Jenis Lingkungan Kerja


Sedarmayanti menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan
kerja terbagi menjadi 2 yaitu: (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan
kerja non fisik.
a. Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang
terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi
karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:

  1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan
    (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya).
  2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga
    disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia,
    misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi udara,
    pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap,
    warna, dan lain-lain.
    Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap
    karyawan, maka langkah pertama adalah harus mempelajari
    manusia, baik mengenai tingkah lakunya maupun mengenai
    fisiknya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan
    lingkungan fisik yang sesuai.
    b. Lingkungan Kerja non Fisik
    Menurut Sedarmayanti, lingkungan kerja non fisik adalah semua
    keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik
    hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja,
    ataupun hubungan dengan bawahan. Lingkungan non fisik ini juga
    merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
    Menurut Alex Nitisemito, perusahaan hendaknya dapat
    mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat
    atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama
    di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana
    kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.

Pengertian Lingkungan Kerja


Menurut Nitisemito dalam Nurhasanah (2010), lingkungan kerja adalah
segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.
Menurut Sedarmayati dalam Prayogo (2015), lingkungan kerja adalah
keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di
mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik
sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok.
Sedangkan menurut Budi W. Soetjipto (2008) mengemukakan bahwa
lingkungan kerja adalah segala suatu hal atau unsur-unsur yang dapat
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisasi
atau perusahaan yang akan memberikan dampak baik atau buruk terhadap
kinerja dan kepuasan kerja karyawan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi


Komitmen karyawan pada organisasi juga ditentukan oleh sejumlah factor.
Menurut Steers dalam Sopiah (2008), ada tiga factor yang mempengaruhi
komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :

  1. Ciri pribadi kinerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi dan
    variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.
  2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan
    rekan kerja dalam organisasi tersebut.
  3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan
    cara pekerja mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai
    organisasi.
    David dalam Sopiah (2008) mengemukakan empat faktor yang
    mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :
  4. Faktor personal : usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman
    kerja, kepribadian, dan lain-lain.
  5. Karakteristik pekerjaan : lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan,
    konflik pekerjaan, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dan lain-lain.
  6. Karakteristik struktur : besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi,
    kehadiran serikat pekerja, dan lain-lain.
  7. Pengalaman kerja : pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh
    terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi.
    Steers dan Poter dalam Sopiah (2008) mengemukakan ada sejumlah factor
    yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :
  8. Faktor Personal, meliputi : job expectations, psychological contract, job
    choice factors. Keseluruhan faktor ini akan membentuk faktor awal.
  9. Faktor Organisasi, meliputi : initial work experience, job scope,
    supervision, goal consistency organizational. Semua faktor ini akan
    membentuk dan memunculkan tanggung jawab.
  10. Non-Organizational Factors, meliputi : avaibility of alternative jobs.
    Merupakan factor yang bukan berasal dari dalam organisasi.

Perilaku Komitmen Organisasi


Menurut Spencer dan Spencer (1993) dalam Kaswan (2015) perilaku
komitmen organisasi adalah sebagai berikut:

  1. Usaha Aktif
    Melakukan usaha aktif agar selaras dengan berpakaian dengan
    tepat, dan menghargai norma-norma organisasi.
  2. Menjadi Model “Organizational Citizenship Behaviors.”
    Menunjukkan loyalitas, kemauan, membantu kolega menyelesaikan
    tugasnya, menghargai mereka yang memiliki otoritas.
  3. Kesadaran terhadap Tujuan
    Menyatakan komitmen. Memahami dan secara aktif mendukung
    misi dan sasaran organisasi; mengaitkan tindakan dan prioritasnya
    untuk memenuhi kebutuhan organisasi; memahami kebutuhan
    untuk kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih
    besar.
  4. Melakukan Pengorbanan Personal atau Professional
    Mendahulukan kebutuhan organisasi di atas kebutuhan sendiri;
    melakukan pengorbanan pribadi untuk memenuhi kebutuhan
    organisasi di atas identitas dan prefensi professional dan
    kepentingan keluarga.
  5. Membuat Keputusan yang Tidak Populer
    Mendukung keputusan yang menguntungkan organisasi meskipun
    mereka tidak populer, atau kontroversial.
  6. Mengorbankan Kebaikan Unit Sendiri Untuk Organisasi
    Mengorbankan kepentingan jangka pendek departemennya sendiri
    untuk kebaikan jangka panjang organisasi; meminta orang lain
    melakukan pengorbanan untuk memenuhi kebutuhan oranisasi
    yang lebih besar.
    Gibson et al (2009) dalam Kaswan (2015) menyatakan bahwa
    komitmen terhadap organisasi mencakup tiga sikap yaitu:
  7. Perasaan mengidentifikasi diri dengan tujuan organisasi,
  8. Perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi, dan
  9. Perasaan loyal terhadap organisasi.

Dimensi Komitmen Organisasi


Menurut Mayer dan Allen dalam Luthans (2011) yang dikutip oleh
Kaswan (2015) komitmen organisasi terdiri atas tiga dimensi yaitu:

  1. Komitmen Afektif (affective commitment).
    Menunjukkan kuatnya keinginan emosional karyawan untuk
    beradaptasi dengan nilai-nilai yang ada agar tujuan dan
    keinginannya untuk tetap di organisasi dapat terwujud. Komitmen
    afektif dapat timbul pada diri seorang karyawan dikarenakan
    adanya: karakteristik individu, karakteristik struktur organisasi,
    signifikansi tugas, berbagai keahlian, umpan balik dari pemimpin,
    dan keterlibatan dalam manajemen. Umur dan lama masa kerja di
    organisasi sangat berhubungan positif dengan komitmen afektif.
    Karyawan yang memiliki komitmen afektif akan cenderung untuk
    tetap dalam satu organisasi karena mereka mempercayai
    sepenuhnya misi yang dijalankan oleh organisasi.
  2. Komitmen Berkelanjutan (continuance commitment).
    Komitmen yang didasari atas kekhawatiran seseorang terhadap
    kehilangan sesuatu yang telah diperoleh selama ini dalam
    organisasi, seperti: gaji, fasilitas, dan yang lainnya. Hal-hal yang
    menyebabkan adanya komitmen kelanjutan, antara lain adalah
    umur, jabatan, dan berbagai fasilitas serta berbagai tunjangan yang
    diperoleh. Komitmen ini akan menurun jika terjadi pengurangan
    terhadap berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang diperoleh
    karyawan.
  3. Komitmen Normatif (normative commitment).
    Menunjukkan tanggung jawab moral karyawan untuk tetap tinggal
    dalam organisasi. Penyebab timbulnya komitmen ini adalah
    tuntutan sosial yang merupakan hasil pengalaman seseorang dalam
    berinteraksi dengan sesama atau munculnya kepatuhan yang
    permanen terhadap seorang panutan atau pemilik organisasi
    dikarenakan balas jasa, respek sosial, budaya atau agama.

Pengertian Komitmen Organisasi


Luthans (2005) mengemukakan bahwa komitmen organisasi sebagai
sikap yang menunjukkan loyalitas pegawai dan merupakan proses
berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi mengekspresikan
perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan organisasinya. Dengan
kata lain bahwa komitmen merupakan sikap yang merefleksi loyalitas
karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan, dimana anggota
organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan
keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Komitmen organisasi juga di
definisi sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak kepada
organisasi dan tujuan organisasi serta bersedia untuk menjaga keanggotaan
dalam organisasi (Robbins, 2003).
Definisi komitmen organisasi menurut Arishanti (2009) dalam Albert
(2015) adalah sebagai berikut:
“Komitmen organisasional adalah kepercayaan dan penerimaan yang
kuat terhadap nilai-nilai organisasi, kemauan untuk bekerja keras, dan
memelihara keanggotaannya dalam organisasi yang bersangkutan,
yang berarti ada keinginan yang kuat dari anggota untuk tetap berada
dalam organisasi atau adanya ikatan psikologis terhadap organisasi.”
Komitmen organisasi menurut Sopiah (2008) merupakan suatu ikatan
secara psikologis yang terjadi pada diri seseorang terhadap organisasi untuk
mempertahankan kedudukan, adanya kemauan yang tinggi untuk memajukan
organisasi dan rasa loyalitas yang tinggi untuk tidak meninggalkan organisasi
dalam keadaan apapun.

Indikator Budaya Organisasi


Indikator-indikator budaya organisasi menurut Eugene Mckenna (2005)
adalah sebagai berikut:

  1. Hubungan antar manusia dengan manusia
    Hubungan antar manusia dengan manusia yaitu keyakinan masingmasing para anggota organisasi bahwa mereka diterima secara
    benar dengan cara yang tepat dalam sebuah organisasi.
  2. Kerjasama
    Kerjasama adalah kemampuan seseorang tenaga kerja untuk
    bekerja bersama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu
    tugas dan pekerjaan yang telah ditetapkan sebagai mencapai daya
    guna yang sebesar-besarnya.
  3. Penampilan karyawan
    Penampilan karyawan adalah kesan yang dibuat oleh seseorang
    terhadap orang lainnya, misalnya keserasian pakaian dan
    penampilannya.
    Indikator budaya organisasi menurut Victor Tan dalam Wibowo (2006)
    adalah sebagai berikut:
  4. Individual initiative (inisiatif perseorangan)
    Yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan kemerdekaan yang
    dimiliki individu.
  5. Risk tolerance (toleransi terhadap risiko)
    Yaitu suatu tingkatan di mana pekerja didorong mengambil risiko,
    menjadi agresif dan inovatif.
  6. Control (pengawasan)
    Yaitu jumlah aturan dan pengawasan langsung yang dipergunakan
    untuk melihat dan mengawasi para perilaku kerja.
  7. Management support (dukungan manajemen)
    Yaitu tingkat di mana manajer mengusahakan komunikasi yang
    jelas, bantuan dan dukungan pada bawahannya.
  8. Communication pattern (pola komunikasi)
    Yaitu suatu tingkatan di mana komunikasi organisasi dibatasi pada
    kewenangan hierarki formal

Fungsi-fungsi Budaya Organisasi


Menurut Robbins (2002), budaya memiliki beberapa fungsi di dalam
suatu organisasi. Pertama, budaya memiliki suatu peran batas-batas penentu;
yaitu, budaya menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan
organisasi yang lain. Kedua, budaya berfungsi untuk menyampaikan rasa
identitas kepada anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya mempermudah
penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas, melebihi
batasan ketertarikan individu. Keempat, budaya mendorong stabilitas sistem
sosial. Budaya merupakan suatu ikatan sosial yang membantu mengikat
kebersamaan organisasi dengan menyediakan standar-standar yang sesuai
mengenai apa yang harus dilakukan karyawan. Kelima, budaya bertugas
sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian yang memberikan
panduan dan bentuk perilaku serta sikap karyawan.
Budaya yang bermacam-macam ragamnya dan memiliki ciri khas
tersendiri yang terbentuk dikarenakan pengaruh-pengaruh kepercayaan,
tingkah laku, hubungan sosial maupun solidaritas para anggota-anggotanya,
ini menciptakan suatu tipe-tipe budaya berbeda dan unik diantara organisasi
satu dengan yang lainnya, dalam penelitian Goffe & Jones dalam Robbins
(2002) mengidentifikasikan empat tipe budaya yang unik, yaitu :

