Karyawan yang menampilkan perilaku civic
virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga
dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja
3. Menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
keseluruhan
a) Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam
suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya
manajer akan menggunakan waktunya untuk melakukan tugas lain seperti
membuat perencanaan
b) Karyawan yang menampilkan conscientiousness yang tinggi hanya
membutuhkan pengawasan minimal dari manajer, sehingga manajer dapat
mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar pada mereka, berarti
membantu manajer melakukan pekerjaan yang lebih penting.
c) Karyawan yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat menolong
manajer karena tidak menghabiskan waktu terlalu banyak dengan keluhankeluhan kecil karyawan.
Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organ (Titisari, 2014:5) mendefinisikan bahwa “Organizational Citizenship
Behavior (OCB) sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung
atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi. OCB
ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer
untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat
kerja”. Dan menurut (Luthans,2015) “Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai
prilaku individu yang tidak diskresioner, yang secara tidak langsung atau eksplisit diakui
oleh sistem penghargaan formal dan secara keseluruhan mempromosikan fungsi efektif
organisasi”
OCB merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan perilaku
pegawai sehingga dia dapat disebut sebagai anggota yang baik. OCB merupakan bentuk
yang menguntungkan, perilaku extrarole terhadap rekan kerja terutama adanya bentuk
saling membantu. Dari definisi para ahli maka dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan
perilaku extrarole individu terhadap rekan kerja yang mampu meningkatkan efektivitas
fungsi organisasi. OCB merupakan tindakan seseorang di luar kewajibannya, tidak
memperhatikan kepentingan diri sendiri. OCB memberikan kontribusi terhadap
kesejahteraan komunitasnya, transformasi sumber daya, keinovasian dan keadaptasian
serta kinerja organisasi secara keseluruhan termasuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pengerahan sumber daya langka, waktu dan pemecahan masalah di antara unitunit kerja dengan cara kolektif dan interdependensi
Pengaruh Keadilan Organisasional terhadap CCB melalui Kepercayaan
Dalam penelitian Di et al. (2010:1923) menunjukkan bahwa kepercayaan
memediasi antara pengaruh keadilan organisasional terhadap CCB. Hal tersebut
membuktikan bahwa semakin tinggi nilai keadilan pelanggan yang diberikan ke
organisasi atau perusahaan, semakin besar kemungkinan untuk menciptakan CCB
karena kepercayaan pelanggan terhadap organisasi. Tujuan yang dilakukan dalam
pengaruh ini adalah untuk mengetahui interaksi pelanggan terhadap perusahaan
dengan menunjukkan perilaku kepercayaan, sehingga hubungan jangka panjang
antara pelanggan dengan perusahaan bisa terbangun. Hasilnya adalah kepercayaan
berpengaruh signifikan dalam memediasi pengaruh keadilan organisasional
terhadap CCB.
Pengaruh Kepercayaan terhadap CCB
Di dalam penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa adanya pengaruh
kepercayaan terhadap CCB. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika pelanggan
merasa ritel bisa dipercaya dan membuat pelanggan memiliki CCB. Tujuan dari
penelitian yang dilakukan adalah untuk menguji perbedaan individu pelanggan
pada perilaku voluntari di Brick dan berdasarkan outlet ritel mortar terhadap CCB,
volunterism, dan literasi OCB (Organizational Customer Citizenship) serta tujuan
lainnya adalah untuk membantu manajer ritel dalam memahami CCB jadi, mereka
kuat, berani dan langsung berperilaku seperti pantas untuk membantu kedua
pelanggan lainnya dan keefektifan dan efisiensi ritel. Hasilnya menunjukkan
kepercayaan berpengaruh signifikan positif terhadap CCB.
Pengaruh Keadilan Organisasional terhadap Kepercayaan
Dalam penelitian Di et al., (2010:1922) menunjukkan adanya pengaruh keadilan
organisasional terhadap tingkat kepercayaan. Hal tersebut membuktikan bahwa
pelanggan memiliki persepsi yang tinggi terhadap keadilan pada tingkat
kepercayaan dengan ritel tempat pelanggan tersebut berbelanja. Tujuan dari
penelitian yang dilakukan adalah untuk menguji keadilan organisasi dan CCB,
melalui garis mediasi kepercayaan pada perusahaan ritel. Hasilnya berpengaruh
signifikan positif antara tiap dimensi keadilan organisasional dan kepercayaan,
sehingga terbukti bahwa kepercayaan sebagai mediasi yang mempengaruhi CCB.
Penelitian Jason A. Colquitt dan Jessica B. Rodell (2011:1188)
menunjukkan adanya pengaruh keadilan organisasional terhadap kepercayaan.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui hubungan antara
dimensi keadilan organisasional, sikap dapat dipercaya dan kepercayaan.
Dibuktikan bahwa dimensi keadilan organisasional berpengaruh signifikan positif
terhadap kepercayaan, sehingga terbukti bahwa tiap dimensi keadilan sangat
penting dan dapat mempengaruhi pelanggan dalam hal kepercayaan.
Customer Citizenship Behavior (CCB)
Customer Citizenship Behavior (CCB) adalah perilaku tanpa prasyarat, bukan
perilaku yang diisyaratkan oleh perusahaan; tidak memiliki hubungan langsung
dengan pembelian, tapi perilaku tersebut benar-benar membantu dalam mencapai
tujuan perusahaan atau organisasi (Di et al., 2010:1921). Berbeda dengan YLN
Kumar yang mengartikan CCB adalah perilaku pelanggan yang diskresioner atau
melindungi; secara tidak langsung maupun eksplisit mengakui sistem formal
imbalan dan secara langsung mempromosikan fungsi efektif organisasi (YLN
Kumar, 2014:23).
CCB adalah kegiatan pengambilan keputusan oleh pelanggan, lebih dan
diatas kebutuhan normal dari pertukaran yang mana menguntungkan perusahaan
(Gilde et al., 2011:619). CCB digunakan untuk mencerminkan tindakan peran
ekstra positif yang meningkatkan efektivitas perusahaan atau organisasi (Gilde et
al., 2011:620). Perilaku peran ekstra dianggap juga sebagai CCB (Romana Garma
and Liliana, 2011:634). Di dalam pemasaran CCB merupakan perilaku positif
seperti menghadiri acara penelitian tentang merek, memakai atau menggunakan
materi promosi, menjadi fleksibel terhadap janji, dan juga perilaku negatif seperti
bersikap kasar kepada staff, memprotes merek dan tidak mengikuti peraturan yang
ditetapkan perusahaan (Gilde et al., 2011:619).
Bove et al., menggunakan dua teori yaitu teori pertukaran sosial dan teori
empati untuk memprediksi bahwa kepercayaan dan komitmen terhadap pelayanan
pekerja dapat menunjukkan mengapa pelanggan melakukan CCB (Bove et al.,
dalam Gilde et al., 2011:620). CCB meliputi merekomendasikan karyawan
kepada orang lain; membuat saran konstruktif dan memberikan kerjasama penuh
(Yi et al., dalam Romana Garma and Liliana L. Bove, 2011:634). CCB
didefinisikan sebagai perilaku sukarela dan melindungi pelanggan sendiri yang
secara tidak langsung atau eksplisit diharapkan atau dihargai secara agregat,
mengarahkan ke kualitas layanan yang lebih tinggi dan mempromosikan
efektivitas fungsi organisasi pelayanan (Groth, dalam Romana Garma and Liliana
L. Bove, 2011:634).
Menurut Bove et al., mengidentifikasikan tipe CCB seperti word-ofmouth (WOM) positif, pengaruh untuk memperbaiki pelayanan, peraturan untuk
pelanggan, suara, aksi kebaikan, afiliasi, fleksibilitas dan berpartisipasi di dalam
aktivitas organisasi (Bove et al., dalam Adesegun Oyedele and Penny Simpson,
2011:575). Menurut Cova & Dali, CCB lebih kepada kepentingan interaksi
pelanggan kepada perusahaan yang memungkinkan pelanggan memberi kuasa
atas besarnya komitmen yang dimiliki terhadap perusahaan (Cova and Dali, dalam
Adesegun Oyedele and P. M. Simpson, 2011:576). Pengertian lain Menurut Groth
CCB seperti voluntary dan perilaku kebijakan yang bebas dimana tidak
dibutuhkan untuk kesuksesan produksi dan atau pelayanan pengiriman tetapi, di
dalam jumlah membantu semua pelayanan organisasi (Groth, dalam Adesegun
Oyedele and P. M. Simpson, 2011:576).
Menurut Organ’s dalam Di et al., (2010:1925) dalam mendefinisikan bahwa CCB
memiliki empat dimensi yaitu:
1. Altruism atau sifat mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri yaitu
pelanggan secara aktif membantu kepastian perusahaan atau pelanggan
menghubungkan tugas atau pertanyaan di dalam organisasi dan hal tersebut
merupakan sebuah kondisi di luar perilaku pelanggan.
2. Conscientiousness atau berhati-hati atau teliti yaitu pelanggan berhati-hati
dalam mempertimbangkan syarat pembelian dan prosedur-prosedur transaksi.
3. Courtesy atau kesopanan, yaitu perilaku pelanggan untuk menghindari
kesalahan dalam transaksi supaya jangan ada pelanggan yang memiliki
masalah yang sama.
4. Civic virtue atau nilai kewargaan, yaitu pelanggan berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan yang ada pada organisasi, misalnya pelanggan dengan
sukarela mempromosikan toko demi kepentingan perusahaan.
Faktor yang Mempengaruhi Keadilan Organisasi
Faktor yang mempengaruhi keadilan organisasi menurut Farlin dan
Sweeney (1992) adalah: a) karakteristik tugas, artinya sifat dari pelaksanaan
tugas karyawan beserta segala konsekuensi yang diterimanya dan adanya
kejelasan dari karakteristik tugas dan proses evaluasinya yang akan
meningkatkan persepsi karyawan terhadap keadilan organisasi; b) tingkat
kepercayan bawahan, artinya sejauhmana kepercayaan karyawan terhadap
atasan misalnya semakin tinggi kepercayaan karyawan pada atasan maka
akan meningkatkan persepsi karyawan terhadap keadilan organisasi; c)
frekuensi feedback, artinya semakin sering feedback dilakukan maka akan
semakin meningkatkan persepsi karyawan terhadap keadilan organisasi; d)
kinerja manajerial, artinya sejauh mana peraturan yang ada diterapkan
secara fair dan konsisten serta menghargai karyawan tanpa ada bias
personal, sehingga akan semakin meningkatkan persepsi karyawan terhadap
keadilan organisasi; e) budaya organisasi, artinya persepsi mengenai system
dan nilai yang dianut dalam suatu organisasi juga akan berpengaruh pada
meningkatnya persepsi karyawan terhadap keadilan organisasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keadilan organisasi menurut
Robbins dan Judge (2008) adalah nilai input kerja dengan hasil yang
diterima dari organisasi, kontrol dan penjelasan hak dan kewajiban,
perlakuan organisasi dalam memberikan hak dan kewajiban karyawan.
Ditambahkan lebih lanjut oleh Niehoff dan Moorman (1993) bahwa faktor
yang mempengaruhi persepsi keadilan organisasi diantaranya adalah rasa
keadilan yang diterima karyawan dalam sebuah organisasi, keadilan akan
adanya promosi yang diterima, gaji yang didapat sesuai hak dan kewajiban,
penghargaan yang diterima karyawan, dan pengorbanan karyawan terhadap
organisasi.
Indikator Keadilan Organisasi
Indikator yang digunakan untuk mengungkap persepsi keadilan
organisasi yaitu berupa kesesuaian penerimaan upah sesuai dengan beban
kerja dan tanggung jawab, mendapatkan apresiasi ketika mampu
menyelesaikan pekerjaan dengan baik, pemerataan pemberian bonus pada
seluruh karyawan sesuai beban kerja yang ada, pemberian rewards sesuai
dengan prestasi kerja pada karyawan, proses promosi yang jelas sesuai
dengan penilaian dan kemampuan karyawan, proses pemutusan hubungan
kerja yang sesuai dengan aturan yang berlaku, proses kenaikan gaji yang
sesuai dengan tingkat tanggung jawab, prestasi dan beban kerja yang ada,
perlakuan penuh hormat, martabat dan tidak membeda-bedakan antar
karyawan satu dengan karyawan yang lain, memberikan hak-hak karyawan
sesuai dengan hak karyawan, penyampaian keputusan yang jelas dan
transparan.
Aspek-Aspek Keadilan Organisasi
Menurut Colquit (2001) aspek – aspek keadilan organisasi yaitu: a)
keadilan distributif, artinya keadilan imbalan yang ingin didapatkan
karyawan dari perusahaannya berdasarkan indikator yang meliputi penilaian
akan persamaan hak dan kewajiban, kelayakan imbalan sesuai pekerjaan,
kontribusi yang diberikan kepada perusahaan,dan kinerja yang dihasilkan; b)
keadilan prosedural, keadilan yang digunakan untuk menentukan distribusi
imbalan berdasarkan indikator yang meliputi penilaian terhadap kendali
proses yaitu kesempatan untuk mengungkap pandangan akan peraturan,
kendali keputusan berupa penilaian untuk ikut mengawasi peraturan,
konsistensi penerapan peraturan, bebas prasangka berupa tidak adanya
diskriminasi, akurasi informasi berupa keakuratan informasi untuk membuat
keputusan, mampu mengoreksi untuk perbakan kesalahan dan etika moral
sebagai pedoman profesionalitas penerapan peraturan; c) keadilan
interaksional, bentuk perlakuan perusahaan kepada karyawan berdasarkan
indikator penilaian terhadap kesopanan, martabat, rasa hormat, kejujuran,
pembenaran,spesifikasi, dan perhatian.
Disampaikan lebih lanjut oleh Robbins dan Judge (2008) bahwa
aspek-aspek keadilan organisasi diantaranya: a) keadilan distributif,
didefinisikan sebagai keadilan jumlah dan penghargaan yang dirasakan
diantara individu-individu. Hal ini menunjukan bahwa seberapa besar
keadilan yang diterima dan dirasakan individu mengenai jumlah dan
penghargaan atas apa yang diberikan kepada perusahaan yang berupa gaji,
pengakuan, bonus, rewards, dan lain-lain; b) keadilan prosedural,
didefinisikan sebagai keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan
untuk menentukan distribusi imbalan. Hal ini berkaitan dengan imbalan
yang diterima individu atas usaha yang telah dilakukan berupa proses
promosi, proses pemutusan hubungan kerja, dan proses kenaikan gaji; c)
keadilan interaksional, didefinisikan sebagai persepsi individu tentang
tingkat sampai dimana seorang karyawan diperlakukan dengan penuh
martabat, perhatian, dan rasa hormat. Hal ini berkaitan dengan perlakuan
perusahaan terhadap semua karyawan untuk mendapatkan keadilan yang
sama dalam berbagai hal berupa perlakuan terhadap karyawan yang penuh
hormat dan martabat, peduli dengan hak-hak karyawan dalam pengambilan
keputusan, penyampaian keputusan yang jelas dan logis.
Pendapat lain disampaikan oleh Noe, dkk (2011) bahwa aspek
keadilan organisasi yaitu: a) keadilan distributif, diartikan sebagai penilaian
karyawan terkait imbalan yang diterimanya dibanding imbalan yang
diterima orang lain sebagai acuannya. Hal ini merupakan bentuk imbalan
yang dipersepsikan oleh karyawan apakah diberikan secara adil dan merata;
b) keadilan prosedural, diartikan sebagai konsep keadilan yang berfokus
pada metode yang digunakan untuk menentukan imbalan yang diterima. Hal
ini dipersepsikan karyawan sebagai bentuk dan cara pemberian imbalan
yang dilakukan oleh perusahaan apakah diberikan secara adil atau tidak.
Pengertian Keadilan Organisasi
Pendapat Colquitt, dkk (2001) keadilan organisasi diartikan sebagai
persepsi individu tentang objektifitas keputusan dan proses pengambilan
keputusan dalam organisasi dan pengaruh persepsi pada perilaku.
Ditambahkan oleh Lee, dkk (1999) keadilan organisasi dianggap sebagai
penilaian evaluatif tentang kesesuaian perlakuan orang lain.
Koopman (2003) berpendapat bahwa keadilan organisasi yaitu hasil
persepsi yang diberikan individu secara subyektif atas perlakuan yang
diterimanya dari orang lain yang ada disekitarnya. Keadilan organisasi juga
didefinisikan oleh Ivancevich (2008) sebagai persepsi seorang karyawan
mengenai seberapa objektif karyawan tersebut diperlakukan dalam transaksi
sosial di tempat kerja. Dijelaskan lebih lanjut oleh Lambert dan Hogan
(2008) bahwa keadilan organisasi sebagai tingkat persepsi karyawan terkait
dengan kesetaraan yang diberikan organisasinya baik dari segi hasil ataupun
prosedur yang digunakan dalam memperoleh hasil tersebut.
Menurut Robbin dan Judge (2008), keadilan organisasi
didefinisikan sebagai keseluruhan persepsi tentang apa yang setara di tempat
kerja yang berupa keadilan distributif, prosedural dan interaksional.
