Ekonomi makro atau makroekonomi adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan. Makroekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.(www.wikipedia.com)
Krisis ekonomi sepertinya telah membawa Indonesia kembali ke titik awal pembangunan. Bahkan dalam kondisi yang lebih sulit lagi. Ini disebabkan jumlah penduduk Indonesia sudah terlanjur banyak, kualitas yang masih kurang memadai, sumberdaya alam yang sudah banyak terkuras, serta utang luar negeri yang sedemikian besar.
Walaupun relatif sedikit data yang tersedia untuk menggambarkan besaran perubahan ekonomi yang terjadi sejak krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, namun masyarakat yang paling menderita akibat krisis ekonomi ini diperkirakan berada di daerah perkotaan di pulau Jawa. Disamping itu jika dilihat berdasarkan sektor ekonomi, maka nampaknya yang paling banyak terkena dampak krisis adalah sektor konstruksi, perpabrikan, properti, perbankan dan keuangan, serta sektor industri. Sektor-sektor di atas memang terkonsentrasi di daerah perkotaan di pulau Jawa, terutama di sekitar Jabotabek. Dilain pihak sektor pertanian, perikanan, kehutanan, serta pertambangan, terutama yang merupakan produk ekspor seperti coklat, cengkeh, plywood, minyak dan gas, udang dan lain sebagainya, justru mengalami keuntungan selama krisis ekonomi ini. Keuntungan tersebut disebabkan harga jual produk-produk tersebut menjadi sangat kompetitif dipasaran internasional, sebagai dampak dari depresiasi nilai tukar rupiah.
Indonesia telah berhasil mengembangkan sektor industri dengan penuh kehati-hatian dan disesuaikan dengan kondisi makro ekonomi yang ada. Namun sejak awal tahun 1990-an perkembangan industri tersebut berubah dengan lebih menekankan pada industri berteknologi tinggi. Dampaknya adalah terjadi tekanan yang sangat berlebihan pada pembiayaan yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Walaupun Indonesia sedikit demi sedikit berhasil mengatasi krisis ekonomi yang ditandai dengan mulai berputarnya roda ekonomi di sektor riil, sektor keuangan dan perbankan yang relatif semakin baik, serta arah perkembangan kondisi ekonomi makro yang semakin kondusif, namun terlalu dini jika mengatakan bahwa Indonesia telah keluar dari krisis dan siap untuk bersaing kembali dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Masalah harus ditelaah dengan benar untuk kemudian dianalisis apakah yang lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi persoalan mendasar tersebut telah ditangani dengan benar sehingga tidak terjadi krisisulangan dimasa mendatang. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri yang dipandang sebagai pangkal permasalahan krisis ekonomi saat ini masih belum dapat diselesaikan. Kecenderungan ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri ini menjadi semakin mendalam. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri tersebut tidak akan berkurang jika pemerintah tidak melakukan perubahan mendasar terhadap strategi pembangunan ekonomi yang ada pada saat ini.
Dalam upaya keluar dari krisis ekonomi dewasa ini perlu dikembangkan kebijaksanaan ekonomi makro dan mikro yang tetap mengacu pada pembangunan berwawasan kependudukan disamping peningkatan good governance, pembenahan utang luar negeri, sektor keuangan dan perbankan.Untuk itu harus dilakukan reorientasi kebijaksanaan ekonomi makro yang berwawasan kependudukan, sebagai berikut:
-Merubah Strategi Orientasi Ekspor dengan Strategi Pasar Dalam Negeri. Sebagai Negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia, maka jumlah penduduk tersebut harus dapat dimanfaatkan sebagai pasar bagi produk dalam negeri. Upaya memenuhi pasar dalam negeri perlu mendapat perhatian utama. Prioritas pada pasar domestik/dalam negeri sejalan dengan pembangunan berwawasan kependudukan (people-centered development). Jika kebijakan ini dijalankan, maka tidak saja berbagai usaha akan tumbuh, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Dalam hubungan ini tentunya jenis usaha kecil dan menengah yang menghasilkan barang-barang untuk keperluan domestik, yang perlu dikembangkan. Walaupun dengan tidak menutup kemungkinan untuk tetap melakukan ekspor, sepanjang harga, mutu dan corak, memungkinkan.
-Kembali pada usaha yang sederhana (simple business). Pembangunan ekonomi hendaknya bertumpu pada usaha-usaha yang sederhana yang memang sesuai dengan kondisi kebanyakan penduduk Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) harus mendapat dukungan yang luas dan dijalankan dengan konsisten. UKM telah terbukti menjadi tulang punggung penggerak ekonomi pada saat krisis.
-Kembali ke sektor pertanian dan kelautan. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, baik di darat maupun di air, seharusnya sektor pertanian dan kelautan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Namun sampai saat ini kenyataannya tidaklah demikian. Berbagai kebijakan yang ada belum mampu belum mampu meningkatkan “rate of return” mereka yang bekerja dalam sektor ini, sehingga banyak ditinggalkan orang. Harus dibuat suatu kebijakan yang mampu meningkatkan “rate of return” terhadap hasil pertanian dan kelautan. Untuk itu harus dikembangkan teknologi pertanian dan kelautan serta pengembangan berbagai produk pertanian dan kelautan dalam skala yang besar. Perlu dilakukan “economic of scale” dalam usaha sektor pertanian, khususnya agribisnis dan kelautan.
-Pemantapan konsep dan Implementasi Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Pembangunan kependudukan harus tetap terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan integrasinya kedalam berbagai sektor pembangunan, terutama yang berkaitan dengan sektor ekonomi. Jika selama ini kependudukan lebih dititik beratkan pada sektor sosial dalam kerangka pembangunan nasional, saat ini perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan pembangunan kependudukan kedalam sektor EKUIN. Dalam melaksanakan pembangunan kependudukan itu sendiri maka sasaran peningkatan kualitas penduduk harus tetap dijadikan prioritas utama pembangunan kependudukan, disamping masalah pengendalian kuantitas dan pengarahan mobilitas penduduk.
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkelanjutan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan
pembangunan ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan.
Belum terjadi strategi pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini.(www.bappenas.go.id)