  1. Budaya Jaringan (tinggi pada hubungan sosial, rendah pada solidaritas).
    Organisasi ini melihat anggotanya sebagai teman dan keluarga. Anggota
    organisasi tahu dan senang memberi bantuan pada orang lain dan
    memberikan informasi yang terbuka. Aspek dominan yang sifatnya negatif
    dengan model budaya-budaya seperti ini adalah fokus pada persahabatan
    tetapi memberikan dampak pemberian toleransi pada kinerja yang rendah
    dan terjadinya permainan politik.
  2. Budaya Upahan (rendah pada hubungan sosial, tinggi pada solidaritas).
    Organisasi ini benar-benar memfokuskan diri pada tujuan. Anggota
    organisasi diharuskan berorientasi kepada tujuan. Mereka harus
    mengerjakan segala sesuatu dengan cepat. Fokus pada tujuan dan obyektif
    dapat mengurangi faktor politik. Dampak dari perlakuan budaya ini adalah
    kurang adanya perlakuan manusiawi pada anggota organisasi yang
    berkinerja rendah.
  3. Budaya Fragmen (rendah pada hubungan sosial, rendah pada solidaritas).
    Organisasi ini dibuat secara individualistis. Komitmen adalah faktor
    penting yang diletakkan pada unsur pertama pada semua anggota
    organisasi dan pada tugas pekerjaannya. Anggota organisasi dituntut untuk
    produktif dan orientasi pada kualitas pekerjaan. Dampak dominan yang
    terjadi pada budaya organisasi seperti ini adalah saling kritik diantara
    anggota dan kurang erat hubungan antara anggota organisasi.
  4. Budaya Komunal (tinggi pada hubungan sosial, tinggi pada solidaritas).
    Penilaian pada persahabatan dan kinerja. Anggota organisasi mempunya
    perasaan memiliki tetapi tetap fokus pada pencapaian prestasi. Pemimpin
    dari budaya organisasi ini sangat inspiratif dan karismatik dengan visi
    yang jelas untuk masa depan organisasi. Tetapi di budaya organisasi
    seperti ini seorang pemimpin karismatik lebih banyak menghasilkan murid
    daripada pengikut, sehingga iklim kerja adalah terjadinya pemujaan
    terhadap pemimpinnya.

Karakteristik Budaya Organisasi


Menurut Robbins dan Judge dalam Danang (2015), ada 7 (tujuh)
karakteristik yang mencakup inti dari budaya organisasi, yaitu:

  1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko, adalah sejauh mana organisasi
    mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
  2. Perhatian pada hal-hal rinci/detail, adalah sejauh mana karyawan
    diharapkan menjalankan kecermatan, analisis dan perhatian pada hal-hal
    detail.
  3. Berorientasi pada hasil, adalah sejauh mana manajemen memusatkan
    perhatian pada hasil daripada perhatian pada teknik dan proses yang
    digunakan untuk meraih hasil tersebut.
  4. Berorientasi pada orang, adalah sejauh mana keputusan-keputusan
    manajemen memperhitungkan efek dari hasil-hasil tersebut pada orangorang di dalam organisasi.
  5. Berorientasi pada tim, adalah sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja
    diorganisasikan secara tim, bukan individu-individu.
  6. Keagresifan, adalah sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif
    dan kompetitif daripada santai.
  7. Stabilitas, adalah sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
    status quo (mempertahankan apa yang ada karena dianggap sudah cukup
    baik) daripada pertumbuhan

Terbentuknya Budaya Organisasi


Budaya organisasi menurut Falikhatun dalam Danang (2015)
merupakan kebiasaan, tradisi, dan tata cara umum dalam melakukan sesuatu
dan sebagian besar berasal dari pendiri organisasi. Secara tradisional, pendiri
organisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap budaya awal organisasi.
Mereka memiliki visi tentang akan menjadi apa organisasi itu nantinya.
Mereka juga tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi
sebelumnya. Ukuran kecil organisasi yang merupakan ciri ketika organisasi
baru pertama kali berdiri, lebih memudahkan pendiri untuk memaksakan visi
mereka kepada seluruh anggota organisasi. Proses penciptaan budaya
organisasi terjadi melalui 3 (tiga) cara, yaitu:

  1. Pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang memiliki
    satu pikiran dan satu perasaan dengan mereka.
  2. Mereka melakukan indoktrinasi dan mensosialisasikan cara pikir serta
    berperilaku mereka kepada karyawan.
  3. Perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong
    karyawan untuk mengidentifikasi diri dan menginternalisasi keyakinan,
    nilai, serta asumsi tersebut.

Pengertian Budaya Organisasi


Budaya organisasi menurut Robbins dan Judge dalam Danang (2015)
adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota
organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang
lain. Hal ini berarti setiap organisasi mempunyai sistem makna yang berbeda.
Perbedaan ini menyebabkan setiap organisasi mempunyai karakteristik yang
unik dan berbeda serta respon yang berbeda ketika menghadapi masalah yang
sama.
Glaser dalam Kreitner dan Kinicki (2005) menyatakan “Budaya
organisasi seringkali digambarkan dalam arti dimiliki bersama. Pola-pola dari
kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual, dan mitos-mitos yang berkembang
dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan
organisasi”.
Budaya organisasi di definisikan sebagai kerangka kerja yang kognitif
yang memuat sikap-sikap, nilai-nilai, norma-norma, dan pengharapanpengharapan bersama yang dimiliki oleh anggota-anggota organisasi
(Greenberg dan Baron, 2000).
Menurut Gibson et al (2003), budaya organisasi adalah what the
employes perceive and how this perception creates a pattern of beliefs,
values, and expectation. Mangkunegara (2005) menyimpulkan pengertian
budaya organisasi sebagai seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilainilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan
pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Kartono (1994) mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang muncul
pada kelompok-kelompok kerja di perusahaan-perusahaan berasal dari
macam-macam sumber, antara lain: dari stratifikasi kelas sosial asal, dari
sumber-sumber teknis dan jenis pekerjaan, iklim psikologis perusahaan
sendiri yang diciptakan oleh majikan, para direktur dan manajer-manajer
yang melatarbelakangi iklim kultur buruh-buruh dalam kelompok kecil yang
informal.
Susanto (1997) mengemukakan bahwa budaya organisasi sebagai nilainilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi
permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang
ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang tentunya berbedabeda dalam bentuk perilakunya. Dalam organisasi implementasi budaya
dirupakan dalam bentuk perilaku, artinya perilaku individu dalam organisasi
akan diwarnai oleh budaya organisasi yang bersangkutan. Arnold dan
Feldman (1986), menyatakan perilaku individu berkenaan dengan tindakan
yang nyata dilakukan oleh seseorang dapat diartikan bahwa dalam melakukan
tindakan seseorang pasti tidak akan terlepas dari perilakunya.

Tujuan Motivasi


Menurut Sunyoto (2013: 17-18), diberikannya motivasi kepada
karyawan atau seseorang tentu saja mempunyai tujuan antara lain:

  1. Mendorong gairah dan semangat karyawan
  2. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
  3. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan
  4. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan karyawan.
  5. Miningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi karyawan.
  6. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
  7. Meningkatkan keativitas dan partisipasi karyawan.
  8. Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
  9. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas dan
    pekerjaannya.

Alat-Alat Motivasi


Dalam melakukan motivasi tentunya diperlukan sebuah alat. Menurut
Hasibuan (2009: 149-150) ada tiga alat motivasi, diantaranya sebagai berikut:

  1. Materiil Insentif, yaitu motivasi yang diberikan itu berupa uang dan atau
    barang yang mempunyai nilai pasar, jadi memberikan kebutuhan
    ekonomis. Misalnya kendaraan, rumah dan lain-lainnya.
  2. Nonmateril Insentif, yaitu motivasi yang diberikan itu berupa barang atau
    benda yang tidak ternilai, jadi hanya memberikan kepuasan atau
    kebanggaan rohani saja. Misalnya medali, piagam, bintang jasa dan lainlainnya.
  3. Kombinasi Materil dan Nonmateril Insentif, yaitu alat motivasi yang
    diberikan itu berupa materil (uang atau barang) dan nonmateril (medali
    atau piagam), jadi memenuhi kebutuhan ekonomis dan kepuasan atau
    kebanggaan rohani.

Model-Model Motivasi


Menurut pendapat Samsudin (2009: 284-285) terdapat tiga model
motivasi, yaitu motivasi tradisional, model hubungan manusiawi, dan model
sumber daya manusia dengan penjelasannya sebagai berikut:

  1. Model Tradisional
    Secara tradisional, para manajer mendorong atau memotivasi tenaga kerja
    dengan cara memberikan imbalan berupa gaji atau upah yang makin
    meningkat. Artinya, apabila mereka rajin bekerja dan aktif, upahnya akan
    dinaikkan. Pandangan ini menganggap bahwa pada dasarnya para
    karyawan malas dan dapat didorong kembali hanya dengan imbalan
    keuangan. Meskipun demikian, para manajer makin lama makin
    mengurangi jumlah imbalan tersebut.
  2. Model Hubungan Manusiawi (Human Relation Model)
    Pada model ini, para manajer dapat memotivasi karyawan dengan cara
    memenuhi kebutuhan sosial mereka dan membuat mereka merasa penting
    dan berguna. Ini berarti kepuasan dalam bekerja karyawan harus
    ditingkatkan, antara lain dengan cara memberikan lebih banyak kebebasan
    kepada karyawan untuk mengambil keputusan dalam
    menjalankanpekerjaan mereka. Dalam hal ini dikembangkan kontak sosial
    atau hubungan kemanusiaan secara lebih baik merupakan fakotr motivasi
    yang penting.
  3. Model Sumber Daya Manusia (Human Resources Model)
    Motivasi yang penting dalam model ini adalah penggembangan tanggung
    jawab bersama untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara setiap
    anggota atau karyawan menyumbangkan sesuatu kepada organisasi sesuai
    dengan kepentingan dan kemampuan masing-masing.

Metode-Metode Motivasi


Memberikan sebuah motivasi tentunya memiliki sebuah metode,
menurut Hasibuan (2009: 149) ada dua macam metode dalam memberikan
motivasi, diantaranya adalah:

  1. Metode Langsung (Direct Motivation)
    Adalah motivasi (materil dan nonmateril) yang diberikan secara langsung
    kepada setiap individu, karyawan untuk memenuhi kebutuhan dan
    kepuasannya. Jadi, sifatnya khusus seperti memberikan pujian,
    penghargaan, bonus, piagam dan lainnya.
  2. Metode Tidak Langsung (Indirect Motivation)
    Adalah motivasi yang diberikan hanya merupakan fasilitas yang
    mendukung serta menunjang gairah kerja atau kelancaran tugas, sehingga
    para karyawan betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya

Jenis-Jenis Motivasi


Menurut Hasibuan (2009: 150) motivasi terbagi menjadi dua jenis yaitu
motivasi positif dan motivasi negatif, yaitu sebagai berikut:

  1. Motivasi positif, yaitu manajer memotivasi bawahan dengan memberikan
    hadiah kepada mereka yang berprestasi baik. Dengan motivasi positif ini
    semangat kerja bawahan akan meningkat, karena manusia pada umumnya
    menerima sesuatu yang baik.
  2. Motivasi negatif, yaitu manajer memotivasi bawahannya dengan
    memberikan hukuman kepada merek yang pekerjaannya kurang baik.
    Dengan memotivasi negatif ini semangat kerja bawahan dalam jangka
    waktu pendek akan meningkat, karena mereka takut dihukum.

Pengertian Motivasi


Menurut Samsudin (2009: 281), motivasi adalah proses mempengaruhi
atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau sekelompok kerja agar
mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Menurut
Mangkunegara (2009: 61), motivasi adalah kondisi atau energi yang
menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan
organisasi perusahaan. Menurut Wukir (2013: 115), motivasi adalah proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seseorang dalam berusaha
mencapai tujuannya.