Ditambahkan oleh Greenberg (dalam Ghaziani, dkk,2012) bahwa keadilan
organisasi adalah persepsi karyawan mengenai sejauhmana karyawan
diperlakukan secara objektif dalam organisasi dan bagaimana hal tersebut
mempengaruhi pengeluaran organisasi.
Menurut Gibson, dkk (2012) keadilan organisasi yaitu suatu tingkat
dimana seorang individu merasa diperlakukan sama di dalam orgnisasi
tempat dirinya bekerja. Dijelaskan lebih lanjut oleh Robbins dan Judge
(2015) yang berpendapat bahwa keadilan organisasi yaitu memusatkan
perhatian yang lebih luas pada bagaimana pekerja merasa para otoritas dan
pengambilan keputusan di tempat kerja dalam memperlakukannya dan bagi
sebagian besar pekerja mengevaluasi seberapa adil perlakuan yang
diterimanya.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Spector (1997) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja menjadi dua macam yaitu : a) faktor intrinstik yaitu
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri karyawan dan dibawa oleh
setiap karyawan sejak mulai bekerja ditempat kerjanya; b) faktor ekstinsik
yaitu faktor yang menyangkut hal-hal yang berasal dari luar karyawan,
antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interkasnya dengan karyawan
lain, sistem penggajian dan lainnya.
Mangkunegara (2015) menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja ada dua yaitu a) faktor pegawai (dalam diri
individu) yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,
kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian,
emosi, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja; b) Faktor pekerjaan (dari luar
diri individu) yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat
(golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan
promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut
As’ad (2003:114) yaitu:a) kesempatan untuk maju, yaitu ada tidaknya
kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemempuan
selama kerja;b) keamanan, sering disebut sebagai penunjang kepuasan
kerja baik bagi karyawan pria maupun wanita; c) gaji/upah lebih banyak
menyebabkan ketidak puasan dan jarang orang menekspresikan kepuasan
kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; d) perusahaan dan
manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi
kerja yang stabil; e) penawasan atau supervisi, bagi karyawan, supervisor
diangap sebagai figur ayah sekaligus atasannya.Supervisi yang buruk dapat
menakibatkan kemangkiran dan perputaran pegawai; f) faktor intrinsik dari
pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan
tertentu. Sukar mudahnya serta kebanggan akan tugas akan meningkatkan
atau mengurangi kepuasan konsumen; g) kondisi kerja, termasuk kondisi
tempat, ventilasi, kantin serta tempat parkir; h) aspek sosial dalam
pekerjaan, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi
dipandang sebagai faktor penunjang kepuasan kerja; i) komunikasi, antara
karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai
jabatannya.
Indikator Individu Yang Puas Akan Pekerjaan.
Terdapat beberapa indikator kepuasan kerja yang mempengaruhi
kinerja karyawan. Indikator-indikator itu sendiri dalam peranannya dapat
memberikan kepuasan kepada karyawan, namun hal demikian tergantung
pada pribadi masing-masing karyawan itu sendiri. Indikator-indikator
tersebut faktor intrinstik adalah sejauh mana karyawan terlibat dalam
aktifitas organisasi, kemandirian dalam mengerjakan tugas, kesiapan untuk
ditempatkan pada posisi atau jobdesk apapun, pengakuan masyarakat
tentang status pekerjaan yang dijalani, kenyamanan dalam melaksanakan
pekerjaan yang ada, kepastian kerja yang diberikan oleh perusahaan, saling
membantu mengerjakan tugas yang ada, menjalin kerjasama yang baik antar
sesama rekan kerja, menggunakan keahlian dan kemampuan yang ada,
bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakan, kebebasan
mengungkapkan ide atau gagasan baru, kemampuan menyelesaikan suatu
tugas. Pada faktor ekstrinstik terdiri dari sejauh mana karyawan
mendapatkan imbalan sesuai dengan beban kerja yang ada, kesempatan
untuk memperoleh promosi jabatan, hubungan dengan antara sesama rekan
kerja, kemampuan atasan dalam menjalin hubungan dengan bawahan,
kemampuan atasan dalam membantu pekerjaan bawahan jika mengalami
kendala, seberapa jauh pekerjaan mampu menyenangkan para pekerja,
kondisi lingkungan pekerjaan seperti jam kerja, temperature, perlengkapan
kantor serta lokasi pekerjaan, pujian yang diperoleh ketika menjelaskan
pekerjaan dengan baik
Aspek-Aspek Kepuasan Kerja
Menurut Spector (1997) terdapat 2 (dua) aspek kepuasan kerja yaitu
intrinstik dan ekstrinsik. Berikut adalah beberapa aspek intrinstik : a)
Activity adalah seberapa jauh pekerjaan tersebut tetap dapat menyibukan
individu; b) Independence adalah kewenangan untuk dapat bekerja sendiri;
c) Variety adalah kepuasan untuk melakukan pekerjaan yang berbeda-beda;
d) Social status adalah pengakuan masyarakat luas tentang status pekerjaan;
e) Moral values adalah pekerjaan tidak berhubungan dengan segala sesuatu
yang dapat menganggu hati nurani; f) Security adalah kepastian kerja yang
diberikan; g) Social service adalah kesempatan untuk membantu orang lain;
h) Authority adalah memiliki kekuasaan terhadap orang lain; i) Ability
utilization adalah kesempatan untuk menggunakan kemampuan yang ada; j)
Responsibilty adalah tanggung jawab dalam membuat keputusan dan
tindakan; k) Creativity adalah kebebasan untuk mengungkapkan ide yang
baru; l) Achievment adalah perasaan yang diperoleh ketika menyelesaikan
suatu tugas.
Sedangkan aspek ekstrinstik adalah sebagai berikut : a)
Compenstation adalah besarnya imbalan atau upah yang diterima; b)
Advancement adalah kesempatan untuk memperoleh promosi; c) Cowokers
adalah seberapa baik hubungan antara sesama rekan kerja; d) Human
relations supervisions adalah kemampuan atasan dalam menjalin hubungan
interpersonal; e) Technical Supervision adalah kemampuan skill atasan
menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan; f)
Company policies and practice adalah seberapa jauh pekerjaan mampu
menyenangkan para pekerja; g) Working conditions adalah kondisi
pekerjaan seperti jam kerja, temperature, perlengkapan kantor serta lokasi
pekerjaan; h) Recognition adalah pujian yang diperoleh ketika menjelaskan
pekerjaan yang baik.
As’ad (2004) mengemukakan aspek-aspek kepuasan kerja sebagai
berikut: (a). Aspek Psikologik, yaitu berhubungan dengan kejiwaan
karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap
kerja, bakat dan ketrampilan; (b). Aspek Sosial yaitu aspek yang
berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan
atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya; (c). Aspek
fisik, yaitu aspek yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja,
pengaturan waktu kerja, perlengkapan kerja dan kondisi kesehatan
karyawan; (d). Aspek finansial yaitu aspek yang berhubungan dengan
kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan
sosial, fasilitas, promosi dan macam-macam tunjangan
Pengetian Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja juga merupakan hal yang bersifat
individu karena setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda, sesuai dengan system nilai-nilai yang berlaku pada dirinya hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan pada dirinya dan masing-masing
individu itu sendiri. Setiap individu yang bekerja pada dasarnya memiliki
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan yang
dimaksud adalah kebutuhan jasmaniah yang berupa sandang, pangan, papan.
Apabila kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui pekerjaan yang dijalani,
maka hal ini berarti pekerjaan dapat memberikan rasa kepuasan. Namun
sebaliknya apabila kebutuhan tidak dapat terpenuhi secara maksimal, maka
individu akan merasakan pekerjaannya tidak mampu memberikan rasa
kepuasan.
Kepuasan kerja adalah keadaan emosi senang atau emosi positif
terhadap suatu pekerjaan. Perasaan senang muncul akibat penilaian
pekerjaan atau pengalaman individu itu sendiri. Tenaga kerja yang puas
dengan pekerjaannya akan merasa senang dengan pekerjaannya dan
menikmati pekerjaan yang dilakukan (dalam As’ad, 1991).
Menurut Lawler (dalam Robbins, 1996), mengatakan bahwa ukuran
kepuasan sangat didasarkan atas kenyataan yang sedang dihadapi dan akan
diterima sebagai kompensasi usaha dan tenaga yang diberikan. Maka
kepuasan kerja tergantung dari kesesuaian atau keseimbangan (equity)
antara yang diharapkan dengan kenyataan. Indikasi kepuasan kerja biasanya
dikaitkan dengan tingkat absensi, tingkat perputaran tenaga kerja, disiplin
kerja, loyalitas dan konflik dilingkungan kerjanya.
Pengertian kepuasan kerja menurut Spector (1997), mendifinisikan
kepuasan kerja sebagai perasaan yang dialami seseorang atau pekerjaan dan
berbagai aspek. Hal demikianlah yang ada hubungannya dengan tingkat
suka ta suka pada individu atas pekerjaan yang dijalani. Maka dari itulah
sebabnya kepuasan kerja dari ketidakpuasan kerja dapat muncul dalam
setiap situasi kerja yang diberikan. Ketika seseorang bekerja di sebuah
perusahaan, ia akan bekerja dengan membawa kebutuhan, keinginan dan
pengalaman dalam mencapai segala harapannya. Kepuasan kerja lebih lanjut
menunjukan pada rasa semangat yang tinggi dan kesenangan dengan
pekerjaan. Menurut Kaliski (2007), kepuasan kerja adalah faktor utama yang
mengarah ke pengakuan, penghasilan, promosi dan pencapaian tujuan lain
yang mengarah pada kepuasan diri.
As’ad (2004) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan
seseorang terhadap pekerjaan. Ini berarti bahwa konsepsi kepuasan kerja
semacam ini melihat kepuasan kerja itu sebagai hasil interaksi manusia
dengan lingkungan kerjanya. Jadi determinasi kepuasan kerja menurut
batasan ini meliputi perbedaan individu maupun situasi lingkungan
pekerjaan. Disamping itu perasaan orang terhadap perusahaan tentulah
sekaligus merupakan refleksi dari sikapnya terhadap pekerjaan.
Menurut Lam (dalam Guritno, 2005), mengatakan bahwa suatu
program perbaikan kualitas dapat meningkatkan kepuasan karyawan, antara
lain melalui minat kerja yang meningkat, hubungan baik antara management
dengan sesama karyawan, keamanan kerja, peningkatan gaji, kesempatan
untuk promosi, kejelasan peran dan partisipasim yang semakin meningkat
dalam pengambilan keputusan. Luthans (2006) dimana kepuasan kerja
memiliki tiga dimensi yaitu:1) Kepuasan kerja merupakan respon emosional
terhadap situasi kerja, dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan
dapat diduga; 2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik
hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan; 3) Kepuasan kerja
mewakili beberapa sikap yang berhubungan.
Pengaruh keadilan prosedural terhadap Kinerja
Kinerja yang baik yang dimiliki karyawan diperoleh dari
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut berasal dari persepsi yang
dimiliki oleh masing-masing karyawan. Salah satu persepsi karyawan
berasal dari proses atasan dalam mengevaluasi kinerja karyawan.
Selain itu, persepsi karyawan juga diperoleh dari penilaian mereka
terhadap prosedur yang diterapkan oleh atasan. Apabila prosedur atau
aturan sudah dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan melalui
kebijaksanaan atasan, maka karyawan akan merasa memperoleh
keadilan yang tinggi dari perusahaan atau instansi tempat dimana
mereka bekerja. Keadilan yang didasarkan dari persepsi karyawan
dalam menjalankan prosedur-prosedur yang ada pada perusahaan
tersebut disebut sebagai keadilan prosedural.
Penelitian Faryandi (2017) yang hasilnya menunjukkan bahwa
variabel keadilan prosedural berpengaruh signifikan secara parsial
terhadap kinerja karyawan. Penelitian Qustolani (2017) membutikan
bahwa Keadilan Prosedural berpengaruh positif dan signifikan Terhadap
Kinerja Karyawan
Pengaruh kepuasan kerja terhadap Kinerja
Menurut Wijono (2012), kepuasan kerja merupakan sebuah
aspek yang penting dalam pekerjaan, karena ketidakpuasan kerja pada
karyawan menyebabkan berbagai masalah terhadap diri karyawan
maupun organisasi tempat dia bekerja.
Pekerja yang tidak terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung
untuk melakukan cara yang dapat mengganggu kinerja organisasi:
tingkat absensi yang tinggi, kelambanan dalam bekerja, keluhan atau
bahkan mogok kerja. Robbins (2013) dan Luthans (2010) menyatakan
kepuasan kerja memiliki hubungan positif dengan kinerja, artinya
kepuasan kerja yang tinggi akan meningkatkan kinerja pegawai.
Hubungan tersebut akan kuat bila pegawai tidak dipengaruhi oleh
faktor-faktor luar, misalnya pekerjaan yang sangat tergantung pada
mesin. Tingkat pekerjaan juga turut mempengaruhi kekuatan
hubungan antara kepuasan kerja dan produktivitas.
Hal ini didukung hasil penelitian Qustolani (2017) yang
membuktikan bahwa pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja
karyawan mempunyai pengaruh positif dan signifikan. Penelitian Sari
(2018) membuktikan bahwa kepuasan kerja berpengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan
Kinerja
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan
diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat
pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban
suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu
kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasimengenai
kinerja suatu instansi atau organisasi, akan dapat diambil tindakan yang
diperlukanseperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan- kegiatan
utama, dan tugas pokokinstansi, bahan untuk perencanaan, menentukan
tingkat keberhasilan instansi untukmemutuskan suatu tindakan, dan lainlain.
Menurut Mangkunegara (2012) kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugas yang diberikan dan sesuai dengan tanggung jawab.
Menurut Malthis dan Jackson (2008), kerja adalah usaha yang ditunjukkan
untuk memproduksi atau mencapai hasil. Dan pekerjaan adalah
pengelompokan tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang merupakan
penugasan kerja total untuk karyawan. Hasibuan (2012) mendefinisikan
kinerja sebagai outcome dari karyawan yang didasarkan pada hasil, proses
dan sikap kerja karyawan.
Keadilan Prosedural
Rakmawati Hajiyanti (2013) menyatakan bahwa keadilan
prosedural adalah persepsi yang ditujukan oleh karyawan ketika melihat
perusahaan dalam menjalankan aturan-aturan yang ada. Dengan demikian,
apabila aturan dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan maka karyawan
merasa diperlakukan secara adil dan sebaliknya. Jadi individu dalam
organisasi akan mempersepsikan adanya keadilan prosedural pada saat
aturan prosedur yang ada dalam organisasi dapat dilaksanakan dengan baik
oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur tersebut
dilanggar maka individu dalam organisasi akan mempersepsikan adanya
ketidak-adilan. Oleh karena itu, keputusan dibuat secara konsisten tanpa
adanya pengaruh kepentingan pribadi di dalamnya.
Badarudin (2010) menyatakan bahwa keadilan prosedural
berhubungan dengan persepsi bawahan akan suatu bentuk keadilan dari
semua proses yang telah diterapkan oleh pihak atasan dalam perusahaan
tersebut dan digunakan untuk mengevaluasi kinerja para karyawannya.
Anggapan adil atau tidak adil mengenai proses dan prosedur yang telah
diterapkan menunjukkan tingkat tinggi/rendahnya keadilan procedural
menurut bawahan.
Gibson, et al., (2012: 148) mendefinisikan keadilan prosedural
yaitu mengacu pada kewajaran proses dan prosedur organisasi yang
digunakan untuk menentukan sumber daya dan alokasi keputusan.
Menurut Nabatachi, et al., (dalam Al-Zu’bi, 2010: 103) keadilan
prosedural mengacu pada persepsi karyawan tentang keadilan aturan dan
prosedur yang mengatur suatu proses. Menurut Robbins dan Judge (2012)
mendefinisikan keadilan prosedural sebagi berikut “Keadilan prosedural
merupakan keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan untuk
menentukan distribusi imbalan.”
Kepuasan Kerja
Robbins dan Judge (2012) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan
hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Organisasi yang karyawannya
mendapatkan kepuasan di tempat kerja cenderung lebih efektif daripada
organisasi yang karyawannya kurang mendapatkan kepuasan kerja.
Menurut Hasibuan (2012) merupakan sikap emosional seseorang yang
menyenangi dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja karyawan harus
diciptakan sebaik mungkin supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan
kedisiplinan karyawan meningkat. Kepuasan kerja dinikmati dalam
pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi keduanya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kaswan (2012) memandang
kepuasan kerja sebagai perasaan puas atau tidak puas karyawan terhadap
pekerjaan mereka, perasaaan itu akan tampak dari sikap karyawan
terhadap pekerjaan dan dilingkungan kerjanya.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2011) kepuasan kerja adalah “suatu
efektifitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan”.
