Hubungan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan


Karyawan yang puas dalam pekerjaannya akan meningkatkan
kinerjanya, semakin puas karyawan dalam pekerjaannya maka semakin
baik pula kinerja karyawan. Kepuasan kerja adalah salah satu faktor yang
dapat meningkatkan kinerja disamping faktor lainnya seperti hasil yang
dicapai (kemampuan) dan motivasi kerja. Sebagaimana dikemukakan
oleh Wexley dan Yukl, bahwa seseorang akan bekerja keras untuk
mencapai hasil yang memuaskan, pencapain hasil tersebut akan dapat
memberikan kepuasan kerja yang selanjutnya kepuasan kerja akan
menimbulkan motivasi kerja yang tinggi sehingga kinerjanya dapat
meningkat.

Indikator Kinerja Karyawan


Mangkunegara (2012) menyatakan bahwa ukuran yang perlu
diperhatikan dalam kinerja antara lain:
a. Kualitas kerja, yaitu kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil kerja
dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. Dengan adanya kualitas
kerja yang baik dapat menghindari tingkat kesalahan dalam
penyeleseian suatu pekerjaan serta produktivitas kerja yang dihasilkan
dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan.
b. Kuantitas Kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi
normal. Kuantitas kerja menunjukkan banyaknya jenis pekerjaan yang
dilakukan dalam satu waktu sehingga efisiensi dan efektivitas dapat
terlaksana sesuai dengan tujuan perusahaan.
c. Tangung jawab, yaitu menunjukkan seberapa besar karyawan dapat
mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang
dipergunakan serta perilaku kerjanya.
d. Inisiatif, yaitu menunjukkan seberapa besar kemampuan karyawan
untuk menganalisis, menilai, menciptakan dan membuat keputusan
terhadap penyelesaian masalah yang dihadapinya.
e. Kerja sama, yaitu merupakan kesediaan karyawan untuk berpartisipasi
dan bekerja sama dengan karyawan lain secara vertical atau horizontal
didalam maupun diluar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan semakin
baik.

Pengertian Kinerja karyawan


Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode
tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target
atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama (Rivai, 2013).
Wibowo, (2011) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil
pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada
ekonomi. Dengan demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan
dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.
Kinerja menurut Rivai dan Sagala (2013) merupakan suatu fungsi
dari motivasi dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan
seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan
tertentu

Dimensi Keadilan Prosedural


Menurut Raymond A. (2011) mengatakan ada enam prinsip penting
yang menentukan apakah orang merasa prosedur yang mereka terima
sudah cukup adil. Prinsip-prinsip itu meliputi konsistensi, peniadaan bias,
keakuratan informasi, kebermungkinan koreksi, keterwakilan, kesatuan.
Menurut Cropanzano et al. (2007: 35) ada 6 dimensi dari keadilan
prosedural yaitu sebagai berikut:
a) Konsistensi dengan indikator karyawan diperlakukan sama
b) Kurangnya bias dengan indikator tidak ada orang atau kelompok
diistimewakan atau diperlakukan tidak sama
c) Keakuratan dengan indikator keputusan dibuat berdasarkan informasi
yang akurat
d) Pertimbangan wakil karyawan dengan indikator pihak-pihak terkait
dapat memberikan masukan untuk pengambilan keputusan
e) Koreksi dengan indikator mempunyai proses banding atau mekanisme
lain untuk memperbaiki kesalahan
f) Norma pedoman profesional tidak dilanggar.

Pengertian Keadilan Prosedural


Menurut Pareke (2009) mengatakan bahwa keadilan prosedural
merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan
prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki
implikasi yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilainilai proses dasar dalam organisasi. Jadi individu dalam organisasi akan
mempersepsikan adanya keadilan prosedural manakala aturan prosedural
yang ada dalam organisasi dipenuhi oleh para pengambil kebijakan.
Sebaliknya apabila prosedur dalam organisasi itu dilanggar maka individu
akan mempersepsikan adanya ketidak-adilan. Karenanya keputusan harus
dibuat secara konsisten tanpa adanya bias-bias pribadi dengan melibatkan
sebanyak mungkin informasi yang akurat, dengan kepentingankepentingan individu yang terpengaruh terwakili dengan cara-cara yang
sesuai dengan nilai-nilai etis mereka, dan dengan suatu hasil yang dapat di
modifikasi.
Keadilan prosedural yaitu keadilan yang dirasa dari proses yang
digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan (Robbins, 2012). Dua
elemen penting dari keadilan prosedural adalah pengendalian proses dan
penjelasan. Perusahaan harus mengembangkan kebijakan sebagai tuntunan
umum dalam membersihkan suatu koordinasi, konsistensi, dan keadilan
dalam menggaji karyawan.
Pengendalian proses adalah peluang untuk mengemukakan
pandangan seseorang tentang hasil-hasil yang diinginkan kepada para
pembuat keputusan. Sedangkan penjelasan adalah alasan-alasan secara
jelas yang diberikan kepada seseorang oleh manajemen atas hasil. Jadi
agar karyawan menganggap adil sebuah proses, mereka harus merasa
bahwa mereka mempunyai kendali atas hasil dan bahwa mereka diberi
penjelasan yang memadai tentang alasan munculnya hasil tersebut.

Indikator kepuasan kerja


Indikator kepuasan kerja menurut Robbins dan Judge (2013) sebagai
berikut :

  1. Pekerjaan itu sendiri
    Kesesuaian pekerjaan dengan kemampuan selama kerja.
  2. Gaji
    Tingkat gaji yang diterima karyawan.
  3. Kenaikan jabatan
    Adanya kenaikan jabatan bagi karyawan.
  4. Pengawasan
    Adanya supervisi yang berkelanjutan
  5. Rekan kerja
    Hubungan rekan kerja dalam kerja.

Aspek-aspek Kepuasan Kerja


Menurut Robbins (2012) ada lima aspek kepuasan kerja, yaitu:
a. Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi
mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan
mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai
betapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut. Karakteristik ini
membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang
menantang menciptakan kebosanan, sebaliknya jika terlalu banyak
pekerjaan menantang dapat menciptakan frustrasi dan perasaan gagal.
Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan
mengalamai kesenangan dan kepuasan dalam bekerja
b. Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan pemberian upah dan kebijakan promosi
yang mereka persepsikan adil dan sesuai dengan harapan mereka. Bila
upah dilihat adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat
keterampilan individu, dan standar upah karyawan, kemungkinan besar
akan mengahsilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar
uang. Banyak orang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk
bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang
kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam
kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Intinya bahwa besarnya
upah bukanlah jaminan untuk mencapai kepuasan, namun yang lebih
penting adalah persepsi keadilan. Sama dengan karyawan yang
berusaha mendapatkan kebijakan dan promosi yang lebih banyak, dan
status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang
mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil
kemungkinan besar akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan mereka.
c. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan perduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi
memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai lingkungan kerja yang
tidak berbahaya. Seperti temperatur, cahaya, kebisingan, dan faktor
lingkungan lain harus diperhitungkan dalam pencapaian kepuasan kerja.
d. Rekan kerja yang mendukung
Karyawan akan mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi
yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga
mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu sebaiknya
karyawan mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung. Hal
ini penting dalam mencapai kepuasan kerja. Perilaku atasan juga
merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi
mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila atasan
langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian
untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan
menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
e. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan
Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya sama dengan
pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mereka mempunyai bakat dan
kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan
mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil
pada pekerjaan tersebut, dan lebih memungkinkan untuk mencapai
kepuasan yang tinggi dari pekerjaan mereka.

Pengertian Kepuasan Kerja


Robbins (2012) mendefenisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap
umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran
yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini
seharusnya mereka terima.
Handoko (2012) menyatakan kepuasan kerja merupakan keadaan
emosional yang menyenangkan dimana para karyawan memandang
pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaannya.
Menurut Rivai (2013) menyatakan Kepuasan Kerja adalah
kebutuhan yang selalu bertambah dari waktu ke waktu dan manusia selalu
berusaha dengan segala kemampuannya untuk memuaskan kebutuhannya
tersebut

Pengaruh Kepercayaan Organisasi terhadap Perilaku MenyimpangKaryawan


Penelitian Al-Abr Row et al., (2013) menunjukkan kepercayaan
organisasional berpotensi mempengaruhi perilaku menyimpang di tempat
kerja. Suatu organisasi apabila tumbuh suatu kepercayaan yang tinggi dari
para anggotanya, maka setiap karyawan akan mampu bekerja sama dengan
lebih baik, karyawan bekerja dengan lebih nyaman, tanpa saling curiga,
bahkan akan mengurangi perilaku-perilaku yang cenderung negatif
(perilaku menyimpang) ditempat kerja yang dapat merugikan organisasi.
Ullah dan Rabsana (2010) yang membahas kepercayaan pada organisasi
dalam makna yang lebih luas, dimana setiap anggota pasti akan menaruh
harapan besar terhadap hubungan yang dijalin dengan organisasinya, dan
semakin besar harapan positif anggota terhadap perilaku jalinan hubungan
yang dikembangkan organisasi, merupakan indikasi besarnya tingkat
kepercayaan mereka pada organisasi. Atas dasar keyakinan itulah individu
didalam organisasi membangun persepsi kepercayaan pada individu lain
dan pada organisasinya secara simultan. Membangun kepercayaan dalam
organisasi adalah komponen kunci untuk mengembangkan hubungan antar
karyawan dengan organisasi, sebagai contoh karyawan lebih cenderung
untuk membalas usaha yang lebih besar dan memiliki sikap kerja yang
lebih positif ketika mereka memiliki kepercayaan dalam organisasi.
Kepercayaan telah memainkan peran penting dalam pemahaman karyawan
tentang upaya dan kinerja organisasi (Aryee et al., 2002). Kepercayaan
organisasi juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku
menyimpang karyawan. Ketika karyawan sudah tidak percaya dengan
organisasi maka hal tersebut akan menyebabkan karyawan berperilaku atau
bertindak menyimpang sebagai bukti ketidakpercayaan mereka terhadap
organisasi.

Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Perilaku MenyimpangKaryawan


Penelitian Ince dan Gul (2011), keadilan organisasional sebagai
kondisi pekerjaan yang mengarahkan karyawan pada suatu keyakinan
bahwa mereka diperlakukan secara adil atau tidak adil oleh organisasinya,
keadilan organisasi merupakan motivator penting dalam suatu lingkungan
pekerjaan. Ketika individu merasakan suatu ketidakadilan, moral mereka
akan turun, mereka kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaannya,
dan bahkan mungkin membalas dendam terhadap organisasinya karena hal
tersebut akan memicu munculnya rasa tidak percaya pada organisasi, yang
pada akhirnya akan meningkatkan motivasi karyawan untuk berperilaku
menyimpang ditempat kerja. Keadilan organisasi berkaitan erat dengan
perilaku menyimpang karyawan. Hal ini disebabkan karena ketika
karyawan merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil di organisasi dan
tidak memiliki tempat untuk mengutarakan aspirasinya maka karyawan
akan cenderung bersikap menyimpang.

Pengaruh Kepemimpinan Instruktif terhadap Perilaku MenyimpangKaryawan


Williams and Anderson (1998) memaparkan bahwa penerapan
perilaku loyalitas dapat mengikat para pemimpin dan karyawan dengan
membangun sikap dan perilaku sesuai dengan visi, misi dan strategi
organisasi dan dapat meminimalkan perilaku menyimpang. Pemimpin
dapat menetapkan mekanisme untuk mempertahankan, mengembangkan
atau mengubah perilaku karyawan. Mekanisme yang diajarkan oleh
seorang pemimpin kemudian akan diadaptasi oleh para pengikutnya
melalui proses sosialisasi. Proses sosialisasi untuk mengirimkan visi dan
misi dari seorang pemimpin ke organisasi melalui proses yang tepat
memerlukan kepemimpinan yang tepat, sehingga dapat mengurangi
perilaku menyimpang karyawan. Jika rasa perilaku loyalitas pegawai
tersebut telah terbentuk dengan baik, berarti pegawai tersebut dapat
mengendalikan perilakunya sendiri tanpa harus diperintah atasan sehingga
mengurangi perilaku menyimpang karyawan. Pimpinan instruktif memiliki
peran yang sangat penting bagi berjalnnya suatu organisasi dimana setiap
keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh pimpinan instruktif akan
berdampak langsung kepada karyawan. Ketika karyawan beropini bahwa
pimpinan konstruktif tidak mampu menjalankan organisasi sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh karyawan maka karyawan akan cenderung
berperilaku menyimpang. Oleh sebab itu terdapat hubungan yang sangat
erat antara perilaku pimpinan instruktif dengan sikap menyimpang dari
karyawan.

Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Kepercayaan Organisasi


Keadilan organisasi menjadi faktor penting untuk mengembangkan
kepercayaan organisasi dan sikap kerja. Hasil penelitian Latan (2014)
menunjukkan bahwa keadilan prosedural berpengaruh positif terhadap
kepercayaan karyawan. Hasil penelitian Eskandari et al., (2013)
menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara keadilan
organisasi (keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interaksional)
dengan kepercayaan organisasional. Hasil penelitian Mansour (2014)
menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan organisasi
dengan kepercayaan organisasi dan dukungan atasan dan kepercayaan
pengawas. Selain itu ada hubungan positif dari keadilan distributif terhadap
dukungan organisasi, dan hubungan negatif keadilan distributif terhadap
(kepercayaan pengawas, kepercayaan organisasi, dukungan atasan). Ada
hubungan positif antara keadilan prosedural terhadap (dukungan atasan,
kepercayaan pengawas) dan hubungan negatif keadilan prosedural terhadap
(dukungan organisasi, kepercayaan organisasi). Terakhir, ada hubungan
positif keadilan interaksional terhadap (dukungan organisasi, kepercayaan
organisasi, dukungan atasan, kepercayaan pengawas). Serta hasil penelitian
Wong (2004) menunjukkan bahwa keadilan distributif dan keadilan
prosedural memiliki efek yang lebih kuat mempengaruhi kepercayaan dalam
organisasi. Karyawan yang mendapatkan perlakuan setara antara karyawan
yang satu dengan karyawan yang lain akan menyebabkan munculnya rasa
keadilan organisasi yang kuat.

Pengaruh Kepemimpinan Instruktif terhadap Kepercayaan Organisasi


Bass (1985) menyatakan bahwa kepercayaan (trust) bawahan
merupakan konsekuensi logis dari kepemimpinan, karena kepercayaan
merupakan faktor esensial dalam manajemen perubahan serta dibutuhkan
untuk pengambilan resiko yang merupakan bagian integral dari transformasi
organisasional, dan kepemimpinan seringkali diidentifikasi melalui
dampaknya terhadap sikap, nilai, asumsi, dan komitmen pari para pengikut
(Yukl,1998). Apabila bawahan bersedia mengubah sikap, nilai, asumsi dan
komitmennya sedemikian rupa sehingga selaras dengan organisasinya, maka
diyakini bahwa mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi atas
integritas dan kredibilitas pemimpinnya (Kouzes dan Posner,2004). Secara
empiris, penelitian ini didukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Krishnan and Srinivas (1998) yang temuannya menunjukkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan yang diiplementasikan
dalam suatu organisasi terhadap kepercayaan organisasional.
Keberhasilan suatu organisasi ditentukan dari kualitas pemimpin.
Keberhasilan atau kegagalan yang dialami sebagian besar dari organisasi
ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki orang-orang yang
diserahi tugas memimpin organisasi (Hasibuan, 2001). Tingkat efisiensi dan
efektifitas suatu organisasi ditentukan oleh karakter seorang pemimpin.
Pemimpin sebagai salah satu sumber daya pada organisasi haruslah dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas suatu organisasi. Bawahan atau
karyawan yang terampil sangat diperlukan untuk mengoperasikan peralatanperalatan yang canggih dan modern untuk mendapatkan suatu hasil yang
bisa diharapkan oleh suatu organisasi (Bohlander dan Snell, 2010).

Determinan Perilaku Karyawan


Penelitian yang dilakukan Vardi dan Wiener (1996), ada tiga hal
pokok, pertama secara formal mendefinisikan konstruk baru perilaku
menyimpang didalam organisasi (OMB) dan mendiskusikan implikasi
teoritisnya. Kedua, mengidentifikasi berbagai jenis OMB, dan ketiga
mengembangkan suatu kerangka kerja konseptual yang akan
memungkinkan dimasukkannya OMB dalam teori komprehensif
motivasi kerja baik itu perilaku yang tepat maupun perilaku
menyimpang dalam organisasi. Menurut Vardi dan Wiener (1996)
terdapat tiga jenis OMB yaitu:

  1. OMB Type S, perilaku menyimpang yang bertujuan untuk
    menguntungkan diri sendiri dan orang-orang yang terlibat dalam OMB
    Type S terutama didorong oleh pertimbangan kepentingan diri sendiri
    (proses instrumental).
  2. OMB Type O, perilaku menyimpang yang bertujuan untuk
    menguntungkan organisasi dan orang-orang yang terlibat dalam OMB
    Type O melakukannya karena sebagian besar mereka memiliki loyalitas
    pada organisasi (proses normatif).
  3. OMB Type D, perilaku menyimpang yang bertujuan untuk menimbulkan
    kerusakan dan mungkin dipicu oleh salah satu instrumen atau kekuatan
    normatif, atau oleh keduanya pada saat yang sama
    Perilaku menyimpang organisasi (OMB) didefinisikan sebagai
    tindakan yang disengaja oleh anggota organisasi yang menentang dan
    melanggar (a) bersama organisasi norma dan harapan , dan atau (b) nilainilai inti masyarakat, adat istiadat dan standar perilaku yang tepat. Sinclair
    (1993), menyatakan bahwa nilai definisi sebagai bentuk keyakinan, dan
    sumber utama dari nilai-nilai tersebut mungkin berupa harapan sosial,
    terutama ketika mereka bersama. Nilai dapat ditafsirkan sebagai keyakinan
    normatif, setelah dibentuk mereka dapat bertindak sebagai panduan perilaku
    normatif, penghargaan dan hukuman atas konsekuensi tindakan (Wiener,
    1988).

Pengertian Perilaku Karyawan


Perilaku yang menyimpang adalah perilaku seseorang yang
melanggar norma-norma organisasi yang secara signifikan
dalam melakukannya, dapat mengancam dengan baik
keberadaan organisasi atau anggotanya. Para peneliti telah
memberikan banyak perilaku yang berbeda nama termasuk
penyimpangan kerja, perilaku kontraproduktif, perilaku
antisosial dan ketidaksopanan tempat kerja (Yousefi et al.,
2012) Perilaku kerja yang menyimpang dibagi menjadi dua
kelompok perilaku kerja menyimpang positif dan negatif.
Beberapa peneliti fokus pada perilaku kerja menyimpang negatif
seperti absensi, pengunduran diri, pemotongan gaji, pelecehan
seksual dan pengambilan keputusan yang tidak etis (Muafi,
2011; Vardi dan Weitz, 2004; Robinson dan Bennett, 1995).
Fokus lain juga diberikan kepada karyawan seperti kenakalan
tidak mengikuti instruksi manajer, sengaja memperlambat siklus
kerja, terlambat kerja, vandalisme, rumor dan sabotase terhadap
organisasi. Perilaku kerja yang menyimpang telah sering diakui
sebagai reaksi stres terhadap organisasi, frustrasi, seperti
masalah keuangan, sosial, dan kondisi kerja yang tidak
menyenangkan (Muafi, 2011).
Menurut (Lukacs et al., 2009), perilaku kerja menyimpang
didefinisikan sebagai tindakan sengaja dilakukan oleh anggota
organisasi yang melanggar norma-norma inti organisasi atau
masyarakat. Perilaku tersebut menyebabkan penurunan
produktivitas, rusaknya citra organisasi, mencederai karyawan
dan pelanggan, dan paparan tanggung jawab hukum. Perilaku
kerja menyimpang ketika perilaku kerja yang berjalan diluar
norma-norma organisasi, yang konsekuensinya dapat
mempengaruhi semua tingkat organisasi termasuk unit proses
pengambilan keputusan, produktivitas dan biaya keuangan
(Coccia, 1998)

Konsep Kepemimpinan Instruktif


Perilaku kepemimpinan adalah perilaku khusus/pribadi para pemimpin
terkait dengan tugas dan perannya sebagai seorang pemimpin. Perilaku
kepemimpinan dipahami sebagai suatu kepribadian (personality) seorang
pemimpin yang diwujudkan dalam aktivitas kepemimpinannya dalam
kaitannya dengan mengelola tugas dan hubungan dengan
bawahan/pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Perilaku seorang
pemimpin terkait erat dengan beberapa hal, yaitu kemampuan yang
dimilikinya, karakter setiap bawahan yang dipimpinnya, jabatan atau
posisi tertentu yang diembannya, dan budaya organisasi serta situasi
kondisi yang menyertainya. Teori tentang perilaku kepemimpinan perlu
diungkap mengingat seorang pemimpin harus mengetahui tingkat
kematangan para pegawainya agar bisa memimpin mereka secara efektif.
Banyak pemimpin yang gagal karena tidak mengetahui dengan baik
karakter dan kebutuhan pegawainya dalam melakukan pekerjaan.
Dalam upaya menggerakkan dan memotivasi orang lain agar melakukan
tindakan – tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang
pemimpin memiliki beberapa tipe (bentuk) kepemimpinan. Tipe
kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya
kepemimpinan. Berikut adalah tipe – tipe kepemimpinan yang luas dan
dikenal dan diakui keberadaannya :

  1. Tipe Otokratik Tipe kepemimpinan ini menganggap bahwa
    kepemimpinan adalah hak pribadinya (pemimpin), sehingga ia tidak
    perlu berkonsultasi dengan orang lain dan tidak boleh ada orang lain
    yang turut campur. Seorang pemimpin yang tergolong otokratik
    memiliki serangkaian karakteristik yang biasanya dipandang sebagai
    karakteristik yang negatif. Menurut Sinclair (1993), “Pemimpin
    otoriter senang mempergunakan ungkapan dalam kehidupan sehari –
    hari dengan mengatakan: “kantor saya” atau “pegawai saya” dan lain
    – lain seolah – olah organisasi atau anggota merupakan miliknya.”
  2. Tipe Kendali Bebas (Laissez-Faire) Tipe kepemimpinan ini merupakan
    kebalikan dari tipe kepemimpinan otokratik. Dalam tipe ini sang
    pemimpin biasanya menunjukkan perilaku yang pasif dan seringkali
    menghindar diri dari tanggung jawab. Seorang pemimpin kendali
    bebas cenderung memilih peran yang pasif dan membiarkan
    organisasi berjalan menurut temponya sendiri. Sifat kepemimpinan
    pada tipe kendali bebas seolah – olah tidak tampak.
    Kepemimpinannya dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh
    pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan
    melakukan kegiatan menurut kehendak dan kepentingan masing –
    masing, baik perseorangan maupun kelompok – kelompok kecil.
    Disini seorang pemimpin mempunyai keyakinan bahwa dengan
    memberikan kebebasan yang seluas – luasnya terhadap bawahan
    maka semua usahanya akan cepat berhasil.
  3. Tipe Demokratik. Yang dimaksud dengan tipe demokratik adalah tipe
    pemimpin yang demokratis, dan bukan karena dipilihnya si pemimpin
    secara demokratis. Tipe kepemimpinan di mana pemimpin selalu
    bersedia menerima dan menghargai saran, pendapat, dan nasehat dari
    staf dan bawahan, melalui forum musyawarah untuk mencapai kata
    sepakat. Untuk mencapai keefektifan organisasi, penerapan beberapa
    tipe kepemimpinan di atas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan.
    Inilah yang dimaksud dengan kepemimpinan situasional.
    Fungsi instruktif dalam sebuah kepemimpinan ini bersifat komunikasi satu
    arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan
    apa, bagaimana, bilamana dan dimana perintah itu dikerjakan agar
    keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang efektif
    memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang lain
    agar mau melaksanakan perintah (Thoha, 2006). Ciri-ciri dari gaya
    kepemimpinan instruktif ini adalah: a) memberi pengarahan secara
    spesifik tentang apa, bagaimana, dan kapan kegiatan dilakukan; b)
    kegiatan lebih banyak diawasi secara ketat; c) kadar direktif tinggi; d)
    kadar semangat rendah; e) kurang dapat meningkatkan kemampuan
    pegawai; f) kemampuan motivasi rendah; g) tingkat kematangan bawahan
    rendah (Thoha, 2006).