Keterampilan Pemimpin


Menurut Sunyoto (2013: 39) para pemimpin menggunakan jenis
keterampilan yang berbeda yaitu:
a. Keterampilan Teknis (Technical Skill)
Keterampilan ini mengacu pada pengetahuan dan keterampilan seseorang
dalam salah satu jenis proses atau teknik. Keterampilan ini merupakan
ciri yang menonjol dari prestasi kerja pada tingkat operasional, tetapi
pada saat pegawai dipromosikan pada tanggung jawab kepemimpinan,
keterampilan teknis secara proporsional menjadi kurang penting
b. Keterampilan Manusiawi (Human Skill)
Keterampilan manusiawi adalah kemampuan bekerja secara efektif
dengan orang-orang dan membina kerja tim. Setiap pemimpin pada
semua tingkat organisasi memerlukan keterampilan manusiawi yang
efektif. Ini merupakan bagain penting dari perilaku pemimpin.
c. Keterampilan Konseptual (Conseptual Skill)
Keterampilan konseptual adalah kemampuan untuk berpikir dan
kaitannya dengan model, kerangka, hubungan yang luas seperti rencana
jangka panjang. Keterampilan ini menjadi semakin penting dalam
pekerjaan manajerial yang lebih tinggi. Keterampilan konseptual
berurusan dengan gagasan, sedangkan keterampilan manusiawi berfokus
pada orang dan keterampilan teknis pada benda.

Syarat-Syarat Kepemimpinan


Menurut Hamalik (2007: 170-172) untuk menjadi seorang pemimpin
haruslah memenuhi beberapa syarat, yaitu diantaranya:

  1. Karakteristik Manajer
    Manajer adalah pemimpin dalam suatu organisasi. Dia harus mampu
    melaksanakan pekerjaannya dan menggerakkan semua sumber yang
    tersedia guna mencapai tujuan organisasinya. Tugasnya sebagai manajer
    atau pemimpin pada gilirannya mempersyaratkan karakteristik tertentu
    yang harus terpenuhi adalah:
    a. Memiliki kondisi badan yang sehat.
    b. Memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas.
    c. Memiliki keyakinan, bahwa organisasi yang dipimpinnya akan
    berhasil mencapai tujuannya.
    d. Memiliki pemahaman yang jelas tentang hakikat dankeunikan tujuan
    organisasi
    e. Memiliki daya kerja dan antusias yang besar atas pekerjaannya.
    f. Memiliki kemampuan mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
    g. Memiliki sikap yang objektif dan rasional
    h. Memiliki sikap dan tindakan yang adil dalam memperlakukan
    bawahan.
    i. Menguasai prinsip-prinsip hubungan antarmanusiawi.
    j. Menguasai teknik-teknik berkomunikasi.
    k. Memiliki kemampuan bertindak sebagai penasihat atau pembimbing
    bagi bawahan dan rekan kerjanya.
    l. Memiliki gambaran yang menyeluruh terhadap semua aspek
    kegiatan organisasi
  2. Tingkah laku kepemimpinan
    Tingkah laku kepemimpinan tentunya dapat dipelajari asalkan manajer
    bersangkutan mau belajar. Pemimpin yang efektif perlu mempelajari
    kebutuhan kelompok dalam situasi tertentu dan bersikap luwes,
    bertingkah laku sesuai dengan tuntutan dan kondisi yang ada, disamping
    perlunya kerjasama dengan anggota kelompok dalam melaksanakan
    fungsi-fungsi manajemen yang penting.
  3. Kepemimpinan dan Pembuatan Keputusan
    Pembuatan keputusan terdiri dari dua alternatif, yakni alternatif
    pembuatan keputusan masalah-masalah pribadi dan alternatif pembuatan
    keputusan masalah kelompok. Alternatif pertama dilkakukan dengan cara
    membuat keputusan berdasarkan informasi yang dimiliki sendiri, atau
    berdasarkan informasi dari bawahan, atau menyebarkan masalah kepada
    bawahan untuk memperoleh gagasan dan saran atau menyebarkan
    masalah kepada seorang bawahan, lalu bersama-sama menganalisis dan
    membuat keputusan atau mendelegasikan masalah kepada seorang
    bawahan sambil melengkapinya dengan informasi yang serasi dan
    memberinya tanggung jawab untuk memecahkan masalah.
    Alternatif kedua, yakni masalah pokok diselesaikan dengan cara
    memecahkan masalah sendiri atau memperoleh informasi dari bawahan
    dan pemimpin yang memecahkannya, atau membagi masalah kepada
    bawahan secara individual untuk memperoleh gagasan dan saran, atau
    membagi masalah tersebut melalui pertemuan kelompok untuk
    memperoleh gagasan dan saran, atau membagai masalah tersebut kepada
    satu kelompok dan bersama pemimpin mencapai kesepakatan dalam
    pemecahan masalah dan pembuatan keputusan.

Kualitas Kepemimpinan


Menurut Rivai (2009: 823) ada beberapa kualitas kepemimpinan yang
mungkin dapat diusahakan dalam penyeleksian manajer-manajer dan
dikembangkan dalam mempersiapkan manajer bagi pelaksanaan tugas masa
depan. Para pemimpin lazimnya berbeda dalam hal:

  1. Menentang status quo yaitu mereka dengan rasa ingin tahu yang besar,
    berani, terang-terangan, dan bertindak untuk mengubah yang sudah
    dilakukan.
  2. Terinspirasi visi yang tersebar yaitu mereka meneriakkan misi, visi,
    seperangkat sasaran yang tepat, dan berkelakuan dengan cara yang
    konsisten bersama karyawan.
  3. Membantu yang lain mengambil tindakan yaitu merka memberikan
    bimbingan dan sumber serta pekerjaan ke arah pemberian wewenang
    yang lain untuk bertindak menurut cara mereka sendiri.
  4. Menanggulangi kerancuan, ketidakpastian dan kompleksitas yaitu
    mereka bertindak secara menyenangkan dalam organisasi yang fleksibel
    dan berubah.
  5. Sungguh-sungguh perhatian terhadap orang-orang yaitu mereka sensitif
    pada orang-orang, mereka mendengarkannya, memberi mereka perhatian,
    dan menjaga agar mereka termotivasi.
  6. Menyadari diri sendiri yaitu mereka tahu kekuatan dan keterbatasan
    mereka sendiri dan memiliki tingkat kerendahan hati yang mendorong
    untuk belajar terus.

Ciri-Ciri Kepemimpinan


Seorang pemimpin paling sedikit harus memimpin bawahan untuk
mencapai tujuan organisasi, mampu menangani hubungan antar karyawan,
mempunyai interaksi antarpersonel yang baik, mempunyai kemampuan untuk
bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.
Menurut Samsudin (2009: 293-294), ada beberapa sifat pemimpin yang
berguna dan dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

  1. Keinginan untuk Menerima Tanggung Jawab
    Seorang pemimpin yang menerima kewajiban untuk mencapai suatu
    tujuan berarti bersedia bertanggung jawab pada pimpinannya atas segala
    yang dilakukan bawahannya.
  2. Kemampuan untuk “Perceptive”
    Perceptive adalah menunjukkan kemampuan untuk mengamati atau
    menemukan kenyataan dari suatu lingkungan. Setiap pimpinan harus
    mengenal tujuan organisasi sehingga ia dapat bekerja untuk membantu
    mencapai tujuan tersebut.
  3. Kemampuan Bersikap Objektif
    Objektivitas adalah kemampuan untuk melihat suatu peristiwa atau
    merupakan perluasan dari kemampuan persepsi. Objektivitas membantu
    pimpinan untuk meminimumkan faktor-faktor emosional dan pribadi
    yang mungkin mengaburkan realitas.
  4. Kemampuan untuk Menentukan Prioritas
    Kemampuan ini sangat diperlukan karena pada kenyataanya masalahmasalah yang harus dipecahkan bukan datang satu per satu, melainkan
    datang bersamaan dan berkaitan antara satu dengan yang lainnya
  5. Kemampuan untuk Berkomunikasi
    Kemampuan untuk memberikan dan menerima informasi merupakan
    keharusan bagi seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemberian perintah
    dan penyampaian informasi kepada orang lain mutlak perlu dikuasai