Menurut Handoko (2014) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction)
sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
dengan mana para pegawai memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja
mencerminkan sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam
sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi
di lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau pihak manajemen
harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal ini dapat
mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja,
keluhan-keluhan dan masalah personalia vital lainnya
Bagi organisasi, suatu pembahasan tentang kepuasan kerja akan
menyangkut usaha-usaha untuk meningkatkan efektivitas organisasi
dengan cara membuat efektif perilaku karyawan dalam kerja. Perilaku
karyawan yang menopang pencapaian tujuan organisasi adalah merupakan
sisi lain yang harus diperhatikan, di samping penggunaan mesin-mesin
modern sebagai hasil kemajuan bidang teknologi
.Dimensi Kepuasan Kerja
Menurut Luthans, 2006 dalam Irawan, 2015 dimensi yang
terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu :
1. The work it self (pekerjaan itu sendiri)
Dimana suatu pekerjaan-pekerjaan dapat menyediakan
tugas-tugas yang menarik bagi individual itu sendiri. Hal
yang menarik dari individu terhadap pekerjaan-
pekerjaannya merupakan sumber utama dari kepuasan
kerja.
2. Pay (gaji)
Gaji/upah merupakan suatu balas jasa yang diterima
karyawan dalam bentuk financial atas pekerjaan yang telah
mereka lakukan.
3. Promotion Opportunity (kesempatan promosi)
Kesempatan promosi merupakan peluang untuk mengalami
peningkatan dalam hierarki. Kesempatan promosi memiliki
berbagai pengaruh terhadap kepuasan kerja, ini dikarenakan
promosi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda, didampingi
dengan imbalan-imbalan yang mendampinginya.
4. Supervisor (atasan)
Supervisor merupakan hal yang cukup mempengaruhi dari
kepuasan kerja. Kemampuan dari supervisor untuk
menyediakan bantuan teknik dan dukungan. Hal tersebut
dapat berupa adanya pengawasan yang langsung dilakukan
oleh seorang atasan terhadap bawahannya.
5. Co-worker (rekan kerja)
Pada dasarnya kelompok kerja akan memiliki efek terhadap
kepuasan kerja. Keramahan dari teman kerja yang
kooperatif merupaka sumber yang sederhana terhadap
kepuasan kerja untuk satu individu karyawan.
6. Working condition (kondisi kerja)
Kondisi kerja yang memiliki efek yang sederhana terhadap
kepuasan kerja. Jika kondisi kerjanya baik (bersih dan
memiliki lingkungan yang menarik), maka para karyawan
akan menemukan bahwa sangat mudah untuk melakukan
pekerjaan mereka, tetapi kondisi kerja yang buruk (panas,
lingkungan yang berisik) maka para karyawan akan
merasakan sangat sulit untuk melakukan pekerjaannya.
Penyebab Kepuasan Kerja
Terdapat lima faktor yang mempengaruhi timbulnya kepuasan
kerja, yaitu sebagai berikut :
1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh
tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan
pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu
hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan
mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan
yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan
lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak
puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila
mereka menerima manfaat di atas harapan.
3. Value attainment (pencapaian nilai)
Gagasan pencapaian nilai adalah bahwa kepuasan
merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan
pemenuhan nilai kerja individual yang penting
4. Equity (keadilan)
Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan
merupakan fungsi dari seberapa adil individu
diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil
dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja
dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan
dengan perbandingan antara keluaran dan masukan
pekerjaan lainnya.
5. Dispositional/genetic components (komponen genetik)
Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap
lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas.
Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan
kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor
genetik. Model ini menyiratkan perbedaan individu hanya
mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan
kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.
Aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja
1. Kerja secara mental menantang
Kebanyakan karyawan menyukai pekerjaan-pekerjaan
yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan
keterampilan dan kemampuan mereka untuk
melaksanakan tugas, kebebasan dan umpan balik
mengenai betapa baik mereka mengerjakan.
Karakteristik ini membuat kerja secara mental
menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang
menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak
menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal.
Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan
karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan.
2. Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan
kebijakan promosi yang mereka persepsikan adalah
adil, dan segaris dengan harapan mereka. Pemberian
upah yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat
keterampilan individu, dan standar upah yang
diberikan, kemungkinan besar akan dihasilkan
kepuasan. Akan tetapi tidak semua orang mengejar
uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang
lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih
diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut
atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam
kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Hal
serupa pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan
dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status
sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individuindividu yang mempersepsikan bahwa keputusan
promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just)
kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari
pekerjaan mereka.
3. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk
kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan
mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa
karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang
tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur /suhu,
cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain
seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit).
4. Rekan kerja yang mendukung
Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang
atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi
kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan
akan sosial. Oleh karena itu bila mempunyai rekan
sekerja yang ramah dan menyenagkan dapat
menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Tetapi
Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari
kepuasan.
5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan
Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya
kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang
mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka
mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk
memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan
demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil
pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini,
mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk
mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam kerja
mereka.
Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang
membuat sebagian orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan
daripada beberapa lainnya. Menurut Wexley dan Yukl (1977),
teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim
dikenal yaitu:
1. Teori Perbandingan Intrapersonal (Discrepancy Theory)
Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu
merupakan hasil dari perbandingan atau kesenjangan yang
dilakukan oleh diri sendiri terhadap berbagai macam hal yang
sudah diperolehnya dari pekerjaan dan yang menjadi harapannya.
Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut bila perbedaan
atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang
diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan
dirasakan oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antara
standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari
pekerjaan besar.
2. Teori Keadilan (Equity Theory)
Seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung
apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi.
Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh
seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain
yang sekelas, sekantor, maupunditempat lain.
3. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)
Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang
menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction
(ketidakpuasan) merupakan bagian dari kelompok variabel yang
berbeda, yaitu motivators dan hygiene factors.
Pada umumnya orang mengharapkan bahwa faktor tertentu
memberikan kepuasan apabila tersedia dan menimbulkan
ketidakpuasan apabila tidak ada. Pada teori ini, ketidakpuasan
dihubungkan dengan kondisi di sekitar pekerjaan (seperti kondisi
kerja, pengupahan, keamanan, kualitas, pengawasan, dan
hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu
sendiri. Karena faktor ini mencegah reaksi negatif, dinamakan
sebagai hygiene atau maintenance factors.
Pengertian Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat
individual karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan
yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang
sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat
kepuasan yang dirasakan.
Kepuasan kerja merupakan sikap positif tenaga kerja
terhadap pekerjaannya, yang timbul berdasarkan penilaian
terhadap situasi kerja. Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap
salah satu pekerjaannya, penilaian dilakukan sebagai rasa
menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting dalam
pekerjaan. Karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya
daripada tidak menyukainya.
Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan kerja dan
atasan, mengikuti peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi
standar kinerja, hidup dengan kondisi kerja yang sering kurang
ideal atau semacamnya. Kepuasan kerja merupakan variabel
tergantung utama karena dua alasan, yaitu : (1) menunjukkan
hubungan dengan faktor kinerja; dan (2) merupakan preferensi
nilai yang dipegang banyak peneliti perilaku organisasi (Wibowo,
2007).
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
Sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat
Pegawai Negeri Sipil memiliki akhlak dan budi pekerti yang
tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara
profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, wajib memberikan pelayanan secara adil dan
merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara,
dan Pemerintah.
Untuk menjamin agar setiap Pegawai Negeri Sipil selalu
berupaya terus meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan
pengabdiannya tersebut, ditetapkan ketentuan perundang-
undangan yang mengatur sikap, tingkah laku, dan perbuatan
Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar dinas.
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dalam pelaksanaan tugas
kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai Negeri Sipil
wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara,
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam berorganisasi, dalam
bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai
Negeri Sipil.
1) Etika bernegara meliputi:
1. melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945;
2. mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara;
3. menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
4. menaati semua peraturan perundang-undang yang
berlaku dalam melaksanakan tugas;
5. akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan;
6. tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu
dalam melaksanakan setiap kebijakan program
pemerintah;
7. menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya
Negara secara efisien dan efektif;
8. tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang
tidak benar.
2) Etika dalam berorganisasi adalah :
1. melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan
yang berlaku;
2. menjaga informasi yang bersifat rahasia;
3. melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang;
4. membangun etos kerja dan meningkatkan kinerja
organisasi;
5. menjalin kerjasama secara kooperatif dengan unit kerja
lain yang terkait dalam rangka pencapaian tujuan;
6. memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas;
7. patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata
kerja;
8. mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif
dalam rangka peningkatan kineri organisasi;
9. berorientasi pada upaya peningkatan kualitas kerja.
3) Etika dalam bermasyarakat meliputi :
1. mewujudkan pola hidup sederhana;
2. memberikan pelayanan dengan empati, hormat, dan
santun tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan;
3. memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan
adil serta tidak diskriminatif;
4. tanggap terhadap keadaan lingkunga masyarakat;
5. berorientasi kepada peningkatan kesejahtera masyarakat
dalam melaksanakan tugas.
4) Etika terhadap diri sendiri meliputi:
1. jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang
tidak benar;
2. bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan;
3. menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok,
maupun golongan;
4. berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan,
kemampuan, keterampilan, dan sikap;
5. memiliki daya juang yang tinggi;
6. memelihara kesehatan jasmani dan rohani;
7. menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga;
8. berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.
5) Etika terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil:
1. saling menghormati sesama warga negara yang memeluk
agama/kepercayaan yang berlainan;
2. memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama Pegawai
Negeri Sipil;
3. saling menghormati antara teman sejawat baik secara
vertikal maupun horisontal dalam suatu unit kerja,
instansi, maupun di luar instansi;
4. menghargai perbedaan pendapat;
5. menjunjung tinggi harkat dan martabat Pegawai Negeri
Sipil;
6. menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif
sesama Pegawai Negeri Sipil;
7. berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik
Indonesia yang menjamin terwujudnya solidaritas dan
soliditas semua Pegawai Negeri Sipil dalam
memperjuangkan hak-haknya
Pengertian Etika Kerja
Etika kerja adalah sistem nilai atau norma yang digunakan
oleh seluruh karyawan perusahaan, termasuk pimpinannya dalam
pelaksanaan kerja sehari-hari. Perusahaan dengan etika kerja yang
baik akan memiliki dan mengamalkan nilai-nilai, yakni :
kejujuran, keterbukaan, loyalitas kepada perusahaan, konsisten
pada keputusan, dedikasi kepada stakeholder, kerja sama yang
baik, disiplin, dan bertanggung jawab.
Di dalam sebuah organisasi, orang bisa berpendapat bahwa
pegawai yang sangat mendukung etika kerja adalah lebih
berkomitmen kepada organisasinya dan selanjutnya lebih besar
kemungkinanya untuk melakukan perubahan dimana perubahan
tersebut tidak memiliki potensi untuk mengubah nilai-nilai dasar
dan tujuan organisasi dan dianggap bermanfaat bagi organisasi,
dibandingkan pegawai yang kurang mendukung etika kerja dan
kurang berkomitmen terhadap organisasi mereka yang selanjutnya
lebih kecil kemungkinanya untuk melakukan perubahan (Jamil,
2007).
Dalam etika kerja terdapat kaidah etika, yang dimaksud
adalah kaidah etika profesional yang khusus berlaku dalam
kelompok profesi tertentu. Etika profesional dikeluarkan oleh
organisasi profesi dalam bentuk kode etik untuk mengatur tingkah
laku anggotanya dalam menjalankan praktik profesinya kepada
masyarakat. Di dalam kode etik terdapat sanksi apabila dilanggar
oleh anggotanya, maka dapat disingkirkan dari pergaulan
kelompok profesi bersangkutan (Nasron Alfianto, 2002).
Pengertian Etika
Secara etimologis, etika adalah ajaran atau ilmu tentang
adat kebiasaan yang berkenaan dengan kebiasaan baik atau buruk
yang diterima umum mengenai sikap, perbuatan, kewajiban, dan
sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuranukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika
umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang
dikembangkan diberbagai wacana etika atau aturan-aturan yang
diberlakukan sebagai suatu profesi (Wikipedia, 2013)
Etika dalam arti umum dapat dilukiskan sebagai nilai-nilai
dan norma-norma moral yang dipakai oleh seseorang atau suatu
kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya. Etika
mempunyai arti lain lagi yaitu ilmu. Jadi etika diartikan sebagai
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk; tentang apa yang
harus dilakukan manusia dan yang tidak boleh dilakukannya
(Berterns, 2003).
Dimensi Keadilan Prosedural
Menurut Cropanzano et al (2007) menyebutkan bahwa
keadilan prosedural terdiri dari 6 dimensi yaitu sebagai berikut :
1. Konsistensi yaitu semua karyawan diperlakukan sama
2. Kurangnya Bias yaitu tidak ada orang atau kelompok yang
diistimewakan atau diperlakukan tidak sama
3. Keakuratan yaitu keputusan dibuat berdasarkan informasi
yang akurat
4. Pertimbangan wakil karyawan yaitu pihak-pihak terkait dapat
memberikan masukan utuk pengambilan keputusan
5. Koreksi yaitu mempunyai proses banding atau mekanisme
lain untuk memperbaiki kesalahan
6. Etika yaitu norma pedoman profesional tidak dilanggar
Pengertian Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural adalah bentuk dari asas-asas normatif
yang dirasakan seperti konsistensi prosedur terhadap penawaran
upah, konsisten terhadap peraturan, menghindari kepentingan
pribadi pada proses distribusi, ketepatan waktu, perbaikan aturan,
keterwakilan aturan, dan etika (Badawi, 2012).
Keadilan prosedural merupakan gambaran tentang persepsi
karyawan yang berkaitan dengan keadilan bedasarkan prosedur
yang digunakan manajemen (Colquitt, 2001). Keadilan
prosedural merupakan konsep keadilan yang berfokus pada
metode yang digunakan untuk menentukan imbalan yang
diterima (Noe et al, 2011).
Teori keadilan prosedural berkaitan dengan prosedurprosedur yang digunakan dalam organisasi untuk
mendistribusikan hasil-hasil dan sumber daya organisasi kepada
para anggotanya. Para peneliti biasanya mengajukan dua
penjelasan teoritis mengenai proses psikologis yang mendasari
pengaruh instrumental dan perhatian-perhatian nasional atau
komponen struktural. Prespektif kontrol instrumental atau proses
berpendapat bahwa prosedur-prosedur yang digunakan oleh
organisasi akan dipersepsikan lebih adil manakala individu yang
terpengaruh oleh suatu keputusan yang memiliki kesempatan
untuk mempengaruhi proses-proses penetapan keputusan atau
menawarkan keputusan atau menawarkan masukan (Pakere, 2003
dalam Nursaid, 2010).
Keadilan prosedural berkaitan dengan pembuatan dan
implementasi keputusan yang mengacu pada proses yang adil.
Orang merasa setuju jika prosedur yang diadopsi memperlakukan
mereka dengan kepedulian dan martabat, membuat prosedur itu
mudah diterima bahkan jika orang tidak menyukai hasil dari
prosedur tersebut. Prosedur yang adil ditentukan oleh beberapa
hal, yaitu : 1) terdapat konsistensi, yang menjamin beberapa
kasus diperlakukan serupa; 2) terdapat kenetralan; 3) pihak yang
menjadi objek terwakili suaranya dalam proses keputusan yang
dibuat; 4) implementasi harus transparan (Hwei dan Santosa,
2012 dalam Rusdiana Khasanah, 2015).
Dimensi Keadilan Distributif
Menurut Cropanzano et al (2007) menyebutkan bahwa
keadilan distributif terdiri dari 3 dimensi yaitu sebagai berikut :
1. Keadilan yaitu menghargai karyawan berdasarkan
kontribusinya
2. Persamaan yaitu menyediakan kompensasi bagi setiap
karyawan yang secara garis besar sama
3. Kebutuhan yaitu menyediakan benefit / keuntungan
berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang
Pengertian Keadilan Distributif
Penelitian keadilan distributif dalam organisasi saat ini
memfokuskan terutama pada persepsi seseorang terhadap adil
tidaknya outcome (hasil) yang mereka terima, yaitu penilaian
mereka terhadap kondisi akhir dari proses alokasi (Tjahjono,
2014). Keadilan distributif mengarah pada keadilan dari tingkat
bawah, yang mencakup masalah penggajian, pelatihan, promosi,
maupun pemecatan. Keadilan distributif secara konseptual juga
berkaitan dengan distribusi keadaan dan barang yang akan
berpengaruh terhadap kesejahteraan individu.
Kesejahteraan individu yang dimaksudkan meliputi aspekaspek fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial. Tujuan distribusi di
sini adalah kesejahteraan. Kebijakan-kebijakan ini terus menerus
mengalami perubahan karena faktor misi dan prosedur yang
diperbaharui. Keadilan distributif perusahaan dapat menimbulkan
kepuasan kerja pada karyawan. Dengan pekerjaan yang sama,
reward (gaji) yang sama antara dua orang pada perusahaan yang
sama maka kepuasan kerja (job satisfication) tercapai. Selain
reward yang sesuai dengan pengorbanan juga kebijakankebijakan yang dapat mempengaruhi kerja dan karir mereka,
kompensasi yang adil, lingkungan kerja yang kooperatif, serta
jaminan kesejahteraan yang baik. Harapan-harapan tersebut
kemudian berkembang menjadi tuntutan yang diajukan karyawan
terhadap perusahaan sebagai sesuatu yang harus dipenuhi.