Pengertian Kepemimpinan Instruktif


Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam
manajemen organisasi. Kepemimpinan dibutuhkan manusia karena adanya
keterbatasan- keterbatasan tertentu pada diri manusia. Dari sinilah timbul
kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin. Kepemimpinan didefinisikan
ke dalam ciri-ciri individual, kebiasan, cara mempengaruhi orang lain,
interaksi, kedudukan dalam oragnisasi dan persepsi mengenai pengaruh
yang sah. Menurut Hallinger (2005) mendefinisikan kepemimpinan
instruksional dalam arti luas dengan menyatakan bahwa kepemimpinan
instruksional melibatkan tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mengembangkan produktifitas dan memuaskan lingkungan kerja untuk
atasan dan kondisi kerja yang diinginkan dan memperoleh hasil maksimal
untuk bawahan. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain untuk mencapai tujuan dengan antusias (Thoha, 2006). Menurut
Rivai (2009), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi
contoh kepada pengikut-pengikutnya lewat proses komunikasi dalam
upaya mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan adalah proses
mengarahkan, membimbing dan mempengaruhi pikiran, perasaan,
tindakan dan tingkah laku orang lain untuk digerakkan ke arah tujuan
tertentu. Kepemimpinan memainkan peranan yang amat penting, bahkan
dapat dikatakan amat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Kepemimpinan adalah kemampuan mendorong sejumlah orang
agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah
pada tujuan bersama menurut (Hasibuan, 2001). Menurut Rivai, 2004,
kepemimpinan adalah sebuah proses dimana seorang pemimpin dapat
secara langsung membimbing dan mempengaruhi perilaku dan pekerjaan
lainnya untuk menuju pencapaian dalam situasi tertentu. Selain itu
kepemimpinan juga merupakan kemampuan seorang manajer atau
pemimpin untuk memberikan dorongan kepada bawahan agar bekerja
dengan penuh keyakinan dan semangat. Dalam sebuah organisasi,
pemimpin sangatlah dibutuhkan untuk mengembangkan visi dan
memotivasi para karyawan organisasi agar mencapai visi atau tujuan dan
meningkatkan kinerja.
Menurut Hallinger (2005) menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah kemampuan untuk membujuk orang lain untuk mencari tujuan yang
telah ditetapkan. Hal tersebut merupakan faktor manusia dimana saling
mengikat satu sama lain untuk membentuk sebuah kelompok dan untuk
meningkatkan kinerja serta mengarahkan pada tujuan yang sama. Seorang
pemimpin harus menerapkan gaya kepemimpinan untuk mengelola
bawahannya, karena seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi
keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Berikut ini adalah
definisi-definisi yang memberi gambaran tentang kepemimpinan, yaitu
(Rivai, 2004) :

  1. Kepemimpinan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu
    atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada
    individu atau kelompok yang tergabung di dalam wadah tertentu untuk
    mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
  2. Aktivitas pemimpin antara lain terjelma dalam bentuk memberi
    perintah, membimbing dan mempengaruhi kelompok kerja atau orang
    lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien
  3. Aktivitas pemimpin dapat dilukiskan sebagai seni (art) dan bukan ilmu
    (science) untuk mengkoordinasi dan memberikan arah kepada anggota
    kelompok dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
  4. Memimpin adalah mengambil inisiatif dalam rangka situasi sosial
    (bukan perseorangan) untuk membuat prakarsa baru, menentukan
    prosedur, merancang perbuatan dan segenap kreatifitas lain dan karena
    itu pulalah tujuan organisasi akan tercapai.
  5. Pimpinan selalu berada dalam situasi sosial sebab kepemimpinan pada
    hakikatnya adalah hubungan antara individu dengan individu atau
    kelompok dengan individu atau kelompok lain. Individu atau kelompok
    tertentu disebut pimpinan dan individu atau kelompok lain disebut
    bawahan.
  6. Pimpinan tidak memisahkan diri dari kelompoknya. Pimpinan bekerja
    dengan orang lain, bekerja melalui orang lain atau keduanya.

Determinan Kepercayaan Organisasional


Kepercayaan organisasional telah menjadi isu penting dalam penelitian
para pakar, beberapa hasil temuan diantaranya bermanfaat untuk
mengetahui potensi kekuatan institusi dalam menghadapi tekanan
eksternalnya. Mayer et al., (1995) mengemukakan bahwa trend angkatan
kerja maupun organisasi saat ini semakin membutuhkan kepercayaan, dan
dalam membangun kepercayaan lebih menekankan pada kebutuhan vital
akan mempertahankan tatanan moral sosial Ivancevich (2007), bahkan
dalam tatanan organisasional Kramer dan Tyler (1996) menjelaskan
kemampuan manajer dalam membangun keterbukaan organisasi dan
membangun daya saing menjadi tuntutan organisasi untuk dapat tetap
kompetitif, fleksibel, dan berkembang disamping ketidakberdayaan dan
ketidakpastian sosial. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat
dirumuskan pengertian kepercayaan pada organisasi sebagai kebersediaan
anggota untuk yakin pada nilai-nilai dan kebersediaan bergantung pada
organisasi menjalankan fungsinya yang akhirnya membawa kebaikan bagi
anggota. Anggota memandang organisasi sebagai pihak yang layak
dipercaya untuk dijadikan pihak kedua dalam pertukaran sosial, karena
organisasi dipandang mampu melangkah kearah kebaikan bagi anggota.
Sebaliknya organisasi juga berhak untuk mendapatkan kebaikan dari
anggota untuk kepentingan pencapaian tujuan organisasi. Faktor dari
kepercayaan yang lazim digunakan sebagai acuan untuk mengungkapkan
berbagai fenomena seputar kepercayaan secara universal yaitu kompetensi
(competence), kebijakan atau kepekaan pada pihak lain (benevolence),
kejujuran (honesty), keterbukaan komunikasi (opennes), dan kehandalan
(reliability) (Moran dan Hoy, 1998; Whitener et al., 1998; Mishra dan
Morrissey, 2000). Faktor-faktor tersebut merupakan hasil inventarisasi
dari berbagai penelitian kepercayaan yang lebih berorientasi individual.
Beberapa model penelitian yang selaras dengan deskripsi kepercayaan
organisasi yang telah dijelaskan sebelumnya dan selaras dengan tujuan
penelitian ini adalah model kepercayaan organisasi dari model of trust
Aryee et al., (2002) dan model of trust Mayer et al., (1995).
Model of trust Aryee et al., (2002) mengemukakan tiga dimensi keadilan
organisasi (distributif, prosedural dan interaksional) saling berkaitkan
dengan kepercayaan organisasi dan salah satunya (keadilan interaksional)
berkaitan dengan kepercayaan supervisor. Selain itu ketiga dimensi
keadilan organisasi juga berkaitkan dengan perilaku yang berhubungan
dengan kinerja dan sikap karyawan (kinerja, kepuasan kerja, keinginan
berpindah dan komitmen organisasi). Salah satu implikasi utama model ini
adalah OMB yang didefinisikan sebagai perilaku opsional yang dibedakan
antara individually-directed (OMBI) misalnya membantu untuk
mengarahkan karyawan baru dan organizationally directed (OMBO)
misalnya membuat saran inovatif untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Konsep Kepercayaan Organisasional

Organisasi perlu kemampuan mengembangkan hubungan
berdasarkan kepercayaan untuk dapat sukses dalam dunia bisnis yang
kompetitif sekarang ini. Tingkat kepercayaan yang tinggi dalam
organisasi akan mengurangi perselisihan antara karyawan, meningkatkan
hubungan antara individu dalam memotivasi semangat kerja, mengurangi
absensi dan stres, serta menciptakan lingkungan yang mendorong inovasi
kerja (Farahbod et al., 2013). Kepercayaan adalah keinginan dari satu
pihak untuk dihargai oleh pihak lain yang melibatkan ketidakjelasan dan
resiko didalamnya (Mishra, 1996; Mayer et al., 1995). Saunders dan
Thornhill (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai keadaan psikologis
yang terdiri dari intensi untuk menerima penghargaan berdasarkan
pengharapan positif dari intensi atau tingkah laku lainnya. Struktur dari
kepercayaan dapat dibedakan berdasarkan rasionalitas (kepercayaan
kognitif) atau emosi (kepercayaan afektif). Menurut Sinclair (1993)
kepercayaan kognitif direfleksikan dalam keyakinan atau pengharapan
trustee yang nyata, memiliki integritas dan dapat diramalkan, akan
mengatakan yang sebenarnya, dan akan bertingkah laku yang adil atau
sopan. Sedangkan kepercayaan afektif berdasarkan konteks emosi seperti
persahabatan, perhatian, atau keaslian mengenai perhatiannya terhadap
kesejahteraan dari pihak lain. Didalam suatu hubungan pertukaran
(exchange) antara dua pihak, salah satu pihak berada dalam posisi 
tergantung (vulnerable) terhadap pihak yang lain. Pihak yang tergantung
disebut trustor, dan pihak lain yang menjadi tempat bergantung dan
dipercaya disebut trustee. Pihak yang dipercaya (trustee) dituntut untuk
dapat bersikap dan berperilaku sesuai harapan pihak yang mempercayai
(trustor), karena trustor dalam posisi bergantung (vulnerable) pada
trustee. Mayer et al., (1995) memberikan pengertian kepercayaan sebagai
kebersediaan suatu pihak (trustor) pasrah pada tindakan pihak lain
(trustee) dengan harapan trustee akan melakukan tindakan penting bagi
trustor tanpa menghiraukan kemampuan mengontrol atau memonitor
trustor. Aryee et al., (2002) menegaskan bahwa membangun kepercayaan
dalam organisasi adalah komponen kunci untuk mengembangkan
hubungan pertukaran sosial

Determinan Keadilan Organisasional


Berdasarkan studi Beugre (1998) terdapat empat jenis keadilan
yang telah diakui dalam lingkungan kerja yaitu keadilan distributif,
keadilan prosedural, keadilan interaksional, dan keadilan sistematis.
Ditegaskan kembali dalam penelitian Bies dan Moag (1986) yang
mengemukakan bahwa keadilan organisasi dipertimbangkan dalam
kaitannya dengan kewajaran imbalan organisasi (distributif
keadilan), interaksi dengan orang lain dalam organisasi (keadilan
interaksional), prosedur organisasi formal digunakan (keadilan
prosedural), dan organisasi sebagai sistem (keadilan sistemik).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Colquitt et al.,
(2001) menyebutkan bahwa keadilan organisasi terdiri dari tiga
unsur, yaitu keadilan distributive, keadilan interaksional dan
keadilan procedural. Meskipun tiga bentuk keadilan organisasi
berhubungan satu sama lain, namun menunjukkan bahwa yaitu
keadilan distributive, keadilan interaksional dan keadilan
procedural berhubungan secara independen terhadap sikap kerja
karyawan. Keadilan distributive mengacu kepada perasaan adil
yang diterima terhadap alokasi sumberdaya dari organisasi,
termasuk di dalamnya adalah penilaian yang dibuat oleh para
karyawan. Saat para karyawan merasa mereka telah diperlakukan
secara adil dalam alokasi penghargaan (keadilan distributif), dapat
memberikan suaranya dalam proses evaluasi (keadilan prosedural)
dan merasa bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang adil dari
manajemen (keadilan interaksional), tingkat kepercayaan akan
berkembang antara atasan dengan bawahan yang pada akhirnya
menghasilkan hasil yang positif (Colquitt et al., 2001).
Kajian keadilan memfokuskan diri pada perasaan dan
perilaku orang dalam interaksi sosial yang berasal dari penilaianpenilaian keadilan atas hasil yang mereka peroleh ketika
bertransaksi dengan pihak lain dan pada awal perkembangan teori
dan penelitian keadilan organisasional, lebih fokus pada keadilan
distributif. Fokus dari keadilan distributif adalah persepsi keadilan
ditinjau dari hasil dan alokasi sumber daya yang dimiliki
organisasi, dengan kata lain konsep keadilan distributif
memberikan landasan kerangka analisis yang dapat dijadikan
acuan dalam memahami persepsi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan berbagai tipe alokasi dan hasil (outcome) organisasi seperti
dalam proses rekruitmen dan seleksi, penilaian kinerja, manajemen
konflik, perampingan (downsizing) dan penghentian kerja
(Cropanzano dan Greenberg, 1997; Folger dan Konovsky 1989;
Colquitt, 2001)

Pengertian Keadilan Organisasi


Persepsi keadilan terkait alokasi sumber daya organisasi dan hasilnya
sebagian besar bersifat reaktif (Greenberg, 1986). Homans (1961)
memandang keadilan sebagai sebuah situasi dimana hasil dari pertukaran
sosial bersifat proporsional dengan biaya yang telah diinvestasikan.
Sejarah keadilan organisasional berawal dari teori keadilan (Adams,
1965). Teori ini menyatakan bahwa orang membandingkan rasio antara hasil
dari pekerjaan yang mereka lakukan, misalnya imbalan dan promosi, dengan
input yang mereka berikan dibandingkan rasio yang sama dari orang lain.
Teori ini dikenal sebagai teori social reference group. Teori ini dipelopori
oleh Zalemik (1958) dalam Beugre (1998) dan dikembangkan oleh Adams
(1963) dalam Beugre (1998). Teori ini sering disebut teori keadilan dengan
memfokuskan pada perbandingan relatif antara input dan hasil dari individu
lainnya. Jika tingkat rasio perbandingan seseorang menunjukan
keseimbangan dengan rasio orang lain, maka ia akan merasa puas.
Sebaliknya jika terdapat adanya ketidakadilan, orang akan merasa tidak
puas, prinsip teori ini adalah seseorang akan merasa puas atau tidak puas
tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity). Perasaan adil atau
tidak adil diperoleh dengan cara membandingkan apa yang diperoleh dirinya
dengan orang lain yang memiliki situasi pekerjaan yang setara. Terdapat
beberapa elemen dari teori Equity Adams yaitu (Beugre, 1998) :

  1. Input adalah segala sesuatu yang bekerja, yang dirasakan karyawan
    sebagai sumbangan terhadap pekerjaan.
  2. Outcome adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan
    sebagai “hasil” dari pekerjaannya. Misalnya : upah, status simbol,
    kesempatan untuk berprestasi.
  3. Comparison person adalah kepada orang lain dengan siapa karyawan
    membandingkan rasio input-outcome yang diperoleh. Comparison
    person dapat merupakan seseorang ditempat kerja yang sama atau lain,
    tetapi dapat pula dirinya diwaktu lampau. Menurut teori equity,
    seseorang akan membandingkan rasio input outcome yang diperolehnya
    dengan rasio input outcome yang diperoleh orang lain
    Beugre (1998) menyatakan bahwa perasaan ketidakadilan muncul
    ketika pada saat diperbandingkan dengan yang lain, perbandingan hubungan
    antara input dan output dari suatu pertukaran dianggap tidak proporsional
    Beugre (1998) selanjutnya menjelaskan bahwa teori keadilan Adams
    dilengkapi dengan riset-riset lanjutan yang terkait dengan alokasi imbalan,
    merujuk pada konsep yang dikenal sekarang sebagai keadilan distributif.
    Beugre (1998) mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan jumlah
    dan penghargaan. yang dirasakan diantara individu-individu. Niehoff dan
    Moorman. (1993) menyebutnya sebagai keadilan imbalan yang didefinisikan
    sebagai penilaian yang dibuat orang terkait imbalan yang diterimanya
    dibanding imbalan yang diterima orang lain yang menjadi acuannya.

Pengaruh Keadilan Interaksional terhadap Kinerja Karyawan


Persepsi keadilan interaksional mencerminkan perasaan pegawai mengenai apakah
manajer peka terhadap masalah mereka dan memperlakukan mereka dengan sopan
dan penuh hormat (Jackson, Schuler, & Wemer, 2010). Keadilan interaksional
merupakan kunci terbentuknya motivasi kerja dan komitmen terhadap organisasi.
Keadilan interaksional mengacu pada sejauh mana suatu otoritas yang diberikan
terhadap karyawan mampu dikomunikasikan dengan baik. Secara umum keadilan
interaksional merupakan sebuah aspek keadilan terkait interaksi baik secara
informasi maupun antar personal. Keadilan interaksional terkait dengan kombinasi
antara kepercayaan seorang bawahan terhadap atasannya dengan keadilan yang
nampak dalam lingkungan kerja sehari-hari (Bass, 2003). Keadilan interaksional
yang tinggi cenderung meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi.
Ketika karyawan merasa diperlakukan secara adil dan dihargai oleh atasan atau
pihak lain, mereka cenderung lebih termotivasi dan berkomitmen untuk
berkontribusi secara maksimal pada organisasi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh (Irpan et al., 2022) menghasilkan bahwa terdapat pengaruh antara keadilan
interaksional terhadap kinerja karyawan.

Pengaruh Keadilan Prosedural terhadap Kinerja Karyawan


Keadilan prosedural adalah persepsi karyawan tentang keadilan atas proses yang
digunakan untuk mendistribusikan reward (Mattenson et al., 2014). Keadilan
prosedural adalah keadilan organisasi yang berhubungan dengan prosedur
pengambilan keputusan oleh organisasi yang ditujukan kepada karyawannya.
Keadilan prosedural merupakan sebuah persepsi keadilan terhadap prosedur yang
digunakan untuk membuat keputusan sehingga setiap anggota organisasi merasa
terlibat di dalamnya.
Dengan adanya keadilan prosedural dapat meningkatkan kinerja para karyawan.
Agar karyawan menganggap adil sebuah proses, mereka harus merasa bahwa
mereka mempunyai kendali atas hasil dan bahwa mereka diberi penjelasan yang
memadai tentang alasan munculnya hasil tersebut. Dengan merasa terlibatnya para
karyawan dalam pembuatan prosedur tersebut sehingga perilaku para karyawan
akan turut ikut serta dalam aktivitas-aktivitas serta untuk mengikuti aturan
perusahaan sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kinerja mereka.

Pengaruh Keadilan Distributif terhadap Kinerja Karyawan


Keadilan distributif berfokus pada keadilan atas hasil, seperti gaji dan pengakuan
yang karyawan terima (Tjahyanti & Puspasari, 2017). Keadilan distributif
merupakan keadilan yang berasal dari hasil-hasil (outcomes) yang diterima
seseorang. Keadilan distributif menurut karyawan jika hasil yang mereka terima
sama jika dibandingkan dengan hasil yang diterima orang lain. Keadilan ini
menunjuk pada keadilan yang diterima karyawan dalam hasil.
Keadilan distributif pada dasarnya dapat tercapai apabila hasil/penerimaan dan
masukan antara dua orang/dua karyawan adalah sebanding. Apabila dari
perbandingan proporsi yang diterima sebanding atau lebih besar, maka ada
kemungkinan dikatakan bahwa hal itu adil, dan ini berdampak pada hasil kerja
mereka. Namun apabila dari perbandingan proporsi yang diterimanya lebih kecil
dibanding yang lain, maka ada kemungkinan bahwa hal itu dikatakan tidak adil
sehingga hal inipun akan berdampak pada hasil kerja mereka.
Keadilan distributif adalah keadilan yang menyangkut alokasi keluaran (outcomes)
dan reward pada anggota organisasi. Karyawan menginvestasikan sesuatu kedalam
organisasi (misalnya: usaha, keahlian dan kesetiaan) dan organisasi memberikan
penghargaan kepada karyawan atas investasi tersebut. Para karyawan membentuk
persepsi yang berkaitan dengan skema pendistribusian apakah penghargaan itu adil
atau tidak. Perhatian mengenai keadilan distributif dirasakan adil dari penempatan
hasil-hasil atau pemberian penghargaan kepada para anggota organisasi.