Tipe-Tipe Kepemimpinan


Menurut pendapat Siagian (2009: 74-83) ada lima tipe kepemimpinan
yang ada pada diri seorang pemimpin, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Tipe Otoriter
    Merupakan tipe seorang pemimpin yang tergolong sebagai orang yang
    otoriter memiliki ciri-ciri yang pada umumnya negatif. Ciri-cirinya
    sebagai berikut:
    a. Penonjolan diri yang berlebihan sebagai simbol keberadaan organisasi
    hingga cenderung bersikap bahwa dirinya dan organisasi adalah
    identik. Dengan demikian, yang bersangkutan memandang dan
    memperlakukan organisasi sebagai miliknya.
    b. Kegemarannya yang suka menonjolkan diri sebagai penguasa tunggal
    dalam organisasi dan tidak dapat menerima adanya orang lain dalam
    organisasi yang potensial menyaingi dirinya.
    c. Pemimpin yang otoriter biasanya dihinggapi sikap gila kehormatan
    dan menggemari berbagai upacara atau seremoni yang
    menggambarkan kehebatannya.
    d. Tujuan pribadinya sama dengan tujuan organisasi. Ciri ini merupakan
    “konsekuensi” dari tiga ciri yang disebut terdahulu. Dengan ciri ini
    timbul persepsi kuat dalam dirinya bahwa para anggota organisasi
    mengabdi kepadanya.
    e. Karena pengabdian para karyawan dianggap sebagai pengabdian yang
    sifatnya pribadi, loyalitas karyawan merupakan tuntutan yang sangat
    kuat. Demikian kuatnya sehingga mengalahkan kriteria kekayaan yang
    lain seperti kinerja, kejujuran, serta penerapan norma-norma, moral
    dan etika.
    f. Pemimpin yang otoriter menentukan dan menerapkan disiplin
    organisasi yang keras dan menjalankannya dengan sikap yang kaku.
    Dalam suasana kerja seperti itu tidak ada kesempatan bagi para
    bawahan untuk bertanya apalagi untuk mengajukan pendapat atau
    saran.
    g. Seorang pemimpin yang otoriter biasanya menyadari bahwa gaya
    kepemimpinannya itu hanya efektif jika yang bersangkutan
    menerapkan pengendalian atau pengawasan yang ketat. Karena itu,
    pemimpin yang demikian selalu berupaya untuk menciptakan
    instrumen pengawasan sedemikian rupa sehingga dasar ketaatan para
    bawahan bukan kesadaran, melainkan ketakutan.
  2. Tipe Paternalistik
    Pengalaman para praktisi dan penelitian para ahli menunjukkan bahwa
    banyak pejabat pemimpin dalam berbagai jenis oraganisasi termasuk
    organisasi bisnis tergolong pada tipe ini. Berbagai ciri-ciri yang menonjol
    adalah sebagai berikut:
    a. Penonjolan keberadaanya sebagai simbol organisasi. Seorang
    pemimpin yang paternalistik senang untuk menonjolkan diri.
    b. Sering menonjolkan sikap paling mengetahui. Karena itu, dalam
    praktik tidak jarang menunjukkan gaya “menggurui” dan, bahwa para
    bawahannya harus melaksanakan apa yang diajarkannya itu. Dengan
    kata lain, dengan ciri ini, seorang pemimpin tidak membuka pintu atau
    memberikan kesempatan bagi para karyawannya untuk menujukkan
    kreativitas dan inovasinya.
    c. Memperlakukan para karyawan sebagai orang-orang yang belum
    dewasa, bahwa seolah-olah mereka masih anak-anak. Seorang
    pemimpin yang tergolong dalam tipe paternalistik tidak akan
    mendorong kemandirian para karyawannya karena tidak ingin mereka
    berbuat kesalahan yang pada akhirnya akan berakibat pada kerugian
    bagi organisasi.
    d. Sifat melindungi. Bersifat melindungi yang memiliki arti negatif yaitu
    sikap seorang pemimpin yang tidak mendorong para karyawannya
    untuk mengambil risiko karena takut akan timbul dampak negatif bagi
    organisasi.
    e. Sentralisasi pengambilan keputusan. Artinya, pemimpinlah yang
    menjadi pusat pengambilan keputusan, pelimpahan wewenang untuk
    mengambil keputusan pada tingkat yang lebih rendah dalam
    organisasi tidak akan terjadi.
    f. Melakukan pengawasan yang ketat.
  3. Tipe Laissez Faire
    Tipe ini ditandai oleh ciri-ciri yang mungkin dapat dikatakan “aneh” dan
    sulit membayangkan situasi organisasional dimana tipe ini dapat
    digunakan secara efektif. Ciri-ciri yang menonjol ialah:
    a. Gaya santai yang berangkat dari pandangan bahwa organisasi tidak
    menghadapi masalah yang serius dan kalaupun ada, selalu dapat
    ditemukan penyelesaiannya.
    b. Pemimpin tipe ini tidak senang mengambil risiko.
    c. Tipe ini gemar melimpahkan wewenang kepada para karyawan dan
    lebih menyenangi situasi bahwa para karyawan yang mengambil
    keputusan dan keberadaannya dalam organisasi lebih bersifat suportif.
    d. Enggan mengenakan sanksi-sanksi yang keras terhadap para
    karyawannya yang menampilkan perilaku menyimpang, tetapi
    sebaliknya senang “mengobral pujian”.
    e. Memperlakukan karyawan sebagai rekan dan karena itu hubungan
    yang bersifat hierarkis tidak disenanginya.
    f. Keserasian dalam interaksi organisasional dipandang sebagai etos
    yang perlu dipertahankan.
  4. Tipe Demokratik
    Tidak sedikit orang yang mendambakan atasan yang tergolong sebagai
    pemimpin yang demokratik. Bahkan ada pendapat yang mengatakan
    bahwa tipe inilah yang ideal. Ciri-cirinya antara lain:
    a. Mengakui harkat dan martabat manusia. Dengan demikian, berupaya
    untuk selalu memperlakukan para bawahan dengan cara-cara yang
    manusiawi.
    b. Menerima pendapat yang mengatakan bahwa sumber daya manusia
    merupakan unsur yang paling strategik dalam organisasi meskipun
    sumber daya dan dana lainnya tetap diakui sebagai sumber yang
    penting, seperti uang atau modal, mesin, materi, metode kerja, waktu
    dan informasi yang kesemuanya hanya bermakna apabila diolah dan
    digunakan oleh manusia, misalnya menjadi produk untuk dipasarkan
    kepada para konsumen yang memerlukannya.
    c. Para karyawannya adalah insan dengan jati diri yang khas dan karena
    itu harus diperlakukan dengan mempertimbangkan kekhasannya itu.
    d. Pemimpin yang demokratik tangguh membaca situasi yang dihadapi
    dan dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi
    tersebut.
    e. Gaya kepemimpinan yang demokratik rela dan mau melimpahkan
    wewenang pengambilan keputusan kepada para karyawannya
    sedemikian rupa tanpa kehilangan kendali organisasional, dan tetap
    bertangung jawab atas tindakan para karyawannya itu.
    f. Mendorong para karyawannya untuk mengembangkan kreativitas
    mereka.
    g. Tidak ragu untuk membiarkan para karyawannya mengambil risiko
    dengan catatan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh telah
    diperhitungkan dengan matang.
    h. Pemimpin yang demokratik bersifat mendidik dan membina, dalam
    hal bawahan berbuat kesalahan dan tidak serta-merta bersifat
    menghukum.
  5. Tipe Kharismatik
    Ciri utama pemimpin tipe kharismatik yaitu bahwa ia mempunyai daya
    tarik kuat bagi orang lain sehingga orang lain itu bersedia mengikutinya
    tanpa selalu bisa menjelaskan apa penyebab kesediaan itu. Ciri- ciri
    pemimpin dengna tipe kharismatik adalah sebagai berikut:
    a. Percaya diri yang besar, yang mempunyai arti para pemimpin yang
    kharismatik memiliki keyakinan yang mendalam tentang
    kemampuannya, baik dalam arti berpikir maupun bertindak.
    b. Mempunyai visi. Seperti dimaklumi, visi adalah rumusan tentang
    masa depan yang diinginkan bagi organisasi yang berperan selaku
    memberi arah yang akan ditempuh di masa depan dan pedoman untuk
    bergerak.
    c. Kemampuan untuk mengartikulasikan visi. Dalam dunia manajemen
    bahwa visi dinyatakan oleh pemimpin harus menjadi milik setiap
    orang dalam organisasi. Hal itu dilakukan melalui proses sosialisasi
    yang sistematik sehingga terjadi internalisasi dalam diri apra anggota
    organisasi dan dengan demikian siap dan mampu
    mengaktualisasikannnya dalam kehidupan sehari-hari.
    d. Keyakinan yang kuat tentang tepatnya visi yang dinyatakannya
    kepada para bawahan. Seorang pemimpin yang kharismatik
    dipersepsikan sebagai seorang yang bersedia:

Variabel Kepemimpinan


Menurut Sudarmo dan Sudita dalam Sunyoto (2013: 35-36)
kepemimpinan terdapat lima variabel, yaitu:

  1. Cara berkomunikasi
    Setiap pemimpin harus mampu memberikan informasi yang jelas dan
    untuk itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dan
    lancar. Karena dengan komunikasi yang baik dan lancar, tentu hal ini
    akan memudahkan bagi bawahannya untuk menangkap apa yang
    dikehendaki oleh seorang pemimpin.
  2. Pemberian motivasi
    Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi
    yang baik dan lancar tentu saja juga harus mempunyai kemampuan untuk
    memberikan dorongan-dorongan atau motivasi kepada bawahannya.
    Perhatian seorang pemimpin akan sangat berarti bagi bawahan, bahwa
    dari segi penghargaan ataupun pengakuan sangat memberikan makna
    yang sangat tinggi bagi karyawan atau bawahan.
  3. Kemampuan memimpin
    Tidak setiap pemimpin mampun memimpin, karena yang berkenaan
    dengan bakat seseorang untuk mempunyai kemampuan memimpin
    adalah berbeda-beda. Hal ini dapat terlihat dalam gaya
    kepemimpinannya, apakah mempunyai gaya kepemimpinan otokratik,
    partisipatif, atau bebas kendali.
  4. Pengambilan keputusan
    Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan berdasarkan
    fakta dan peraturan yang berlaku di perusahaan serta keputusan yang
    diambil tersebut mampu memberikan motivasi bagi karyawan untuk
    bekerja lebih baik bahkan mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan
    dari perusahaan.
  5. Kekuasaan yang positif
    Seorang pemimpin dalam menjalankan organisasi atau perusahaan
    walaupun dengan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda tentu saja
    harus memberikan rasa aman bagi karyawan (bawahan) yang bekerja.

Pengertian Kepemimpinan


Ada beberapa macam pengertian mengenai kepemimpinan diantaranya
menurut Wukir (2013: 134) memberikan pengertian kepemimpinan yang
merupakan seni memotivasi dan mempengaruhi sekelompok orang untuk
bertindak mencapai tujuan bersama. Sedangkan menurut Samsudin (2009:
287) kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan meyakinkan dan
menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah kepemimpinannya
sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kemudian menurut
Rachmawati (2004: 67) kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan
mempengaruhi kelompok ke arah pencapaian tujuan atau suatu usaha
menggunakan gaya mempengaruhi dan tidak memaksa untuk memotivasi
individu dalam mencapai tujuan.

Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Literasi Keuangan UMKM

Tingkat pendidikan pemilik UMKM dan pengetahuan mereka mengenai literasi keuangan dalam pengelolaan usahanya sangat penting dan menjadi dasar untuk meningkatkan kinerja manajemen UMKM. Literasi keuangan terdapat dalam peranan antara pengembangan UMKM dan aspek permodalan untuk pengembangan UMKM, sehingga perbankan memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan UMKM yang ada di suatu daerah. UMKM merupakan suatu usaha yang dimana merupakan bentuk kegiatan yang sedang di kembangkan di setiap daerah. Penelitian Suryani dan Ramadhan (2017), Latifiana (2017) serta Suryanto dan Mas Rasmini (2018) menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap literasi keuangan.

Hubungan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Organisasi


Dalam ruang lingkup organisasi selalu ada sebuah sistem nilai yang
mengikat orang-orang di dalamnya. Sistem nilai bersama (sharing value) yang
tumbuh dan berkembang dalam organisasi yang dijadikan acuan seluruh
anggota sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sistem
nilai tersebut adalah budaya organisasi. Sebagaimana menurut Sweeney dan
McFarlin (2002:334) menyatakan budaya organisasi mengacu kepada cara hidup
(way of life) organisasi. Adanya budaya organisasi dalam organisasi akan
membedakan cara kerja organisasi satu dengan organisasi yang lainnya. Budaya
organisasi memberikan arahan mengenai bagaimana seseorang harus
berperilaku, bersikap, bertindak dalam suatu organisasi. Budaya organisasi
menjadikan tugas-tugas di organisasi menjadi terarah sehingga memberikan
pegaruh positif terhadap kinerja organisasi. Pernyataan tersebut sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Asree, et. al. (2010), budaya organisasi
memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan kinerja organisasi. Artinya
organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan memberikan peningkatan pada
kinerja organisasi. Sebaliknya organisasi yang memiliki budaya yang lemah,
maka kinerja organisasi tidak akan mengalami peningkatan. Hal ini terbukti pada
sebuah hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Febrianto (2011) dan Arifin
(2012) bahwa budaya organisasi yang lemah makan tidak akan berpengaruh
positif pada kinerja organisasi.Budaya organisasi yang lemah maka akan rentan
terjadinya kesalahan-kesalahan dalam bekerja, tidak sesuai dengan sistem nilai
yang telah ditentukan. Oleh sebabnya budaya organisasi harusdianut dan
diinternalisasikan ke semua karyawan yang ada dalam organisasi.

Hubungan Green Management Terhadap Kinerja Organisasi


Banyak penelitian sebelumnya yang telah meneliti green management
terhadap kinerja organisasi. Chuang dan Huang (2013), Choi (2012), Green, et.
al. (2012), Alhadid, et. al. (2014), Heriyanto (2008) menunjukkan hasil
penelitiannya bahwa green management memberikan pengaruh positif pada
kinerja organisasi. Konsep metode green management merupakan kebutuhan
utama dalam menjaga perubahan iklim yang terjadi saat ini. Organisasi yang
menerapkan konsep green management akan memberikan pengaruh besar
terhadap lingkungan di mana organisasi tersebut berada. Konsep ini tidak
sekedar memperhitungkan keuntungan namun yang terlebih penting adalah
lingkungan dan sosial. Sehingga akan memberikan dampak positif kembali pada
organisasi yaitu kinerja organisasi dan image perusahaan terhadap masyarakat,
pemerintah, mitra, serta pemasok.