Dengan semakin tingginya tuntutan terhadap organisasi, maka
semakin penting peran komitmen karyawan terhadap organisasi.
Hal ini mempengaruhi keputusannya untuk tetap bergabung dan
memajukan perusahaan, atau memilih tempat kerja yang lebih
menjanjikan. (Yohanes Budiarto & Rani Puspita, 2005).
Kebanyakan pengaturan dalam organisasi berupa
kesepakatan maupun kontrak yang tertulis maupun tidak tertulis
tentang pertukaran hubungan antara atasan dengan pekerja.
Distributif Justice (keadilan distributif) adalah keadilan yang
menyangkut alokasi keluaran (outcomes) dan reward pada
anggota perusahaan. Pegawai menginvestasikan sesuatu ke
dalam organisasi/perusahaan (misalnya: usaha, keahlian dan
kesetiaan) dan perusahaan memberikan penghargaan kepada
pegawai atas investasi tersebut. Cara lain untuk menyatakan hal
ini adalah bahwa perusahaan mendistribusikan penghargaan
kepada para pegawainya tersebut berdasarkan beberapa skema
atau persamaan. Para pegawai membentuk opini yang berkaitan
dengan skema pendistribusian apakah penghargaan itu adil atau
tidak. Perhatian mengenai keadilan distributif dirasakan adil dari
penempatan hasil-hasil atau pemberian penghargaan kepada para
anggota perusahaan (Yohanes Budiarto & Rani Puspita, 2005).
Keadilan Organisasi
Keadilan organisasional digunakan untuk mengkategorikan
dan menjelaskan pandangan dan perasaan pekerja tentang sikap
mereka sendiri dan orang lain dalam organisasi, dan hal itu
dihubungkan dengan pemahaman mereka dalam menyatukan
persepsi secara subyektif yang dihasilkan dari keputusan yang
diambil organisasi, prosedur dan proses yang digunakan untuk
menuju pada keputusan-keputusan serta implementasinya (Gita
Triana, 2014).
Karyawan akan mengevaluasi keadilan organisasional
dalam tiga klasifikasi peristiwa berbeda, yakni hasil yang mereka
terima dari organisasi (keadilan distributif), kebijakan formal atau
proses dengan mana suatu pencapaian dialokasikan (keadilan
prosedural), dan perlakuan yang diambil oleh pengambil
keputusan antar personal dalam organisasi (keadilan
interaksional) (Cropanzano et al, 2000).
Keadilan merupakan norma universal dan menjadi hak
asasi manusia, karena keberadaan setiap orang dalam situasi dan
konteks apapun menghendaki diperlakukan secara adil oleh pihak
lain, termasuk dalam organisasi. Keadilan organisasi adalah hasil
persepsi subyektif individu atas perlakuan yang diterimanya
dibanding dengan orang lain di sekitarnya. Dalam literatur
perilaku organisasi, konsep keadilan dibagi menjadi tiga, yaitu
keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan
interaksional (Koopman, 2003). Dalam penelitian ini akan fokus
pada dua keadilan saja yaitu keadilan distributif dan keadilan
prosedural.
Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah suasana psikologis tentang
perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap
pekerjaan mereka. Karna kepuasan kerja merupakan bangunan
undimensional, dimana seseorang memiliki kepuasan umum
atau ketidakpuasan dengan pekerjaannya (Bavendam,dkk.
2000). Husein Umar (1999). Kepuasan kerja adalah penilaian
atau cerminanan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya
dan segala sesuatu yang dihadapi lingkungan kerjanya.
Sedangkan menurut Locke (dalam Cetin,2006). Mengatakan
bahwa kepuasan kerja adalah persasaan senang seseorang dan
hasil dari perasaan ini adalah perasaan ini adalah emosional
yang positif yang berasal dari pekerjaan atau pengalamannya.
Siagian & Sondang (2012). Mendefinisikan bahwa
kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang terhadap
pekerjaannya. Artinya bahwa seseorang yang memiliki rasa puas
terhadap pekerjaannya akan mempunyai sikap yang positif
terhadap organisasi dimana ia bekerja. Sebaliknya, orang yang
tidak puas terhadap pekerjaannya akan cenderung bersikap negatif
terhadap organisasi dimana ia bekerja.
Pengertian Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural adalah bentuk dari asas-asas
normatif yang dirasakan seperti konsistensi prosedur-prosedur
yang ada terhadap penawaran upah, konsisten terhadap
peraturan, menghindari kepentingan pribadi pada proses
distribusi, ketepatan waktu, perbaikan aturan, keterwakilan
aturan, dan etika dll. (Badawi, 2012). Sedangkan Menurut
Greenberg dan Baron (2000). Keadilan prosedural
didefinisikan sebagai persepsi keadilan atas pembuatan
keputusan dalam organisasi dibuat orang-orang dalam
organisasi sangat memperhatikan dalam pembuatan keputusan
secara adil, dan mereka merasa bahwa organisasi dan
karyawan akan sama-sama merasa diuntungkan jika organisasi
melaksanakan prosedur secara adil.
Teori yang mendefinisikan tentang keadilan prosedural
namun definisi yang sama juga diungkapkan oleh Thibaut dan
Walker (1975 dalam Ramamoorthy dan Flood, 2004). Teori ini
mengatakan tentang bahwa keadilan prosedural berkaitan
dengan prosedur-prosedur yang digunakan dalam organisasi
untuk mendistribusikan hasil-hasil dan sumber daya organisasi
kepada para anggotanya. Peneliti biasanya mengajukan dua
penjelasan teoritas mengenai proses psiokiologis yang
mendasari pengaruh instrumental dan perhatian-perhatian
rasional atau komponen struktural, perspektif kontrol
instrumental atau proses berpendapat bahwa prosedur-prosedur
yang digunakan dalam organisasi akan dipersepsikan lebih adil
manakala individu yang terpengaruh oleh suatu keputusan
yang memiliki kesempatan untuk mempengaruhi proses-proses
penetapaan keputusan atau menawarkan masukan.
Pengertian Keadilan Distributif
Keadilan distributif menunjuk pada sejumlah sumber
penghasilan atau penghargaan yang dibagikan pada para karyawan.
Keadilan distributif berhubungan dengan keadilan dalam
pengalokasian sumber penghasilan merupakan suatu kepentingan
yang sangat penting bagi perusahaan untuk menilai suatu pekerjaan
karyawan yang ada di perusahaan namun hal tersebut merupakan
hasil yang dimiliki oleh karyawan untuk mencapai hasil yang lebih
maksimal dan memuaskan pada tempat seseorang kerja.
Keadilan distributif merupakan penilaian dari karyawan
mengenai keadilan atas hasil yang didapatkan pada (outcome)
yang diterima karyawan dari organisasi tersebut. (Greenberg,
1990 ; Niehoff and Moorman, 1993 dalam Alotaibi, 2001)
sedangkan pada teorinya (Adams, 1965 cohen, 1987 dikutip
oleh Gilliland, 1994). Mengatakan Keadilan distributif adalah
keadilan yang paling sering dinilai dengan dasar keadilan hasil,
yang menyatakan bahwa karyawan seharusnya menerima upah
atau gaji yang sesuai dengan pemasukan dan pengeluaran
mereka secara relatif dengan perbandingan referensi atau
lainnya namun banyak yang mengatakan keadilan distributif
itu berbagai macem item.
Teori yang mendefinisikan keadilan distributif adalah
tentang bagaimana seseorang membandingkan antara masukan
(infut) dengan hasil (outcome) yang sesuai dengan pekerjaanya
namun disini menurut teori (Greenberg dan Baron. 2000). Keadilan
distributif mengatakan persepsi seorang mengenai keadilan atas
pendistribusian sumber-sumber diantaranya para karyawan atau
dengan kata lain persepsi kesadilan atas bagaimana imbalan
didistribusikan dianatara para karyawan. Kretner dan Kinicki
(2003). Mendesfinisikan keadilan distributif adalah suatu keadilan
sumber daya dan penghargaan didistribusikan dan dialokasikan.
Penelitian Tjahjono (2009).Yang menyatakan bahwa dalam
kajian keadilan distributif, beberapa prinsip-prinsip didalam teori–
teori keadilan distributif seringkali tidak selaras satu prinsip
dengan prinsip lainnya. Sebagai contoh prinsip proporsi tidak
sejalan dengan prinsip pemerataan. Prinsip proporsi didorong oleh
semangat kepentingan pribadi, sedangkan prinsip pemerataan dan
prinsip mengutamakan kebutuhan didorong oleh semangat
kebersamaan. Secara lebih spesifik, permasalahannya adalah
bahwa prinsip tersebut juga tidak selaras dengan situasi ataupun
tujuan yang ingin dicapai organisasi. Sebagai contoh prinsip
proporsi cocok untuk situasi kompetitif yang mendorong
produktifitas, karena prinsip tersebut dapat menumbuhkan motivasi
pada individu untuk memberikan kontribusi yang besar dengan
mengharapkan mendapatkan imbalan yang besar. Namun dari sisi
lain, pendekatan tersebut dinilai terlalu menekankan pada aspek
ekonomi dibandingkan aspek sosial sehingga mengabaikan
solidaritas kelompok. Hal lainnya, prinsip proporsi tersebut dapat
menimbulkan kesenjangan dan kembali bertentangan dengan
prinsip pemerataan. Oleh karena itu, untuk menerapkan prinsipprinsip tersebut harus didasarkan pada pertimbangan yang hatihati. Pertimbangan-pertimbangan tersebut setidaknya mencakup
konteks dan karakteristik dalam diri individu yang menilai keadilan
distributif tersebut, serta tujuan organisasi.
Pengertian Keadilan
Terdapat banyak teori yang membahas tentang
keadilan, tentu disini akan membahas tentang keadilan
distributif dan keadilan prosedural Pembahasan tentang
keadilan merupakan suatu kewajiban ketika membahas tentang
hukum mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan
ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan tentang keadilan. Jadi disini membahas tentang
hukum merupakan sangat penting karena berbagi keadilan itu
susah untuk seseorang.
Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi
sosial, sebagaimana kebenaran dalam syistem pemikiran suatu
teori betapun elegannya dan ekonomisnya, harus ditolak atau
di revisi jika ia tidak beneran demikian jugak hukum dan
institusi, tidak peduli betapun efisien dan rapinya,harus
direformasi atau dihapuskan jika tidak adil setiap orang
memiliki kehormatan yang berdasarkan pada keadilan
sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak biasanya
membatalkannya.’’John Rawls (2006)
Keadilan banyak diartikan dan banyak dipersefsikan
bahwa keadilan itu merupakan bisa berkeadilan antara
seseorang dimana keadilan itu baik pada dikalangan
masyarakat umumnya
Organizational Citizenship Behavior terhadap Kinerja Karyawan
Ticoalu (2013) menyebutkan organizational citizenship behavior (OCB)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan, berarti bahwa
organizational citizenship behavior (OCB), sangat penting dalam meningkatkan
kinerja karyawan. Fitriastuti (2013) menemukan bahwa organizational
citizenship behavior berpengaruh signifikan pada kinerja karyawan. Harwiki
(2013) menambahkan bahwa organizational citizenship behavior berpengaruh
terhadap kinerja karyawan, dimana peningkatan nilai yang lebih tinggi dari OCB,
akan mengarah pada nilai yang lebih tinggi dari Kinerja Karyawan
Komitmen Organisasional terhadap Kinerja Karyawan
Fitriastuti (2013) menyatakan bahwa komitmen organisasional memiliki
pengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan karena karyawan dengan
komitmen yang tinggi akan loyal dan bersedia melakukan apa saja yang
dibutuhkan oleh organisasi tempatnya bekerja serta akan mempertahankan
keikutsertaannya dalam kegiatan organisasi. Memari, et al., (2013) menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen organisasional
dan prestasi kerja karyawan, dimana jawaban responden menunjukkan bahwa
saat mereka merasa santai dalam lingkungan kerja, komitmen organisasi mereka
juga meningkatkan ditunjukkan dengan kinerja yang tinggi.
Indikator Kinerja
Menurut William dan Anderson, (1991) indikator yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja karyawan adalah sebagai berikut:
a. Memenuhi tanggung jawab yang ditentukan dalam deskripsi pekerjaan
b. Memenuhi persyaratan kinerja formal pekerjaan
c. Membantu karyawan lain yang memiliki beban kerja yang lebih berat
(ketika tidak diminta)
d. Menyediakan waktu untuk mendengarkan masalah dan kekhawatiran rekan
kerja
e. Memberitahu perusahaan bila tidak datang untuk bekerja terlebih dahulu.
f. Mematuhi aturan-aturan informal yang dirancang untuk menjaga ketertiban
Aspek-Aspek Penilaian Kinerja
Setiap periode tertentu perusahaan melakukan penilaian atas kinerja
karyawan. Penilaian atas kinerja karyawan melibatkan beberapa aspek seperti
yang dijabarkan oleh Rivai (2004: 324) yang mengelompokkan aspek-aspek
kinerja karyawan yang dinilai menjadi 2 yaitu:
a. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan metode,
teknik, dan peralatan yang digunakan untuk pelaksanaan tugas serta
pengalaman dan pelatihan.
b. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas
perusahaan dan penyesuaian bidang gerak di unit masing-masing ke dalam
bidang operasional perusahaan secara menyeluruh, pada intinya individual
tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggung jawab karyawan.
Menurut William dan Anderson (1991) terdapat tiga dimensi kinerja
karyawan dalam perusahaan yaitu:
a. In-role behavior
Perilaku yang memang sudah seharusnya dilakukan oleh seorang karyawan
saat berada dalam perusahaan
b. Ocb-organization
Perilaku OCB dari karyawan yang memberikan manfaat bagi organisasi
secara umum.
c. Ocb-individual
Perilaku OCB dari karyawan yang memberikan manfaat secara spesifik
pada individu tertentu dan secara tidak langsung dapat memberikan
kontribusi kepada organisasi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Scermerhorn, et al.,
(2010: 40) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja, yaitu atribut individu, kemampuan untuk bekerja dan dukungan
operasional.
1. Atribut individu
Dengan adanya berbagai atribut yang melekat pada individu akan dapat
dibedakan individu yang satu dengan yang lainnya. Faktor ini merupakan
kecakapan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan,
terdiri dari karakteristik demografi, misalnya: umur, jenis kelamin dan lainlain, karakteristik kompeteisi, misalnya: bakat, kecerdasan, kemampuan
dan keterampilan dan karakteristik psikologi, yaitu nilai-nilai yang dianut,
sikap dan kepribadian.
2. Kemampuan untuk bekerja
Masing-masing individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai
suatu prestasi, hanya untuk mencapai kinerja yang baik diperlukan usaha
atau kemauan untuk bekerja keras. Kemauan merupakan suatu kekuatan
pada individu yang dapat memacu usaha kerja serta dapat memberikan
suatu arah dan ketekunan.
3. Dukungan operasional
Dalam mencapai kinerja karyawan yang tinggi diperlukan juga adanya
dukungan atau kesempatan dari organisasi/perusahaan. Hal ini untuk
mengantisipasi keterbatasan baik dari karyawan maupun perusahaan.Misal
kelengkapan peralatan dan perlengkapan kejelasan dalam memberikan
informasi.
Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan perilaku organisasi yang secara langsung berhubungan
dengan produksi barang atau penyampaian jasa. Informasi tentang kinerja
organisasi merupakan hal yang sangat penting untuk mengevaluasi apakah proses
kerja yang dilakukan organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang
diharapkan atau belum.
Menurut Robbins dan Judge (2007:90), kinerja karyawan adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Sedangkan Hasibuan (2006: 21) mengatakan bahwa kinerja
merupakan hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas
yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman,
kesungguhan serta waktu.
Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Pembentuk Organizational
Citizenship Behavior (OCB)
Menurut Organ et al. (dalam Titisari, 2014:15) menjelaskan bahwa
peningkatan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri karyawan, dan
faktor eksternal yang berasal dari luar karyawan. Faktor-faktor interal tersebut
antara lain:
1) Kepuasan kerja
Karyawan yang memiliki kepuasan kerja akan berbicara positif tentang
organisasi, membantu rekan kerja, dan membuat kinerja pekerjaan mereka
lebih dari apa yang ditugaskan, karyawan yang memiliki kepuasan kerja
juga akan lebih patuh terhadap aturan-aturan organisasi, karena mereka
ingin terus mendapatkan kepuasan kerja tersebut. Kepuasan kerja ditentukan
oleh perbedaan antara apa yang diharapkan didalam pekerjaan dengan apa
yang diterima.
2) Komitmen organisasi
Organizational Citizenship Behavior (OCB) sangat berhubungan erat
dengan komitmen organisasi. Karena karyawan yang telah memiliki
komitmen terhadap organisasi otomotasi akan memiliki Organizational
Citizenship Behavior (OCB), karena jika seorang karyawan memiliki
komitmen terhadap organisasi ia pasti akan merasakan kepuasan kerja yang
ia rasakan didalam organisasi. Kepuasan kerja akan membuat karyawan mau
melakukan apa saja untuk kemajuan organisasi, baik dengan mengerjakan
pekerjaan yang lebih dari yang ia dapatkan dan membantu rekan kerja yang
memiliki kesulitan.