Kinerja Karyawan


Menurut (Moeheriono, 2012) Kinerja atau performance adalah hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung
jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
(Bernardin, John, & Russel, 1993) menjelaskan bahwa kinerja adalah catatan
outcome yang dihasilkan dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu
periode waktu tertentu. Dari penjelasan di atas, dipahami bahwa kinerja merupakan
hasil kerja atau prestasi yang dicapai oleh seroang karyawan dalam menjalankan
tugas sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Apabila seorang karyawan
memiliki tingkat kinerja yang tinggi maka karyawan tersebut dapat membantu
tercapainya tujuan perusahaan tersebut.
Menurut (Robbins S. P., 2006) kinerja merupakan pengukuran terhadap hasil kerja
yang diharapkan berupa sesuatu yang optimal. Kinerja karyawan adalah perilaku
nyata yang ditampilkan oleh setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan
oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Menurut (Robbins, 2006) dalam (Siagian, 2018) menjelaskan bahwa kinerja
karyawan terdiri dari 5 indikator yaitu sebagai berikut:

  1. Kualitas
    (Goetsch dan Davis, 2005) menyatakan bahwa kualitas merupakan suatu
    kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan
    lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan. Kualitas
    dalam kinerja karyawan merupakan pengukuran kualitas kinerja dilihat dari
    persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta
    kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.
    Kualitas akan terpenuhi apabila seorang karyawan mampu menyelesaikan
    tugas yang diberikan serta mencapai target lebih dari yang diharapkan.
  2. Kuantitas
    (Wungu dan Brotoharsojo, 2003) menjelaskan bahwa kuantitas adalah segala
    macam bentuk satuan ukuran yang berhubungan dengan jumlah hasil kerja
    yang dapat dinyatakan ukuran angka atau padanan angka lainnya. Kuantitas
    kinerja karyawan merupakan jumlah yang dihasilkan atau dinyatakan dalam
    istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
    Kuantitas akan terpenuhi apabila seorang karyawan mampu menunjukkan
    jumlah yang dihasilkan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus
    aktivitas yang diselesaikan.
  3. Ketepatan waktu
    Ketepatan waktu didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk merespons
    dalam waktu yang ditentukan (Cothier & Levis, 1986). Dalam kinerja
    karyawan, ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas yang diselesaikan pada
    awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output
    serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain. Ketepatan
    waktu akan terpenuhi apabila karyawan mampu menunjukkan tingkat aktivitas
    yang diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut
    koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia
    untuk aktivitas lain.
  4. Efektivitas
    Efektivitas merupakan suatu keadaan di mana terjadi kesesuaian antara tujuan
    dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya dengan hasil yang dicapai
    (Erawati et al., 2017). Efektivitas akan terpenuhi apabila karyawan mampu
    memaksimalkan penggunaan sumber daya organisasi dengan maksud
    menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya dengan
    maksud untuk mencapai tujuan perusahaan.
  5. Kemandirian
    (Tingo & Mseti, 2022) menyatakan bahwa kemandirian dalam kinerja
    karyawan mengacu pada kemampuan karyawan untuk bekerja secara mandiri
    dengan mengambil inisiatif dan membuat keputusan yang tepat dalam
    pekerjaannya. Kemandirian akan terpenuhi apabila karyawan mempunyai
    komitmen kerja dengan instansi maupun lingkungan kerja serta tanggung
    jawab karyawan terhadap kantor.

Keadilan Interaksional


Menurut (Colquitt, 2001) Keadilan interaksional adalah penilaian kewajaran atas
perlakuan yang dilakukan oleh atasan kepada karyawan. Keadilan interaksional
akan terpenuhi apabila atasan dapat mengkomunikasikan prosedur dari perusahaan
tersebut dengan cara yang baik dan tepat, serta menggunakan informasi yang jujur
dan benar.
Keadilan interaksional mengacu pada bagaimana seseorang memperlakukan orang
lain. Keadilan interaksional terkait dengan kombinasi antara kepercayaan seorang
bawahan terhadap atasannya dengan keadilan yang nampak dalam lingkungan kerja
sehari-hari.
Menurut (Colquitt, 2001) menjelaskan bahwa keadilan interaksional terdiri dari 9
indikator yaitu sebagai berikut:

  1. Kesopanan
    (Tyler dan Blader, 2003) mengemukakan bahwa kesopanan dalam keadilan
    organisasional merujuk pada bagaimana para karyawan diperlakukan dengan
    cara yang baik, sopan, dan menghargai dalam organisasi. Kesopanan terpenuhi
    apabila karyawan merasakan adanya kesopanan yang ditunjukan atasan kepada
    bawahan.
  2. Bermartabat
    Bermartabat merujuk pada perlakuan yang adil dan hormat yang diberikan
    kepada karyawan tanpa memandang latar belakang, status, atau karakteristik
    pribadi mereka (Brink, 2013). Bermartabat akan terpenuhi apabila karyawan
    merasa mendapatkan perlakuan atasan dengan penuh martabat.
  3. Hormat
    (John Rawls, 1971) menyatakan bahwa hormat dalam keadilan organisasional
    diartikan sebagai sikap menghargai dan menghormati hak asasi manusia,
    termasuk hak-hak karyawan dalam organisasi. Hormat sebagai indikator
    keadilan interaksional akan terpenuhi apabila seorang karyawan merasakan
    sikap hormat yang ditunjukan atasan kepada bawahan.
  4. Kepantasan kata-kata
    (Greenberg dan Cohen, 2012) mengemukakan pendapat bahwa kepantasan
    kata-kata dalam keadilan organisasional adalah tentang penggunaan bahasa
    yang pantas dan sopan dalam komunikasi di tempat kerja. Hal ini meliputi
    penghindaran kata-kata kasar, menyela saat orang lain berbicara, atau
    menggunakan bahasa yang tidak pantas seperti merendahkan atau mengejek
    orang lain. Kepantasan kata-kata akan terpenuhi apabila karyawan merasakan
    kepantasan kata-kata dalam berkomunikasi yang digunakan oleh atasan.
  5. Kejujuran
    Kejujuran dalam keadilan organisasional mengacu pada prinsip di mana
    perusahaan harus berkomunikasi secara jujur dan terbuka dengan karyawan
    dan menghormati hak mereka untuk mengetahui informasi yang relevan
    dengan pekerjaan mereka (Tyler, 2013). Kejujuran akan terpenuhi apabila
    karyawan merasa adanya kejujuran atasan dalam berkomunikasi.
  6. Pembenaran
    Greenberg (2010) menyatakan bahwa pembenaran pada keyakinan karyawan
    bahwa keputusan dan tindakan manajemen didasarkan pada prinsip-prinsip
    yang adil dan rasional, serta dapat diterima secara moral. Dalam konteks ini,
    pembenaran menunjukkan bahwa keputusan dan tindakan manajemen
    dianggap benar dan adil oleh karyawan. Pembenaran akan terpenuhi apabila
    karyawan merasa setiap peraturan/prosedur perusahaan maupun keputusan
    perusahaan dijelaskan secara menyeluruh oleh atasan.
  7. Masuk akal
    Masuk akal dalam keadilan organisasional merujuk pada keadilan proses yang
    adil dan obyektif dalam pengambilan keputusan oleh manajemen atau atasan
    terhadap karyawan (Greenberg, 2010). Masuk akal sebagai indikator keadilan
    interaksional akan terpenuhi apabila karyawan merasa penjelasan yang
    diberikan oleh atasan merupakan penjelasan yang wajar dan masuk akal.
  8. Tepat waktu
    (Blanchard, 1982) menyatakan bahwa tepat waktu mengacu pada pentingnya
    komunikasi yang tepat waktu antara atasan dan bawahan dalam konteks
    bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Tepat waktu akan terpenuhi apabila
    karyawan merasa kesiapan atasan untuk berkomunikasi setiap waktu.
  9. Spesifik
    (Mayer dan Davis, 2019) menyatakan bahwa spesifik merujuk pada keyakinan
    bawahan bahwa kebutuhan dan kontribusinya diakui dan diperhatikan secara
    individual oleh atasan. Artinya, atasan memahami bahwa setiap bawahan
    memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda, dan memberikan
    dukungan dan pengakuan yang spesifik untuk setiap individu. Spesifik
    terpenuhi apabila karyawan merasa atasan mereka dapat menyesuaikan
    kebutuhan khusus komunikasi bawahannya.

Keadilan Distributif


Menurut (Colquitt, 2001) Keadilan Distributif adalah keadilan yang mengacu atas
hasil yang diterima atas kerja yang diberikan. Keadilan distributif adalah penilaian
karyawan mengenai keadilan atas hasil (outcome) yang diterima karyawan dari
organisasi (Greenberg, 1990; Niehoff and Moorman, 1993 dalam (Alotaibi &
Adam, 2001). Keadilan distributif terjadi ketika orang menerima apa yang mereka
pikirkan mereka layak menerimanya dari pekerjaan mereka. Keadilan distributif
adalah keadilan yang paling dinilai atas keadilan hasil yang diterima. Keadilan
distributif menyatakam bahwa karyawan seharusnya menerima upah/gaji yang
sesuai dengan pemasukan dan pengeluaran karyawan secara relatif dengan
perbandingan lainnya
Keadilan distributif mengacu pada kewajiban individual terhadap luara aktual yang
diterimanya seperti beban kerja, gaji, dan lain-lain (Gilliland, 1993; Cohen, 1987;
Adam, 1965; Homes, 1961). Adam (1965) menyatakan bahwa individual akan
menyesuaikan rasionya untuk mengubah kondisi tidak adil (inequity) menjadi
kondisi adil (equity). Lebih lanjut (Adam dan Freedman, 1976) dan (Greenberg,
1982) menjelaskan bahwa individual akan mengurangi kinerjanya (menurunkan
inputnya) pada saat mereka memperoleh outcomes yang kurang dari yang
seharusnya mereka terima dan mereka akan meningkatkan kinerjanya (menaikkan
inputnya) ketika mereka dibayar lebih tinggi dari yang seharusnya.
Keadilan distributif berkaitan dengan perlakuan adil bagi karyawan apabila ditinjau
dari gaji, beban kerja, durasi kerja, dan lainnya. Apabila atasan memberikan hasil
serta merancang pemberian gaji sesuai kinerja para karyawan, mereka akan puas
dan memiliki komitmen pada organisasi.
Menurut (Colquitt, 2001) menjelaskan bahwa keadilan distributif terdiri dari 4
indikator yaitu sebagai berikut:

  1. Persamaan
    (Martha Albertson, 2019) menyatakan persamaan merupakan respon yang
    tepat dalam banyak hal: satu individu, satu suara, dan upah yang sama untuk
    pekerjaan yang setara. Persamaan terpenuhi apabila adanya situasi ketika hasil
    (gaji, bonus, reward) karyawan seimbang dengan apa yang karyawan tersebut
    kerjakan.
  2. Kelayakan
    Kelayakan atau kemampuan seseorang untuk mencapai tujuannya dalam
    hidupnya sangat penting untuk mencapai keadilan dalam masyarakat (John,
    2006). Kelayakan terpenuhi apabila perusahaan memberikan imbalan yang
    sesuai dengan penyelesaian pekerjaan karyawan.
  3. Kontribusi
    (Gary, 2013) menyatakan bahwa perusahaan perlu menciptakan lingkungan
    kerja yang mendukung kontribusi karyawan untuk terus meningkatkan kinerja
    dan kontribusinya. Kontribusi terpenuhi apabila karyawan merasa kontribusi
    mereka dihargai oleh perusahaan dan terjadi kesesuaian antara imbalan dengan
    kontribusi yang diberikan pada perusahaan.
  4. Kinerja
    Kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan dalam
    konteks lingkungan kerja dan tujuan organisasi (Zainal et al, 1982). Indikator
    kinerja terpenuhi apabila seorang karyawan merasa adanya kesesuian antara
    kinerja yang dihasilkan dengan imbalan yang di terima. Hasil pekerjaan yang
    karyawan telah lakukan sepadan dengan kinerja karyawan tersebut.

Keadilan


Menurut kamus, keadilan (fairness) merupakan suatu kondisi kebenaran ideal
secara moral mengenai sesuatu hal baik menyangkut benda ataupun manusia.
Keadilan dapat diartikan sebagai persepsi individual atau kelompok tentang
kewajaran perilaku yang mereka terima dari suatu organisasi atau perusahaan
(Wahyuni & Hartono, 2019). Keadilan merupakan nilai yang sangat mendasar bagi
setiap tindakan suatu organisasi atau perusahaan. Keadilan organisasional dapat
didefinisikan sebagai persepsi individual tentang keadilan yang mereka terima di
tempat kerja. Keadilan tersebut berdasarkan hasil (outcome) yang mereka terima
jika dibandingkan dengan individual lain. Robbins dan Judge (2008)
mendefinisikan bahwa keadilan organisasional merupakan pemusatan perhatian
terhadap bagaimana para pekerja merasa bahwa para pemilik kebijakan dan
pengambil keputusan ditempat kerja dalam memperlakukan karyawan.
Keadilan merupakan keyakinan bahwa kita diperlakukan dengan adil dalam
hubungan dengan orang lain sedangkan ketidakadilan sebagai keyakinan bahwa
kita diperlakukan secara tidak adil dibandingkan dengan orang lain (Moorhead &
Griffin, 2013). Karyawan membentuk persepsi keadilan dengan membandingkan
kondisi mereka dengan situasi karyawan lain. Jika karyawan mempersepsikan
bahwa rasio dari input mereka (usaha) terhadap hasil mereka sama dengan rasio
karyawan lain maka mereka akan merasakan adanya keadilan. Ketidakadilan
muncul ketika rasio tersebut tidak sama, rasio input dan hasil seorang karyawan
lebih besar atau kurang dari milik orang lain.
Seseorang akan merasa puas dan tidak puas, tergantung apakah ia merasakan
adanya keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas situasi, diperoleh
seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Keadilan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Keadilan
organisasi merupakan keseluruhan persepsi tentang apa itu keadilan ditempat kerja,
yang terdiri dari keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan
interaksional.

Teori Keadilan (Equity Theory)


Menurut (Moorhead & Griffin, 2013) Keadilan organisasional merujuk pada
persepsi orang-orang dalam organisasi mengenai keadilan. Sedangkan menurut
(Robbins & Judge, 2008) keadilan organisasi merupakan persepsi keseluruhan
mengenai apa yang adil di tempat kerja. Keadilan organisasional digunakan untuk
mengkategorikan dan menjelaskan pandangan dan perasaan pekerja tentang sikap
mereka sendiri dan orang lain dalam organisasi, dan hal itu dihubungkan dengan
pemahaman mereka dalam menyatukan persepsi secara subjektif yang dihasilkan
dari hasil keputusan yang diambil organisasi, prosedur dan proses yang digunakan
untuk menuju pada keputusan-keputusan ini serta implementasinya.
Teori keadilan adalah teori yang mengemukakan bahwa individu akan
mengevaluasi keadilan atau ketidakadilan dalam situasi berdasarkan perbandingan
antara kontribusinya dengan imbalannya dengan orang lain di sekitarnya. Dalam
konteks organisasi, teori keadilan dapat diterapkan pada penilaian karyawan
tentang apa yang mereka terima. Jika karyawan merasa bahwa penghargaan yang
mereka terima sebanding dengan kontribusi dan usaha yang telah mereka lakukan,
maka mereka akan cenderung merasa puas dan termotivasi untuk terus berkinerja
dengan baik. Namun, jika mereka merasa bahwa penghargaan yang mereka terima
tidak sebanding dengan kontribusi dan usaha yang mereka lakukan, maka mereka
cenderung merasa tidak puas dan kurang termotivasi dalam bekerja. Dengan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam pengelolaan karyawan, perusahaan
dapat menciptakan lingkungan kerja yang adil dan beretika. Hal ini dapat
meningkatkan kinerja mereka secara keseluruhan.
Teori keadilan menyatakan bahwa ketika individu merasakan keadilan dalam
pembagian sumber daya, proses pengambilan keputusan, dan interaksi dengan
orang lain, mereka cenderung merasa puas, termotivasi, dan berkinerja lebih baik.
Sebaliknya, jika mereka merasakan ketidakadilan, hal ini dapat menyebabkan
ketidakpuasan, kurang motivasi, dan penurunan kinerja. Oleh karena itu,
manajemen perlu memastikan adanya keadilan dalam organisasi untuk
mempengaruhi kinerja karyawan secara positif.
Keadilan sosial meneliti persepsi mengenai keputusan organisasional. Metode yang
digunakan untuk menelitinya dan meneliti sikap dari mereka yang dipengaruhi
melalui tiga teori yang diungkapkan oleh (Saunders & Thornhill, 2003). Teori
pertama berhubungan dengan persepsi pekerja mengenai hasil disebut keadilan
distributif. Teori kedua yaitu keadilan prosedural yang berfokus persepsi pekerja
tentang keadilan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan, dan teori
ketiga adalah keadilan interaksional yang menekankan pada persepsi tentang
keadilan perlakuan interpersonal yang diterima pekerja.

Hubungan Pengembangan karir, Stress Kerja dan Keadilan OrganisasiTerhadap Kepuasan Kerja


Pada dasarnya seorang karyawan bekerja adalah untuk mendapatkan
imbalan dan pengakuan terhadap karyawan tersebut sehingga karyawan merasa
puas dalam bekerja. Ketika seorang karyawan merasa puas atas pekerjaan yang iya
kerjakan, disitu akan timbul rasa dihargai pada dirinya. Ada beberapa hal yang
berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan, yaitu pengembangan karir, stress
kerja karyawan dan keadilan organisasi. Ketiga hal tersebut harus sangat
diperhatikan oleh perusahaan, karena jika tidak diperhatikan akan menjadi
bumerang bagi perusahaan. Salah satu contoh ketikan pengembangan karir tidak
dihadirkan pada perusahaan, seorang karyawan akan kesulitan untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul dan dihadapi olehnya dikemudian
hari. Karena manfaat pengembangan karir adalah salah satunya untuk
mengembangkan karyawan dalam kemampuan, keterampilan dan skill yang ada
pada dirinya. Sama halnya stress kerja dan keadilan organisasi kedua hal ini juga
harus diperhatikan betul-betul oleh perusahaan.

Hubungan Keadilan Organisasi terhadap Kepuasan Karyawan


Selain hal dari dua faktor sebelumnya yang harus diperhatikan oleh
perusahaan adalah keadilan organisasi, yang mana keadilan ini akan sangat
berpengaruh terhadap perilaku seorang karyawan terhadap perusahaannya. Jika
keadilan organisasi ini tidak diberikan perusahaan terhadap karyawan makan
bisanya karyawan akan bertindak melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh
perusahaan atau bertindak negatif. Salah satu contoh ketika seorang karyawan tidak
diberikan keadilan maka karyawan itu akan bertindak korupsi, mengambil barang
milik perusahaan seperti property atau inventaris perusahaan. Maka dari itu
keadilan organisasi sangat berkaitan dengan kepuasan kerja karyawan, karena
keadilan adalah hal yang mutlak dimiliki oleh setiap individu.

Hubungan Stress Kerja Terhadap Kepuasan Kerja


Stress kerja merupakan faktor yang menghambat seorang karyawan dalam
memberikan atau mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk perusahaan, dan
stress kerja menjadi pemicu utama pada karyawan dalam hal psikis dirinya sehingga
perusahaan harus memperhatikan kondisi setiap karyawannya. Stress kerja selalu
di picu oleh lingkungan internal maupun eksterna dalam diri setiap karyawan.
Sebagai contoh faktor internal pada diri karyawan seperti keluarga, finansial, dan
lain-lain. Sedangkan faktor eksternal dari diri karyawan adalah lingkungan
pekerjaan, dan lain-lain. Lingkungan lingkungan eksternal inilah yang harus
diperhatikan oleh sebuah perusahaan, yang dimana akan imbas pada kinerja dan
kepuasan seorang karyawan

Hubungan Pengembangan Karir Terhadap Kepuasan Kerja


Dalam suatu organisasi pengembangan karir adalah hal yang paling penting
dan hal yang paling dibutuhkan dikarenakan pengembangan karir berorientasi pada
tantangan dimasa yang akan datang dalam menghadapi masalah-masalah yang
semakin kompleks. Pengembangan karir memiliki eksistensi di masa depan
tergantung dari sumber daya manusianya karena sumber daya manusia harus
dilakukan pembinaan karir pada karyawan yang dilaksanakan secara berencana dan
berkelanjutan di setiap tahunnya. Jika pengembangan karir dilakukan setiap
tahunnya maka sumber daya manusia akan terus berkembang dan siap menghadapi
tantangan yang dihadapi. Dalam suatu organisasi atau perusahaan pengembangan
karir juga berpengaruh terhadap terciptanya kepuasan kerja yang dirasakan
karyawan, biasanya karyawan akan merasa dihargai jika ada promosi jabatan,
pengembangan terhadap diri karyawan tersebut. Maka dari itu pengembangan karir
sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
Menurut penelitian Bahri & Nisa (2017) menyatakan bahwa variabel
pengembangan karir berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hal serupa juga
dikemukakan oleh penelitian yang dilakukan Paramita et al., (2017) dan Waspodo
et al., (2017) bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pengembangan
karir terhadap kepuasan kerja.

Indikator-indikator Kepuasana Kerja


Kepuasan kerja yaitu sikap emosional yang menyenangkan dan sangat
mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan
prestasi kerja. Menurut Rivai (2009: 860) dalam Bahri & Chairatun Nisa, (2017)
indikator-indikator kepuasan kerja adalah:

  1. Isi pekerjaan
    Penampilan tugas pekerjaan yang actual dan sebagai control terhadap
    pekerjaan. Karywan akan merasa puas bila tugas kerja dianggap menarik dan
    memberikan kesempatan belajar dan menerima tanggung jawab.
  2. Supervisi
    Adanya perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan,
    sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting
    dari organisasi kerja akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Sebaliknya jika
    supervisi yang buruk dapat meningkatkan turn over dan absensi karyawan.
  3. Organisasi dan manajemen
    Mampu memberikan situasi kerja yang stabil, untuk memberikan kepuasan
    kerja kepada karyawan.
  4. Kesempatan untuk maju
    Adanya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan
    kemampuan selama bekerja akan memberikan kepuasan pada karyawan terhadap
    pekerjaannya.
  5. Gaji dan insentif
    Jumlah bayaran yang diterima oleh seorang karyawansebagai akibat dari
    pelaksanaan kerja, apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil.
  6. Rekan kerja
    Relasi atau hubungan yang saling mendukung dan saling memperhatikan
    antara rekan kerja yang akan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan
    hangat sehingga menimbulkan kepuasan kerja karyawan yang baik.
  7. Kondisi pekerjaan
    Kondisi ketersedian sarana dan prasarana kerja yang memadai adalah hal
    yang sangat penting yang sesuai sifat yang seharusnya diselesaikan.