Hubungan Budaya Organisasi Terhadap Green Management


Budaya organisasi merupakan akar terwujudnya segala aktivitas dalam
organisasi. Greenberg dan Baron (2003) mengemukakan bahwa organizational
culture is a cognitive framework consisting of attitudes, values, behavior norms,
and expectations shared by organization members.Budaya organisasi yang kuat
tentu akan memengaruhi karyawan dalam bertindak agar sesuai dengan harapan
organisasi. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya masih jarang ditemukan
penelitian yang meneliti variabel budaya organisasi terhadap variabel green
management. Namun peneliti memiliki dugaan sementara bahwa adanya
hubungan signifikan dan positif antara budaya organisasi terhadap green
management. Budaya organisasi yang dikembangkan seperti inovasi adanya
pengambilan resiko setiap pekerjaan, diperlukannya perhatian yang rinci,
orientasi pada manusia, orientasi pada hasil, orientasi pada tim, kegresifan kerja
karyawan, dan menjaga stabilitas kerja merupakan bagian dari budaya
organisasi yang dipertahankan dalam ruang lingkup organisasi terutama dalam
penerapan konsep green management. Setiap kegiatan bisnis termasuk green
management tentu menginternalisasikan budaya tersebut. Proses menciptakan
produk yang ramah lingkungan diperlukan adanya sikap yang kreatif dan berani
mengambil resiko dalam bekerja. Dapat dibayangkan ketika karyawan bekerja
tidak memiliki sikap yang kreatif, ketelitian, dan ragu-ragu/ tidak percaya diri
maka akan memberikan pengaruh negative ada pekerjaan yang dilakukannya.
Orientasi pada manusia (pimpinan memberikan perhatian pada karyawan,
bonus) merupakan sebagian dari motivasi yang dapat meningkatkan hasil kerja
dari kegiatan bisnis green management, tanpa motivasi berupa reward atau
perhatian pimpinan maka akan memberikan pengaruh pada hasil kerja bahkan
bias saja dapat terjadi turn over. Selanjutnya orientasi hasil (perhatian pada hasil
pekerjaan, visi dan misi) dan kestabilan kerja merupakan syarat dalam
menjalankan kegiatan bisnis. Hal ini perlu agar visi dan misi yang sudah
ditentukan dapat berjalan sesuai harapan dan hasil dari kegiatan bisnis sehingga
dapat dinilai apakah sudah mencapai standar yang diinginkan atau
belum.Budaya organisasi yang dapat menjaga kestabilan kerja pun sangat
diutamakan dalam setiap kegiatan bisnis termasuk green management. Setiap
pelaksanaan kerja diharapkan dapat berjalan sesuai aturan-aturan yang telah
ditentukan dan harapan yang ingin dicapai agar hasil kerja yang diperoleh
organisasi sesuai target dan kemudian dari hasil yag dicapai tersebut akan
memberikan pengaruh pada reward yang akan diterimanya.
Organisasi yang selalu memelihara budaya organisasi yaitu orientasi tim
akan memberikan kemudahan-kemudahan dalam kegiatan bisnis green
management. Kemampuan bekerja sama dengan tim merupakan hal yang krusial
dalam organisasi karena manusia adalah makhluk sosial sehingga selalu
membutuhkan bantuan dari orang lain. Bekerja sama dengan tim yang baik pun
dapat menciptakan pendekatan emosional antara karyawan sehingga
menciptakan keharmomisan dalam organisasi.
Deal dan Kennedy dalam Tika (2012:6) pun menegaskan bahwa budaya
organisasimerupakan nilai inti sebagai esensi falsafah organisasi untuk mencapai
sukses yang didukung semua warga organisasi dan memberikan sukses yang
didukung semua warga organisasi dan memberikan pemahaman bersama
tentang arah bersama dan menjadi pedoman perilaku mereka dari hari ke hari.
Oleh karenanya peneliti memiliki dugaan sementara bahwa adanya pengaruh
yang signifikan dan positif antara budaya organisasi terhadap green
management.

Pengaruh Jenis kelaminterhadap Literasi Keuangan UMKM

Menurut Robb dan Sharpe (2009) Jenis kelamin adalah suatu konsep yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam berprilaku. Jenis kelamin juga termasuk faktor yang mempengaruhi literasi keuangan seseorang. Menurut Wagland dan Taylor (2009), laki-laki lebih memiliki kepercayaan yang tinggi dalam membuat keputusan keuangan dibandingkan dengan perempuan yang lebih cenderung risk averse dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung kurang bisa mengendalikan masalah keuangan dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian Krishna, Rofi Rofaida, Maya Sari (2013) serta Amaliyah dan Witiastuti (2015) menunjukkan bahwa jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap literasi keuangan.

Hubungan Gaya Kepemimpinan Transaksional TerhadapKinerja Organisasi


Gaya kepemimpinan transaksional yang diterapkan dalam suatu
organisasi mampu memberikan pengarh terhadap hasil kerja bawahan. Bawahan
terasa dimotivasi dan diawasi dalam gaya kepemimpinan transaksional.
Pemberian reward berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah
dilaksanakan, bonus atau bertambahnya penghasilan. Gaya kepemimpinan ini
memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan sehingga
menghindarai hal-hal yang kemungkinan memmengaruhi terjadinya kesalahan.
Ejere dan Abasilim (2013), Iscan (2014) menunjukkan hasil penelitiannya bahwa
gaya kepemimpinan transaksional berpengaruh terhadap kinerja organisasi.

Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional TerhadapKinerja Organisasi


Gaya kepemimpinan transformasional dapat mendorong bawahnnya
untuk menerima dan menginternalisasi misi, visi, dan tujuan organisasi, sehingga
menciptakaan perasaan memiliki, Guay, et. al. (2015). Kemampuan memotivasi
dari pemimpin transformasional ini dapat menginspirasibawahan agar dapat
melakukan perubahan besar dan mengaharapkan karyawannya dapat bekerja di
luar batas sehingga dampak yang diperoleh kinerja yang terus menerus.
Mahdinezhad (2013), Yildiz, et. al. (2014), Ejere dan Abasilim (2013)
menunjukkan hasil penelitiannya bahwa kepemimpinan transformasional memiliki
pengaruh yang kuat terhadap kinerja perusahaan. Kepemimpinan
transformasional membuat gambaran yang terkait masa depan yang baik,
optimis dan dicapai, mendorong orang lain untuk meningkatkan harapan mereka,
dan menggunakan bahasa sederhana untuk menyampaikan misi.

Hubungan Gaya Kepemimpinan Transaksional TerhadapGreen Management


Selain gaya kepemimpinan transformasional, peneliti memiliki dugaan
sementara bahwa gaya kepemimpinan transaksional memberikan pengaruh
signifikan dan positif terhadap green management. Hal ini mengacu bahwa
dalam penerapan konsep green management dalam suatu organisasi diperlukan
adanya contingent reward, active management by exception dan passive
management by exception yang merupakan indikator dari gaya kepemimpinan
transaksional. Aktivitas karyawan dalam organisasi tidak akan terlepas dari
pengaruh pimpinannya. Penerapan konsep green management dalam organisasi
pun demikian, adanya reward dan punishment akan menjadi motivasi bagi
karyawan untuk bekerja. Keterlibatan pimpinan dalam menyelesaikan pekerjaanpekerjaan karyawan yang dinilai tidak memenuhi standar akan memberikan hasil
yang sesuai dengan keinginan pimpinan. Perhatian pemimpin terhadap
pekerjaan bawahannya turut memberikan peran penting dan pencegahan
terhadap kesalahan kerja bawahan serta memberikan arahan yang lebih baik lagi
terhadap keberlangsungan konsep green management tersebut.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Literasi Keuangan

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (2016) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat literasi keuangan adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Pernyataan yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh The Australia and New Zealand Banking Group Limited (dalam ANZ, 2015) yang menyebutkan faktor yang mempengaruhi literasi keuangan adalah usia, pengetahuan keuangan dan numerik sikap keuangan, pendapatan rumah tangga serta pendidikan dan jabatan.

Sedangkan menurut Suryanto dan Rasmini (2018), terdapat pengaruh usia, tingkat pendidikan, dan pendapatan usaha secara simultan terhadap literasi keuangan pelaku UMKM. Penelitian yang dilakukan oleh Sucuachi (2013) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh secara positif terhadap tingkat literasi keuangan pada UKM. Taft, Hosein dan Mehrizi (2013), yang menyatakan bahwa usia dan literasi keuangan memiliki hubungan positif. Faktor terakhir adalah lama usaha, diasumsikan bahwa semakin lama sebuah usaha berdiri, maka semakin tinggi tingkat literasi keuangan karena lama usaha mempengaruhi banyaknya pengalaman dalam pengambilan keputusan keuangan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka penelitian ini menggunakan faktor faktor yang mempengaruhi literasi keuangan UMKM sebagai berikut:

  1. Jenis kelamin

Menurut Baron (2000; 88) jenis kelamin merupakan sebagian dari konsep yang melibatkan identifikasi individu sebagai pria atau wanita. Sedangkan menurut Hungu (2007), pengertian dari jenis kelamin adalah perbedaan antara wanita dan laki laki secara biologis sejak seseorang lahir.

  • Pendidikan

Menurut UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampi mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang baik, pengendalian diri, berakhlak mulia, kecerdasan, ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat (UU SISDIKNAS No. 20 : 2003).

  • Usia

Menurut Hurlock (2018) usia yaitu umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Berdasarkan teori yang telah disampaikan oleh Hurlock tersebut, secara tidak langsung usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seorang individu termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai keuangan.

  • Lama Usaha

Ada beberapa hal yang menentukan seseorang berpengalaman atau tidak dalam bekerja yaitu lama waktu/masa kerja, tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki, penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Lama usaha adalah lama waktu yang sudah dijalani pedagang dalam menjalankan usahanya. Lamanya seorang pelaku bisnis menekuni bidang usahanya akan mempengaruhi kemampuan profesionalnya. Semakin lama menekuni bidang usaha perdagangan akan makin meningkatkan pengetahuan tentang selera ataupun perilaku konsumen. Ketrampilan berdagang makin bertambah dan semakin banyak pula relasi bisnis maupun pelanggan yang berhasil dijaring (Asmie, 2008).

Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional TerhadapGreen Management


Gaya kepemimpinan mempunyai pengaruh kuat terhadap berjalannya
suatu oragnisasi karena ia memiliki wewenang yang dapat mengarahkan dan
memengaruhi para karyawan untuk bertindak sesuai yang diharapkan
organisasi.Pada penelitian-penelitian sebelumnya masih jarangnya
ditemuipenelitian mengenai gaya kepemimpinan transformasional terhadap
green management. Namun, peneliti memiliki dugaan sementara bahwa adanya
hubungan yang signifikan dan positif antara gaya kepemimpinan
transformasional terhadap green management. Hal dapat dijabarkan dari
beberapa indikator yang dimiliki oleh gaya kepemimpinan transformasional,
antara lain Idealized influence (pengaruh ideal), inspirational motivation (motivasi
isnpirasional), intellectual stimulation (stimulasi intelektual), dan individualized
consiceration (pertimbangan individu), Bassa dan Avalio dalam Hickman
(1998:135) terhadap indikator-indikator variabel green managementantara lain 1)
proses produksi, 2) pengelolaan lingkungan, 3) keselamatan kerja, dan 4)
manajemen perusahaan.
Pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan transformasional (pengaruh
ideal) akan dijadikan sebagai acuan ataupun contoh bagi karyawan untuk
bekerja. Pemimpin akan menunjukkan sikap yang sesuai dengan standar etika
dan moral sehingga memungkinkan seorang pemimpin untuk menanamkan sikap
bawahan yang dapat menirunya, Ejere, et. al. (2014). Dalam penerapan green
management diperlukan sikap pemimpin yang dapat menunjukkan etika dan
moral sesuai dengan standar yang telah ditetapkan organisasi. Begitupun halnya
ketika organisasi menerapkan kegiatan bisnis yang ramah lingkungan (green
management). Berbagai kegiatan yang dijalankan seperti proses produksi,
pengelolaan lingkungan, keselamatan kerja, dan manajemen perusahaan sangat
memerlukan sikap pimpinan yang patuh terhadap etika yang sudah ditetapkan.
Sehingga karyawan dapat meniru dan mematuhi peraturan-peraturan sesuai
Standar Operasional Perusahaan (SOP).