3) Kepribadian
Perbedaan individu merupakan hal pembeda pada dalam diri karyawan yang
akan menunjukan sikap Organizational Citizenship Behavior (OCB)
mereka, maka diyakini bahwa beberapa orang yang memperlihatkan siapa
mereka akan lebih mungkin untuk mereka menampilkan Organizational
Citizenship Behavior (OCB).
4) Moral karyawan
Moral karyawan juga sangat penting dalam faktor pembentukan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) karena moral adalah kewajiban
berbuat baik seseorang terhadap masyarakat atau organisasi sesuai dengan
aturan yang telah ditentukan.
5) Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor internal Organizational Citizenship
Behavior (OCB), karena motivasi adalah dorongan yang berasal dari dalam
diri seorang karyawan untuk melakukan sesuatu hal. Jika seorang karyawan
tidak memiliki motivasi dalam bekerja otomatis ia akan kehilangan
semangat dalam melakukan pekerjaanya yang membuat pekerjaan yang
karyawan lakukan menjadi tidak efektif. Motivasi karyawan dapat berasal
dari kepuasan kerja yang ia rasakan didalam organisasi, baik dengan senang
dengan kondisi lingkungan organisasi yang stabil membuat karyawan
merasa nyaman dan semangat dalam bekerja maupun merasa puas dengan
apa yang diberikan organisasi kepadanya yang sesuai bahkan lebih dari yang
karyawan harapkan.
Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dalam Organisasi
OCB telah terbukti memiliki dampak positif pada kinerja karyawan dan
kesejahteraan. Menurut Podsakoff, et al., (2009) efek OCB terhadap kinerja
karyawan sangat besar, para karyawan yang terlibat dalam OCB memiliki
peringkat kerja yang lebih baik menurut evaluasi yang dilakukan oleh para
manajer. Ini bisa saja terjadi karena karyawan yang terlibat dalam OCB
melakukan sesuatu hal yang lebih dan ia pasti akan menerima sesuatu yang lebih
dari orang lain, atau mungkin disebabkan lebih banyak alasan yang berhubungan
dengan pekerjaan seperti keyakinan manajer bahwa OCB memiliki peran penting
dalam keberhasilan organisasi secara keseluruhan, atau persepsi OCB sebagai
bentuk komitmen karyawan karena sebuah sifat sukarela (Organ, et al., 2006).
Menurut Organ et al. (2006) OCB memiliki beberapa manfaat untuk perusahaan,
antara lain :
1) Meningkatkan produktivitas para karyawan antara lain dengan membantu
karyawan baru didalam organisasi, membantu karyawan lain dalam
menyelesaikan pekerjaan yang sudah memasuki deadline.
2) Memberikan kebebasan kepada karyawan untuk melakukan pekerjaanya
sendiri, memberikan para manajer lebih banyak waktu untuk melakukan
pekerjaanya, mengedepankan kerja sama didalam tim atau kelompok.
3) Merekrut dan mempertahankan karyawan yang memiliki perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai perusahaan menciptakan dan menjaga lingkungan
yang nyaman dan kekeluargaan agar karyawan merasa nyaman dan merasa
memiliki oragnisasi terebut.
4) Menciptakan modal sosial melalu komunikasi yang lebih baik dan
membangun jaringan yang kuat antar karyawan agar dapat meningkatkan
efisiensi dalam melakukan komunikasi dan pertukaran informasi untuk
meminimalisir kesalahan dalam penyampaian informas
Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Teori mengenai dimensi yang paling populer untuk mengukur tingkat OCB
didalam suatu organisasi, telah dijelaskan oleh Organ, et al. (2006). Organ
membagi dimensi tersebut kedalam lima faktor prilaku yang berhubungan antar
sesama karyawan, dan prilaku antara karyawan dengan perusahaan. Kelima
faktor tersebut adalah:
1) Altruism
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerja yang mengalami kesulitan
dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi
maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi
pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
2) Conscientiousness
Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan
organiasasi. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas
karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari apa
yang telah ditugaskan dalam job description.
3) Sportmanship
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal
dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dalam spotmanship akan meningkatkan
iklim yang positf diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan
bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan
kerja yang lebih menyenangkan.
4) Courtessy
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari
masalah-masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini
adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain.
5) Civic Virtue
Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi
(mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk
merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur – prosedur organisasi
dapat diperbaiki, dan melindungi sumber – sumber yang dimiliki oleh
organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan
organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan
yang ditekuni.
Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah suatu kontribusi
seorang karyawan yang melebihi apa yang seharusnya ia kerjakan didalam
sebuah organisasi. Organizational Citizenship Behavior (OCB) melibatkan
beberapa perilaku seorang individu karyawan meliputi prilaku menolong orang
lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan
dan prosedur-prosedur ditempat kerja. Perilaku sukarela yang dilakukan para
karyawan tersebut memberikan suatu nilai tambah yang positif bagi karyawan
yang merupakan bentuk dari prilaku sosial yang positif dan bermakna untuk
membantu.
Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) telah mengalami
banya revisi denfinisi karena istilah ini diciptakan pada akhir tahun 1980-an,
tetapi revisi yang dialami tidak banyak merubah definisi itu sendiri dan tetap
sama pada intinya. Menurut Organ (1988) OCB mengacu pada sesuatu tindakan
yang karyawan pilih untuk lakukan, secara spontan dan atas kemauan mereka
sendiri, yang sering berada diluar kewajiban yang harus ia lakukan. OCB
mungkin tidak selalu langsung diakui dan dihargai oleh organisasi, melalui
kenaikan gaji atau promosi misalnya, meskipun begitu OCB dapat tercermin
dalam pengawasan kinerja yang dilakukan oleh atasan dan jabatan yang dimiliki,
atau penilaian kinerja yang didapat. Dengan cara ini secara tidak langsung dapat
melihat kompensasi yang akan didapat karyawan nantinya.
Colquitt, et al., (2013:38) menjelaskan bahwa OCB adalah kategori kedua
dari presati kerja. OCB didefinisikakn sebagai kegiatan sukarela yang dilakukan
karyawan yang mungkin dan tidak mungkin dihargai oleh organisasi dan kegiatan
ini memberikan kontribus terhadap organisasi dengan meningkatkan kualitas
kinerja. Contoh umum OCB termasuk menawarkan bantuan kepada karyawan
baru menjelaskan suasana dan budaya organisasi, membatu karyawan lain yang
sedang dikejar deadline untuk menyelesaikan pekerjaanya, atau bersedia untuk
menggantikan pekerjaan karyawan lain.
Pendekatan untuk Meningkatkan Komitmen Organisasi
Menurut Greenberg dan Baron (2009:164) pendekatan yang dapat
dilakukan organisasi untuk dapat mengembangkan komitmen organaisasi
(organizational commitment) di dalam diri karyawan dapat dengan cara berikut:
1) Membuat pekerjaan lebih menarik dan memberi tanggung jawab pada
karyawan
Seorang karyawan merasa memiliki komitmen pada organisasi adalah
disaat dimana organisasi memberi kesempatan pada karyawan tersebut
untuk dapat melakukan kontrol sendiri atas cara mereka bekerja,
didengarkan semua masukanya, dan karyawan diberikan kesempatan
terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan didalam organisasi.
2) Menyelaraskan kepentingan perusahaan dengan karyawan
Setiap organisasi melakukan sebuah pengambilan keputusan, organisasi
harus memikirkan dampak yang akan terjadi dari pengambilan keputusan
tersebut bagi seluruh elemen dalam organisasi baik untuk organisasi itu
sendiri maupun untuk para karyawan didalam organisasi tersebut.
Karyawan cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi
jika organisasi selalu memikirkan dan mengikut sertakan karyawan dalam
setiap pengambilan keputusan dan tidak hanya memikirkan keuntungan
bagi organisasi tersebut. Banyak organisasi saat ini menerapkan sistem
profit-sharing plans, yaitu rencana insentif dimana karyawan menerim
bonus secara proposional dengan profitabilitas yang diterima perusahaan.
Sistem ini dinilai cukup efektif dalam meningkatkan komitmen organisasi
bagi karyawan karna sistem ini juga akan membuat karyawan lebih merasa
terpacu untuk bekerja lebih baik karena akan menerima bonus lebih juga
profit perusahaan meningkat dan akan menerima tambahan bonus sesuai
dengan performance atau kontribusinya untuk meningkatkan profit
perushaan.
3) Merekrut karyawan baru yang sesuai dengan nilai-nilai organisasi
Merekrut karyawan baru adalah hal yang sangat penting, bukan saja karena
dapat memberikan kesempatan untuk menemukan orang-orang baru yang
sesuai dengan nilai yang organisasi miliki, tetapi juga dinamika dari proses
rekrutment itu sendiri. Merekrut karyawan baru untuk menjadi bagian dari
organisasi adalah sebuah investasi, karena dengan merekrut karyawan baru
diharapkan akan meningkatkan kinerja perusahaan dan akan mempunyai
komitmen terhadap organisasi. Dengan kata lain, perusahaan yang
menunjukkan para karyawanya, mereka peduli untuk bekerja keras dan
mencari seseorang yang mempunyai komitmen yang tinggi untuk
organisasi.
4) Selalu mendengarkan karyawan
Hal termudah dan paling efektif dalam meningkatkan komitmen adalah
dengan cara selalu mendengarkan karyawan dalam segala hal. Banyak
organisasi yang mengabaikan apa yang karyawan sampaikan dan keluhkan
tentang organisasi, padahal karyawan adalah orang yang paling tahu
bagaimana kondisi organisasi yang sebenarnya, dan karyawan dapat
memberikan masukan dan saran untuk masalah yang tidak diketahui oleh
para atasan. Saran dan masukan yang diberikan oleh karyawan adalah hal
yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh organisasi karena hal
tersebut dapat menjadi masukan dan saran yang berguna dalam
meningkatkan kinerja dan memecahkan masalah yang ada di dalam
organisasi.
Pentingnya Komitmen Bagi Organisasi
Seperti yang diketahui, karyawan yang memiliki komitmen dengan
organisasi memiliki tingkah laku yang berbeda dari mereka yang tidak memilki
komitmen dengan organisasi. Greenberg dan Baron (2009:163) mengungkapkan
beberapa aspek dari perilaku kerja yang telah dikaitkan dengan komitmen
organisasi, yang menjadi alasan mengapa organisasi ingin memiliki karyawan
yang berkomitmen. Beberapa asalan tersebut antara lain:
1) Committed employees are less likely to withdraw
Karyawan memiliki komitmen yang tinggi dilakukannya untuk organisasi
mereka, karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi memiliki
kemungkinan lebih kecil untuk absen dalam pekerjaan dan mengundurkan
diri. Komitmen ini sangat berhubungan dan dapat dimiliki oleh karyawan
jika karyawan memiliki kepuasan kerja selama mereka bekerja didalam
organisasi. Berkomitmen untuk organisasi menyebabkan seorang karyawan
akan tetap berada pada pekerjaan mereka sekarang dan akan
menunjukannya saat hal tersebut dibutuhkan.
2) Committed employees are willing to make sacrifices for the organization
Diluar apa yang terjadi didalam organisasi, karyawan yang memiliki
komitmen yang tinggiterhadap organisasi menunjukkan kemuan yang
sangat besar untuk bekerja dan membuat pengorbanan yang diperlukan oleh
organisasi untuk berkembang dan mencapai tujuan. Hal ini sangat penting
pada zaman modern seperti sekarang, dimana dunia tekhnologi sudah
semakin maju, dan para karyawan diharapkan untuk dapat bekerja pada jam
kerja yang sangat panjang. Bagaimana para atasan dapat meningkatkan
komitmen karyawan mereka dan rela untuk berkorban adalah dengan cara
pengorbanan diri yang dilakukan oleh para atasan agar membuat para
karyawan memiliki komitmen dan rela melakukan pengorbanan yang besar
untuk organisasi.
Dimensi dari Komitmen Organisasi
Seorang karyawan yang telah menyatakan dirinya berkomitmen pada
organisasi bukan hanya ditunjukkan dengan selalu menerima tugas dengan baik,
melakukannya, dan berapa banyak hal yang telah kerjakan untuk organisasi
tersebut. Tetapi komitmen organisasi dapat dilihat dari seberapa karyawan dapat
menghormati apa yang telah menjadi dimensi dari sebuah komitmen organisasi.
Menurut Colquitt, et al., (2013:64) komitmen organisasi dapat dibagi menjadi
tipe atau dimensi. Masing-masing dimensi atau tipe tersebut menjelaskan apa
yang menjadi alasan seorang karyawan ingin berkomitmen dengan organisasi
tempat merkea bekerja sekarang.
Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen adalah sebuah kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu hal
untuk diri mereka sendiri, orang lain, kelompok, atau organisasi. Dan komitmen
juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang mengikat seseorang yang
berhubungan dengan tindakan untuk pencapain tujuan. Menurut Kreitner dan
Kinicki (2009:166) komitmen organisasi (organizational commitment) adalah
cerminan dari tindakan atau perilaku seseorang dalam mengenali sebuah
organisasi dan bagaimana terikat dengan tujuan dari organisasi tersebut.
Greenberg dan Baron (2009:160) menjelaskan bahwa komitmen organisasi
dapat dilihat dari seberapa besar karyawan dapat memahami sikap yang
berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dan kemudian dapat
mengidentifikasi keterlibatannya dengan organisasi, sehingga dapat menjalani
apa yang menjadi tugasnya.
Komitmen organisasi dianggap sebagai suatu sikap kerja yang dapat
merefleksikan perasaan seorang karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja,
apakah karyawan tersebut suka atau tidak suka dengan keadaan yang ada didalam
organisasi. Seorang karyawan yang memiliki komitmen organisasi juga sangat
erat kaitanya dengan kepuasan kerja karyawan yang dapat dicapai dengan
pemberian kompensasi dan benefit yang sesuai antara pekerjaan dan apa yang
diberikan oleh perusahaan. Jika hal ini dapat dilakukan oleh organisasi, hal ini
akan menimbulkan kepuasan kerja pada seluruh karyawan yang otomatis akan
membuat para karyawan bersedia atas kehendak diri mereka sendiri untuk
memberikan sesuatu sikap yang lebih terhadap organisasi yang akan membantu
organisasi dalam mencapai apa yang menjadi tujuan dari organisasi.
Pengaruh Kepribadian Merek Terhadap Kepercayaan Merek
Kepercayaan adalah konsep kunci dalam bidang pemasaran relasional karena
Tanpa kepercayaan tidak ada hubungan yang stabil dan abadi (Guibert, 1999;
Gurviez dan Korchia, 2002). Meskipun demikian, sifat kepercayaan diperdebatkan
dalam literatur. Hal ini dapat dilihat sebagai keyakinan (Sirieix dan Dubois,
1999;Frisou, 2000), yang akan (Chaudhuri dan Holbrook, 2001) atau anggapan
(Gurviez, 1999; Aurieretal, 2001;. Gurviez dan Korchia, 2002). Gurviez dan
Korchia (2002) sehingga menunjukkan bahwa penulis memobilisasi kognitif,
afektif dimensi atau konatif untuk menentukan kepercayaan pada merek. Ada juga
isu jumlah dimensi yang akan digunakan: apakah itu unidimensional atau
multidimensional ? Dalam penelitian ini, definisi kepercayaan yang diusulkan
oleh Gurviez dan Korchia (2002) akan digunakan karena menganggap
kepercayaan, seperti yang kebanyakan studi pemasaran, sebagai konstruk
multidimensi dan lebih khusus, tiga-dimensi: “kepercayaan pada merek, dari titik
pandang konsumen, adalah variabel psikologis yang mencerminkan seperangkat
praduga yang berkaitan dengan kredibilitas, integritas dan kebijakan yang
konsumen anggap berasal dari merek”. Menurut definisi ini, kredibilitas merek
yang dapat memenuhi kinerja yang diharapkan oleh konsumen. Merek akan
menjadi baik jika dianggap memperhatikan kepentingan konsumen. Gurviez dan
Korchia (2002) menunjukkan bahwa itu adalah kombinasi dari ketiga dimensi
yang menentukan tingkat kepercayaan konsumen.
Komitmen Merek
Menurut (Nelson Oly Ndubisi, 27) komitmen adalah keinginan abadi
untuk menjaga hubungan yang dihargai.Ini menunjukan tingkat yang lebih tinggi
dari kewajiban untuk membuat suatu hubungan berhasil dan untuk membuatnya
saling memuaskan dan menguntungkan.
Komitmen merek didefinisikan oleh (Mowday dan McDade, 1979) kita
mencirikan komitmen merek oleh faktor – faktor berikut :
1. Keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan merek dan nilai – nilai.
2. Kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama merek.
3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan sebuah merek dalam
pemilihan.
Menurut (Bhattacharya dan sen, 2003). Menyatakan bahwa konsumen
mengembangkan hubungan antara konsep diri mereka dengan merek upaya untuk
memisahkan diri dari orang lain yang bertujuan untuk lebih berkomitmen dengan
merek tersebut.