Ciri-ciri intrinsik pekerjaan


Menurut Locke dalam Munandar (2014: 357) ciri-ciri intrinsik dari
pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja ialah keragaman, kesulitan, jumlah
pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan,
dan kreativitas. Ada satu unsur yang dapat dijumpai pada ciri-ciri intrinsik menurut
Locke yaitu tingkat tantangan mental. Konsep dari tantangan yang sesuai
merupakan konsep yang penting. Pekerjaan yang menuntuk kecakapan yang lebih
tinggi dari pada yang dimiliki tenaga kerja, atau tuntutan pribadi yang tidak dapat
dipenuhi tenaga kerja akan menimbulkan frustasi dan akhirnya muncul
ketidakpuasan kerja. Berdasarkan survei diagnostik pekerjaan dapat diperoleh hasil
tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja
(Munandar, 2014: 357), ciri-ciri tersebut adalah satu, keragaman keterampilan.
Dalam pekerjaan keragaman keterampilan sangatlah diperlukan, makin banyak
keterampilan yang dimiliki akan makin kurang membosankan pekerjaan. Kedua,
jati diri tugas (task identity). Dimana tugas menjadi sebuah pekerjaan yang lebih
besar dan berarti. Ketiga, tugas yang penting (task signifikan). Rasa pentingnya
suatu tugas yang diemban bagi seseorang atau karyawan maka akan cenderung
mempunyai kepuasan kerja. keempat, otonomi. Pekerjaan yang memberikan
kebebasan, ketidakgantungan dan peluang mengambil kepuasan akan cepat
menimbulkan kepuasan kerja. Kelima, pemberian balikpada pekerjaan membantu
meningkatkan tingkat kepuasan kerja

Pengertian Kepuasan Kerja


Keith Davis dalam Mangkunegara (2017: 117) mengemukakan bahwa “Job
satisfication is the favorableness or unfavorableness with employees view their
work”. Kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang
dialami pegawai dalam bekerja. Wexley dan Yuki dalam Mangkunegara (2017:
117) mendefinisikan kepuasan kerja “Is the way an employee feels about his or her
job”. Adalah cara pegawai merasakan didirnya atau pekerjaannya. Berdasarkan
pendapat tersebut diatas, kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang mendorong
atau tidaknya diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya atau pun
dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan
aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir,
penempatan kerja, jenis pekerjaan, mutu pengawasan, dan lain-lain. Sedangkan
perasaan yang berhubungan dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan,
kemampuan, pendidikan.
Menurut Howell dan Dipboye dalam Munandar, (2014: 350) memandang
kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya
tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Sebuah perasaan positif
terhadap pekerjaan yang dihasilkan dari evaluasi atas karakteristik-karakteristiknya
(Robbins & Judge, 2015: 49). Jadi dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan
sikap tenaga kerja terhadap pekerjaan yang dikerjakannya.
Ada beberapa variable yang berhubungan dengan kepuasan kerja seperti
umur, tingkat absensi, tingkat pekerjaan, ukuran organisasi perusahaan, dan
turnover. Hal ini juga sependapat dengan yang dikemukakan oleh Keith Davis
dalam Mangkunegara (2017: 117) bahwa “job satisfaction is related to a number
of major employee variables, such as turnover, absences, age, occupation, and size
of the organization in which an employee works”.
a. Turnover
Kepuasan kerja sering dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah.
Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya lebih tinggi turnover-nya.
b. Tingkat ketidak hadiran kerja (absen)
Pegawai-pegawai yang tingkat kepuasannya kurang, cenderung tingkat
absen atau ketidak hadirannya tinggi. Terkadang pegawai kurang puas sering absen
atau tidak hadirnya dengan alasan yang tidak logis dan subjektif.
c. Umur
Terkadang ada kecendrungan pegawai yang tua merasa lebih puas dari pada
pegawai berumur relatif muda, hal ini diasumsikan bahwa pegawai tua lebih
berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan. Sedangkan
pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia
kerjanya, sehingga apabila antara harapanya dengan realita kerja terdapat
kesenjangan yang dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
d. Tingkat pekerjaan
Dalam tingkat pekerjaan biasanya pegawai yang menduduki posisi yang
lebih tinggi cenderung lebih puas dari pada pegawai yang memiliki tingkatan posisi
pekerjaan lebih rendah. Pegawai yang tingkat posisi pekerjaan lebih tinggi
menunjukan kemampuan kerja lebih baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide
serta kreatif dalam bekerja.
e. Ukuran organisasi perusahaan
Ukuran perusahaan dapat mengurangi kepuasan kerja pegawai, hal ini
dikarenakan oleh besar kecilnya suatu perusahaan berhubungan dengan koordinasi,
komunikasi, dan partisipasi pegawai.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu faktor yang ada
pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya (Mangkunegara, 2017: 120).
a. Faktor pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,
kondisi fisik, pendidikan, penhgalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi,
cara berpikir, persepsi dan sikap kerja.
b. Faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan),
kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan,
interaksi sosial, dan hubungan kerja

Indikator-indikator Keadilan Organisasi


Robbins & Judge, (2015: 144) keadilan organisasi adalah presepsi
keseluruhan mengenai apa itu keadilan ditempat kerja, terdiri atas keadilan
distributif, prosedural, informasional dan interpersonal. Menurut Dyna dan Graham
dalam Kristanto (2015) keadilan organisasi dapat diketahui dengan mengukur tiga
hal yaitu:

  1. Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya.
    Organisasi dapat dikatakan adil oleh karyawan jika memberi gaji sesuai
    dengan hasil kerja yang dilakukan oleh karyawan. Apabila perbandinganhasil kerja
    yang diterima dengan hasil kerja yang dilakukan oleh karyawan tidak sebanding,
    maka karyawan akan merasa bahwa tidak terjadi keadilan.
  2. Keadilan dalam proses pengambilan keputusan.
    Organisasi dapat dikatakan adil oleh karyawan apabila ketika pengambilan
    keputusan, karyawan diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan
    pandangannya. Selain itu setelah pengambilan keputusan tersebut dinilai sama pada
    tiap karyawan, maka karyawan akan merasakan adil pada proses pengambilan
    keputusan.
  3. Keadilan dalam presepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.
    Organisasi akan dikatakan adil oleh karyawan apabila hubungan antar
    personal yaitu atasan dengan bawahan baik, seperti mendapatkan perlakuan yang
    baik dan sewajarnya. Selain itu, kejujuran dan kebenaran informasi yang didapat
    dari atasan juga mempengaruhi presepsi keadilan organisasi pada karyawan.

Pengertian Keadalian Organisasi


Pada masa sekarang keadilan adalah hal yang mutlak dimiliki,
permasalahan ketidakadilan mengakibatkan hal yang sangat berpengaruh pada diri
seorang karyawan yang akan menimbulkan perilaku yang menyimpang ditempat
kerja. Tidak jarang karyawan melakukan tindakan menyimpang terhadap kebijakan
perusahaan. Salah satu penyebabnya adalah karyawan diperlakukan tidak adil oleh
perusahaan (Sjafri dalam Maspaitella et al., 2018). Keadilan hanya tercipta ketika
apa yang dikerjakan telah selesai dengan perjanjian yang telah dibuat atau
disepakati sebelumnya ( Thomas Huddes dalam Maspaitella et al., 2018). Menurut
Sjafri dalam Maspaitella et al., (2018) akibat selanjutnya yang terjadi, motivasi
kerja karyawan semakin menurun dan dapat mengakibatkan kinerja karyawan juga
menurun. Tentu saja akan mengganggu aktifitas bisnis dan kinerja perusahaan.
Robbins & Judge, (2015: 144) keadilan organisasi (organizational justice)
adalah presepsi keseluruhan mengenai apa itu keadilan ditempat kerja, terdiri atas
keadilan distributif, prosedural, informasional dan interpersonal. Keadilan
distributif (distributive justice) adalah keadilan yang dirasakan, baik jumlah
maupun alokasi penghargaan diantara para individu. Keadilan prosedural
(procedural justice) adalah keadilan yang dirasakan pada proses yang digunakan
untuk menentukan distribusi penghargaan. Keadilan informasional (informational
justice) adalah keadaan dimana pekerja diberikan penjelasan yang jujur dari setiap
keputusan. Keadilan interpersonal (interpersonal justice) adalah keadaan dimana
pekerja diperlakukan dengan rasa hormat dan bermartabat. Hasil penelitian
dibidang organizational justice menunjukan bahwa ketika para karyawan
diperlukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk
keberhasilan perubahan organisasi bahkan dalam kondisi sulit sekalipun (Sugiarti,
2005). Sebaliknya ketika keputusan organisasi atau manajerial dianggap tidak adil
maka karyawan akan merasa tidak puas dan menolak upaya-upaya perubahan untuk
perbaikan organisasi. Menurut Thibaut dan Walker (1975) penilaian seseorang
mengenai keadilan tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang mereka terima sebagai
akibat keputusan tertentu, tetapi juga pada proses bagaimana keputusan tersebut
dibuat.

Indikator-indikator stress kerja


Menurut Robbins & Judge (2015: 429) stress adalah suatu proses psikologi
yang tidak menyenangkan yang terjadi sebagai tanggapan terhadap tekanan
lingkungan. Menurut Robbins & Judge (2015: 432) ada tiga indikator untuk
mengukur stress kerja yaitu:

  1. Gejala fisiologis
    Gejala fisiologikal yaitu gejala stress yang berkaitan dengan masalah fisik
    individu yang biasanya terjadi seperti sakit perut, sakit kepala, tekanan darah
    meningkat, detak jantung, dan lain-lain.
  2. Gejala psikologis
    Gejala psikologis yaitu gejala yang terjadi kepada seorang individu terhadap
    psikisnya. Gejala ini sering terjadi dan sering dijumpai pada seorang karyawan,
    terjadi karena ketidakpuasan kerja seperti kecemasan, ketegangan, ketidakpuasan
    dalam bekerja, rasa percaya diri menurun, komunikasi yang tidak efektif, dan lainlain.
  3. Gejala perilaku
    Gejala prilaku adalah sikap atau tindakan seseorang yang terjadi dari sebab
    gejala psikologi yang mana menimpa psikisnya, gejala ini seperti gelisah dan
    mengalami gangguan tidur, tingkat absensi meningkat, performansi kerja menurun
    dan lain-lain.

Pengertian Stress Kerja


Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berpikir dan kondisi seseorang (Handoko, 2014: 200). Jadi stress merupakan suatu
kondisi psikologis yang tidak menyenangkan, terjadi sebagai tanggapan terhadap
tekanan lingkungan. Jika stress terlalu besar dapat mengancam kemampuan
seseorang untuk menghadapi lingkungan, dimana akan berkembang berbagai
macam gejala stress pada diri para karyawan yang dapat mengganggu pelaksanaan
kerja mereka. Gejala-gejala ini menyangkut baik kesehatan fisik maupun non fisik
(mental). Hasilnya seorang karyawan akan mudah marah dan agresif, tidak dapat
relaks atau menunjukan sikap tidak kooperaktif. Disamping itu juga bahkan mereka
bisa terkena penyakit fisik seperti tekanan darah tinggi, masalah pencernaan, dan
lain-lain. Meskipun kondisi-kondisi tersebut dapat terjadi disebabkan oleh masalah
lain, namun pada umumnya hal itu terjadi merupakan gejala-gejala stress kerja.
Menurut Mangkunegara (2017: 157) Stress kerja adalah perasaan tertekan
yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja adalah suatu
emosi kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan
psikis yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan
(Rivai dan Sagala, 2013). Menurut Hasibuan (2012) stress kerja adalah suatu
kondisi yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang, orang
yang stress menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis.
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress terjadi disebut
stressors. Meskipun stress bisa diakibatkan oleh satu stressors, biasanya karyawan
mengalami stress karena kombinasi stressors. Contoh penyebab stress kerja antara
lain menurut Mangkunegara (2017: 157) beban kerja yang dirasakan terlalu berat,
kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, konflik kerja,
otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab,
waktu kerja yang mendesak, perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin
yang frustasi dalam kerja. Hampir dalam setiap kondisi biasanya, bisa
menyebabkan stres kerja tergantung pada reaksi dan tanggapan karyawan tersebut.
Menurut Mangkunegara (2017: 158) ada tiga pola mengatasi stress yaitu
pola sehat adalah pola menghadapi stress dengan kemampuan mengelola perilaku
dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi
menjadi lebih sehat dan berkembang. Pola harmonis adalah pola menghadapi stress
dengan kemampuan mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak
menimbulkan berbagai habatan. Dengan pola ini individu atau setiap karyawan
mengendalikan kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara
teratur. Pola patologis adalah pola menghadapi stress dengan berdampak berbagai
ganggauan fisik maupun social-psikologis. Dalam pola ini individu atau karyawan
akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara tidak memiliki kemampuan
dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara atau pola ini dapat menimbulkan
reaksi-reaksi yang berbahaya karena akan menimbulkan reaksi yang berbahaya.
Untuk menghadapi stress dengan cara sehat tentunya banyak hal yang harus dikaji,
dalam menghadapi stress dapat dilakukan dengan tiga strategi. Strategi yang
pertama, memperkecil dan mengendalikan sunber-sumber stress. Kedua,
menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh stress. Ketiga, meningkatkan daya
tahan pribadi.

Indikator-indikator Pengembangan Karir


Menurut Handoko (2014: 123) pengembangan karir (Career Development)
adalah peningkatan-peningkatan pribadi yang dilakukan seseorang untuk mencapai
suatu rencana karir. Indikator-indikator pengembangan karir menurut Handoko
(2014: 131) yaitu

  1. Prestasi kerja
    Kegiatan paling penting untuk memajukan karir adalah prestasi kerja yang
    baik, karena hal ini mendasari semua kegiatan pengembangan karir lainnya.
    Kemajuan karir sangat tergantung pada prestasi kerja setiap individu.
  2. Exposur
    Exposur menentukan kemajuan karir. Exposur berarti menjadi dikenal oleh
    orang-orang yang memutuskan promosi, transfer dan kesempatan-kesempatan
    lainnya. Tanpa exposur karyawan berprestasi baik mungkin tidak memperoleh
    kesempatan untuk mencapai sasaran-sasaran karir.
  3. Permintaan berhenti atau resign
    Bila seorang karyawan melihat kesempatan karir ditempat lain lebih baik,
    permintaan resign mungkin merupakan suatu cara untuk mencapai sasaran-sasaran
    karir. Banyak karyawan maupun manajer berpindah-pindah perusahaan sebagai
    strategi karir mereka.
  4. Kesetian organisasi
    Dalam banyak organisasi orang-orang meletakan kemajuan karir tergantung
    pada kesetiaan kepada organisasi. Kesetiaan organisasi rendah pada umumnya
    ditemui pada diri para sarjana muda atau baru dan para professional. Dedikasi
    jangka panjang terhadap perusahaan yang sama akan menurunkan tingkat
    perputaran tenaga kerja.
  5. Mentor dan sponsor
    Seorang mentor adalah orang atau individu yang menawarkan bimbingan
    karir informal. Karyawan taua mentor dalam banyak perusahaan menyadari bahwa
    hubungan diantara mereka ada dan berguna bagi pengembangan karir. Bila seorang
    mentor dapat menominasi karyawan untuk kegiatan-kegiatan pengembangan karir
    seperti latihan, promosi, maka dia menjadi sponsor. Sponsor adalah orang dalam
    organisasi yang dapat menciptakan kesempatan-kesempatan pengembanga karir
    bagi orang-orang lain. Sponsor karyawan adalah atasannya langsung.
  6. Kesempatan-kesempatan untuk tumbuh
    Bila karyawan meningkatkan kemampuan seperti program latihan, kursus
    atau penambahan gelar maka berarti mereka memanfaatkan kesempatan untuk
    tumbuh.

Pengertian Pengembangan Karir


Pengembangan sebagai fungsi dari batasan sistem atau subsistem yang
dimana bertujuan untuk memberikan sebuah prestasi (memperlihatkan perilaku)
sesuai dengan ketentuan atau yang ditetapkan oleh sebuah organisasi. Ada dua
tujuan diadakannya program pengembangan, yang pertama untuk menutupi gap
antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan. Kedua,
program pengembangan tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan
(Handoko, 2014: 103). Meskipun program pengembangan ini memakan waktu dan
mahal, tetapi akan mengurangi perputaran tenaga kerja dan membuat karyawan
menjadi lebih produktif. Lebih lanjut lagi pengembangan membantu menghindari
diri dari keusangan dan bisa melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik.
Pengembangan (development) yaitu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan
pengetahuan, kemampuan, sikap dan sifat-sifat kepribadian (Handoko, 2014: 104).
Pengembangan menurut Sikula (1976) adalah proses pendidikan jangka
panjang yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga
tenaga kerja manajerial mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk
tujuan umum.Pengembangan mempunyai berbagai manfaat karir jangka panjang
bagi karyawan yang membantu karyawan untuk bertanggung jawab lebih besar di
waktu yang akan datang, pengembangan juga tidak hanya penting bagi individu
(karyawan) namun pengembangan juga penting bagi organisasi dan hubungan
manusiawi dalam kelpompok kerja, dan bahkan bagi suatu negara.
Hasibuan dalam Paramita et al., (2017) mendefinisikan bahwa
pengembangan karir sebagai “suatu usaha yang dibentuk untuk meningkatkan
kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan sesuai dengan
kebutuhan pekerjaan atau jabatannya melalui pendidikan dan pelatihan”.
Pendidikan meningkatkan kemampuan cara berpikir karaywan atau teoritis,
konseptual seorang karyawan, dan moral karyawan, sedangkan pelatihannya
bertujuan untuk mengembangkan keterampilan teknis yang dimiliki karyawan
tentang pekerjaannya.
Menurut Sunyoto dalam Sompie et al., (2019) menyatakan bahwa
pengembangan karir adalah peningkatan-peningkatan pribadi yang dilakukan
seseorang untuk mencapai suatu rencana karir. Pengembangan karir fokus pada
peningkatan kemampuan mental individu yang terjadi seiring penambahan usia
pegawai dan kemampuan mental seorang karyawan atau pegawai telah berlangsung
selama individu itu menjadi pekerja pada sebuah organisasi yang terwujud melalui
pelaksanaan pekerjaan yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Andrew J. Fubrin
dalam Mangkunegara (2017: 77) mengemukakan bahwa “career development,
from the standpoint of the organization, is the personnel activity which helps
individuals plan their future career within the enterprise, in order to help the
enterprise, achieve and the employee achieve maximum self-development”.
Berdasarkan Andrew J. Fubrin diatas bahwa pengembangan karir adalah aktivitas
kepegawaian yang membantu pegawai-pegawai merencanakan karir masa depan
mereka diperusahaan agar perusahaan dan pegawai yang bersangkutan dapat
mengembangkan diri secara maksimum. Marwansyah (2012: 224) mengemukakan
bahwa sarana pengembangan karir meliputi keterampilan, pendidikan, dan
pengalaman serta teknik-teknik modifikasi dan perbaikan perilaku, yang
memberikan nilai tambah sehingga memungkinkan seseorang untuk bekerja lebih
baik.

Pengaruh tidak langsung antara keadilan prosedural terhadap kinerjakaryawan melalui kepuasan karyawan


Keadilan prosedural yang dilakukan perusahaan ataupun instansi
terhadap karyawan menimbulkan persepsi dari masing-masing
karyawan yang membuat karyawan semangat dan termotivasi dalam
bekerja di perusahaan dan akan berpengaruh dengan meningkatnya
kinerja karyawan di perusahaan atau instansi tempat mereka bekerja.
Namun peningkatan kinerja tersebut timbul tidak secara langsung
karena adanya keadilan yang diberikan perusahaan atau instansi.
Meningkatnya kinerja karyawan tersebut disebabkan adanya kepuasan
karyawan yang diperolehnya melalui adanya keadilan prosedural yang
diterapkan di organisasi tersebut. Kepuasan karena keadilan dari
perusahaan misalnya berupa reward, gaji, dan penghargaan lain,
sehingga menimbulkan persepsi baik dari karyawan dan mereka akan
termotivasi sehingga timbul rasa kepuasan dalam diri masing-masing
karyawan. Dengan adanya kepuasan kerja yang tinggi, karyawan akan
terus berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi organisasinya
sehingga karyawan termotivasi untuk bekerja dengan lebih baik lagi
guna mencapai tujuan perusahaan atau instansi.

Pengaruh keadilan prosedural terhadap kepuasan karyawan


Kepuasan karyawan dapat didefinisikan sebagai perasaan senang
maupun tidak senang yang dirasakan oleh karyawan. Perasaan tersebut
muncul berawal dari perlakuan perusahaan terhadap karyawan.
Perasaan tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap keadilan yang
diberikan oleh perusahaan. Salah satunya adalah keadilan prosedural.
Keadilan prosedural didapatkan karyawan dari persepsi mereka atas
proses yang diterapkan oleh atasan untuk mengevaluasi kinerja
karyawan. Kemudian karyawan memperoleh anggapan atas adil
maupun tidak adil melalui persepsi mereka masing-masing. Antar satu
karyawan dengan karyawan lain berbeda dalam mempersepsikan
keadilan yang diperoleh dari atasan pada perusahaan atau instansi
tempat mereka bekerja

Pengaruh keadilan prosedural terhadap kinerja karyawan


Kinerja adalah prestasi kerja yang dicapai oleh seseorang. Prestasi
tersebut merupakan hasil dari kualitas dan kuantitas yang telah dicapai
oleh karyawan dalam melaksanakan tugas yang sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepada karyawan tersebut. Salah satu
faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan dalam sebuah perusahaan
atau instansi adalah persepsi dari karyawan itu sendiri. Kinerja
karyawan terbentuk berdasarkan persepsi yang dimiliki masing-masing
karyawan. Persepsi yang dimiliki karyawan salah satunya adalah
adanya persepsi atas keadilan prosedural yang diperoleh karyawan atas
prosedur yang dilakukan oleh perusahaan. Atasan dianggap sebagai
pimpinan yang mereka percaya dan sebagai panutan dalam pekerjaan
mereka. Oleh karena itu, prosedur yang diterapkan oleh atasan menjadi
persepsi adil ataupun tidak adilnya bawahan.
Siti Hidayah dan Haryani (2013) menyatakan bahwa keadilan
prosedural berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan.
Hasil tersebut mendukung pendapat dari Cropanzano et al. (dalam
Beugre: 1998) bahwa sebuah organisasi yang adil salah satunya
dicirikan dengan prosedur yang menjamin hal itu sebagai pernyataan,
proses, peringatan, dan sebagainya. Keadilan prosedural melibatkan
karakteristik formal sebuah sistem. Apabila pekerjaan karyawan diatur
dengan mekanisme yang jelas maka kemungkinan besar hal ini akan
berdampak pada hasil kerja yang telah dilakukan.