Aspek Dalam Literasi Keuangan

Literasi keuangan dalam penelitian Barbara yang telah dimodifikasi oleh Shih, et al. (2016) mencakup tujuh dimensi yaitu:

  1. savings (tabungan): dimensi yang berkaitan dengan bagaimana individu mengelola tabungan.
    1. value appreciation (penghargaan terhadap nilai): dimensi yang berkaitan dengan pemahaman setiap individu dalam mengelola nilai (value) yang ada didalam uang.
    1. avoidance of traps (pencegahan terhadap jebakan-jebakan): dimensi yang berkaitan dengan bagimana cara individu menghindari jebakan-jebakan yang ada dalam setiap keputusan finansial.
    1. risk conscious (kesadaran akan resiko): dimensi yang mengukur bagaimana pengetahuan individu terhadap resiko-resiko yang akan terjadi.
    1. life improvement (perkembangan hidup): dimensi yang mengukur tingkat kesadaran individu untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
    1. life planning (perencanaan hidup): dimensi yang berhubungan dengan bagaimana perencanaan keuangan pribadi masing-masing individu.
    1. financial educational needs (kebutuhan akan pendidikan keuangan): dimensi yang berkaitan dengan bagaimana tingkat kebutuhan akan pendidikan keuangan pribadi.

Lusimbo dan Muturi (Oktavianti, 2017) membagi literasi keuangan UMKM menjadi dua aspek

  1. Literasi hutang

Ketrampilan dalam mengelola hutang dan pengetahuan tentang hutang yang dibutuhkan usahanya

  • Pencatatan keuangan

Ketrampilan dan pengetahuan dalam mengelola pembukuan keuangan usaha yang dijalankannya

Dalam penelitian  ini akan menggunakan pengukuran literasi keuangan berdasarkan penelitian Oktavianti (2017).

Hubungan Gaya Kepemimpinan Transaksional TerhadapBudaya Organisasi


Budaya organisasi dibentuk oleh pemimpin yang ada di dalam organisasi.
Pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan dengan mendorong bawahnnya
bekerja dan imbalan sebagai motivasinya, maka akan senantiasa terbentuk
budaya organisasi yang demikian juga. Sebabnya pemimpin memiliki wewenang
untuk memengaruhi bawahannya bertindak sesuai dengan kehendaknya.
Makanya diindikasikan bahwa adanya hubungan gaya kepemimpinan
transaksional terhadap budaya organisasi. Siswatiningsih (2015), Kotter dan
Heskett dalam Tika (2013;149) menunjukkan hasil penelitiannya bahwa gaya
kepemimpinan memberi pengaruh terhadap budaya organisasi. Pemimpin
dipuncak sangat berperan dalam melakukan perubahan-perubahan budaya
organisasi.

Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap BudayaOrganisasi


Budaya organisasi dibangun pada orang-orang yang mempunyai
wewenang penuh dalam perusahaan. Pemimpin merupakan seseorang yang
memiliki wewenang dan kekuasaan dalam menciptakan sistem, nilai, dan
peraturan di perusahaan sehingga akan terciptanya suatu budaya yang melekat
pada perusahaan. Budaya yang diciptakan tidak hanya sekedar dalam bentuk
peraturan yang tertulis, namun dapat berupa komunikasi dan interaksi pemimpin
terhadap karyawan. Pengaruh gaya kepemmpinan pada budaya organisasi
dapat memicu rasa kolektivisme dalam mencapai tujuan organisasi, memberikan
kontribusi lebih besar untuk keberhasilan organisasi. Oleh karenanya, berbagai
macam gaya kepemimpinan akan memengaruhi budaya organisasi. Dalam
penelitian Tipu, et. al. (2012), Graves, et. al. (2013), dan Siswatiningsih (2015)
menunjukkan hasil penelitiannya bahwa kepemimpinan transformasional
berhubungan positif terhadap budaya organisasi. Karyawan dapat menerima dan
menginternalisasi nilai-nilai yang disampaikan oleh para pemimpin, sehingga
meningkatkan pentingnya nilai-nilai yang lebih tinggidan melakukan kegiatan
yang lebih bermakna untuk karyawan.

Indikator Kinerja Organisasi


Setiap organisasi memiliki standar kerja yang telah ditentukan. Hal ini
dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah kinerja yang telah
dilakukan telah memenuhi standar atau belum. Masing-masing organisasi
memiiliki indikator yang berbeda, hal ini merupakan aspek penting yang harus
dicapai selain standar kerja yang telah ditentukan. Richard dan Devinney dalam
Ozer dan Tinaztepe (2014) mengungkapkan bahwa indikator kinerja organisasi
dibagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut.
a. Kinerja keuangan (performance financial), meliputi profit, return on assets,
return on investment.
b. Kinerja pemasaran produk (product market performance), meliputi sales,
market share.
c. Shareholder return, meliputi total shareholder return, economic value added.
Sedangkan Moullin (2007) dalam Alhadid, et. al. (2014) menambahkan
mengungkapkan ada tiga indikator dalam mengukur kinerja organisasi, antara
lain sebagai berikut.
a. Financial Performance (Kinerja Keuangan)
Dalam penerapan kegiatan bisnis yang ramah lingkungan, tentu akan
menghilangkan polusi. Selain itu penggunaan kembali bahan produksi
menghasilkan banyak kesempatan untuk memotong biaya dan peningkatan
laba akhir. financial performance (kinerja keuangan) meliputi peningkatan
pangsa pasar, peningkatan omset penjualan, dan peningkatan keuntungan.
b. Environmental Performance (Kinerja Lingkungan)
Kinerja lingkungan berkaitan dengan kemampuan organisasi untuk
mengurangi polusi udara, limbah cair, dan limbah padat dan kemampuan
untuk mengurangi penggunaan bahan yang berbahaya atau bahan beracun.
Adanya penurunan frekuensi bahaya lingkungan akan ada perbaikan dalam
situasi lingkungan sebuah organisasi.
c. Operational Performance (Kinerja Operasi)
Kinerja operasional berkaitan dengan kemampuan organisasi untuk
memproduksi peningkatan kualitas produk, dan pemanfaatan kualitas.

Fungsi-Fungsi Kegiatan Terkait Kinerja Organisasi


Dalam organisasi ada berbagai kegiatan yang dilakukan oleh SDM terkait
tujuan yang hendak dicapai dan hal tersebut berkaitan dengan kinerja organisasi
yang telah memiliki standar. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktivitas
yang dilakukan secara berulang-ulang dan sistematis. Adapun beberapa fungsi
kegiatan yang terkait dengan kinerja organisasi antara lain sebagai berikut, Umar
(2005:50).
a. Strategi perusahaan. Dalam strategi perusahaan terdapat misi perusahaan,
strategi bisnis yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi
tersebut dapat mencakup perencanaan, implementasi, dan pengawasan.
b. Pemasaran. Evaluasi aspek pasar diarahkan untuk mendapatkan informasi
mengenai hal-hal segmentasi, target, dan posisi produk di pasar, strategi
bersaing yang diterapkan, kegiatan pemasaran melalui bauran pemasaran,
nilai penjualan, dan market share yang dikuasai perusahaan.
c. Operasional. Kegiatan operasional dalam perusahaan, meliputi kegiatankegiatan kualitas produk, teknologi yang digunakan, kapasitas produksi,
persediaan bahan baku dan barang jadi sumber daya manusia, dan
keuangan.

Pengertian literasi Keuangan

Menurut Manurung (2009) literasi keuangan adalah seperangkat keterampilan dan pengetahuan yang memungkinkan seorang individu untuk membuat keputusan dan efektif dengan semua sumber daya keuangan mereka. Sedangkan menurut. Krishna, Rofi Rofaida, Maya Sari (2013) juga mendefinisikan bahwa literasi keuangan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan serta keahlian untuk mengelola sumber daya keuangan agar tercapai kesejahteraan.

Menurut Lusardi dan Mitchell (2007) literasi keuangan dapat diartikan sebagai pengetahuan keuangan dengan tujuan mencapai kesejahteraan. Hal ini dapat dimaknai bahwa persiapan perlu dilakukan untuk menyongsong globalisasi, lebih spesifiknya globalisasi masalah dalam bidang keuangan. Sedangkan menurut Brigham dan Houston (2010) meyatakan bahwa literasi keuangan terjadi ketika individu memiliki sekumpulan keahlian dan kemampuan yang membuat orang tersebut mampu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Remund (2010) menyatakan ada empat hal yang paling umum dalam literasi keuangan yaitu penganggaran, tabungan,pinjaman, dan investasi. Literasi keuangan tidak hanya melibatkan pengetahuan dan kemampuan untuk menangani masalah keuangan tetapi juga atribut nonkognitif.

Menurut lembaga Otoritas Jasa Keuangan (2013) menyatakan bahwa secara defenisi literasi diartikan sebagai kemampuan memahami, jadi literasi keuangan adalah kemampuan mengelola dana yang dimiliki agar berkembang dan hidup bisa lebih sejahtera dimasa yang akan datang, OJK menyatakan bahwa misi penting dari program literasi keuangan adalah untuk melakukan edukasi dibidang keuangan kepada masyarakat Indonesia agar dapat mengelola keuangan secara cerdas, supaya rendahnya pengetahuan tentang industri keuangan dapat diatasi dan masyarakat tidak mudah tertipu pada produk-produk investasi yang menawarkan keuntungan tinggi dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan resikonya.

Untuk memastikan pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan, program strategi nasional literasi keuangan mencanangkan tiga pilar utama. Pertama, mengedepankan program edukasi dan kampanye nasional literasi keuangan. Kedua, berbentuk penguatan infrastruktur literasi keuangan. Ketiga, berbicara tentang pengembangan produk dan layanan jasa keuangan yang terjangkau. Penerapan ketiga pilar tersebut diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi sehingga masyarakat dapat memilih dan memanfaatkan produk jasa keuangan guna meningkatkan kesejahteraan.

Penulis menyimpulkan bahwa literasi keuangan merupakan cara membantu dalam memberikan pemahaman tentang mengelola keuangan dan peluang untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera di masa yang akan datang. Dengan kata literasi keuangan adalah pengetahuan dan kemampuan (knowledge and ability) keuangan untuk kemudian mengaplikasikannya dalam pengelolaan keuangan.