Kepercayaan Merek
Kepercayaan pada merek diukur dengan menggunakan skala yang
dikembangkan oleh Gurviez dan Korchia (2002), terdiri dari tiga dimensi:
kredibilitas, integritas, dan kebijakan, yang terdiri dari delapan item. Tiga dimensi
ini memiliki reliabilitas konsistensi internal yang baik. Para validitas konvergen
dan diskriminan juga telah terbukti. Gurviez dan Korchia memang menunjukkan
bahwa tiga dimensi kepercayaan secara empiris berbeda. Terakhir, para penulis ini
menunjukkan bahwa kepercayaan berpengaruh signifikan terhadap komitmen
merek. Validitas prediktif dari skala pengukuran ini telah diuji.
Kepercayaan merek menurut Lau & Lee (1999) yaitu bahwa faktor trust
terhadap sebuah merek merupakan aspek krusial dalam pembentukan loyalitas
merek. Merek mendefinisikan bahwa trust terhadap sebuah merek (trust in a
brand) sebagai kesediaan konsumen untuk mempercayai atau mengandalkan
merek dalam situasi resiko karena adanya ekspektasi bahwa merek bersangkutan
akan memberikan hasil yang positif (Fandy Tjiptono, 2006 : 392)
Menurut Chaudhuri dan Holbrook (2001:87),“Brand trust didefinisikan sebagai
kesediaan rata-rata konsumen bergantung pada kemampuan merek untuk
melakukan fungsinya. Delgado-BallesterdanMunuera-Alemán (2001) dalam
Weiping Wu et. al. (2008:347) menganggap kepercayaan merek sebagai rasa
aman yang dirasakan oleh konsumen yang akan dapat memenuhi harapan
konsumsi konsumen. Sementara itu, Hess (1995) dalam Olfa Bouhlel et.al.(2011:
212) berpendapat bahwa kepercayaan dikonseptualisasikan sebagai “kepercayaan,
sesuai dengan prinsip-prinsip penelitian psikologi sosial, atau sebagai kemauan
atau niat” Chaudhuri dan Holbrook 2001 dalam Wei-Ping Wu et.al.(2008:347)
meneliti dua aspek dari loyalitas merek yaitu kepercayaan untuk membeli dan
sikap loyal terhadap suatu merek. Kedua aspek tersebut menghubungkan
kepercayaan merek dan pengaruh merek terhadap kinerja suatu merek. Dapat
dikatakan, kepercayaan konsumen terhadap merek didefinisikan sebagai
kepercayaan bahwa produk atau penyedia layanan dapat diandalkan untuk
berperilaku sedemikian rupa sehingga kepentingan jangka panjang konsumen
akan dilayani (Crosby et. al. 1990 dalam Chieh-Ping Lin. 2011:457).
Kepribadian Merek
Kepribadian manusia adalah titik awal dari penelitian tentang kepribadian
merek. Secara keseluruhan, ciri-ciri kepribadian harus dianggap sebagai fitur
psikologis yang stabil dan memberikan makna tindakan manusia dan pengalaman.
Menurut teori animisme, merek juga dapat memiliki kepribadian sendiri.
Dalam hal ini manusia merasa perlu untuk mewujudkan benda untuk
membantu interaksi mereka dengan dunia intangible. kepribadian adalah metafora
yang berlaku untuk merek yang dimana adalah bahwa konsumen tumbuh afinitas
terhadap merek didasarkan pada kepribadiannya (Koebel dan Ladwein, 1999).
sehingga Seorang konsumen dapat mengidentifikasi dirinya dalam hubungannya
dengan merek berdasarkan kepribadian sendiri yang berasal dari merek. Ferrandi
dan Valette-Florence (2002) membuat konsep kepribadian merek sebagai “semua
ciri-ciri kepribadian yang digunakan untuk mengkarakterisasi individu yang
terkait dengan merek”. Yang terakhir Definisi akan digunakan dalam penelitian
ini karena kemungkinan besar mendefinisikan kepribadian merek hanya
berdasarkan karakter kepribadian manusia. Oleh karena itu ia menawarkan
kemungkinan mempertimbangkan pengalihan makna antara persepsi bahwa
seorang individu yang memiliki kepribadian merek mereka akan membeli karena
mengkonsumsi atau menolak
Aspek-aspek Budaya Organisasi
Hasil penelitian terbaru mengemukakan tujuh karakteristik primer dari
budaya organisasi (Robbins, 2002) sebagai berikut :
a. inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para karyawan didorong
untuk selalu inovatif dan mampu bertanggung jawab terhadap resiko yang
diambil,
b. perhatian kerincian. Para karyawan diharapkan dapat memperlihatkan
kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian,
c. orientasi hasil. Manajemen lebih memusatkan perhatian pada hasil, bukan
pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil,
d. orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan
efek hasil-hasil pada orang-orang yang berada dalam organisasi,
e. orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan dengan timnya,
bukan hanya kepada individu,
f. keagresifan. Di sini dapat dilihat bagaimana orang yang agresif dan
kompetitif bukan orang yang santai,
g. kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo daripada pertumbuhan.
Faktor – Faktor yang mempengaruhi Budaya Organisasi
Bagaimana budaya perusahaan terbentuk perlu kiranya untuk diketahui
bagaimana budaya perusahaan dapat membantu karyawan dalam usaha
memahami budaya perusahaan tempat karyawan bekerja.
Menurut Atmosoeprapto (dalam Moeljono, 2001), ada lima faktor
pembentuk budaya organisasi, yaitu :
a. lingkungan usaha yaitu lingkungan dimana perusahaan atau organisasi
tersebut beroperasi,
b. nilai-nilai yang merupakan konsep dasar dan keyakinan suatu organisasi,
c. panutan atau teladan, dimana orang-orang yang menjadi panutan atau
teladan bagi karyawan yang lain karena keberhasilan,
d. ritual, berupa acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan
dalam rangka memberikan penghargaan kepada karyawan,
e. jaringan kultural, merupakan jaringan komunikasi informal di dalam
perusahaan yang dapat menjadi sarana pengembangan nilai-nilai budaya
perusahaan.
Menurut Deal dan Kennedy (dalam Susanto, 1997) mengungkapkan
faktor-faktor yang mempengaruhi budaya organisasi meliputi :
a. Leadership, dimana suatu organisasi harus mempunyai pemimpin yang
bisa diteladani dan didengar oleh bawahannya.
b. Komunikasi, proses komunikasi harus dilaksanakan secara konsisten dan
rutin, sehingga perbedaan budaya yang dibawa dari masing-masing individu yang
berbeda latar belakangnya akan mengalami integrasi persamaan dengan tujuan
organisasi.
c. Motivasi, merupakan pemberian daya penggerak dan menciptakan
kegairahan seseorang dalam bekerja agar dapat saling bekerjasama, bekerja efektif
dan terintregasi dengan segala upaya untuk mencapai kepuasan.
Pengertian Persepsi Terhadap budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan sebuah nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip-prinsip
yang mendasari suatu sistem manajemen organisasi (Denison,1990). Budaya
organisasi terbrntuk dari sebuah keyakinan yang terdiri dari nilai-nilai dominan
yang dijadikan menjadi sebuah filosofi kerja dan panduan bagi kebijakan
organisasi dalam pengelolaan karyawan dan konsumen.
Gibson (1992, h. 59) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses
pemberian arti terhadap lingkungan yang dipersiapkan dalam kerangka yang
terorganisir yang telah dibentuk berdasarkan pengalaman dan nilai dari individu.
Marliyah dkk (2004, h. 63) mengemukakan bahwa persepsi merupakan penafsiran
unik terhadap situasi bukan pencarian yang benar terhadap situasi. Sedangkan
menurut Branca (dalam Walgito, 2002, h. 70) mengatakan bahwa persepsi
merupakan pengorganisasian penginterpretasian terhadap stimulus yang
diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang
integrated dalam diri individu. Karena itu dalam penginderaan orang akan
mengkaitkan dengan stimulus sedangkan dalam persepsi orang akan mengkaitkan
dengan objek.
Definisi lain menurut Matsumoto (1996) mengenai budaya organisasi
Adalah sebagai seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku yang
dipegang oleh individu atau sekelompok orang yang dikomunikasikan dari
generasi yang satu ke generasi berikutnya. Susanto (1997) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai suatu nilai-nilai yang menjadi pegangan sumber daya manusia
dalam menjalankan kewajiban dan juga perilakunya dalam organisasi
Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi didefinisikan pada tingkatan organisasi, asumsi bahwa
organisasi-organisasi berbeda satu sama lain tidak hanya pada ubahan-ubahan
pada bagian teknik, produksi, pemasaran dan sikap para karyawan, tapi juga
mempertimbangkan keyakinan dan nilai yang mengakar (Berry dkk, 1999).
Robbins (1990) memberikan pengertian budaya organisasi sebagai nilai-nilai
dominan yang disebarluaskan dalam organisasi yang dijadikan filosofi kerja
karyawan yang menjadi panduan bagi kebijakan organisasi dalam mengelola
karyawan dan konsumen.
Budaya organisasi menunjukkan suatu nilai-nilai, kepercayaan dan
prinsip-prinsip yang mendasari suatu sistem manajemen organisasi (Denison,
1990). Definisi lain menurut Matsumoto (1996) mengenai budaya organisasi
Adalah sebagai seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku yang
dipegang oleh individu atau sekelompok orang yang dikomunikasikan dari
generasi yang satu ke generasi berikutnya. Susanto (1997) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai suatu nilai-nilai yang menjadi pegangan sumber daya manusia
dalam menjalankan kewajiban dan juga perilakunya dalam organisasi.
Budaya perusahaan atau organisasi oleh Kunde (dalam Alwi, 2001)
disebut sebagai kepribadian perusahaan di mana perusahaan yang memiliki
kompentensi yang khas akan menjadi pemenang dalam persaingan bila
manajemen mampu mengelola perusahaan dalam pasar yang dihadapi dengan
kekuatan budaya perusahaan.
Menurut Robbins (2002), budaya organisasi mengacu pada suatu sistem
makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi
satu dengan organisasi yang lain. Sistem makna bersama inilah bila diamati lebih
seksama merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai dan menjadi
panduan bagi karyawan.
Pengertian Persepsi
Irwanto dkk (1991, h. 71) berpendapat bahwa persepsi adalah proses
diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan, antar gejala maupun peristiwa)
sampai rangsang itu disadari dan dimengerti. Menurut Fieldman (dalam Hartini,
1999, h. 53) menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses, yaitu ketika
seseorang mengorganisasikan dalam pikiran, menafsirkan, mengalami dan
mengolah tanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungan dan ketika segala
sesuatu tersebut mempengaruhi persepsi seseorang, kelak akan mempengaruhi
perilaku yang dipilih pula.
Gibson (1992, h. 59) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses
pemberian arti terhadap lingkungan yang dipersiapkan dalam kerangka yang
terorganisir yang telah dibentuk berdasarkan pengalaman dan nilai dari individu.
Marliyah dkk (2004, h. 63) mengemukakan bahwa persepsi merupakan penafsiran
unik terhadap situasi bukan pencarian yang benar terhadap situasi. Sedangkan
menurut Branca (dalam Walgito, 2002, h. 70) mengatakan bahwa persepsi
merupakan pengorganisasian penginterpretasian terhadap stimulus yang
diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang
integrated dalam diri individu. Karena itu dalam penginderaan orang akan
mengkaitkan dengan stimulus sedangkan dalam persepsi orang akan mengkaitkan
dengan objek.
Aspek-aspek Komitmen Organisasi
Meyer dkk, (1990) mendefinisikan komitmen organisasi dalam tiga tema
pertama komitmen sebagai suatu kelekatan afeksi karyawan terhadap organisasi,
kedua komitmen dipandang sebagai biaya yang timbul jika meninggalkan
organisasi dan yang ketiga komitmen sebagai suatu kewajiban untuk tetap berada
dalam organisasi. Berdasarkan ketiga tema tersebut maka Meyer dkk (1993),
Meyer dan Allen (dalam Herscovitch dan Meyer, 2002) mengajukan tiga konsep
komponen komitmen organisasi, yaitu :
a. komponen afektif menunjukkan suatu kelekatan secara emosi maupun
psikologis dan hasrat untuk mengidentifikasikan diri dengan organisasi.
Seseorang dikatakan memiliki komitmen afektif yang tinggi merasa bahwa
organisasinya baik dan dijadikan sebagai bagian dari konsep diri. Faktor yang
menyebabkan munculnya model komitmen ini adalah hal-hal yang meliputi
karakteristik personal, kondisi kerja dan pengalaman selama bekerja. Menurut
Allen dan Meyer (dalam Shore dan Wayne, 1993) komitmen afektf didefinisikan
sebagai suatu keadaan secara afektif atau emosional terhadap organisasi dimana
kekuatan komitmen individu diidentifikasikan dengan keterlibatan dan
kenyamanan anggota organisasi.
b. komponen kontinuitas individu menyadari suatu kondisi yang membatasi
alternatif yang sebanding dengan organisasinya sehingga individu merasa perlu
untuk selalu mempertimbangkan untung rugi pada karyawan bila harus
meninggalkan organisasi. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh faktor usia, masa
kerja, intensi untuk keluar dari organisasi. Komitmen kontinuitas dapat diartikan
sebagai keterikatan yang konsisten dalam beraktivitas didasarkan pada
penghargaan individu terhadap apa yang telah diberikan kepada perusahaan (Allen
dan Meyer dalam Shore dan Wayne, 1993).
c. komponen normatif komponen yang timbul sebagai hasil dari pengalaman
sosialisasi yang menekankan kepatuhan untuk setia kepada pemberi kerja karena
kompensasi yang diterima (misalnya beasiswa tugas belajar) sehingga membuat
individu merasa wajib untuk membalasnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Melihat perkembangan perusahaan dan strategi-strategi pada tingkat
korporat, persoalan komitmen yang bagaimana yang dibutuhkan oleh perusahaan,
untuk memilih apakah loyalitas atau komitmen yang didahulukan, yang penting
adalah bagaimana membangun loyalitas berdasarkan komitmen. Faktor komitmen
dalam organisasi menjadi satu hal yang dipandang penting karena karyawan yang
memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi akan memiiki sikap yang
profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disepakati dalam sebuah
organisasi. Komitmen yang kuat terhadap organisasi dalam wujud misi, visi dan
tujuan perusahaan dapat diciptakan dengan bantuan memberikan penjelasan
segala sesuatu yang telah ditargetkan oleh organisasi yang meliputi produk,
hubungan nasabah dengan perusahaan dan pendidikan bagi karyawan.
Menurut Alwi (2001) komitmen adalah suatu bentuk loyalitas yang lebih
konkrit yang dapat dilihat dari sejauh mana karyawan mencurahkan perhatian,
gagasan dan tanggung jawabnya dalam upaya perusahaan mencapai tujuan.
Menurut Alwi (2001) hasil penelitian yang dilakukan terhadap 165 responden dari
berbagai perusahaan di Indonesia menunjukkan beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi loyalitas karyawan adalah kejujuran dalam pekerjaan, perhatian
dan kepedulian terhadap karyawan dan kepercayaan terhadap karyawan. Tinggi
rendahnya komitmen organisasi menurut Dessler (1994) dipengaruhi oleh
beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut :
a. nilai-nilai kemanusiaan ; dasar utama membangun komitmen karyawan
adalah kesungguhan dari perusahaan untuk memprioritaskan nilai-nilai
kemanusiaan. Perusahaan berasumsi bahwa karyawan merupakan aset penting
sehingga kesejahteraan karyawan penting untuk diperhatikan.
b. komunikasi dua arah yang komprehensif ; komitmen dibangun atas dasar
kepercayaan untuk menghasilkan suatu bentuk rasa saling percaya diperlukan
komunikasi dua arah.
c. rasa kebersamaan dan keakraban ; faktor ini menciptakan rasa senasib
sepenanggungan yang pada tahap selanjutnya memberi kontribusi pada komitmen
karyawan terhadap perusahaan.
d. visi dan misi organisasi ; adanya visi dan misi yang jelas pada sebuah
organisasi akan memudahkan setiap karyawan dalam bekerja pada akhirnya dalam
setiap aktivitas kerjanya karyawan senantiasa bekerja berdasarkan apa yang
menjadi tujuan organisasi.
e. nilai sebagai dasar perekrutan ; aspek ini penting untuk mengetahui
kualitas dan nilai-nilai personal karena dapat menjadi petunjuk kesesuaian antara
nilai-nilai personal dengan nilai-nilai organisasi.
Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah
organisasi, karena dengan terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi
iklim kerja yang profesional. Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak bisa
dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas yang sering mengikuti kata komitmen,
pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan komitmen mengandung
makna yang confuse. Loyalitas disini secara sempit diartikan sebagai berapa lama
karyawan bekerja dalam perusahaan atau sejauh mana mereka tunduk pada
perintah atasan tanpa melihat kualitas kontribusi terhadap perusahaan. Muncul
suatu fenomena di Indonesia seseorang agar dinilai loyal para karyawan akan
tunduk pada atasan walaupun bukan dalam konteks hubungan kerja (Alwi, 2001).