Konsekuensi Kepuasan Kerja


Kreitner dan Kinichi (2005: 272) menyatakan adanya
konsekuensi atas ketidakpuasan karyawan dalm suatu organisasi
perusahaan:
1) Motivasi
Motivasi dan kepuasan kerja memiliki hubungan positif dan
signifikan. Oleh sebab itu, manajer dapat meningkatkan
motivasi para karyawannya melalui berbagai usaha untuk
meningkatkan kepuasan kerja.
2) Keterlibatan Kerja
Keterlibatan kerja adalah keterlibatan individu dalam
pekerjaannya. Hubungan antara Keterlibatan kerja dan
kepuasan kerja adalah moderat. Oleh karena itu, manajer
terdorong untuk memperkuat lingkungan kerja yang
memuaskan dengan tujuan untuk mendorong keterlibatan para
karyawan dalam pekerjaannya.
3) Komitmen Organisasional
Penelitian menunjukkan bahwa komitmen organisasi dan
kepuasan memiliki hubungan kuat dan signifikan. Apabila
kepuasan kerja tinggi, maka komitmen organisasional juga
tinggi. Manajer disarankan untuk dapat meningkatkan
kepuasan kerja sehingga komitmen meningkat dan
mengakibatkan kinerja semakin meningkat.
4) Absenteeism (kemangkiran)
Berdasarkan penelitian sebelumnya, kepuasan kerja dengan
kemangkiran memiliki hubungan negatif yang lemah. Salah
satu cara untuk menurunkan tingkat kemangkiran adalah
dengan meningkatkan kepuasan kerja. Semakin tinggi tingkat
kepuasan, maka semakin rendah tingkat kemangkirannya.
5) Perputaran Karyawan
Tingkat perputaran karyawan memiliki hubungan negatif
dengan kepuasan kerja. Jika kepuasan kerja meningkat, maka
tingkat perputaran karyawan akan menurun. Oleh karena itu,
disarankan perusahaan selalu memperhatikan kepuasan kerja
karyawan.
6) Perasaan Stress
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
negatif antara stress dengan kepuasan kerja. Oleh karena itu,
perusahaan diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja
dengan mengurangi tingkat stress karyawan.
7) Prestasi Kerja
Manajer dapat mempengaruhi prestasi secara positif dengan
meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Prestasi kerja dapat
mempengaruhi tingkat gaji karyawan sehingga karyawan ingin
terus meningkatkan prestasi kerja mereka.
8) Kinerja Karyawan
Apabila kinerja karyawan tinggi, maka karyawan akan bekerja
sebaik yang mereka bisa sehingga menghasilkan kinerja secara
optimal.
9) Organizational Citizenship Behaviour
Model ini dimaksudkan dengan sikap atau perilaku karyawan
terhadap pekerjaan yang bukan menjadi tugasnya. Sebagai
contohnya adalah menghargai semangat, saran perbaikan,
perhatian terhadap kekayaan organisasi dan lain-lain.

Penyebab Kepuasan Kerja


Kreitner dan Kinicki (2005: 271) menjelaskan terdapat 5
(lima) faktor yang menyebabkan timbulnya kepuasan kerja pada
karyawan, yaitu:
1) Pemenuhan Kebutuhan
Kepuasan karyawan ditentukan oleh tingkat karakteristik
pekerjaan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2) Perbedaan
Kepuasan merupakan suatu hasil dalam memenuhi harapan.
Pemenuhan harapan tersebut mencerminkan adanya perbedaan
antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dalam
pekerjaannya.
3) Pencapaian Nilai
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan yang
memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4) Keadilan
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu
diperlakukan di tempat mereka bekerja. Kepuasan merupakan
hasil persepsi dari setiap individu mengenai perbandingan
antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan
dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan
masukan pekerjaan lainnya.
5) Komponen genetik
Model ini dimaksudkan dalam kepuasan individu terhadap
variasi lingkungan kerja. Model ini didasarkan pada keyakinan
bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi
dan faktor genetik dari masing-masing individu.

Dimensi Kepuasan Kerja


Luthans (2005: 212) menjelaskan kepuasan kerja memiliki
3 (tiga) dimensi, antara lain:
1) Kepuasan kerja merupakan jawaban emosional terhadap suatu
situasi pekerjaan.
2) Kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai
sikap lainnya dari para individual.
3) Kepuasan kerja sering ditentukan oleh sebagaimana hasil kerja
memenuhi atau melebihi harapan seseorang.
Smith, et. al. (dalam Luthans, 2005) menunjukkan ada 6
(enam) dimensi kepuasan kerja karyawan, yaitu:
1) Pekerjaan Itu Sendiri
Aspek ini menjelaskan mengenai sejauh mana karyawan
memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik,
memberikan kesempatan untuk belajar, dan peluang untuk
menerima tanggung jawab.
2) Upah atau Gaji
Upah atau gaji merupakan jumlah balas jasa secara finansial
yang diterima karyawan dan tingkat dimana hal ini dipandang
sebagai sesuatu hal yang adil dalam organisasi.
3) Kesempatan karyawan untuk dapat naik jabatan dalam jenjang
karir.
Semua karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk dapat
naik jabatan. Kesempatan yang diberikan perusahaan akan
membuat mereka termotivasi dalam pekerjaannya.
4) Pengawasan (supervisi)
Pengawasan (supervisi) merupakan kemampuan penyelia untuk
memberikan bantuan secara teknis maupun memberikan
dukungan. Pengawasan yang buruk dapat berakibat pada
absensi dan turnover.
5) Rekan Kerja
Aspek rekan kerja meliputi dukungan teman dan sikap
solidaritas untuk hal-hal positif terutama dalam hal
menegakkan disiplin dan meningkatkan produktivitas kerja.
6) Kondisi Kerja
Kondisi kerja meliputi kondisi peralatan kerja yang memenuhi
standar keamanan dan lingkungan kerja yang sehat. Apabila
kondisi kerja karyawan baik (bersih, menarik, dan lingkungan
kerja yang menyenangkan) akan membuat mereka mudah
menyelesaikan pekerjaannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja


As’ad (dalam Rakhmawati Hajiyanti: 2013) menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, antara
lain:
1) Faktor psikologis, faktor ini berhubungan dengan kejiwaan
karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap
terhadap kerja, bakat, dan ketrampilan.
2) Faktor sosial, faktor ini berhubungan dengan interaksi sosial
antar karyawan, karyawan dengan atasan, maupun antar
karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
3) Faktor fisik, faktor ini berhubungan dengan kondisi fisik dari
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis
pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat,
perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan,
pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan
sebagainya.
4) Faktor finansial, faktor ini berhubungan dengan jaminan dan
kesejahteraan karyawan yang meliputi gaji, jaminan sosial,
macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi,
dan sebagainya

Pengertian Kepuasan Karyawan


Robbins (dalam Wibowo: 2011) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap
pekerjaannya, selisih antara banyaknya imbalan yang diterima
seorang pekerja dan mereka yakini yang seharusnya mereka
terima. Kepuasan kerja ditentukan oleh beberapa faktor yakni kerja
yang secara mental menantang, kondisi kerja yang mendukung,
rekan kerja yang mendukung, keadilan yang diterapkan, serta
kepribadian dengan pekerjaan. Sementara itu Hani Handoko (2000:
193) menyatakan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
mengenai bagaimana para karyawan memandang pekerjaan
mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaannya.
Mangkunegara (2005: 117) mengemukakan bahwa
kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti
keadilan prosedural, turnover, tingkat absensi, umur, tingkat
pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan. Kepuasan kerja
berhubungan dengan keadilan prosedural mengandung arti bahwa
keadilan prosedural yang baik yang diterapkan oleh perusahaan
dihubungkan dengan kepuasan kerja yang tinggi pada karyawan
dan dibuktikan dengan kinerja karyawan yang baik.

Aturan dalam keadilan prosedural


Masterson, dkk (2000) mengemukakan dalam setiap
perusahaan memiliki prosedur yang sudah ditetapkan. Prosedur-
prosedur tersebut memiliki aturan agar dapat dianggap adil oleh
karyawan. Aturan-aturan pokok tersebut antara lain:
1) Konsistensi
Perusahaan harus memiliki prosedur yang adil dan prosedur
tersebut harus konsisten. Konsisten dalam artian tidak
membedakan antara orang satu dengan yang lainnya dari waktu
ke waktu. Setiap karyawan memiliki hak dan diperlakukan
sama dalam satu prosedur yang sama.
2) Meminimalisasi Bias
Terdapat dua sumber bias yang sering muncul, yaitu
kepentingan individu dan doktrin yang memihak. Dalam upaya
meminimalisasi bias, perusahaan harus dapat menghindarkan
kepentingan individu maupun pemihakan. Pengambilan
keputusan yang dibuat harus bersifat netral, dan tidak ada unsur
kepentingan pribadi.
3) Informasi yang Akurat
Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian
keadilan akurat adalah dengan mendasarkan pada fakta.
Apabila opini sebagai dasar, maka hal itu harus disampaikan
oleh orang yang benar-benar mengetahui permasalahan, dan
informasi yang disampaikan harus lengkap. Informasi dan
pendapat harus dikumpulkan dan diproses dengan kesalahan
seminim mungkin.
4) Dapat Diperbaiki
Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu
tujuan penting perlu ditegakkannya keadilan. Oleh karena itu,
prosedur yang adil harus mengandung aturan yang bertujuan
mempertimbangkan prosedur-prosedur yang ada untuk
memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang
mungkin muncul.
5) Etis
Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan
moral. Dengan demikian, meskipun berbagai hal lain dipenuhi,
apabila tidak memenuhi standar etika dan moral, maka tidak
bisa dikatakan adil.
6) Representatif/Keterwakilan
Prosedur dikatakan adil apabila sejak awal ada upaya untuk
melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun
keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan subsub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan
dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol
juga terbuka

Model Keadilan Prosedural


Persepsi mengenai model keadilan prosedural dijelaskan
oleh dua model, yaitu:
1) Model Kepentingan pribadi (selft interest) yang diajukan
Thibaut dan Walker (dalam Rakhmawati Hajiyanti: 2013),
menyatakan bahwa individu akan berupaya untuk
mengoptimalkan keuntungan pribadinya ketika berinteraksi
dengan individu lain dan mengevaluasi prosedur dengan
mempertimbangkan kemampuannya untuk menghasilkan
outcomes yang diinginkannya. Penilaian seseorang tidak hanya
dipengaruhi oleh keadilan distributif atau keputusan tertentu,
melainkan pada proses atau bagaimana sebuah keputusan itu
dibuat.
Prosedur akan dikatakan adil manakala pihak terkait dapat
mengakomodasikan kepentingan individu. Permasalahannya
adalah setiap individu memiliki kepentingan yang berbedabeda, dan sering bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Kondisi yang demikian dapat mengakibatkan konflik sehingga
salah satu cara yang paling tepat adalah menghadirkan pihak
ketiga apabila keduanya tidak dapat menyelesaikan masalah
tersebut.
2) Model nilai kelompok menganggap bahwa individu tidak dapat
lepas dari kelompoknya. Salah satu kritik penting yang
disampaikan Lind dan Tyler terhadap model keadilan
prosedural yang dikembangkan oleh Thibaut dan Walker
(dalam Rakhmawati Hajiyanti: 2013) menyatakan bahwa
pengembangan konsep keadilan prosedural tidak hanya
berbasis pada perselisihan antar individu sebagai titik tolak
pengembangan konsep. Model tersebut dikenal dengan asumsi
model nilai-nilai kelompok. Dalam hal ini mereka memandang
bahwa individu tidak bisa lepas dari kelompoknya. Individu
adalah mahkluk sosial yang perlu berinteraksi dengan individu
lain dan membentuk kelompok untuk bekerjasama dalam
mencapai kepentingannya. Konsekuensinya adalah mereka
lebih mengutamakan kepentingan kelompk dibandingkan
dengan kepentingan individu.
Model keadilan prosedural dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa keadilan prosedural memberikan persepsi
untuk kepentingan diri sendiri dan dengan kelompoknya. Pada
model ini kelompok memiliki arti bahwa keadilan yang
dirasakan karyawan adalah mereka saling membutuhkan dan
bekerjasama dalam menjalankan tugas-tugas mereka.

Pengertian Keadilan Prosedural


Rakmawati Hajiyanti (2013) menyatakan bahwa keadilan
prosedural adalah persepsi yang ditujukan oleh karyawan ketika
melihat perusahaan dalam menjalankan aturan-aturan yang ada.
Dengan demikian, apabila aturan dilaksanakan dengan baik oleh
perusahaan maka karyawan merasa diperlakukan secara adil dan
sebaliknya. Jadi individu dalam organisasi akan mempersepsikan
adanya keadilan prosedural pada saat aturan prosedur yang ada
dalam organisasi dapat dilaksanakan dengan baik oleh para
pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur tersebut
dilanggar maka individu dalam organisasi akan mempersepsikan
adanya ketidak-adilan. Oleh karena itu, keputusan dibuat secara
konsisten tanpa adanya pengaruh kepentingan pribadi di dalamnya.
Achmad Badarudin (2006) menyatakan bahwa keadilan
prosedural berhubungan dengan persepsi bawahan akan suatu
bentuk keadilan dari semua proses yang telah diterapkan oleh
pihak atasan dalam perusahaan tersebut dan digunakan untuk
mengevaluasi kinerja para karyawannya. Anggapan adil atau tidak
adil mengenai proses dan prosedur yang telah diterapkan
menunjukkan tingkat tinggi/rendahnya keadilan prosedural
menurut bawahan.

Faktor Pendukung untuk Mengukur Kinerja Karyawan


Suyadi Prawirosentono (1999: 27) menyatakan bahwa untuk
mengukur kinerja karyawan/pegawai dibagi menjadi empat bagian,
yaitu:
1) Efektivitas dan Efisiensi
Efektivitas dan efisiensi berasal dari kata efektif dan efisien
yang berarti tercapainya suatu tujuan yang dilakukan secra
tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan (Suyadi
Prawirosentono, 1999: 27).
2) Otoritas dan Tanggung Jawab
Otoritas adalah wewenang yang dimiliki seseorang untuk dapat
memberikan perintah kepada orang lain (bawahannya) untuk
melaksanakan suatu tugas yang dibebankan kepada masingmasing bawahan dalam suatu organisasi. Wewenang adalah
hak seseorang untuk memberikan perintah (kepada bawahan),
dan tanggung jawab adalah hal yang tidak terpisahkan atau
sebagai akibat dari kepemilikan wewenang tersebut (Suyadi
Prawirosentono, 1999: 29). Dalam organisasi yang baik,
wewenang, otoritas dan tangung jawab telah diberlakukan
secara baik dan adil tanpa adanya tumpang-tindih tugas.
3) Disiplin
Suyadi Prawirosentono (1999: 31) menjelaskan disiplin secara
umum adalah ketaatan kepada hukum dan peraturan yang
berlaku. Sedangkan disiplin pegawai adalah ketaatan pegawai
dalam menghormati perjanjian yang telah dibuat dengan
perusahaan tempat mereka bekerja. Disiplin juga berkaitan erat
dengan sanksi yang perlu dijatuhkan apabila pihak terkait
melanggar perjanjian yang telah disetujui.
4) Inisiatif
Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir dari seseorang
tersebut, kreativitas dalam bentuk ide atau gagasan yang
diberikan untuk merencanakan seseuatu guna tercapainya
tujuan organisasi (Suyadi Prawirosentono, 1999: 31). Dengan
kata lain inisiatif adalah daya dorong seseorang dalam sebuah
organisasi yang mencerminkan kemajuan dan akhirnya akan
mempengaruhi kinerja karyawan dalam organisasi yang
bersangkutan.

Faktor-faktor Penilaian Kinerja


Suyadi Prawirosentono (1999: 263) menyatakan bahwa faktorfaktor kinerja karyawan yang perlu dinilai antara lain:
1) Pengetahuan karyawan tentang pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab masing-masing karyawan. Hal tersebut perlu
dinilai karena mempengaruhi keefektifan dari pekerjaan
seorang manajer dan pekerja administartif.
2) Pengetahuan teknis atas pekerjaan yang menjadi tugas seorang
karyawan harus dinilai, hal tersebut berkaitan dengan kualitas
dan kuantitas dari pekerjaan seorang karyawan dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
masing-masing karyawan.
3) Ketergantungan kepada orang lain dari seorang karyawan perlu
diberikan penilaian, karena berkaitan dengan kemandirian
seseorang dalam melaksanakan pekerjaanya. Seorang karyawan
yang mandiri cenderung akan mempunyai inisiatif yang tinggi
dalam pekerjaannya, sehingga kinerja dari karyawan tersebut
secara tidak langsung akan mendekati standar yang ditetapkan
oleh perusahaan.
4) Kebijakan (judgment) yang dimiliki oleh karyawan. Adanya
kebijakan dalam diri karyawan sangat penting karena akan
terlihat apakah karyawan tersebut mempunyai kemampuan
menyesuaikan dan menilai tugas yang diberikan perusahaan
dalam menunjang tujuan organisasi.
5) Kehadiran dalam rapat disertai dengan kemampuan karyawan
dalam menyampaikan pendapatnya kepada orang lain
mempunyai nilai tersendiri dalam hal penilaian kinerja. Hal
tersebut dikarenakan tidak semua orang dapat berbicara dan
berani menyampaikan pendapatnya dalam sebuah forum
tertentu walaupun mungkin dalam kerja praktisnya sangat baik.
6) Kemampuan karyawan berkomunikasi dengan baik kepada
sesama karyawan. Komunikasi yang dimaksudkan adalah
kemampuan karyawan dalam menerima ataupun
menyampaikan informasi yang dapat mempengaruhi kinerjanya
khususnya dalam kerja tim.
7) Kemampuan mengatur pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
masing-masing karyawan seperti membuat jadwal kerja
termasuk dalam faktor yang memepengaruhi kinerja.
8) Kemampuan karyawan dapat bekerjasama dengan karyawan
lainnya adalah faktor yang mempengaruhi dalam penilaian
kinerja. Hal tersebut dikarenakan seorang karyawan yang tidak
dapat bekerjasama dengan karyawan lainnya akan cenderung
mencerminkan sikap individualis dan kurangnya kepercayaan
terhadap orang lain. Seorang karyawan yang tidak dapat
bekerja secara kolektif dengan koleganya umumnya berkinerja
tidak baik.
9) Kepemimpinan adalah salah satu faktor yang harus dinilai
dalam menilai kinerja terutama bagi karyawan yang berbakat
memimpin sekaligus memotivasi teman-temannya untuk dapat
bekerja lebih baik.
10) Minat untuk memeperbaiki kemampuan diri seorang karyawan
menjadi faktor lain untuk menilai kinerja seorang karyawan

Manfaat Penilaian Kinerja Karyawan


Suyadi Prawirosentono (1999: 221) menyatakan bahwa
manfaat penilaian kinerja karyawan yang dilakukan secara objektif,
tepat dan didokumentasikan secara baik cenderung akan
menurunkan potensi penyimpangan yang akan dilakukan oleh
karyawan, sehingga kinerja tersebut diharapkan dapat makin
bertambah baik sesuai dengan kinerja yang dibutuhkan oleh
perusahaan. Penilaian kinerja karyawan juga membut karyawan
mengetahui posisi dan peranannya dalam mencapai tujuan
perusahaan. Hal ini dapat menambah motivasi bagi karyawan
untuk dapat bekerja lebih baik lagi.
Wilson Bangun (2012: 232) menyatakan bahwa manfaat
penilaian kinerja adalah:
1) Evaluasi Antar Individu dalam Organisasi
Penilaian kinerja dapat bertujuan untuk menilai kinerja setiap
individu dalam organisasi. Tujuan ini memberikan manfaat
dalam menentukan jumlah dan jenis kompensasi yang
merupakan hak bagi setiap individu dalam organisasi.
2) Pengembangan Diri Setiap Individu dalam Organisasi
Setiap individu dalam organisasi dinilai kinerjanya, bagi
karyawan yang memiliki kinerja rendah perlu dilakukan
pengembangan baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
Karyawan yang berkinerja rendah disebabkan kurangnya
pengetahuan akan ditingkatkan pendidikannya, sedangkan bagi
karyawan yang kurang terampil dalam pekerjaannya akan
diberi pelatihan yang sesuai.
3) Pemeliharaan Sistem
Tujuan pemeliharaan sistem akan memberi beberapa manfaat
antara lain, pengembangan perusahaan dari individu, evaluasi
pencapaian tujuan oleh individu ataupun kelompok,
perencanaan sumber daya manusia, identifikasi kebutuhan
pengembangan organisasi, dan audit atas sistem sumber daya
manusia.
4) Dokumentasi
Manfaat penilaian kinerja disini berkaitan dengan keputusankeputusan manajemen sumber daya manusia, pemenuhan
secara legal manajemen sumber daya manusia, dan sebagai
kriteria untuk pengujian validitas.

Penilaian Kinerja Karyawan


Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga
berbagai kegiatan harus dapat dilakukan oleh organisasi untuk
dapat meningkatkan kinerja karyawannya salah satunya adalah
melalui penilaian kinerja. Penilaian kinerja (performance
appraisal) adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk
mengevaluasi pelaksanaan kinerja individu. Dalam penilaian
kinerja dinilai kontribusi karyawan kepada organisasi selama
periode waktu tertentu (Mangkunegara, 2005: 88).
Penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah proses
melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai
prestasi kerja karyawan (Hani Handoko, 1991: 135). Suyadi
Prawirosentono (1999: 224) menyatakan bahwa, penilaian kinerja
seseorang meliputi hal sebagai berikut:
1) Penilaian umum, meliputi berbagai hal mengenai penilaian atas
jumlah pekerjaan yang telah dilakukan, kuantitas pekerjaan,
kemampuan kerjasama dalam tim, kemampuan berkomunikasi
dengan rekan kerja atau atasannya, sikap atau perilaku dan
dorongan untuk melakukan pekerjaan yang telah diberikan.
2) Penilaian atau ketrampilan meliputi penilaian atas ketrampilan
teknis, kemampuan mengambil keputusan yang tepat,
kepemimpinan, kemampuan administrasi, dan kreativitas serta
inovasi agar hasil pekerjaan lebih baik.
3) Penilaian dalam kemampuan membuat rencana dan jadwal
kerja, khususnya bagi karyawan yang mempunyai tanggung
jawab, termasuk mengatur waktu dan upaya menekan biaya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, aspek
kinerja, motivasi kinerja, dan implementasi motivasi pada kinerja:
1) Faktor Individu
Faktor individual yang dapat mempengaruhi kinerja
karyawan adalah kemampuan dan keahlian, latar belakang,
serta demografi. Sedangkan faktor psikologis karyawan
meliputi persepsi, perilaku, personalitas, pembelajaran, dan
motivasi. Dalam hal ini fisik karyawan dan pikiran harus
digunakan secara optimal dan terintegrasi dengan baik
sehingga menghasilkan tingkat konsentrasi yang baik.
Konsentrasi tersebut yang dapat membuat karyawan mampu
melaksanakan pekerjaannya secara optimal.
Tingkat konsentrasi karyawan berbeda-beda sesuai dengan
kecerdasan pikiran dan kecerdasan emosional. Secara umum
karyawan yang dapat bekerja dengan konsentrasi penuh adalah
karyawan yang memiliki tingkat kecerdasan minimal normal
dan tingkat kecerdasan emosi yang baik.
2) Faktor Lingkungan Organisasi
Karyawan dapat mengoptimalkan kinerja dan berprestasi
dalam pekerjaannya apabila didukung dengan lingkungan
organisasi yang baik dan sesuai. Lingkungan organisasi yang
dimaksud adalah jabatan dan otoritas yang jelas, target kerja,
pola komunikasi kerja yang efektif, peluang karir, ketepatan
waktu dalam penyelesaian pekerjaan, serta fasilitas kerja yang
memadai.