Pengertian Kinerja Organisasi


Setiap organisasi yang berdiri memilki tujuan-tujuan yang telah disepakati
bersama dan harus direalisasikan dengan sistem kerja yang telah ditentukan.
Tanpa adanya Sumber Daya Manusia (SDM), maka tujuan organisasi tidak akan
tercapai. Kinerja organisasi adalah fungsi hasil-hasil pekerjaan/ kegiatan yang
ada dalam perusahaan yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal organisasi
dalam mencapai tujuan yang ditetapkan selama periode waktu tertentu, Tika
(2012:122). Sedangkan Bernardin dan Rusel 1993 dalam Tika (2012:121)
menambahkan bahwa kinerja organisasi merupakan pencatatan hasil-hasil yang
diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu. Keban (2004:183)
pun menambahkan bahwa kinerja organisasi menggambarkan sampai seberapa
jauh satu kelompok telah melaksanakan semua kegiatan pokok sehingga
mencapai visi dan misi institusi. Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa kinerja organisasi merupakan suatu capaian atau
hasil kerja dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan
sebelumnya guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh
suatu organisasi dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Dalam
pencapaian kinerja organisasi tersebut merupakan gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam organisasi untuk mewujudkan
sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi.

Indikator-Indikator Green Management


Dalam organisasi yang memiliki visi dan misi sebagai organisasi yang
ramah lingkungan, diperlukan sebuah konsep yang dapat merealisasikan hal
tersebut. Peneliti akan memaparkan mengenai indikator-indikator green
management baik untuk perusahaan besar yang bertaraf internasional hingga
diperuntukkan bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Hal ini dilakukan sebagai
pembanding diantara kedua hal tersebut.
Samsung Electronics (2008) sebagai perusahaan besar yang telah
menerapkan green management yang mengambil co-existence dan kemakmuran
bersama dengan masyarakat adalah inti dari kelangsungan hidup perusahaan
Perusahaan berusaha untuk menjadi perusahaan kontributif bagi masyarakat.
Ada beberapa indikator penerapan green management, Samsung (2008) antara
lain sebagai berikut.
a. The Greening of Management (Penghijauan Manajemen). Dibutuhkan
lingkungan yang sehat dan mengutamakan keselamatan sebagai faktor
utama dalam pengelolaan perusahaan untuk pembangunan berkelanjutan,
membangun lingkungan yang canggih, sehat, dan adanya sistem keamanan
dalam bekerja. memperluas sertifikat standar global dan mempromosikan
kerja yang efisien dengan mengadopsi Sistem Informasi Manajemen Hijau
(GMIS) merupakan beberapa aktivitas dari the greening of management
(penghijauan manajemen).
b. The Greening of Product (Penghijauan Produk). Hal ini untuk meminimalkan
dampak lingkungan dan untuk membuat produk ramah lingkungan mengingat
seluruh proses melalui produksi, penggunaan produk dan hingga menjadi
limbah.
c. The Greening of Process (Penghijauan Proses). Upaya dari the greening of
processs (penghijauan proses) dapat meningkatkan proses atau fasilitas,
mengembangkan teknologi hijau yang beragam termasuk bahan baku
alternatif, meminimalkan bahan bekas melalui pengelolaan bahan yang
mudah tercemar, memaksimalkan efisiensi energi, dan lain-lain, melakukan
penerapan teknologi untuk memproduksi bersih.
d. The Greening of Workplace (Penghijauan Tempat Kerja). Hal ini terwujud
dengan tidak terjadinya polusi, terjaganya kesehatan, dan terhindarnya
kecelakaan di tempat kerja.
e. The Greening of Communities (Penghijauan Komunitas). Bekerja sama
dengan masyarakat sekitar dengan memberikan edukasi pentingnya
pelestarian lingkungan dan bantuan. Peran perusahaan dalam kaitannya
dengan para stakeholder, misalnya menjaga hubungan baik dengan para
pemasok yang mempunyai komitmen pada lingkungan.
Sedangkan green management pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM),
Kementerian Perindustrian berdasarkan pada Peraturan Kepala Badan
Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri No. 56/BPKIMI/PER/2/2014
menerapkan beberapa indikator yang merupakan sebagai bentuk kepatuhan
dalam menjalankan green management, antara lain sebagai berikut.
a) Proses produksi meliputi program efisiensi produksi, penempatan bahan
produksi, adanya perijinan penggunaan bahan pewarna, dan peningkatan
tekhnologi.
b) Pengelolaan lingkungan meliputi pengelolaan limbah dan pemanfaatan
limbah kembali.
c) Keselamatan kerja meliputi sistem sirkulasi udara, adanya penggunaan alat
perlindungan diri, dan persediaan Pertolongan Pertama Kecelakaan (P3K).
d) Manajemen perusahaan meliputi produk bersertifikasi ramah lingkungan, dan
adanya kepedulian terhadap lingkungan.

  • Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
  • Definisi

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro dan Kecil Pasl 1 yang dimaksud dengan Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, danMenengah (UMKM) pada bab I pasal 1, definisi UMKM adalahsebagaiberikut:

  1. Usaha Mikro

Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

  • Usaha Kecil

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

  • Usaha Menengah

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Green Management


Suatu organisasi dengan sistem manajemen berbasiskan lingkungan
(green management) merupakan terutama harapan dari semua masyarakat
sekitar organisasi berada. Lingkungan yang bersih dan tidak terkena polusi dapat
melancarkan segala aktivitas masyarakat dan organisasi itu sendiri. Berdasarkan
Undang-Undang RI No.3 Tahun 2014 tentang industri hijau atau green
management adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan
upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan
sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Sedangkan Haden, et. al. (2009) dalam Wintoro (2012) mengemukakan bahwa
green management merupakan kegiatan bisnis yang menggunakan inovasi
sebagai alat untuk mencapai keberlanjutan sumber daya alam, pengurangan
pemborosan sumber daya alam, meningkatkan kemakmuran sosial, dan
memberi keunggulan bersaing perusahaan. Mathur, et. al. (2013) pun
menambahkan bahwa green management merupakan kegiatan organisasi yang
memberikan dampak terhadap lingkungan alam. Triastity (2011) melanjutkan
bahwa green management adalah salah satu model pendekatan untuk
mengevaluasi komitmen suatu perusahaan terhadap tanggung jawab lingkungan.
Artinya kegiatan green management tersebut tidak hanya sekedar berorientasi
pada keuntungan organisasi saja, namun turut memperhatikan lingkungan dan
sosial melalui aktivitas organisasi yang dilakukannya.
Tanggung jawab organisasi terhadap lingkungan tentu menyangkut udara
dan air karena kedua faktor alami ini sangat berpengaruh pada aktivitas
masyarakat. Salah satu tanggung jawab bagi organisasi adalah terjaganya
lingkungan yang sehat dan terhindar dari polusi/ pencemaran. Menurut
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No.02/MENLH/I/1998, yang dimaksud dengan polusi/pencemaran air adalah
masuk/dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain
kedalam air/udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, kurang atau
tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini yang kemudian masih menjadi PR besar bagi
organisasi yang masih menghasilkan limbah ke lingkungan.
Banyak peranan yang dihasilkan ketika organisasi telah berkomitmen
menerapkan green management sebagai aktivitas organisasinya. Florida (1994)
dalam Rao (2004) mengemukakan bahwa perusahaan yang menerapkan green
management dalam proses produksinya memberikan beberapa peranan, antara
lain:
a. Produk/ jasa yang dihasilkan oleh perusahaan akan ramah terhadap
lingkungan.
b. Adanya pencegahan pencemaran karena segala sumber pencemaran
berawal dari proses produksi.
c. Proses produksi yang ramah lingkungan diikuti juga dengan penggunaan
teknologi ramah lingkungan.
d. Penggunaan bahan dan daur ulang dilakukan sehingga meminimalisir
pemakaian bahan.
e. Proses produksi ramah lingkungan ditingkatkan sehingga meminimalkan
memberikan dampak limbah yang berbahaya.
f. Produk yang didesain untuk lingkungan dapat meminimalisir dampak
lingkungan yang merugikan.

Karakteristik Budaya Organisasi


Budaya organisasi antara satu organisasi dengan yang lainnya tentu
berbeda karena masing-masing organisasi memiliki sistem nilai berbeda yang
dianut dan diaksanakan. Sistem nilai tersebut dibangun oleh tujuh karakteristik
sebagai esensi dari budaya organisasi, Robbins dan Judge (2011:554) antara
lain sebagai berikut.
a) Inovatif. Suatu tingkatan dimana para karyawan terdorong untuk
bersikap inovatif dalam bekerja.
b) Pengambilan resiko. Suatu tingkatan dimana karyawan berani dalam
bekerja untuk menentukan pilihan yang didalamnya mengandung
resiko.
c) Perhatian yang rinci. Suatu tingkatan dimana para bawahan
diharapkan memperlihatkan kecermatan dan perhatian kepada
rincian.
d) Orientasi pada manusia. Suatu tingkatan dimana keputusan
manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada anggota
organisasi itu.
e) Orientasi hasil. Suatu tingkatan diana manajemen memusatkan
perhatian pada hasil bukan pada teknik dan proses yang digunakan
untuk mencapai hasil.
f) Orientasi tim. Suatu tingkatan dimana kegiatan kerja diorganisir di
sekitar tim-tim dan bukan individu-individu.
g) Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif
ketimbang santai.
h) Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan
pertumbuhan

Fungsi-Fungsi Budaya Organisasi


Budaya organisasi yang diterapkan perusahaan harus dianut, dipatuhi
dan diinternalisasikan kesemua karyawan perusahaan. Setiap budaya
organisasi yang diinternalisasikan pada karyawan memiliki peranan penting,
oleh sebab itu budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi, antara lain
sebagai berikut, Tika (2012:14): 1) pembeda terhadap lingkungan, organisasi
maupun kelompok lain, 2) sebagai perekat bagi karyawan dalam organisasi, 3)
mempromosikan stabilisasi system sosial, 4) sebagai mekanisme control dalam
memadu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan, 5) sebagai integrator,
6) membentuk perilaku bagi para karyawan, 7) sebagai sarana untuk
menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi, 8) sebagai acuan dalam
menyusun perencanaan perusahaan, dan 9) sebagai alat komunikasi.

Indeks Kinerja

Text Box: Indek kinerja biaya (CPI)   =  BCWP  /  ACWP ……………………..( 2.7 )
Indek kinerja jadwal (SPI) =  BCWP  / BCWS ………………………( 2.8 )
Pengelola proyek sering kali ingin mengetahui efisiensi penggunaan sumber daya dan indek kinerja, sehingga untuk mengetahui besar kecilnya indek kinerja dapat dilihat dengan rumus sebagai berikut :

Bila kinerja ditinjau lebih lanjut akan terlihat hal-hal sebagai berikut.

  1. Indek kinerja kurang dari satu berarti pengeluaran lebih besar dari anggaran atau waktu pelaksanaan lebih lama dari jadwal yang direncanakan. Bila anggaran dan jadwal sudah dibuat secara realistis, maka berarti ada sesuatu yang tidak benar dalam pelaksanaan pekerjaan.
    1. Sejalan dengan pemikiran diatas, bila indek kinerja lebih dari satu maka kinerja penyelenggaraan proyek lebih baik dari perencanaan, dalam arti pengeluaran lebih kecil dari anggaran atau waktu pelaksanaan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan.
    1. Makin besar perbedaannya dari angka satu, maka makin besar penyimpangannya dari perencanaan dasar atau anggaran. Bahkan bila terdapat angka yang terlalu tinggi, yang berarti pelaksanaan pekerjaan sangat baik, namun perlu diadakan evaluasi apakah mungkin perencanaannya atau anggarannya yang tidak realistis.