Komitmen organisasi didefinisikan sebagai kekuatan identifikasi dan
keterlibatan individu dengan organisasi. Komitmen yang tinggi dicirikan dengan
tiga hal, yaitu : kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilainilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan keinginan
yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Komitmen nampak dalam tiga
bentuk sikap yang terpisah tapi saling berhubungan erat, pertama identifikasi
dengan misi organisasi, kedua keterlibatan secara psikologis dengan tugas-tugas
organisasi dan yang terakhir loyalitas serta keterikatan dengan organisasi (Dessler,
1994).
Big Five Personality
Allport (dalam Kuncoro, 2012) mendefinisikan kepribadian sebagai
organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikologis yang menentukan
cara penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungan. Kepribadian
merupakan pembimbing utama dalam menyesuaikan dirinya terhadap
lingkungan fisik maupun sosial. Kepribadian individu dapat berkembang
ketika individu mampu mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua
elemen kepribadian.
Tipe kepribadian yang dikembangkan oleh McCrae & Costa (dalam
Mischel, 2003) ini diilustrasikan dalam sebuah taksonomi yang komprehensif
dari domain perilaku interpersonal yang menghasilkan dimensi berlawanan.
The Big Five Personality merupakan kepribadian yang memiliki lima dimensi
kepribadian yaitu neuroticism, extraversion, openness to new experience,
agreeableness, conscientiousness, (McCrae & Costa, 1997).
Aspek-Aspek Komitmen Organisasi
Menurut Meyer dan Allen (dalam Zurnali 2010), terdapat tiga aspek-aspek
komitmen organisasi, yaitu:
a. Komitmen afektif (affective commitment)
Komitmen afektif (affective commitment) didefinisikan sebagai keterikatan
emosional, identifikasi, serta keterlibatan individu dalam organisasi.
Komitmen afektif (affective commitment) terkait dengan seberapa besar
peran organisasi mampu menimbulkan kelekatan emosinal dalam diri
individu terhadap organisasi yang bersangkutan. Individu yang memiliki
komitmen afektif (affective commitment) yang tinggi akan
mempertahankan keberadaannya dalam sebuah organisasi karena memiliki
keinginan untuk bertahan.
b. Komitmen rasional (continuance commitment)
Komitmen rasional (continuance commitment) memiliki pengertian
sebagai keterikatan yang dirasakan terhadap organisasi yang berkaitan
dengan kesadaran akan untung rugi yang diterima apabila meninggalkan
atau bertahan dalam organisasi, hal ini mencakup ke dalam pertimbanganpertimbangan dari segi ekonomi.
c. Komitmen normatif (normative commitment)
Komitmen normatif (normative commitment) merupakan perasaan
mengenai kepatuhan untuk tetap terikat dalam organisasi. Mayer dan Allen
(dalam Islamy, 2016) menjelaskan bahwa karyawan yang bertahan menjadi
anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa berkomitmen terhadap
organisasi merupakan kesadaran bahwa berkomitmen terhadap organisasi
adalah keharusan atau kewajiban, memang sudah seharusnya melakukan
hal tersebut.
Pengertian Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen (dalam Zurnali 2010) mendefinisikan mengenai
komitmen dalam berorganisasi sebagai konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya
dalam berorganisasi. Dengan kata lain, komitmen organisasi adalah hubungan
yang kuat dari identifikasi psikologis seseorang atau keterikatan terhadap
organisasi (Schultz & Schultz, (dalam Ruvina, Veronica & Zamralita, 2007).
Menurut William dan Hazer (dalam Sari, Armanu, & Afnan, 2016) komitmen
organisasi merupakan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu
terhadap organisasi yang dimasukinya, di mana karakteristik komitmen
organisasi antara lain loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk
mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan
seseorang dengan tujuan organisasi.
Menurut Blau dan Boal (dalam Sari, dkk., 2016) komitmen organisasi
didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang karyawan memihak
pada suatu organisasi tertentu, serta berniat memelihara keanggotaan dalam
organsiasi tersebut. Menurut Robbins (2001) komitmen pada suatu organisasi
adalah suatu keadaan di mana karyawan memihak kepada organisasi tertentu
dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam
organisasi itu. Menurut Dessler (dalam Ruvina, Veronica & Zamralita, 2007)
komitmen adalah keadaan karyawan yang setia kepada organisasi dengan
mengidentifikasi diri melalui nilai-nilai dan tujuan, dan memperlakukan
perusahaan seperti milik sendiri
Dampak Komitmen Organisasi
Menurut Hackett dan Guinon yang dikutip oleh Sopiah
(2008:166), karyawan yang memiliki komitmen organisasional
tinggi berdampak pada karyawan tersebut, yaitu lebih puas dengan
pekerjaannya dan tingkat absensinya menurun. Sedangkan
menurut Carsten dan Spector dalam Sopiah (2008:166), dampak
yang timbul adalah karyawan tersebut tetap tinggal dalam
organisasi.
Sopiah (2008:166), mengemukakan bahwa komitmen
karyawan yang tinggi berdampak pada :
1) Berkembangnya karir karyawan itu di organisasi/perusahaan.
2) Meningkatnya kinerja organisasi yang tinggi
3) Tingkat absensi berkurang,
4) Tumbuhnya loyalitas pada karyawan.
Indikator Komitmen Organisasi
Menurut Mowday yang dikutip oleh Sopiah (2008:165),
indikator komitmen organisasi yaitu :
1) Penerimaan terhadap tujuan organisasi.
2) Keinginan untuk bekerja keras.
3) Hasrat untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi.
Dimensi Komitmen Organisasi
Robbins dan Judge (2008:101) menyatakan bahwa ada tiga
dimensi terpisah komitmen organisasional adalah :
1) Komitmen afektif (affective commitment)
Komitmen afektif adalah perasaan emosional untuk
organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya.
2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)
Komitmen berkelanjutan adalah nilai ekonomi yang dirasa
dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan
meninggalkan organisasi tersebut.
3) Komitmen normatif (normative commitment)
Komitmen normatif adalah kewajiban untuk bertahan
dalam organisasi untuk alasan-alasan moral dan etis
Pengertian Komitmen Organisasi
Menurut Robbins dan Judge (2008:100), “komitmen
organisasional (organizational commitment) adalah suatu keadaan
di mana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta
tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi tersebut”. Jadi, keterlibatan
pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu
seorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi
berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut.
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (2013:73),
“komitmen organisasi (organizational commitment) adalah sikap
yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal
dan terikat pada organisasinya. Seseorang individu yang memiliki
komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai
anggota sejati organisasi”.
Sedangkan menurut Kreitner dan Kinicki (2014:165),
“komitmen organisasi (organizational commitment)
mencerminkan tingkatan dimana seseorang mengenali sebuah
organisasi dan terikat pada tujuan-tujuannya”.
Pendekatan Stres Kerja
Menurut Rivai (2009:517), terdapat dua pendekatan stres
kerja, yaitu pendekatan individu dan perusahaan. Bagi individu
penting dilakukan pendekatan karena stres dapat mempengaruhi
kehidupan, kesehatan, produktivitas dan penghasilan. Bagi
perusahaan bukan saja kerena alasan kemanusiaan, tetapi juga
karena secara keseluruhan. Perbedaan pendekatan individu dengan
pendekatan organisasi tidak dibedakan secara tegas, pengurangan
stres dapat dilakukan pada tingkat individu, organisasi maupun
kedua-duanya.
1) Pendekatan individu meliputi :
a. Meningkatkan keimanan.
b. Melakukan meditasi dan pernafasan.
c. Melakukan kegiatan olahraga.
d. Melakukan relaksasi.
e. Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga.
f. Menghindar dari kebiasaan rutin yang membosankan.
2) Pendekatan perusahaan meliputi :
a. Melakukan perbaikan iklim organisasi.
b. Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik.
c. Menyediakan sarana olahraga.
d. Melakukan analisis dan kejelasan tugas.
e. Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan.
f. Melakukan restrukturisasi tugas.
g. Menerapkan konsep manajemen berdasarkan sasaran.
Dampak Positif Stres Kerja
Tidak selamanya stres kerja karyawan berdampak negatif bagi
perusahaan atau organisasi, dan justru berdampak positif. Menurut
Schuller yang dikutip oleh Handoko (2012:23), stres kerja
karyawan yang berdampak positif terhadap perusahaan, yaitu :
1) Memiliki motivasi kerja yang tinggi. Stres kerja yang dialami
karyawan menjadi motivator, penggerak dan pemicu kinerja di
masa selanjutnya.
2) Rangsangan untuk bekerja keras, dan timbulnya inspirasi
untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik dan memiliki
tujuan karir yang lebih panjang,
3) Memiliki kebutuhan berprestasi yang lebih kuat
sehingga lebih mudah untuk menyimpulkan target atau tugas
sebagai tantangan (challenge), bukan sebagai tekanan
(stressful). Stres kerja yang dialami pun menjadi motivator,
penggerak dan pemicu kinerja di masa selanjutnya.
Dampak Negatif Stres Kerja
Menurut Handoko (2012:202), dampak dari stres kerja yaitu :
1) Prestasi kerja akan menurun, karena stres mengganggu
pelaksanaan pekerjaan.
2) Karyawan tidak mampu untuk mengambil keputusan.
3) Perilaku karyawan tidak teratur.
4) Karyawan menjadi sakit dan putus asa.
5) Karyawan akan keluar (Turnover)
Gejala Stres Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2008:376), ada beberapa gejala
stres yang dapat dilihat dari berbgai faktor yang menunjukkan
adanya perubahaan, yaitu :
1) Gejala Fisiologis
Berkaitan dengan aspek kesehatan dan medis yang dilihat
dari perubahan metabolisme, peningkatan detak jantung dan
tarikan napas, menaikkan tekanan darah, menimbulkan sakit
kepala, dan memicu serangan jantung.
2) Gejala Psikologis
Stres dapat menimbulkan ketidakpuasan, ketegangan,
kecemasan, kejengkelan, kejenuhan, dan sikap yang suka
menunda-nunda pekerjaan.
3) Gejala Perilaku
Gejala-gejala stres yang berkaitan dengan perilaku meliputi
perubahan dalam tingkat produktifitas, kemangkiran, dan
perputaran karyawan, selain juga perubaan dalam kebiasaan
makan pola merokok, konsumsi alkohol, bicara gagap, serta
kegelisahan dan ketidakteraturan waktu tidur.
Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja
Mangkunegara (2011:157) menyebutkan penyebab stres kerja
antara lain :
1) Beban kerja yang dirasakan terlalu berat
2) Waktu kerja yang mendesak
3) Kualitas pengawasan kerja yang rendah
4) Iklim kerja yang tidak sehat
5) Konflik kerja
Pengertian Stres Kerja
Adapun pengertian stres kerja menurut para ahli adalah sebagai
berikut :
Menurut Robbins (2016:318), “stres adalah kondisi dinamik
yang di dalamnya individu menghadapi peluang, kendala
(constraints) atau tuntutan (demands) yang terkait dengan apa
yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan
sebagai tidak pasti tetapi penting”.
Sedangkan Hasibuan (2014:204), berpendapat bahwa “stres
kerja adalah kondisi ketergantungan yang mempengaruhi emosi,
proses berpikir, dan kondisi seseorang”. Orang-orang yang
mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran
kronis.
Handoko (2012:200), juga berpendapat bahwa “stres kerja
merupakan suatu keadaan atau kondisi ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang”.
Dimensi Konflik Peran
Menurut Greenhause dan Beutell dalam penelitian Herni
(2016:19), dimensi konflik peran adalah sebagai berikut peran
yaitu :
1) Konflik Berdasarkan Waktu (Time-based conflict)
Yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan
untuk menjalanakan hanya satu peran sehingga sulit untuk
menjalankan peran lainnya.
2) Konflik Berdasarkan Tekanan (Strain-based conflict)
Yaitu konflik yang terjadi karena adanya tekanan dari salah
satu pihak.
3) Konflik Berdasarkan Perilaku (Behavior-based conflict)
Yaitu konflik yang berhubungan dengan ketidaksesuaian
antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh perusahaan
maupun keluarga
Pengertian Konflik Peran
Berikut adalah pengertian konflik peran ganda dari para ahli :
Menurut Daft dalam Rulestari dan Eryanto (2013:20), “konflik
peran adalah tuntutan-tuntutan yang tidak sejalan dari peran-peran
yang berbeda”.
Sedangkan menurut Greenberg (2012:221), “konflik peran
adalah sebuah situasi ketika seseorang dihadapkan beberapa
pertentangan kewajiban yang mereka miliki”.
Sedangkan menurut Greenhause dan Beutell dalam Rulestari
dan Eryanto (2013:20), “konflik peran ganda adalah salah satu dari
bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan
peran antara peran dalam pekerjaan dengan peran dalam
keluarga”
Jenis-Jenis Konflik
Winardi yang dikutip oleh Umam (2012:266), membagi
konflik menjadi empat macam. Dilihat dari posisi seseorang dalam
struktur organisasi, keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan
yang memiliki kedudukan yag tidak sama dalam organisasi.
misalnya, antara atasan dan bawahan.
b. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara mereka
yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam
organisasi. Misalnya, konflik antarkaryawan, atau
antardepartement yang setingkat.
c. Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan
lini, yang berfungsi sebagai penasihat dalam organisasi.
d. Konflik peran, yaitu yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Pengertian Konflik
Pengertian konflik adalah sebagai berikut :
Menurut Hasibuan (2014:199), “konflik adalah persaingan
yang kurang sehat berdasarkan ambisi dan sikap emosional dalam
memperoleh kemenangan”. Konflik akan menimbulkan
ketegangan, konfrontasi, perkelahian, dan frustasi jika tidak dapat
diselesaikan.
Menurut Rivai (2009:999), “konflik adalah ketidak sesuaian
dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu
organisasi/perusahaan) yang harus membagi sumber daya yang
terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena kenyataan
bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau
persepsi”. Konflik juga dapat diartikan sebagai perilaku anggota
organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota
lain.
Menurut Soekanto (2009:144), “konflik adalah suatu proses
sosial individu atau kelompok manusia yang berusaha memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang lawan yang disertai dengan
ancaman atau kekerasan”.
Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Harris yang dikutip oleh Yuniarsih dan Suwatno
(2008:6), “fungsi manajemen sumber daya manusia terdiri dari
perencanaan, penempatan, pengevaluasian, kompensasi,
pengembangan, dan mengatur hubungan yang efektif antar tenaga
kerja”.
Sedangkan menurut Flippo yang dikutip oleh Yuniarsih dan
Suwatno (2008:5), “fungsi manajemen sumber daya manusia
terdiri dari pengadaan, pengembangan, kompensaasi, integrasi,
dan pemutusan hubungan kerja”.
Menurut Hasibuan (2014:4), fungsi dari manajemen sumber
daya manusia adalah :
a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan yaitu sebagai dasar pemikiran dari tujuan dan
penyusunan langkah-langkah yang akan dipakai untuk
mencapai tujuan. Merencanakan berarti mempersiapkan
segala kebutuhan, memperhitungkan matang-matang apapun
kendala, dan merumuskan bentuk pelaksanaan kegiatan yang
bermaksud untuk mencapai tujuan.
b. Pengorganisasian (Organizationing)
Pengorganisasian sebagai cara untuk mengumpulkan
orang-orang dan menempatkan mereka menurut kemampuan
dan keahliannya dalam melaksanakan pekerjaan yang sudah
direncanakan.
c. Penggerakan (Actuating)
Penggerakkan yaitu untuk menggerakkan organisasi agar
berjaan sesuai dengan pembagian kerja masing-masing serta
menggerakkan seluruh sumber daya yang ada dalam organisasi
agar pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan dapat berjalan
dengan lancar sesuai rencana dan bisa mencapai target.
d. Pengawasan (Controling)
Pengawasan yaitu untuk mengawasi apakah pergerakan
dari perusahaan sudah sesuai dengan rencana atau belum, serta
mengawasi pengguanaan sumber daya dalam organisasi agar
bisa terpakai secara efektif dan efisien tanpa ada yang
melenceng dari perencanaan.
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Hasibuan (2014:10), “manajemen sumber daya
manusia adalah ilmu & seni mengatur hubungan dan peranan
tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan, dan masyarakat”.
Sedangkan menurut Flippo yang dikutip oleh Hasibuan
(2014:11), “manajemen personalia adalah perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dari pengadaan,
pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan
pemberhentian keryawan, dengan maksud terwujudnya tujuan
perusahaan, individu, karyawan, dan masyarakat”.
Pendapat lain disampaikan oleh Miner yang dikutip oleh
Hasibuan (2014:11), yang mengatakan bahwa “manajemen
personalia adalah suatu proses pengembangan, menerapkan, dan
menilai kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, metode-metode,
dan program-program yang berhubungan dengan individu
karyawan dalam organisasi”.
Indikator Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan Karyawan adalah dimana perasaan seorang karyawan dapat
memberi suatu kontribusi dalam tujuan organisasi dan dapat member pengaruh
dengan hasil yang optimal atas pekerjaanya, hal tersebut memnimbulkan perasaan
senang yang akan menghasilkan tingginya komitmen karyawan terhadap
organisasi. Berdasarkan penelitian Spretizer (1995) menjelaskan beberapa
indikator dari pemberdayaan karyawan, Merasa bermakna (Sense of meaning)
merupakan nilai dari tujuan pekerjaan yang dapat dilihat dari hubungannya pada
idealisme atau standar individu. Merasa berkompetisi (Sense of competence)
merupakan kompetisi lebih dari kepercayaan individu akan kemampuan mereka
dalam melakukan aktivitas mereka dengan menggunakan keahlian mereka sendiri.