Pengertian Kinerja Karyawan


Kinerja yang berasal dari istilah job performance atau
actual performance adalah prestasi kerja yang dicapai oleh
seseorang. Prestasi tersebut merupakan hasil dari kualitas dan
kuantitas yang telah dicapai oleh karyawan dalam melaksanakan
tugas yang sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepada
karyawan tersebut. Definisi karyawan juga berhubungan dengan
perbandingan hasil yang dicapai dari peran serta karyawan pada
persatuan waktu kerja. Dengan demikian, kinerja adalah hasil kerja
secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seorang
karyawan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab dalam suatu
periode kerjanya (Mangkunegara, 2004: 9). Menurut Suyadi
Prawirosentono (1999: 2), kinerja karyawan adalah hasil kerja
yang dapat dicapai oleh seseorang ataupun sekelompok orang
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing
dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Kinerja yang dimaksud
pada penelitian ini adalah kinerja karyawan yang bekerja pada
sebuah instansi pemerintah.

Turnover Intention


Turnover adalah keluarnya anggota organisasi dari suatu organisasi. Putra
& Prihatsanti (2016) mengungkapkan bahwa turnover akan merugikan
organisasi. Organisasi akan mengalami kerugian dari segi biaya, sumber daya,
dan kondisi kerja karywan. Slavianska (2012) juga mengungkapkan jika tingkat
turnover yang tinggi dapat menimbulkan permasalahan dan memberikan
konsekuensi yang tidak baik bagi organisasi. Masih dari sumber yang sama
disebutkan bahwa salah satu kerugian yang harus ditanggung oleh organisasi
adalah hilangnya seorang karyawan. Hilangnya karyawan tentu akan membuat
organisasi mencari penggantinya. Biaya untuk mencari pengganti melalui
proses rekrutmen tentu tidak sedikit. Selanjutnya, menurut Suryani (2011)
dalam Asmara (2018) menyatakan bahwa kerugian biaya juga karena
dilakukannya orientasi, lembur, serta pengawasan karena terjadi turnover.
Joo & Park (2010) menyatakan bahwa turnover akan muncul ditandai
dengan adanya turnover intention. Menurut Joo & Park, turnover intention
adalah elemen kunci untuk memprediksi turnover. Turnover intention dapat
mengukur besar kecilnya keinginan karyawan untuk melakukan turnover.
Semakin besar turnover intention dalam sebuah organisasi, maka turnover yang
terjadi juga akan semakin besar. Maka dari itu, tugas organisasi adalah
mengurangi turnover intention dengan harapan mengurangi tingkat turnover.
Pengertian turnover intention atau intensi turnover adalah rencana individu
untuk meninggalkan atau keluar dari suatu organisasi. Menurut Meyer & Tett
(1993) turnover intention merupakan keinginan secara sadar dan sengaja untuk
meninggalkan organisasi. Sedangkan menurut Bothma & Roodt (2013)
turnover intention adalah keinginan yang kuat untuk berhenti dari suatu
organisasi agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan saat
ini.

Jenis-jenis Komitmen Organisasional


Meyer & Allen (1997) membedakan komitmen organisasi menjadi
tiga komponen yaitu affective commitment, continuance commitment,
dan normative commitment.
a. Komitmen afektif (affective commitment)
Menurut Meyer, Allen, & Smith (1993) menyatakan bahwa
karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada
dalam organisasi karena karyawan memang menginginkannya.
Pernyataan serupa mengenai komitmen afektif juga disampaikan
kembali oleh Meyer & Allen (1997). Meyer & Allen (1997)
menyatakan bahwa komitmen afektif berkaitan dengan hubungan
emosional anggota pada organisasi dan keterlibatan anggota dengan
organisasi. Anggota organisasi dengan tingkat komitmen afektif
tinggi akan terus menjadi anggota organisasi karena individu tersebut
memang mempunyai dorongan hati untuk tetap berada di organisasi.
Menurut Meyer, Allen, & Smith (1993) terdapat enam indikator yang
dapat digunakan untuk mengukur komitmen afektif, yaitu:
1) Karyawan akan merasa senang untuk menghabiskan perjalanan
karirnya hingga akhir bersama organisasi.
2) Karyawan merasa bahwa masalah organisasi menjadi tanggung
jawabnya.
3) Karyawan mempunyai rasa memiliki yang kuat terhadap
organisasi.
4) Karyawan merasa terikat secara emosional dengan organisasi.
5) Karyawan merasa menjadi bagian keluarga dari organisasi.
6) Karyawan merasa bahwa organisasi memiliki makna personal
bagi karyawan.
b. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)
Komitmen berkelanjutan menurut Allen & Meyer (1993)
merupakan komitmen yang berkaitan dengan kesadaran anggota
organisasi mengenai biaya yang dapat muncul ketika meninggalkan
organisasi. Komitmen ini membuat anggota akan merasa rugi jika
anggota organisasi meninggalkan organisasi. Anggota yang
memiliki komitmen berkelanjutan tinggi akan terus menjadi anggota
karena membutuhkannya untuk menjadi anggota organisasi. Meyer,
Allen, & Smith (1993) mengukur komitmen berkelanjutan dengan
enam indikator berikut:
1) Karyawan merasa jika bertahan dengan organisasi adalah suatu
kebutuhan dan keinginan.
2) Karyawan merasa sulit untuk meninggalkan organisasi, bahkan
jika memang menginginkannya.
3) Karyawan merasa kehidupannya akan terganggu jika
meninggalkan organisasi.
4) Karyawan merasa memiliki terlalu sedikit pilihan untuk
mempertimbangkan keluar dari organisasi.
5) Karyawan merasa tidak mungkin untuk mempertimbangkan
bekerja di tempat lain karena sudah terlalu banyak berbaur
dengan organisasi.
6) Jika karyawan meninggalkan organisasi, karyawan akan
berhadapan dengan konsekuensi negatif yaitu kelangkaan
alternatif yang ada.
c. Komitmen normatif (normative commitment)
Allen & Meyer (1990) menyatakan bahwa komitmen normatif
adalah komitmen yang menjelaskan rasa terikat terhadap organisasi.
Komitmen ini mencerminkan kewajiban anggota organisasi untuk
mempertahankan keanggotaannya atau tetap bertahan di organisasi.
Anggota dengan komitmen normatif tinggi akan terus menjadi
anggota organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam
organisasi tersebut (Meyer, Allen, & Smith, 1993). Meyer, Allen, &
Smith (1993) juga menyebutkan bahwa karyawan akan berusaha
dalam bekerja bagi organisasi karena merasa bertanggung jawab atas
tunjangan kompensasi yang diterima dari organisasi. Indikator untuk
mengukur komitmen normatif menurut Meyer, Allen, & Smith
(1993) juga terdiri dari enam poin, yaitu:
1) Karyawan merasa memiliki kewajiban untuk tetap bekerja pada
organisasi.
2) Karyawan merasa tidak tepat untuk meninggalkan organisasi,
meskipun itu untuk keuntungan karyawan.
3) Karyawan merasa bersalah jika saat ini meninggalkan
organisasi.
4) Karyawan merasa organisasi layak mendapat kesetiannya.
5) Karyawan merasa memiliki kewajiban kepada orang-orang yang
berada dalam organisasi, sehingga karyawan tidak akan
meninggalkan organisasi saat ini.
6) Karyawan merasa berhutang pada organisasi.

Definisi Komitmen Organisasional


Menurut Mowday et al. (1982) dalam Joo & Park (2010) komitmen
organisasional mengacu pada perasaan individu mengenai organisasi
secara menyeluruh. Menurut Porter, Crampon, & Smith (1976) perasaan
individu mengenai organisasi tersebut merupakan perasaan yang erat
yang membuat individu untuk tetap terikat dengan situasi kerja tertentu.
Perasaan individu mengenai organisasi tersebut juga meyakinkan
karyawan untuk bersedia bekerja secara maksimal bagi organisasi (Porter
et al., 1974). Karyawan berkontribusi dengan bekerja secara maksimal
karena berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keberhasilan
organisasi (Allen & Meyer, 1990). Selanjutnya Meyer et al., (1993) juga
menyatakan bahwa perasaan individu tersebut menjelaskan keadaan
keadaan psikologis yang mengidentifikasi hubungan karyawan dengan
organisasi dan berpengaruh pada keputusan untuk melanjutkan atau
menghentikan seorang anggota organisasi.

Dampak Perceived Organizational Support


Menurut Rhoades & Eisenberger (2002) perceived organizational
support memiliki beberapa dampak meliputi:
a. Komitmen organisasi
Atas dasar norma timbal balik, perceived organizational support
akan menciptakan kewajiban karyawan untuk memperhatikan
kesejahteraan organisasi. Rhoades & Eisenberger, seperti yang
dipaparkan Foa & Foa (1980) menyatakan bahwa kewajiban untuk
menukar kepedulian dengan kepedulian dapat meningkatkan
komitmen afektif karyawan terhadap organisasi.
b. Efek terkait pekerjaan (job-related affect)
Perceived organizational support mempengaruhi reaksi afektif
karyawan terhadap pekerjaannya, termasuk kepuasan kerja dan
suasana hati yang positif. Perceived organizational support
berkontribusi dalam kepuasan kerja dengan meningkatkan harapan
penghargaan kinerja dan ketersediaan bantuan saat dibutuhkan
karyawan. Perceived organizational support berkontribusi juga
terhadap perasaan karyawan akan kompetensi dan nilainya sebagai
karyawan, sehingga meningkatkan suasana hati yang positif.
c. Keterlibatan kerja
Keterlibatan kerja mengarah pada identifikasi dan minat pada
pekerjaan tertentu yang dilakukan karyawan. Minat dalam suatu
pekerjaan berhubungan dengan kompetensi karyawan (Eisenberger et
al., 1999). Dengan meningkatkan perceived organizational support
melalui peningkatan kompetensi karyawan, minat karyawan dalam
pekerjaannya akan meningkat.
d. Kinerja
Perceived organizational support dapat meningkatkan kinerja
karyawan dan tindakan yang menguntungkan organisasi. Tindakan
yang dilakukan dapat melindungi organisasi dari berbagai risiko,
berbagi ilmu serta keterampilan yang bermanfaat bagi organisasi

Pengukuran Perceived Organizational Support


Menurut Eisenberger et al., (1986) terdapat 36 poin indikator untuk
mengukur tingkat perceived organizational support. Indikator-indikator
tersebut disebut Survey of Perceived Organizational Support (SPOS).
Penelitian ini akan mengukur tingkat perceived organizational support
menggunakan delapan poin indikator yang merupakan versi pendek dari
Survey of Perceived Organizational Support atau SPOS Eisenberger et
al., (1997) yaitu:
a. Organisasi menghargai pendapat karyawan.
b. Organisasi sangat peduli terhadap kesejahteraan karyawan.
c. Organisasi benar-benar mempertimbangkan cita-cita dan nilai
karyawan.
d. Organisasi memberikan bantuan pada karyawan yang mengalami
kesulitan atau masalah.
e. Organisasi akan memaafkan karyawan yang mengakui kesalahan yang
dilakukan.
f. Organisasi akan mengambil manfaat dari karyawan jika ada peluang.
g. Organisasi menunjukkan perhatian terhadap karyawan.
h. Organisasi bersedia membantu karyawan jika karyawan membutuhkan
sesuatu.

Faktor Pembentuk Perceived Organizational Support (POS)


Menurut Rhoades & Eisenberger (2002) terdapat tiga bentuk umum
faktor penyebab perceived organizational support yang masing-masing
dijelaskan sebagai berikut:
a. Keadilan (fairness)
Menurut Greenberg (1993) dalam Fu & Lihua (2012) keadilan dalam
organisasi merupakan persepsi keadilan menurut karyawan mengenai
bagaimana organisasi memperlakukannya. Keadilan organisasi terdiri
dari keadilan distributif, keadilan interaksional, dan keadilan
prosedural. Menurut Rhoades & Eisenberger (2002) keadilan
prosedural merupakan penyebab dari perceived organizational
support. Keadilan prosedural meliputi bagaimana menentukan strategi
untuk menentukan distribusi sumber daya di antara karyawan.
Terdapat dua dimensi keadilan prosedural yaitu dimensi struktural dan
dimensi sosial. Dimensi struktutral mengenai keputusan yang
mempengaruhi karyawan sehingga organisasi perlu memperhatikan
masukan karyawan dalam proses pembuatan keputusan. Dimensi
sosial yaitu bagaimana organisasi memperlakukan karyawan secara
hormat dan bermartabat serta memberikan informasi kepada
karyawan tentang bagaimana keputusan ditentukan.
b. Dukungan atasan (supervisor support)
Dukungan atasan dapat mempengaruhi kontribusi karyawan. Atasan
memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengevaluasi
kinerja karyawan, maka karyawan akan memiliki persepsi bahwa
atasan mengindikasikan adanya dukungan organisasi.
c. Penghargaan dan kondisi kerja
Beberapa bentuk penghargaan dan kondisi kerja yang terkait dengan
perceived organizational support yaitu:
1) Pengakuan, gaji, dan promosi
Penghargaan oleh organisasi bermanfaat untuk
mengkomunikasikan penilaian yang positif terhadap karyawan
sehingga berkontribusi pada perceived organizational support.
2) Job security
Salah satu cara untuk memperkuat dukungan organisasi
persepsian yaitu dengan adanya kepastian bahwa organisasi
memberikan kejelasan masa depan karyawan di organisasi.
3) Otonomi
Otonomi adalah kontrol karyawan atas pekerjaan mereka.
Organisasi yang memberikan kepercayaan kepada karyawan
untuk melakukan otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka
dapat meningkatkan perceived organizational support.
Eisenberger et al., (1999) menunjukkan bahwa kepercayaan
organisasi pada karyawan untuk memutuskan bagaimana
karyawan akan melakukan pekerjaan mereka akan meningkatkan
perceived organizational support.
4) Peran stressor
Stressor dapat mengurangi perceived organizational support
yang meliputi beban kerja yang berlebihan, ambiguitas peran, dan
konflik peran. Stres mengacu pada individu yang tidak mampu
mengatasi tuntutan dari organisasi maupun lingkungan.
5) Pelatihan
Pelatihan kerja dalam organisasi merupakan bekal karyawan
untuk bekerja yang dapat meningkatkan perceived organizational
support.
6) Ukuran organisasi
Organisasi yang besar dapat mengurangi fleksibilitas dalam
menangani kebutuhan individu karyawan sehingga dapat
mengurangi perceived organizational support

Definisi Perceived Organizational Support


Istilah perceived organizational support (POS) merupakan suatu
teori dalam literatur keperilakuan. Teori ini menjelaskan peran persepsi
karyawan terhadap hubungan organisasi. Hubungan organisasi terhadap
karyawan akan membentuk sikap dan perilaku mereka di organisasi
tersebut. Menurut Rhoades & Eisenberger (2002) perceived
organizational support atau dukungan organisasi persepsian merupakan
sikap yang meyakinkan seseorang bahwa organisasi tempatnya bekerja
menghargai kontribusi dan peduli dengan kesejahteraannya. Sikap yang
ditunjukkan organisasi akan menjadi stimulus yang dirasakan karyawan.
Hal tersebut akan membentuk persepsi mengenai dukungan organisasi
tersebut (Eisenberger et al., 1986). Dari paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa perceived organizational support (POS) adalah bentuk sikap atau
treatment yang diberikan organisasi kepada karyawan yang dijadikan
sebuah stimulus oleh karyawan tentang seberapa jauh organisasi
tempatnya bekerja menghargai kontribusi dan peduli dengan
kesejahteraan hidupnya. Kontribusi karyawan yang dihargai oleh
organisasi menunjukkan bahwa organisasi tersebut memberikan
dukungan kepada anggotanya

Pengaruh antara kepuasan kerja terhadap kinerja


Kepuasan kerja yaitu dimana faktor yang mendapatkan hasil
sangat penting untuk bisa optimal dan orang tersebut akan merasa
puas dalam pekerjaannya dan ia akan berusaha semaksimal mungkin
untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya untuk bisa
menghasilkan kerja yang lebih baik lagi. Karena dengan memperoleh
kepuasan kerja yang baik akan diberikan gaji dengan sesuai
pekerjaan, serta hubungan dengan atasan terjalin dengan baik. Dan
kinerja juga merupakan tingkat evisiensi dan efektif dalam pencapaian
tujuan dari pihak manajemen yang ada dalam organisasi, kinerja yang
dikatakan baik dan sukses juga yang diinginkan dapat tercapai dengan
interkasi antara kemampuan, motivasi, dan kesempatan. (Luthans,
2005).

Pengaruh antara keadilan prosedural kompensasi terhadap kepuasankerja.


Keadilan prosedural adalah keadilan yang diterima melalui
proses dan prosedur yang telah digunakan untuk membuat keputusan
pendistribusian imbalan dan sejauh mana aturan-aturan yang dipatuhi
atau dilanggar jika terdapat distributif yang teraplikasikan lebih baik
maka dari itu dalam suatu lingkungan sosial dalam organisasi maka
keadilan prosedural yang adil akan mampu menghindar dari
penyalagunaan dalam kekuasaan atau kontrol yang semena-mena.
Dan kinerja adalah faktor yang paling dominan terhadap keadilan
prosedural yang mempunyai sikap yang mencerminkan moral kerja,
kedisiplinan dan prestasi kerja, untuk menunjukkan perbedaan dari
jumlah penghargaan yang telah diterima pekerja, karena setiap orang
yang bekerja dengan menjual tenaganya kepada suatu perusahaan
untuk memperoleh imbalan dan jasa yang diberikan kepada
perusahaan. Menurut (Taylor dalam Pareke,2003).

Pengaruh antara keadilan prosedural kompensasi terhadap kinerja


Keadilan prosedural yaitu orang tidak hanya melakukan
evaluasi hasil tetapi juga kepercayaan dalam anggota organisasi untuk
menetukan bahwa orang yang berada didalam organisasi sangat
memperhatikan bagaimana pembuatan keputusan yang adil, dan
proses prosedur dapat mengambil keputusan didalam organisasi serta
karyawan dapat melaksanakan prosedur secara adil. Karena dengan
kinerja yang baik merupakan modal bagi suatu perusahaan untuk
dapat mewujudkan kepuasan kerja yang tinggi, dan tentunya
merupakan harapan dan tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadannya untuk pembuatan keputusan dalam organisasi
secara adil (Kreitner dan Kinicki, 2003)

Pengaruh antara keadilan distributif kompensasi terhadap kepuasankerja.


Keadilan distributif yang merupakan imbalan yang lebih besar
diberikan kepada individu agar bisa menjadi acuan terhadap
karyawan untuk bisa menghasilkan kinerja yang lebih maju dan bisa
mencapai tujuan yang lebih baik yang dingingkan dari perusahaan.
Keadilan distributif yang diterapkan perusahaan untuk memberi
penilaian terhadap individu dan memberi imbalan yang sesuai dengan
hasil kinerja yang dilakukannya di tempat ia bekerja. Agar bisa
menghasilkan kerja yang lebih baik serta kepuasan karyawan dapat
memperoleh kerja yang dirasa adil. (Neo et al, 2010 : 85).

Kinerja


Kinerja berasal dari kata job performance atau actual
performance yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya
yang telah dicapai oleh seseorang. Pengertian kinerja merupakan hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang
karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya juga bisa mempunyai makna yang
lebih luas bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja dan tetapi juga
bagaimana proses kerja mereka berlangsung. Kinerja merupakan
proses yang dilakukan karyawan dengan hasil yang dicapai dari
pekerjaanya untuk mengacu kepada pencapaian tugas yang telah
dibentuk karyawan untuk memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan
(Simamora, 2004).
Kinerja adalah prestasi kerja yang merupakan hasil keluaran dari
suatu proses dengan standar yang ditetapkan hasil kerja baik secara
kualitas maupun kuantitas yang telah dicapai oleh seseorang
karyawan untuk malaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab agar mencapai suatu tujuan yang lebih baik dan mempunyai
makna yang lebih luas dalam sumber daya manusia
Indikator kinerja (performance indicator) indikator dapat
digunakan secara bergantian dengan mengukur kinerja, pengukuran
kinerja berkaitan dengan hasil yang dapat dikuantitatifkan sementara
itu indikator kinerja dapat dipakai untuk aktifitas yang ditetapkan
secara kualitas dan kuantitas atas perilaku seseorang karyawan untuk
melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya (Wibowo, 2010). Indikator kinerja terbagi empat yaitu :
a. Kualitas kerja merupakan menyediakan produk dan layanan yang
berkualitas di suatu tuntutan bagi perusahaan agar bisa bertahan
hidup dalam berbagai bentuk persaingan.
b. Kuantitas kerja merupakan perusahaan yang ingin memenuhi
target yang telah ditetapkan menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam mengelola sumber daya yang dimiliki dalam mencapai
suatu tujuan.
c. Waktu kerja merupakan kemampuan organisasi yang menetapkan
waktu kerja yang dianggap paling efisien dan efektif pada semua
level dalam manajemen
d. Kerja sama dengan rekan kerja merupakan tuntutan bagi
keberhasilan perusahaan dalam mencapai suatu tujuan yang
ditetapkan.

Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja merupakan kesenangan yang dirasakan
seseorang atas pekerjaan yang dilakukannya dalam organisasi.
Kepuasan kerja juga yaitu tingkat rasa puas individu karena mereka
mendapat upah yang lebih banyak dari bermacam-macam pekerjaan
dalam organisasi ditempat mereka bekerja. Jadi tingkat kepuasan
kerja menyakut psikologis seseorang dalam organisasi, dan
mengakibatkan bagaimana keadaan yang dirasakan dalam lingkungan.
Kepuasan kerja juga adalah suatu perasaan dan sikap emosional
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dan mencintai
pekerjaan maupun dengan kondisi dirinya, sikap ini dicerminkan
sikap dan bukan perilaku oleh kedisiplinan, moral kerja, dan prestasi
kerja. kepuasan kerja emosi yang senang maupun emosi yang positif
berasal pada penilaian pekerjaan dan pengalaman kerja individu dan
hasil dari presepsi individu seberapa baik pekerjaan yang memberikan
nilai yang sangat penting pada perusahaan (Hasibuan, 2000).
Kepuasan kerja yaitu sikap atau perilaku seseorang dalam
pekerjaannya dan memerlukan interkasi dengan rekan sekerja dan
atasan, untuk mengikuti bagaimana peraturan atau kebijakan dalam
organisasi pada suatu perusahaan dapat memperoleh imbalan atau jasa
yang diberikan pada perusahaan. Dengan kepuasan kerja juga
merupakan dua variabel dengan alasan yaitu: (1) bagaimana
menunjukan hubungan yang baik dengan rekan kerja, dan (2) yaitu
preferensi dan nilai yang diberikan dari banyak peneliti dan perilaku
organisasi (Wibowo, 2010).
Ada beberapa indikator yang yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja adalah sebagai berikut :
a. Gaji adalah jumlah atau bayaran yang diterima seorang karyawan
karena telah melaksanakan pekerjaan dengan baik.
b. Pekerjaan itu sendiri adalah pekerjaan yang dilakukan seorang
karyawan apakah bisa memuaskan orang lain.
c. Rekan kerja adalah teman dalam berinteraksi untuk melaksanakan
pekerjaan dengan rekan kerja walaupun kadang sangat
meyenangkan atau tidak menyenangkan.
d. Atasan adalah seseorang yang memberi perintah dan petunjuk
bagaimana meleksanakan pekerjaan dengan baik, atau
menyenangkan dan mempengaruhi kepuasan kerja.
e. Promosi adalah seseorang yang dapat mengembangkan melalui
kenaikan jabatan atau proses mempengaruhi tingkat kepuasan
kerja seseorang.
f. Lingkungan kerja adalah lingkungan fisik termasuk suhu udara,
suasana kerja, waktu kerja, dan waktu istirahat.

Keadilan Prosedural Kompensasi


Keadilan prosedural merupakan proses yang digunakan untuk
mendistribusikan penghargaan. Keadilan prosedural juga memiliki
dua elemen yang sangat penting adalah pengendalian proses dan
penjelasan. Pengendalian proses yaitu ketersedian ruang dalam
penyampaian pandangan seseorang untuk mencapai tujuan yang
dinginkan terhadap pembuat keputusan penjelasan yang merupakan
bagaimana alasan-alasan yang dijelaskan oleh pihak manajemen hasil
yang diberikan. Keadilan interksional adalah presepsi seseorang yang
diperlakukan dengan penuh perhatian dan lebih baik. Keadilan
prosedural sebagai keadilan dan perbuatan serta pelayanan dalam
organisasi. Yaitu prosedur kompensasi telah diaplikasikan secara
konsisten, prosedur sesuai dengan etika dan standar moral, prosedur
kompensasi ditempat kerja, prosedur kompensasi telah telah
didasarkan pada informasi yang akurat. Individu yang ada didalam
organisasi perlu memperhatikan bagaimana pembuatan keputusan
secara adil agar mereka merasa bahwa organisasi serta karyawan akan
sama-sama merasa diuntungkan bila organisasi melaksanakan
prosedur secara adil, (Green Berg dan Baron 2003).
Keadilan prosedural merupakan keadilan yang berdasarkan
prosedur-prosedur yang ada pada organisasi serta mendistribusikan
hasil sumber daya organisasi dan anggotannya. Prosedur-prosedur
yang dapat digunakan organisasi terdapat dua penjelasan teoritis dan
proses psikologis serta berpendapat tentang prosedur-prosedur
organisasi yang dipresepsikan lebih adil dan seseorang akan
terpengaruh pada keputusan serta memiliki kesempatan
mempengaruhi proses-proses keputusan dan penawaran serta
masukkan, (Pakere, 2003 dalam Nursaid 2010).
Keadilan prosedural adalah keadilan yang melalui proses
prosedur yang telah digunakan untuk membuat peraturan dalam
mendistribusikan gaji dan sejauh mana aturan-aturan yang dipatuhi
atau dilanggar jika terdapat distributif yang teraplikasikan lebih baik
maka dari itu dalam suatu lingkungan sosial dan organisasi maka
keadilan prosedural yang adil akan mampu menghindar dari
penyalagunaan dalam kekuasaan atau kontrol yang semena-mena.
prosedur-prosedur yang dapat digunakan organisasi dan
mendistribusikan hasil dari sumber daya organisasi kepada
anggotannya untuk mencapai suatu hasil dan memfokuskan beberapa
macam kriteria yang dapat memenuhi prosedur yang adil. adalah
sebagai berikut :
a. Bebas bias yaitu suatu kecenderungan orang-orang untuk mencari
bukti yang mendukung kepercayaan dan menyelesaikan
permasalahan dalam bentuk apapun.
b. Konsistensi yaitu kebulatan atau tekad untuk tetap terus
menjalankan usahanya dan menghadapi berbagai rintangan yang
masa kini dan nanti.
c. Prosedur yang baik yaitu sesuai dengan standar seseorang dengan
pekerjaan maupun moralitas.
d. Akurasi yaitu untuk memastikan berbagai informasi dan akurat
dapat digabungkan untuk pengambilan keputusan.
(Taylor dalam Pareke, 2003).

Keadilan Distributif


Keadilan distributif yaitu perilaku terhadap seseorang yang
harus menyesuaikan apa yang dilakukan dan diperbuatnya, dalam
keadilan segala sesuatu yang dapat diterapkan dan
mempertimbangkan apa-apa yang sudah dikerjakan seseorang lebih
jauh sebelum orang tersebut diadili. Dan keadilan merupakan
tindakan atau aktivitas dalam memberi sesuatu kepada orang lain
antara memberikan terlalu banyak atau lebih sedikit dan harus setara
apa yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan hak yang
dikerjakannya telah sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat dan
disepakati dari sebelumnya. Keadilan distributif merupakan pemikiran
seseorang atau presepsi individu karyawan serta keadilan seperti upah
dan hasil yang bernila yang didistribusikan pada organisasi. Keadilan
distributif juga sebagai alokasi dan hasil yang konsisten dan
berhubungan pada teori equitas menjelaskan bahwa karyawan akan
selalu mendapatkan hasil serta penghargaan yang mereka berikan
kepada karyawan. Keadilan distributif dapat juga mempengaruhi
kepuasan karyawan dan berbagai pekerjaan berhubungan hasil seperti
upah, tugas pekerjaan, dan kejujuran serta bersepakat untuk kemajuan
bersama. (Foley et al, 2005).
Keadilan distributif yaitu keadilan yang berdasarkan hak dan
kewajiban pada hasil yang diperoleh seorang karyawan. dan
berkaitan dengan kepuasan, komitmen dan kinerja hasil tersebut
sangat pengaruh terhadap kekuatan, perasaan, dan penilaian yang adil
dan tidaknya hasil yang diperoleh. (Folger dan Konovsky, 1989;
Masterson et al, 2000).
Keadilan distributif menurut (Kreitner dan Kinikici, 2003)
keadilan sumber daya atau imbalan seperti penghargaan, kepada
seorang karyawan yang mendapatakan keadilan di dalam organisasi
dan pandangan dikenal dengan pendekatan sumber daya yang
dialokasi dan keadilan juga tidak menuntut pembagian yang sama
dengan berbagai setiap karyawan, akan tetapi pembagian yang sama
berdasarkan dari kinerja masing-masing karyawan.
Menurut penelitian (Thajono, 2008). Menjelaskan keadilan
distributif terdapat beberapa prinsip-prinsip yang ada pada teori
keadilan distributif biasanya sependapat dengan prinsip lain. Contoh
lain seperti prinsip proporsi cocok untuk situasi kompetitif yang akan
memotivasi produktifitas karena mampu membangun memotivasi
seorang dan memberi penghargaan seperti imbalan yang lebih besar
dan kontribusi yang harapkan

Keadilan Organisasi


Keadilan organisasional merupakan hasil prespsi atau subyektif
yang berdampak pada pandangan atau perasaan dari pengambilan
sikap dan keputusan individu dalam organisasi (Gita Triana 2014).
Keadilan organisasi juga bisa mendapat masalah yang berhubungan
dengan upah pembayaran yang adil dan diberikan kenaikan bekerja
dalam berkarir. Dalam penelitian ini fokus pada dua model faktor
keadilan adalah keadilan distributif yang berkaitan dengan organisasi dan keadilan prosedural yang berkaitan dengan hasil organisasi.
Maka dapat disimpulkan dari beberapa ahli diatas keadilan organisasi
sangat berdampak pada hasil keputusan, implementasi, dan presepsi
serta hubungan antara individu dan menjelaskan personal keadilan
dalam organisasi.

Teori Keadilan (equity theory)


Keadilan merupakan nilai-nilai dasar sosial ketika norma-norma
tentang hak dan kewajiban yang dimaknai secara luas sebagai
tindakan untuk pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain
yang menggambarkan perbandingan atau masukan-masukan dari hasil
yang telah dikerjakan orang lain dan kemudian mendapat hak dan
kewajiban serta penghargaan di antara individu (Robbins 2008). Yang
selanjutnya makna keadilan distributif akan dibandingan dengan
keadilan prosedural yang berinteraksi secara adil dan akan disebut
dengan keadilan organisasional.

Hubungan Keadilan Prosedural Terhadap Kepuasan Kerja


Keadilan prosedural adalah keadilan organisasi yang
berhubungan dengan prosedur pengambilan keputusan oleh
organisasi yang ditujukan kepada anggotanya (Alotaibi, 2001).
Keadilan prosedural ialah persepsi keadilan terhadap prosedur yang
digunakan untuk membuat keputusan sehingga setiap anggota
organisasi merasa terlibat di dalamnya.
Keadialan prosedural merupakan prosedur yang ada pada
perusahaan unuk meningkatkan kepuasan kerja yang ada
dimana tempat dia bekerja namun disamping itu keadilan
prosedural untuk mengatur atau mengarah kepada prosedur
yang ada diperusahaan.
Keadilan Prosedural Menurut Greenberg (1990) adalah
mendefinisikan keadilan prosedural sebagai fokus kepada
prosedur yang digunakan membuat keputusan.Sebuah prosedur
yang dikatakan adil, berdasarkan informasi yang akurat, dapat
dibenrakan sesuai dengan moral dan etika yang ada.Selain itu
definisi dari adanya keadilan prosedural tersebut tentu adanya
penagaruh terhadap kepuasan kerja juga.
Menurut (Kadaruddin,dkk,2013). Bahwa telah melakukan
penelitian dengan objek pegawai pajak, menemukan hasil bahwa
analisis data secara statistik membuktikan bahwa keadilan
prosedural berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja pegawai.
Artinya adalah semakin pegawai merasakan adanya keadilan pada
prosedur yang digunakan perusahaan maka akan semakin puas
perasaan karyawan atas pekerjaan mereka, begitu juga sebaliknya
jika karyawan merasakan kurangnya keadilan pada prosedur yang
ada pada lingkup dunia pekerjaan.

Keseimbangan Teory (Equity Theory)


Teori ini dikembangkan oleh Adams. Adapun pendahulu
dari teori ini adalah Zalezenik.Prinsip dari teori ini adalah bahwa
orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia
merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas situasi.
Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang
dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang
sekelas, sekantor maupun ditempat lain.

Teori Perbedaan (Discrepancy Theory)


Teori ini pertama kali dipelopori oleh Proter dan ia
bependapat bahwa mengukur kepuasan kerja dapat dilakukan
dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan
kenyataan yang ia dirasakan karyawan. Locke mengemukan bahwa
kepuasan kerja karyawan tergantung pada perbedaan antara apa
yang didapatkan dan apa yang diharapkan ssuai dengan hasil
kerjanya. Apabila yang didapat karyawan ternyata lebih besar dari
pada apa yang diharapkan maka karyawan tersebut menjadi puas.
Sebaliknya, apabila yang didapatkkan karyawan lebih rendah akan
menyebabkan karyawan tidak puas

Pengertian Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja adalah suasana psikologis tentang
perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap
pekerjaan mereka. Karna kepuasan kerja merupakan bangunan
undimensional, dimana seseorang memiliki kepuasan umum
atau ketidakpuasan dengan pekerjaannya (Bavendam,dkk.
2000). Husein Umar (1999). Kepuasan kerja adalah penilaian
atau cerminanan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya
dan segala sesuatu yang dihadapi lingkungan kerjanya.
Sedangkan menurut Locke (dalam Cetin,2006). Mengatakan
bahwa kepuasan kerja adalah persasaan senang seseorang dan
hasil dari perasaan ini adalah perasaan ini adalah emosional
yang positif yang berasal dari pekerjaan atau pengalamannya.
Siagian & Sondang (2012). Mendefinisikan bahwa
kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang terhadap
pekerjaannya. Artinya bahwa seseorang yang memiliki rasa puas
terhadap pekerjaannya akan mempunyai sikap yang positif
terhadap organisasi dimana ia bekerja. Sebaliknya, orang yang
tidak puas terhadap pekerjaannya akan cenderung bersikap negatif
terhadap organisasi dimana ia bekerja.

Pengertian Keadilan Prosedural


Keadilan prosedural adalah bentuk dari asas-asas
normatif yang dirasakan seperti konsistensi prosedur-prosedur
yang ada terhadap penawaran upah, konsisten terhadap
peraturan, menghindari kepentingan pribadi pada proses
distribusi, ketepatan waktu, perbaikan aturan, keterwakilan
aturan, dan etika dll. (Badawi, 2012). Sedangkan Menurut
Greenberg dan Baron (2000). Keadilan prosedural
didefinisikan sebagai persepsi keadilan atas pembuatan
keputusan dalam organisasi dibuat orang-orang dalam
organisasi sangat memperhatikan dalam pembuatan keputusan
secara adil, dan mereka merasa bahwa organisasi dan
karyawan akan sama-sama merasa diuntungkan jika organisasi
melaksanakan prosedur secara adil.
Teori yang mendefinisikan tentang keadilan prosedural
namun definisi yang sama juga diungkapkan oleh Thibaut dan
Walker (1975 dalam Ramamoorthy dan Flood, 2004). Teori ini
mengatakan tentang bahwa keadilan prosedural berkaitan
dengan prosedur-prosedur yang digunakan dalam organisasi
untuk mendistribusikan hasil-hasil dan sumber daya organisasi
kepada para anggotanya. Peneliti biasanya mengajukan dua
penjelasan teoritas mengenai proses psiokiologis yang
mendasari pengaruh instrumental dan perhatian-perhatian
rasional atau komponen struktural, perspektif kontrol
instrumental atau proses berpendapat bahwa prosedur-prosedur
yang digunakan dalam organisasi akan dipersepsikan lebih adil
manakala individu yang terpengaruh oleh suatu keputusan
yang memiliki kesempatan untuk mempengaruhi proses-proses
penetapaan keputusan atau menawarkan masukan.
Tujuan keadilan prosedural merupakan yang sudah kita
ketahui pada keterlibatan sesorang dimana orang-orang yang
berfokus pada karakteristik dari proses keadilan prosedural itu
sendiri hubungan untuk menentukan keputusan secara adil dan
seadil-adilnya. Fokus pada tindakan prosedural ditujukan untuk
mengevaluasi pada saat pembuat keputusan. Karena seseorang
juga mengerti hal-hal yang menyangkut kelompok atau
perusahaan tersebut baik dari karyawan atau lingkungan
perusahaan maka atasan harus lebih tahu tentang keputusan
yang dibuat oleh bawahannya.
Dimensi Keadilan ProseduralMenurut Cropanzano et al
(2007). Menyebutkan atau mengatakan bahwa keadilan prosedural
terdiri dari enam dimensi yaitu sebagai berikut :

  1. Konsistensi yaitu semua karyawan diperlakukan sama.
  2. Kurangnya Biasa yaitu tidak ada orang atau kelompok
    yang diistimewakan atau diperlakukan tidak sama.
  3. Keakuratan yaitu keputusan dibuat berdasarkan
    informasi yang akurat.
  4. Pertimbangan wakil karyawan yaitu pihak-pihak terkait
    dapat memberikan masukan.
  5. Koreksi yaitu mempunyai proses banding atau
    mekanisme lain untuk memperbaiki kesalahan.
  6. Etika yaitu norma pedoman profesional tidak dilanggar.
    Tjahjono, Menyebutkan dalam penekanan pandangan
    (Thibuat dan Walker,1975). Bahwa prosedur – prosedur jika
    dikatakan adil dapat mengakomodasikan kepentingan individu,
    permasalahanya adalah bahwa setiap individu menginginkan
    kepentingan dapat diakomodasikan prosedur tersebut, padahal
    kepentingan-kepentingan tersebut seringkali berbeda satu
    dengan lainnya dan tidak jarang saling bertentangan. Kondisi
    demikian menyebabkan konflik dan perselisihan (dispute)
    sehingga salah satu cara penting adalah menghadirkan pihak
    ketiga, jika keduanya tidak menyelesaikan masalah tersebut.

Pengertian Keadilan Distributif


Keadilan distributif menunjuk pada sejumlah sumber
penghasilan atau penghargaan yang dibagikan pada para karyawan.
Keadilan distributif berhubungan dengan keadilan dalam
pengalokasian sumber penghasilan merupakan suatu kepentingan
yang sangat penting bagi perusahaan untuk menilai suatu pekerjaan
karyawan yang ada di perusahaan namun hal tersebut merupakan
hasil yang dimiliki oleh karyawan untuk mencapai hasil yang lebih
maksimal dan memuaskan pada tempat seseorang kerja.
Keadilan distributif merupakan penilaian dari karyawan
mengenai keadilan atas hasil yang didapatkan pada (outcome)
yang diterima karyawan dari organisasi tersebut. (Greenberg,
1990 ; Niehoff and Moorman, 1993 dalam Alotaibi, 2001)
sedangkan pada teorinya (Adams, 1965 cohen, 1987 dikutip
oleh Gilliland, 1994). Mengatakan Keadilan distributif adalah
keadilan yang paling sering dinilai dengan dasar keadilan hasil,
yang menyatakan bahwa karyawan seharusnya menerima upah
atau gaji yang sesuai dengan pemasukan dan pengeluaran
mereka secara relatif dengan perbandingan referensi atau
lainnya namun banyak yang mengatakan keadilan distributif
itu berbagai macem item.
Teori yang mendefinisikan keadilan distributif adalah
tentang bagaimana seseorang membandingkan antara masukan
(infut) dengan hasil (outcome) yang sesuai dengan pekerjaanya
namun disini menurut teori (Greenberg dan Baron. 2000). Keadilan
distributif mengatakan persepsi seorang mengenai keadilan atas
pendistribusian sumber-sumber diantaranya para karyawan atau
dengan kata lain persepsi kesadilan atas bagaimana imbalan
didistribusikan dianatara para karyawan. Kretner dan Kinicki
(2003). Mendesfinisikan keadilan distributif adalah suatu keadilan
sumber daya dan penghargaan didistribusikan dan dialokasikan

Pengertian Keadilan


Terdapat banyak teori yang membahas tentang
keadilan, tentu disini akan membahas tentang keadilan
distributif dan keadilan prosedural Pembahasan tentang
keadilan merupakan suatu kewajiban ketika membahas tentang
hukum mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan
ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan tentang keadilan. Jadi disini membahas tentang
hukum merupakan sangat penting karena berbagi keadilan itu
susah untuk seseorang.
Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi
sosial, sebagaimana kebenaran dalam syistem pemikiran suatu
teori betapun elegannya dan ekonomisnya, harus ditolak atau
di revisi jika ia tidak beneran demikian jugak hukum dan
institusi, tidak peduli betapun efisien dan rapinya,harus
direformasi atau dihapuskan jika tidak adil setiap orang
memiliki kehormatan yang berdasarkan pada keadilan
sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak biasanya
membatalkannya.’’John Rawls (2006)
Keadilan banyak diartikan dan banyak dipersefsikan
bahwa keadilan itu merupakan bisa berkeadilan antara
seseorang dimana keadilan itu baik pada dikalangan
masyarakat umumnya.