Merasa diri sebagai penentu (Sense of self – determination) kompetensi ini
merupakan suatu keahlian dalam berperilaku, maka self – determination
merupakan suatu perasaan memiliki suatu pilihan dalam membuat pilihan dan
melakukan suatu pekerjaan. Sense of impact merupakan derajat dimana seseorang
dapat mempengaruhi hasil pekerjaan baik secara strategi, administratif, maupun
operasional.
Pemberdayaan karyawan penting untuk dilakukan karena dampak dari
adanya pemberdayaan karyawan dapat membuat karyawan merasa puas karena
karyawan banyak berkontribusi dalam pencapaian tujuan organisasi yang
mengarah pada tingginya komitmen organisasional (Diputri dan Rahyuda, 2016).
Tiga dimensi utama dalam pemberdayaan karyawan yaitu autonomy,
participation, dan responsibility (Roller,1998).
Pemberdayaan karyawan merupakan sebagai cara untuk mendorong
komitmen organisasi karena meningkatkan kesesuaian antara peran kerja dan
kepercayaan diri dalam kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan dengan
baik dan mendorong karyawan untuk melakukan upaya lebih atas nama organisasi
dan kebih berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. (Diputri dan
Rahyuda,2016) indikator: Merasa bermakna, Merasa berkompetisi, Merasa
sebagai penentu. sumber (Diputri dan Rahyuda,2016).
Pengertian Pemberdayaan Karyawan
Definisi (Menurut Pradapti,2009) memperoleh hasil dari pemberdayaan
karyawan berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberdayaan pegawai mampu meningkatkan komitmen
organisasi. (Karim dan Rehman,2012) dalam (Diputri,2017) memperoleh hasil
bahwa pemberdayaam yang diberikan untuk karyawan akan meningkat komitmen
organisasi dari karyawan.
Hashmi dan Naqvi (2012) mendefinisikan pemberdayaan karyawan
memiliki peranan penting melalui apa yang diberikan dengan perlakuan yang
mengarah pada keinginan terhadap karyawan. Apabila karyawan merasa mereka
telah memberi kontribusi untuk tujuan suatu organisais dan dapat memeberi
pengaruh dari hasil pekerjaan mereka, maka dapat menimbulkan rasa senang yang
mengarah pada komitmen organisasi. Abadi dan Chegini (2013) memberikan
penjelasan melalui pemberdayaan karyawan diakui dapat memeberi suatu
dorongan utama supaya karywan yang mempunyai kompetensi tinggi, agar bisa
mengaplikasikan melalui inovasi dan ide – ide yang dimiliki.
Indikator Kepemimpinan Transformasional
Adapun indikator dari kepemimpinan transformasional menurut (Bass dan
Avolio,1990) adalah:
1. Kharisma mengarah pada perilaku kepemimpinan transformasional yang mana
pengikut berusaha kerja keras melebihi apa yang dibayangkan. Para pengikut
khususnya menggagumi, menghormati dan percaya sebagaimana pimpinannya.
Mereka mengidentifikasi pimpinan sebagai seseorang sebagaimana visi dan
nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
2. Motivasi inspiratif dimana pimpinan menggunakan berbagai simbol untuk
memfokuskan usaha atau tindakan dan mengekspresikan tujuan dengan caracara sederhana. Ia juga membangkitkan semangat kerja sama tim, antusiasme
dan optimisme diantara rekan kerja dan bawahannya.
3. Stimulasi intelektual adalah upaya memberikan dukungan kepada pengikut
untuk lebih inovatif dan kreatif dimana pemimpin mendorong pengikut untuk
menanyakan asumsi, memunculkan ide baru.
4. Individual Consideration, pemimpin transformasional memberikan perhatian
khusus pada kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang,
dengan jalan sebagai pelatih, penasehat, guru fasilitator, orang terpercaya dan
konselor. Seorang pemimpin yang mampu menerapkan gaya kepemimpinan
yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan kerjanya, maka dapat
memberikan pengaruh bagi karyawannya untuk melakukan pekerjaan sesuai
dengan yang diharapkan dan dikehendaki perusahaan. Kepemimpinan yang
tepat dapat mendorong kinerja yang lebih tinggi dan dapat mempengaruhi
bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan
usaha yang serius (Evans, 1970; House, 1971; House & Mitchell dalam Yukl,
1989). Kepemimpinan yang tepat juga dapat menghasilkan kepuasan kerja,
komitmen, dan motivasi kerja dalam diri karyawan (Mintzberg dalam Luthans,
2006).
Pengertian Kepemimpinan Transformasional
Menurut (Dubrin,2001) adalah upaya mempengaruhi banyak orang
melalui komunikasi untuk mencapai tujuan, cara mempengaruhi orang dengan
petunjuk atau perintah, tindakan yang menyebabkan orang lain bertindak atau
merespon dan menimbulkan perubahan positif, kekuatan dinamis penting yang
memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam rangka mencapai tujuan,
kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan dukungan diantara bawahan
agar tujuan organisasional dapat tercapai. Menurut (Siagian,2002) mengemukakan
bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang
lain (para bawahannya) sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau melakukan
kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak disenanginya.
Menurut (Nimran,2004) kepemimpinan atau leadership adalah merupakan
suatu proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti yang akan
dikehendaki. Menurut (Robbins,2006) mengemukakan bahwa kepemimpinan
adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah
tercapainya tujuan.
Menurut (Siagian,2002) mengemukakan bahwa peranan pemimpin atau
kepemimpinan dalam organisasi atau perusahaan ada tiga bentuk yaitu peranan
yang bersifat interpersonal, peranan yang bersifat informasional, dan peran
pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan peranan yang bersifat
interpersonal dalam organisasi adalah bahwa seorang pemimpin dalam perusahaan
atau organisasi merupakan simbol akan keberadaan organisasi, seorang pemimpin
bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberikan arahan kepada bawahan,
dan seorang pemimpin mempunyai peran sebagai penghubung.
(Mintzberg dalam Luthans,2006) mengemukakan bahwa peran
kepemimpinan dalam organisasi adalah sebagai pengatur visi, motivator,
penganalis, dan penguasaan pekerjaan. (Yasin,2001) mengemukakan bahwa
keberhasilan kegiatan usaha pengembangan organisasi, sebagian besar ditentukan
oleh kualitas kepemimpinan atau pengelolanya dan komitmen pimpinan puncak
organisasi untuk investasi energi yang diperlukan maupun usaha-usaha pribadi
pimpinan.
Indikator Keadilan Organisasi
Keadilan organisasional merupakan persepsi karyawan terkait keseluruhan
dari apa yang adil di dalam tempat kerjanya (Robbins dan Judge, 2008:249).
Indikator yang digunakan untuk mengukur keadilan organisasi meliputi: 1)
keadilan distributif, yang diukur dengan menggunakan beberapa instrumen
pernyataan; 2) keadilan prosedural, yang diukur dengan menggunakan beberapa
instrumen pernyataan; dan 3) keadilan interaksional, yang diukur dengan
menggunakan beberapa instrumen pernyataan.
(Demirel dan Yucel,2013) bahwa keadilan distributif, keadilan prosedural,
dan keadilan interaksional memiliki korelasi yang positif terhadap komitmen
afektif. (Dehkordi et al.,2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa keadilan
organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional,
kurangnya keadilan dalam organisasi akan menciptakan komitmen organisasional
yang rendah
Pengertian Keadilan Organisasi
Menurut (Jawed et al.2012) Keadilan organisasi merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi. Keadilan organisasi dapat
ditunjukkan oleh perusahaan dengan memberikan secara seimbang apa yang
menjadi hak dan kewajiban karyawan. Hal ini penting untuk dilakukan karena
dengan adanya keadilan organisasi dalam perusahaan akan membuat para
karyawan merasa dihargai,diakui dan diterima, sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan pula komitmen organisasi.Keadilan organisasi adalah suatu faktor
penting yang dapat mempengaruhi komitmen organisasional anggota di suatu
perusahaan. Keadilan organisasional sangat penting karena melalui teori keadilan
karyawan lebih membandingkan usaha dan hasil yang dilakukanya, sesuai dengan
apa yang diperoleh (Gibson et al, 2009). (Marissa,2010) dalam penelitianya
mengenai faktor-faktor yang dapat memepengaruhi komitmen, menjelaskan
dengan adanya niat untuk ikut serta secara aktif diimbangi dengan perasaan yang
ingin selalu menjadi bagian dari organisasi tersebut dalam refresinya ditemukan
adanya pengaruh yang positif dari komitmen organisasi dan keadilan organisasi
yang diterima (Bakhshi et al.,2009) menyatakan dengan adanya keadilan
distributif dan prosedural di suatu perusahaan akan menunjukan hasil yang
signifikan terhadap komitmen organisasional.
Indikator Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional adalah semacam ikatan antara karyawan dengan
perusahaan, di mana yang digunakan untuk mengukur variabel komitmen
organisasional meliputi: 1) komitmen afektif, yang diukur dengan menggunakan
beberapa instrumen pernyataan; 2) komitmen kelanjutan, yang diukur dengan
menggunakan beberapa instrumen pernyataan; dan komitmen normatif, yang
diukur dengan menggunakan beberapa instrumen pernyataan(Sugiyono, 2010).
Komitmen Organisasional (Y) adalah suatu keinginan karyawan tertentu
untuk selalu menjadi bagian dari organisasi tanpa meninggalkan organisasi
tersebut. (Meyer dan Allen,1991) menjelaskan tiga model indikator komitmen
organisasi, yaitu komitmen afektif adalah perasaan emosional untuk keyakinan
dan organisasi dalam nilai-nilainya yaitu karyawan yang setia dengan perusahaan
karenan keinginan mereka.Komitmen Organisasional adalah Komitmen itu sendiri
diartikan secara umum sebagai sikap yang menunjukkan komitmen karyawan dan
merupakan proses berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi
mengekspresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan
organisasinya. Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel komitmen
organisasional meliputi: Kemauan Karyawan,Kesetiaan Karyawan, Kebanggan
Karyawan pada organisasi. Sumber (Luthans 2006).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Penelitian (Steers dan Porter,1983) membedakan faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen terhadap perusahaan menjadi empat kategori, yaitu:
1) Karakteristik Personal Pengertian karakteristik personal mencakup: usia,
masa jabatan, motif berprestasi, jenis kelamin, ras, dan faktor kepribadian. Sedang
tingkat pendidikan berkorelasi negatif dengan komitmen terhadap perusahaan
(Welsch dan La Van, 1981). Karyawan yang lebih tua dan lebih lama bekerja
secara konsisten menunjukkan nilai komitmen yang tinggi (Steers, 1988).
2) Karakteristik Pekerjaan Karakteristik pekerjaan meliputi kejelasan serta
keselarasan peran, umpan balik, tantangan pekerjaan, otonomi, kesempatan
berinteraksi, dan dimensi inti pekerjaan. Biasanya, karyawan yang bekerja pada
level pekerjaan yang lebih tinggi nilainya dan karyawan menunjukkan level yang
rendah pada konflik peran dan ambigu cenderung lebih berkomitmen (Steers,
1988).
3) Karakteristik struktural Faktor-faktor yang tercakup dalam karakteristik
struktural antara lain ialah derajat formalisasi, ketergantungan fungsional,
desentralisasi, tingkat pastisipasi dalam pengambilan keputusan, dan fungsi
kontrol dalam perusahaan. Atasan yang berada pada organisasi yang mengalami
desentralisasi dan pada pemilik pekerja kooperatif menunjukkan tingkat
komitmen yang tinggi (Steers, 1988).
4) Pengalaman bekerja Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan
sosialisasi yang penting, yang mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan
terhadap perusahaan. Pengalaman kerja terbukti berkorelasi positif dengan
komitmen terhadap perusahaan sejauh menyangkut taraf seberapa besar karyawan
percaya bahwa perusahaan memperhatikan minatnya, merasakan adanya
kepentingan pribadi dengan perusahaan, dan seberapa besar harapan-harapan
karyawan dapat terpenuhi dalam pelaksanaan pekerjaanya. Seorang karyawan
yang memiliki komitmen karyawan yang tinggi dapat menumbuhkan loyalitas dan
mampu mengekspresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan
organisasinya. Komitmen karyawan pada organisasi juga dapat menumbuhkan
keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk
berusaha keras sesuai keinginan organisasi, dan keyakinan tertentu, dan
penerimaan nilai dan tujuan organisasi (Luthans, 2006).
Dimensi Komitmen Organisasional
Dikarenakan komitmen organisasi bersifat multidimensi, maka terdapat
perkembangan dukungan untuk model komponen yang diajukan oleh (Meyer dan
Allen 1990) Ketiga dimensi tersebut adalah:
Dimensi pertama Komitmen afektif (affective commitment) adalah suatu
pendekatan emosional dari individu dalam keterlibatan dengan organisasi,
sehingga individu akan merasa dihubungkan dengan organisasi. Komponen afektif
berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu
organisasi. Karyawan yang komitmen organisasinya berdasarkan komitmen
afektif yang kuat akan meneruskan bekerja dengan perusahaan karena keinginan
mereka sendiri, berdasarkan tingkat identifikasinya dengan perusahaan dan
kesediannya untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan.
Dimensi kedua komitmen berkelanjutan (continuance commitment) adalah
hasrat yang dimiliki oleh individu untuk bertahan dalamorganisasi, sehingga
individu merasa membutuhkan untuk dihubungkan dengan organisasi. Komitmen
ini didasarkan pada persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika
ia meninggalkan organisasi. Karyawan dengan komitmen berkelangsungan yang
kuat akan meneruskan keanggotaannya dengan organisasi, karena mereka
membutuhkannya. (Luthans,2006) mengemukakan komitmen berkelangsungan
sebagai komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya
karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin dikarenakan kehilangan senioritas atas
promosi atau benefit.
Dimensi ketiga Komitmen normatif (normative commitment) adalahsuatu
perasaan wajib dari individu untuk bertahan dalam organisasi. Normatif
merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus dia berikan
kepada organisasi, dan tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus
dilakukan. Karyawan dengan komitmen normatif yang kuat akan tetap bergabung
dalam organisasi karenamereka merasa sudah cukup untuk hidupnya. Komitmen
normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi bergantung
dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komitmen normatif
menimbulkan perasaan kewajiban pada karyawan untuk memberi balasan atas apa
yang telah diterima dari organisasi.
Pengertian Komitmen Organisasional
Menurut (Lutan, 2006) Komitmen itu sendiri diartikan secara umum
sebagai sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan merupakan proses
berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi mengekspresikan perhatian
mereka kepada kesuksesan dan kebaikan organisasinya. Komitmen karyawan
menurut Robbins (2003) dalam (Diputri, 2016), yaitu usaha mendefinisikan dan
melibatkan diri dalam organisasi dan tidak ada keinginan meninggalkannya.
Komitmen terhadap organisasional menunjuk pada pengidentifikasian tujuan
karyawan dengan tujuan organisasi, kemauan untuk mengerahkan segala upaya
kepentingan organisasi dan keterikatan untuk tetap menjadi bagian organisasi.
Komitmen organisasional merupakan variabel yang mencerminkan derajat
hubungan yang dianggap dimiliki oleh individu itu sendiri dengan pekerjaannya
dalam organisasi (Jewell dan Siegall, 1999). (Kreitner dan Kinichi,2000)
mengungkapkan bahwa komitmen organisasional mencerminkan bagaimana
seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat
dengan tujuan-tujuannya
(Allen dan Meyer,1991) dalam (Diputri, 2016) menyatakan komitmen
organisasional adalah kondisi psikologis yang menjelaskan hubungan antara
pekerja dengan organisasi, mempunyai pengaruh didalam keputusan untuk tetap
di dalam organisasi dan akan menerima semua tugas dan tanggung jawab yang
diberikan. (Kessler,2013) menyatakan komitmen organisasional adalah tentang
rasa keterikatan karyawan dan loyalitas kepada organisasi yang disebabkan oleh
komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen Normatif. Karyawan
dikatakan berkomitmen kepada organisasi ketika tujuan mereka sama dengan
organisasi, ketika mereka bersedia untuk mengerahkan usaha atas nama
organisasi, dan ketika mereka ingin mempertahankan hubungan mereka dengan
organisasi.
Komitmen karyawan penting untuk dibangun agar meningkat karena
dampak dari rendahnya komitmen organisasional adalah tingginya turnover pada
karyawan, rendahnya kehadiran, kinerja, dan OCB pada karayawan (Meyer et al.,
2002). Rendahnya komitmen organisasional mengakibatkan karyawan tidak
berusaha dengan baik didalam mencapai tujuan organisasi. (Karambut dan
Noormijati,2012) menyatakan tingginya komitmen organisasional akan
berdampak pada karyawan yang akan memberikan usaha terbaik kepada
organisasi, bahkan bersedia mengerjakan sesuatu melampaui batas yang
diwajibkan organisasi.