Indikator Kompetensi Digital


Dalam jurnal Muizu & Budiarti (2017:735) Mendikbud
mengungkapkan pada kegiatan seminar Transformation and 21st Century
Learning bahwa terdapat 4 (empat) kompetensi di era digital yang
dijadikan indikator dalam penelitiannya, dalam hal ini disebut 4C
diantaranya :
a. Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan
menyelesaikan masalah)
Kompetensi pertama di era digital ini memiliki arti berpikir kritis
dalam memecahkan setiap permasalahan. Pemikiran yang kritis adalah
modal pemetaan pikiran seseorang yang menekankan penalaran logis
tanpa menyita banyak energi negatif. Akibatnya, seseorang dengan
aliran pemikiran yang baik harus mampu mengatasi berbagai kesulitan
secara rasional. Apalagi banyak sekali teknologi canggih yang dapat
digunakan saat ini.
b. Creativity (kreativitas)
Kompetensi ini mengacu pada kreativitas seseorang untuk
memikirkan cara-cara baru dalam menghadapi isu atau masalah yang
ada. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung
bagaimana kita berusaha untuk berinovasi dan menerapkan setiap ide
kita supaya tetap menarik.
c. Communication Skills (kecakapan berkomunikasi)
Kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan komunikasi yang
dimiliki seseorang. Seiring dengan perkembangan zaman, maka ruang
lingkup bahasa dan bahasan dunia juga akan semakin luas. Hal ini
bukan hanya tentang kesopanan dalam bertutur kata serta kesesuaian
dalam menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), akan tetapi
luasnya pengetahuan juga diperlukan untuk menjalin komunikasi yang
efektif. Adanya kemajuan teknologi di era digital ini, kita tidak perlu
lagi mewaspadai ketertinggalan berbagai tren lokal dan global.
Kecerdasan seseorang dalam pemilihan verbal juga ditunjukkan dengan
cara berkomunikasi yang cerdas, sehingga lawan bicara tidak dapat
mengabaikan topik yang dibicarakan. Di era digital ini, diharapkan
informasi yang disampaikan tidak ada kesalahpahaman.
d. Ability to Work Collaboratively (kemampuan untuk bekerja sama)
Kompetensi yang terakhir yaitu kemampuan seseorang untuk
dapat berkolaborasi dengan orang lain. Tidak semua orang dapat
dengan cepat mengenal dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Saat
ini banyak platform di media sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk berkolaborasi dan berdiskusi dalam satu kelompok. Agar
mencapai beberapa tujuan secara bersamaan, maka kolaborasi menjadi
suatu keharusan. Setiap pemimpin harus dapat berkolaborasi dengan
karyawannya untuk menghadapi era digital ini, dan setiap karyawan
harus dapat berkolaborasi dengan karyawan lain untuk mencapai tujuan
yang diharapkan, sehingga tidak ada lagi sifat individualisme dan
egoisme yang berkepanjangan.
Sedangkan Elstad & Christophersen dalam Supyani & Fikri (2021)
mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) dimensi dari kompetensi digital
yang harus dimiliki dosen/guru sebagai pendidik dalam kegiatan
pembelajaran, yaitu :
a. Generic Digital Competence (Kompetensi Digital Generik)
Kompetensi ini mengarah pada pengetahuan dan keterampilan
umum yang dibutuhkan seorang guru untuk menjadi pendidik digital
yang efektif. Dimensi ini sama dengan gambaran kompetensi digital
pada umumnya, seperti kemampuan pengoperasian komputer,
pengarsipan file, dan sebagainya.
b. Digital Didactic Competence (Kompetensi Didaktik Digital)
Kompetensi ini mencerminkan keterampilan digital yang dimiliki
setiap guru pengajar dalam kaitannya dengan mata pelajaran yang
diajarnya. Dalam dimensi ini akan dijelaskan perbedaan nyata yang
khas dalam metode pengajaran antar mata pelajaran, misalnya
matematika yang diajarkan oleh teknologi informasi dibandingkan
bahasa asing atau pedagogi yang diajarkan menggunakan TIK. Dalam
dimensi ini, guru diharapkan mampu berinovasi dan menyesuaikan
proses/perangkat pembelajaran dengan materi yang diajarkannya.
c. Professional-oriented Digital Competence (Kompetensi Digital
Berorientasi Profesional)

Pengertian Kompetensi Digital


Fahmi (2016:45) mengemukakan kompetensi ialah suatu kapasitas
individu yang mempunyai nilai jual serta diterapkan berdasarkan hasil dari
kreativitas serta inovasi. Sehubungan dengan itu, Wibowo (2017:271)
mengemukakan kompetensi ialah kapasitas dalam melakukan suatu tugas
atau pekerjaan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang didukung
oleh sikap kerja yang dibutuhkan pada pekerjaan. Sedangkan Busro
(2020:26) menyampaikan kompetensi ialah segala sesuatu yang dimiliki
individu baik pengetahuan, keterampilan serta aspek internal lainnya
sehingga dapat melakukan suatu pekerjaan berdasarkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya.
Menurut Ferrari (2013:2) kompetensi digital didefinisikan secara luas
sebagai penggunaan TIK yang percaya diri, kritis dan kreatif untuk
mencapai tujuan yang terkait dengan pekerjaan, kemampuan kerja,
pembelajaran, waktu luang, inklusi dan partisipasi dalam masyarakat.
Kompetensi digital adalah kompetensi kunci transversal yang dengan
demikian memungkinkan kita untuk memperoleh kompetensi kunci
lainnya (misalnya bahasa, matematika, pengetahuan untuk belajar,
kesadaran budaya). Hal ini terkait dengan banyak keterampilan abad 21
yang harus dimiliki oleh semua warga negara, untuk memastikan
partisipasi aktif mereka dalam masyarakat dan ekonomi.
Berdasarkan European Commission yang dikutip dalam Muizu &
Budiarti (2017:734) kompetensi digital merupakan kompetensi yang
memengaruhi tingkat kepercayaan diri dan pemikiran kritis seseorang
ketika mereka belajar, bekerja, mengembangkan diri dan berpartisipasi
dalam masyarakat.

Indikator Kinerja


Menurut Rasam et al. (2019:45) indikator atau aspek yang diukur dari
variabel kinerja guru diantaranya :
a. Merencanakan pembelajaran, yaitu suatu proses yang berkaitan dengan
kapasitas guru menyusun program aktivitas belajar.
b. Melaksanakan pembelajaran, yaitu berkaitan dengan inti
terselenggaranya pendidikan, seperti mampu tidaknya guru dalam
mengelola kelas, menerapkan media serta sumber belajar, serta
menerapkan metode atau strategi pembelajaran.
c. Menilai pembelajaran, yaitu suatu kegiatan guna melihat apakah
tercapai atau tidak tujuan serta proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
Adapun menurut Wilson Bangun (2012:234) terdapat 5 (lima) indikator
guna mengukur kinerja, antara lain :
a. Kuantitas pekerjaan, indikator ini menunjukkan jumlah pekerjaan yang
diciptakan sebagai persyaratan yang menjadi standar pekerjaan oleh
individu atau kelompok.
b. Kualitas pekerjaan, setiap orang pada organisasi harus memenuhi
persyaratan tertentu agar dapat menciptakan pekerjaan dengan kualitas
yang dibutuhkan oleh posisi tertentu.
c. Ketepatan waktu, terdapat pekerjaan yang mempunyai karakteristik
tertentu seperti pekerjaan yang harus diselesaikan tepat waktu, sebab
akan berdampak pada pekerjaan yang lain. Sehingga, jika tidak
diselesaikan tepat waktu, akan menghambat pekerjaan di bidang lain.
d. Kehadiran, dalam setiap jenis pekerjaan mengharuskan kehadiran
dalam mengerjakan sesuatu sesuai waktu yang ditentukan.
e. Kemampuan kerja sama, tidak semua pekerjaan dapat diselesaikan
hanya dengan satu orang saja; pada kenyataannya, pekerjaan tertentu
mungkin memerlukan bantuan dua orang atau lebih. Kemampuan
bekerja sama dengan rekan kerja lain dapat dilakukan untuk mengukur
kinerja seseorang.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja


Berbagai aspek berdampak pada kinerja guru, baik yang bersumber dari
guru itu sendiri maupun dari lingkungan sekolah. Selaras dengan itu
menurut Supardi (2014:52) karakteristik individu seperti pengetahuan,
keterampilan, kemampuan, motivasi, kepercayaan, nilai-nilai, serta sikap
sangat berpengaruh terhadap kinerja. Faktor organisasi dan pekerjaan juga
memiliki dampak yang signifikan terhadap karakteristik individu.
Sehubungan dengan faktor kinerja di atas, Wibowo (2017:84)
mengemukakan berbagai aspek yang berdampak pada kinerja yakni:
a. Faktor personal (Personal factor), diperlihatkan oleh tingkat
keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen
individu.
b. Faktor kepemimpinan (Leadership factor), ditentukan oleh kualitas
dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan manajer dan team
leader.
c. Faktor kelompok/tim (Team factor), diperlihatkan oleh kualitas
dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.
d. Faktor sistem (System factor), diperlihatkan oleh adanya sistem kerja
dan fasilitas yang diberikan organisasi.
e. Faktor situasi (Contextual/situational factor), diperlihatkan oleh
tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan
eksternal.

Penilaian Kinerja


Dalam upaya mencapai prestasi kerja yang baik maka diperlukan proses
penilaian kinerja. Menurut Hafidulloh et al. (2021:59) penilaian kinerja
guru adalah metode untuk menentukan atau memahami tingkat kinerja guru
lain, yang diukur terhadap standar yang telah ditetapkan atau sebagai proses
di mana organisasi meninjau atau menganalisis kinerja pegawainya.
Sebagai hasil dari pengembangan kebijakan atau program mengenai
sumber daya manusia yang lebih baik dalam organisasi, penilaian kinerja
pada dasarnya merupakan aspek penting dalam pengembangan organisasi
yang efektif dan efisien.

Pengertian Kinerja


Wilson Bangun (2012:231) mengemukakan kinerja ialah output dari
capaian pekerjaan individu berlandaskan berbagai persyaratan pekerjaan
(job requirement). Sedangkan Mangkunegara (2015:67) menjelaskan
kinerja ialah output capaian kerja pegawai baik kualitas maupun
kuantitasnya pada pelaksanaan tugas berdasarkan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Adapun menurut Hersey & Blanchard dalam Sinambela (2016:481),
mengatakan bahwa kinerja ialah fungsi dari dorongan serta bakat. Guna
melaksanakan tugas serta pekerjaan, seorang individu harus mempunyai
sejumlah derajat kesediaan serta kapasitas tertentu. Tanpa pemahaman
yang jelas mengenai apa yang harus dilaksanakan serta bagaimana
melaksanakannya, kesediaan serta kapasitas individu tidak cukup guna
menyelesaikan suatu tugas

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja


Berbagai aspek berdampak pada kinerja guru, baik yang bersumber dari
guru itu sendiri maupun dari lingkungan sekolah. Selaras dengan itu
menurut Supardi (2014:52) karakteristik individu seperti pengetahuan,
keterampilan, kemampuan, motivasi, kepercayaan, nilai-nilai, serta sikap
sangat berpengaruh terhadap kinerja. Faktor organisasi dan pekerjaan juga
memiliki dampak yang signifikan terhadap karakteristik individu.
Sehubungan dengan faktor kinerja di atas, Wibowo (2017:84)
mengemukakan berbagai aspek yang berdampak pada kinerja yakni:
a. Faktor personal (Personal factor), diperlihatkan oleh tingkat
keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen
individu.
b. Faktor kepemimpinan (Leadership factor), ditentukan oleh kualitas
dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan manajer dan team
leader.
c. Faktor kelompok/tim (Team factor), diperlihatkan oleh kualitas
dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.
d. Faktor sistem (System factor), diperlihatkan oleh adanya sistem kerja
dan fasilitas yang diberikan organisasi.
e. Faktor situasi (Contextual/situational factor), diperlihatkan oleh
tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan
eksternal.

Penilaian Kinerja


Dalam upaya mencapai prestasi kerja yang baik maka diperlukan proses
penilaian kinerja. Menurut Hafidulloh et al. (2021:59) penilaian kinerja
guru adalah metode untuk menentukan atau memahami tingkat kinerja guru
lain, yang diukur terhadap standar yang telah ditetapkan atau sebagai proses
di mana organisasi meninjau atau menganalisis kinerja pegawainya.
Sebagai hasil dari pengembangan kebijakan atau program mengenai
sumber daya manusia yang lebih baik dalam organisasi, penilaian kinerja
pada dasarnya merupakan aspek penting dalam pengembangan organisasi
yang efektif dan efisien.
Menurut Ditjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan) dalam Barnawi & Arifin (2012:26), penilaian kinerja guru
umumnya memiliki dua fungsi utama yaitu :
a. Untuk mengevaluasi kemampuan guru dalam mempraktikkan semua
keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan selama proses
pembelajaran, pendampingan, atau melakukan tanggung jawab
tambahan terkait sekolah. Sehingga, profil kinerja guru akan dikenali
dan ditafsirkan sebagai analisis kebutuhan atau audit keterampilan bagi
setiap guru yang dapat digunakan untuk membuat penilaian kinerja
guru.
b. Untuk menentukan jumlah kredit yang diperoleh guru berdasarkan
kinerja belajar mereka, bimbingan, atau tanggung jawab tambahan
terkait dengan fungsi sekolah selama setahun. Kinerja guru dievaluasi
sebagai bagian dari proses promosi guru dan pengembangan karir untuk
kenaikan jabatan dan peran fungsional.

Pengertian Kinerja


Wilson Bangun (2012:231) mengemukakan kinerja ialah output dari
capaian pekerjaan individu berlandaskan berbagai persyaratan pekerjaan
(job requirement). Sedangkan Mangkunegara (2015:67) menjelaskan
kinerja ialah output capaian kerja pegawai baik kualitas maupun
kuantitasnya pada pelaksanaan tugas berdasarkan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Adapun menurut Hersey & Blanchard dalam Sinambela (2016:481),
mengatakan bahwa kinerja ialah fungsi dari dorongan serta bakat. Guna
melaksanakan tugas serta pekerjaan, seorang individu harus mempunyai
sejumlah derajat kesediaan serta kapasitas tertentu. Tanpa pemahaman
yang jelas mengenai apa yang harus dilaksanakan serta bagaimana
melaksanakannya, kesediaan serta kapasitas individu tidak cukup guna
menyelesaikan suatu tugas.
Guru ialah pendidik profesional yang tanggung jawab utamanya
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, serta
mengevaluasi siswa pada pendidikan dasar serta menengah (UU RI No. 14
Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen).
Menurut Madjid (2016:11) kinerja guru ialah output kerja yang dapat
dipenuhi oleh guru di sekolah sesuai dengan wewenang serta tanggung
jawab yang dilimpahkan oleh sekolah guna memenuhi visi, misi, serta
tujuan sekolah yang bersangkutan secara sah, tanpa melanggar hukum,
serta sesuai dengan moral dan etika. Singkatnya, kinerja guru adalah hasil
kerja seorang guru yang diperlihatkan oleh penampilan, tindakan, maupun
kinerjanya dan diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, nilai
dan sikap guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Indikator Kompetensi


Indikator-indikator kompetensi guru sendiri diambil dari UU No, 14
tahun 2005 pasal 10 ayat 1, menjelaksan bahwa kompetensi guru
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional menjelaskan
bahwa:
a. Kompetensi Pedadogik
Kompetensi pedagogik adalah berkaitan saat guru mengadakan
proses belajar dikelas. Mulai dari kemampuan mengolah pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
kemampuan yang dimillikinya.
b. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi ini adalah kemampuan personal yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi
teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi
dan berinteraksi secara efektif dan aktif dengan peserta didik, sesama
guru, pada orang tua/wali siswa maupun masyarakat lainnya.
d. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kemampuan guru untuk
menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar
kompetensi yang ditetapkan dalam standar Nasional Pendidikan.

Faktor yang mempengaruhi Kompetensi Guru


Menurut Madjid, (2016:29) kompetensi guru ditentukan oleh faktor
internal maupun eksternal, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor yang berasal dari dalam diri guru (internal)
1) Tingkat pendidikan.
2) Keikutsertaan dalam berbagai pelatihan dan kegiatan ilmiah.
3) Masa kerja dan pengalaman kerja.
4) Tingkat kesejahteraan.
5) Kesadaran akan kewajuban dan panggilan hati nurani.
b. Faktor yang berasal dari luar diri guru (eksternal)
1) Besar gaji dan tunjangan yang diterima.
2) Ketersediaan sarana dan media pembelajaran
3) Kepemimpinan kepala sekolah.
4) Kegiatan pembinaan yang dilakukan.
5) Peran serta masyarakat.
Sedangkan menurut Gibson dalam Pianda, (2018:53) menjelaskan
bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa pemicu tinggi rendahnya kompetensi
guru dipengaruhi oleh tiga kelompok variabel sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi kompetensi dan potensi individu dalam organisasi yaitu:
a. Variabel individu yang meliputi: kemampuan/keterampilan, dan latar
belakang (keluarga, tingkat sosial, pengalaman).
b. Variabel organisasi yang meliputi: sumber daya, kepemimpinan,
imbalan (upah/gaji), struktur organisasi, dan desain pekerjaan.
c. Variabel individu (psikologis) yang meliputi: mental/intelektual,
presepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi.

Aspek – aspek yang Terkandung pada Konsep Kompetensi


Memahami uraian di atas, menurut Mulyasa, (2013:63) beberapa
aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi dapat
diuraikan sebagi berikut:
a. Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.
Misalnya, seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi
kebutuhan belajar, dan bagaimanan melakukan pembelajaran terhadap
peserta didik sesuai kebutuhannya.
b. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif
yang dimiliki oleh individu atau seseorang. Misalnya, seorang guru
dalam melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang
baik tentang karaktertistik dan kondisi peserta didik secara efektif dan
efisien.
c. Kemampuan (skill), yaitu sesuatu yang dimilliki oleh individu atau
seseorang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan
kepadanya. Misalnya, standar kemampuan guru dalam memilih dan
membuat alat peraga sederhana untuk memberi kemudahan belajar
kepada peserta didik.
d. Nilai (value), yaitu suatu standar perilaku yang telah diyakini dan
secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang atau individu.
Misalnya, standar perilaku guru dalam melaksanakan pembelajaran
(kejujuran, keterbukaan, demokratis, dan lain-lain).
e. Sikap (attitude), yaitu perasaan seseorang (senang-tidak senang, sukatidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari
luar. Misalnya reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap
kenaikan gaji/upah dan lain sebagainya.
f. Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang atau individu untuk
melakukan suatu perbuatan. Misalnya, minat untuk mempelajari atau
melakukan sesuatu

Pengertian Kompetensi Guru


Menurut Fahmi, (2016:45) kompetensi adalah suatu kemampuan yang
dimiliki oleh seorang individu yang memiliki nilai jual dan itu diterapkan
dari hasil kreativitas serta inovasi yang dihasilkan. Sehubungan dengan itu
menurut Wibowo, (2017:271) menjelaskan bahwa kompetensi adalah
kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas
yang dilatar belakangi atas keterampilan dan pengetahuan yang didukung
oleh sikap kerja yang dituntut pada pekerjaan tersebut. Sedangkan menurut
Busro, (2020:26) menyampaikan bahwa kompetensi adalah segala sesuatu
yang dimiliki oleh seorang berupa pengetahuan keterampilan dan faktorfaktor internal individu lainnya untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan
berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Merujuk penjelasan kompetensi-kompetensi di atas menurut Mulyasa,
(2013:62) menjelaskan bahwa kompetensi guru adalah perpaduan dari
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Sedangkan menurut Madjid, (2016:25)
kompetensi guru adalah keseluruhan pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas sebagai pendidik dalam pembelajaran. Sehubungan
dengan itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun
2005 Tentang Guru Dan Dosen pasal 1 ayat 10 mengatakan bahwa
kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilanm dan prilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi di sini merunjuk pada
performa dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu
dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan.

Indikator Kinerja


Menurut Afandi (2018:89) indikator-indikator kinerja pegawai adalah
sebagai berikut :

  1. Kuantitas hasil kerja
    Satuan ukuran dari segala jenis yang berhubungan dengan besaran hasil kerja
    yang dapat direpresentasikan dengan suatu bilangan atau bilangan lain yang setara.
  2. Kualitas hasil kerja
    Mutu atau segala jenis satuan pengukuran yang berkaitan dengan mutu. Mutu
    pekerjaan yang dapat dinyatakan dalam ukuran numerik atau setara numerik
    lainnya.
  3. Efesiensi dalam melaksanakan tugas
    Berbagai sumber daya dengan bijak dan hemat.
  4. Disiplin kerja
    Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
  5. Inisiatif
    Kemampuan untuk memilih dan melaksanakan sesuatu dengan benar tanpa
    disuruh, kemampuan untuk memahami apa yang harus dilakukan orang lain, dan
    kemampuan untuk terus bertindak bahkan ketika keadaan terasa semakin sulit.
  6. Ketelitian
    Kesesuaian hasil pengukuran kerja terlepas dari apakah pekerjaan itu udah
    mencapai tujuan atau belum.
  7. Kepemimpinan
    Proses mempengaruhi dan memberikan contoh bagi pemimpin kepada
    bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi.
  8. Kejujuran
    Salah satu sifat manusia yang sangat sulit untuk diterapkan.
  9. Kreativitas
    Proses psikologis yang melibatkan pemunculan gagasan atau menghasilkan ideide.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja


Menurut Afandi (2018:86) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah
sebagai berikut :

  1. Kemampuan, kepribadian, minat kerja
  2. Kejelasan dan penerimaan pegawai, yaitu pemahaman dan penerimaan
    terhadap tugas yang diberikan kepadanya.
  3. Tingkat motivasi pegawai, kemauan dari pegawai untuk meningkatkan kinerja.
  4. Hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan dan sikap yang
    menjadi pedoman dalam melaksanakan kemampuan dan tanggung jawab
    profesionalnya.
  5. Fasilitas kerja yang disediakan oleh perusahaan untuk mendukung pekerjaan
    karyawan.
  6. Budaya tempat kerja, kebiasaan yang ada di perusahaan dan diulangi.
  7. Kepemimpinan, sikap kepemimpinan, dan manajemen karyawan.
  8. Disiplin, rasa hormat, penghargaan, ketaatan, dan kepatuhan terhadap peraturan
    yang diberlakukan oleh organisasi.

Manfaat Kinerja


Menurut Sedermayanti (2017:64) manfaat kinerja pegawai sebagai berikut :

  1. Meningkatkan prestasi kerja
    Penilaian pekerjaan memungkinkan manajemen dan karyawan untuk menerima
    umpan balik dan meningkatkan pekerjaan / kinerja mereka.
  2. Memberikan kesempatan kerja yang adil
    Penilaian yang akurat memastikan bahwa karyawan memiliki kesempatan untuk
    mempraktikkan profesinya sesuai dengan kemampuannya.
  3. Kebutuhan pelatihan dan pengembangan
    Penilaian Kinerja mengidentifikasi karyawan berketerampilan rendah dan mampu
    meningkatkan keterampilan mereka dalam program pelatihan.
  4. Penyesuaian kompensasi
    Dengan melakukan evaluasi, administrator dapat memutuskan bagaimana
    meningkatkan kompensasi dan sebagainya.
  5. Keputusan promosi dan demosi
    Hasil survei kinerja dapat digunakan sebagai dasar keputusan promosi atau
    penurunan pangkat karyawan.
  6. Mendiagnosis kesalahan desain pekerjaan
    Kinerja yang buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam desain tempat kerja.
    Tinjauan kinerja berguna dalam mendiagnosis kegagalan.
  7. Evaluasi proses rekrutmen dan seleksi
    Kinerja karyawan baru yang buruk dapat disebabkan oleh ketidakberesan dalam
    proses perekrutan dan seleksi.

Kinerja


Menurut Afandi (2018:83) kinerja adalah hasil kerja yang dapat dilakukan
oleh individu atau kelompok orang dalam suatu perusahaan, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing, untuk upaya mencapai tujuan
suatu organisasi tanpa melanggar hukum, moralitas atau etika. Menurut Hamali
(2018:98) kinerja adalah pencapaian yang dicapai oleh suatu kegiatan atau fungsi
atau indikator pekerjaan dalam waktu tertentu. Kinerja adalah tentang pekerjaan
dan hasil yang diperoleh dari pekerjaan tersebut (Hamali, 2018:98). Dari
penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan hasil atau
pencapaian yang diraih sesorang atau kelompok dengan tanggung jawab masingmasing di suatu perusahaan dan dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan
organisasi