Proses Terbentuknya Budaya Organisasi


Budaya organisasi tidak pernah terlepas dari setiap aktivitas Sumber
Daya manusia. Budaya organisasi dapat diciptakan atau dikembangkan dari
budaya organisasi yang telah ada sebelumnya. Tentu dalam proses
pembentukan budaya organisasi tersebut, akan ada orang yang yang memiliki
wewenang besar yang dapat memengaruhinya. Proses terbentuknya budaya
organisasi merupakan sebuah proses yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Kreitner dan Kinicki (2003) dalam Utaminingsih (2014) menjelaskan bahwa awal
sebuah budaya organisasi merupakan perkembangan diri filososfi pendirinya.
Budaya organisasi baik yang diciptakan atau dikembangkan berfungsi untuk
menyesuaikan dengan situasi lingkungan sekarang. Oleh sebab itu menanamkan
budaya melibatkan proses belajar karena para anggota organisasi mengajarkan
satu sama lain mengenai nilai-nilai, keyakinan, pengharapan, prilaku yang dipilih
organisasi.
Budaya asli berasal dari filosofi pendirnya, Robbins (2006:273). Filosofi ini
berpengaruh kuat terhadap keriteria yang digunakan dalam perekrutan.
Tindakan-tindakan yang diambil manajemen puncak membangun suasana umum
mengenai perilaku apa yang dapat diterima dan yang tidak dalam organisasi.
Sosialisasi karyawan baru yang dilakukan akan bergantung pada tingkat
keberhasilan yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai yang dianut karyawan
baru dengan nilai-nilai organisasi melalui proses seleksi maupun preferensi
manajemen puncak dalam hal metode sosialisasi.

Budaya Organisasi


Dalam kehidupan organisasi sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya
yang diciptakan. Budaya berawal dari kebiasaan, tradisi, dan tata cara umum
dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini
terutama merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya,
Robbins (2006:266). Budaya yang terbentuk dalam organisasi dapat dirasakan
manfaatnya dalam memberikan kontribusi bagi organisasi karena budaya
tersebut telah terintenalisasi pada SDM yang ada di dalamnya. Budaya
organisasi berupa sistem dan nilai yang tidak tampak yang dapat menggerakkan
dan mengarahkan SDM untuk bertindak sesuai ketentuan yang sudah ada.
Nimran (2009:154) mengemukakan bahwa budaya organisasi yang
berlaku harus ditaati dan dianut oleh seluruh anggota sehingga akan meresap,
menyatu dan membentuk nilai-nilai individu, sikap, asumsi, dan harapan.
Kemudian Robbins (2008:256) menambahkan bahwa budaya organisasi
merupakan sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan suatu organisasi dari organisasi lainnya. Sedangkan Schein
(1992:8) dalam Kusdi (2011:51) menambahkan bahwa budaya organisasi
adanya sesuatu yang dimiliki atau dijadikan pegangan bersama oleh anggotaanggotanya (shared or held in common). Jadi berdasarkan beberapa pengertian
di atas menurut para ahli, peneliti memberikan kesimpulan bahwa budaya
organisasi merupakan suatu sistem nilai yang dianut oleh semua anggota
organisasi kemudian diinternalisasikan dan dipatuhi sehingga terbentuk keteraturan kerja serta tercapainya tujuan organisasi. Budaya organisasi yang
kuat di dalam perusahaan memiliki nilai kebersamaan yang dipahami secara
mendalam, dan dipatuhi oleh anggota organisasi.
Budaya organisasi dapat berupa hal yang dapat dirasakan dari yang
tampak dan tidak tampak tetapi dari keduanya dapat memberikan pengaruh
besar pada perusahaan. Menurut Schein dalam Tika (2012:22) membagi level
budaya organisasi menjadi tiga bagian, antara lain sebagai berikut.
a) Artifak atau Kreasi. Hal ini mencakup semua fenomena yang bisa
dilihat, didengar, dan dirasakan seperti ruang fisik, produk, teknologi
kelompok, perilaku nyata anggota organisasi.
b) Nilai-nilai. Nilai merupakan solusi yang muncul dari pimpinan dengan
maksud memecahkan masalah-masalah dalam organisasi.
c) Asumsi-Dasar. Asumsi ini terdapat petunjuk yang harus dipatuhi
anggota organisasi karena menyangkut perilaku, menjelaskan
anggota kelompok bagaimana merasakan, memikirkan segala
sesuatu.

Analisis Kemajuan Pelaksanaan Proyek

Pada saat pelaporan data yang terkumpul mengenai kemajuan pekerjaan, ikatan pembelian dan pengeluaran dianalisis untuk setiap paket kerja (kode biaya) yang meliputi :

  1. kemajuan fisik aktual dihitung berdasarkan anggaran yang diaplikasikan (BCWP),
  2. pengeluaran tercatat pada sistem akuntansi (ACWP), dan
  3. perencanan dasar dan anggaran yang mengaitkan jadwal dengan biaya (BCWS).

Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa menganalisis kemajuan proyek dengan memakai metode varians sederhana dianggap kurang mencukupi, karena analisis varians tidak mengintegrasikan aspek biaya dengan jadwal. Untuk mengatasinya digunakan metode konsep nilai hasil dengan indikator BCWP, BCWS dan ACWP. Varians yang dihasilkan disebut varians biaya terpadu (CV) dan varians jadwal terpadu (SV). Berbagai kombinasi antara varians jadwal dan varians biaya disajikan dalam Gambar  2.3.

Rumus yang dipergunakan pada varians biaya dan varians jadwal adalah sebagai berikut :

Text Box: Varians biaya (CV) =  BCWP  -  ACWP.............................................( 2.5 )
Varians jadwal (SV) =  BCWP  -  BCWS ...........................................( 2.6 )

Cost varians (CV) adalah perbedaan antara biaya yang telah dikeluarkan dengan biaya yang seharusnya dikeluarkan sesuai dengan prestasi pekerjaan. Schedule varians (SV) adalah besarnya perbedaan jadwal yang terjadi sebanding dengan perbedaan biaya yang terjadi.

Gambar  2.3. Analisis varians terpadu disajikan dengan Grafik “S”

Angka negatif varians biaya terpadu yang menunjukkan bahwa biaya lebih tinggi dari anggaran disebut cost overrun. Angka nol menunjukkan pekerjaan terlaksana sesuai anggaran, sementara angka positif berarti pekerjaan terlaksana dengan biaya kurang dari anggaran, ini disebut cost underrun.

Demikian juga halnya dengan jadwal, angka negatif berarti terlambat, angka nol berarti tepat waktu dan angka positif berarti lebih capat dari pada rencana, untuk lebih jelasnya keterangan ini dapat dilihat pada Tabel  2.1.

Tabel  2.1  Analisis Varians Terpadu

NoVarians Jadwal (SV)Varians Biaya (CV)Keterangan
aPositifPositifPekerjaan terlaksana lebih cepat dari pada jadwal dengan biaya lebih kecil dari pada anggaran
bNolPositifPekerjaan terlaksana tepat sesuai  jadwal dengan biaya lebih rendah dari pada anggaran
cPositifNolPekerjaan terlaksana sesuai anggaran dan selesai lebih cepat dari pada jadwal
dNolNolPekerjaan terlaksana sesuai jadwal dan anggaran
eNegatifNegatifPekerjaan selesai terlambat dan  biaya lebih tinggi dari anggaran
fNolNegatifPekerjaan terlaksana sesuai jadwal dengan menelan biaya diatas  anggaran
gNegatifNolPekerjaan selesai terlambat dengan biaya sesuai anggaran
hPositifNegatifPekerjaan selesai lebih cepat dari pada rencana dengan  biaya lebih tinggi dari anggaran
iNegatifPositifPekerjaan selesai terlambat dari pada rencana dengan biaya lebih rendah dari pada anggaran

Indikator Gaya Kepemimpinan Transaksional


Dalam gaya kepemimpinan transaksional yang diterapkan oleh para
pimpinan memiliki keunikan tersendiri sehingga antara pimpinan yang satu
dengan yang lainnya memiliki perbedaan ketika memimpin. Hal tersebutlah yang
dapat mempengaruhi bawahan dalam bertindak. Dalam gaya kepemimpinan
transaksional terdapat tiga indikator yang dimiliki pimpinan antara lain sebagai
berikut, Antonakis, et. al. (2003) dalam Zagorsek (2009).
a. Contingent reward. Pada indikator ini menekan pada adanya
pengarahan tentang prosedur pelaksanaan kerja dan imbalan sesuai
dengan hasil kerja karyawan.
b. Active Management By Exception. Pada indikator ini menekankan
pada pemenuhan standar kerja berupa perbaikan atas kesalahan
yang dilakukan karyawan dan pengawasan secara langsung oleh
pimpinan.
c. Passive Management By Exception. Pada indikator ini dilakukan
dengan upaya pemantauan kesalahan karyawan dan peringatan bila
terjadi kesalahan dalam proses kerja

Gaya Kepemimpinan Transaksional


Gaya kepemimpinan transaksional memiliki perbedaan dengan gaya
kepemimpinan transformasional. Dapat dikatakan antara kedua gaya
kepemimpinan ini, yaitu gaya kepemimpinan transformasional dan gaya
kepemimpinan transaksional memiliki karakteristik sangat berlawanan, Menurut
Burns (1978) dalam Zagorsek (2009) bahwa pada kepemimpinan transaksional
terdapat antara pemimpin dengan karyawan yang didasarkan pada serangkaian
aktivitas tawar menawar antar keduanya. Maksdunya adalah bahwa dalam gaya
kepemimpinan transaksional, seorang pimpinan mendorong karyawannya untuk
bekerja dengan menyediakan sumberdaya dan penghargaan sebagai imbalan
untuk motivasi, produktivitas dan pencapaian tugas yang efektif.
Kemudian Bass menambahkan juga bahwa gaya kepemimpinan
transaksional merupakan kepemimpinan di mana pimpinan menentukan apa
yang harus dikerjakan oleh karyawan agar mereka dapat mencapai tujuan
mereka sendiri atau organisasi membantu karyawan agar memperoleh
kepercayaan dalam mengerjakan tugas tersebut. Pimpinan membantu karyawan
untuk mengidentifikasi tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil, misalnya
output yang lebih berkualitas, penjualan yang lebih, pengurangan biaya produksi
dan memastikan karyawan memiliki sumber daya yang diperlukan, Ivancevich,
et.al. (2007:213). Jadi, gaya kepemimpinan transaksional dapat diartikan sebagai
perilaku pemimpin yang memfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal
antara pemimpin dengan anggota yang melibatkan hubungan pertukaran.
Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klarifikasi sasaran,
standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

Indikator Gaya Kepemimpinan Transformasional


Gaya kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan
yang paling efektif diterapkan dalam perusahaan dibandingkan dengan gaya
kepemimpinan yang lainnya, Mahdinezhad, et. al. (2013). Gaya kepemimpinan
transformasional memiliki pengaruh kuat terhadap kinerja perusahaan
dibandingkan dengan gaya kepemimpinan yang lain. Gaya kepemimpinan
transformasional membuat gambaran yang terkait masa depan yang baik,
optimis dan dicapai, mendorong orang lain untuk meningkatkan harapan mereka.
Dalam penerapan gaya kepemimpinan transfomasional terdapat empat indikator,
Bass dan Avalio dalam Hickman (1998:215), antara lain sebagai berikut.
a) Idealized influence (pengaruh yang ideal). Dalam indikator ini, meliputi
sikap pimpinan yang menunjukkan sikap standar etika, moral yang
baik, dan memiliki keteladanan dari kemampuan yang dimiliki.
b) Inspirational motivation (motivasi inspirasional). Dalam indikator ini,
pimpinan menunjukkan sikap yang dapat memotivasi, menginspirasi,
menumbuhkan semangat tim, menunjukkan sikap antusias, optimis,
dan komitmen terhadap visi.
c) Intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Dalam indikator ini,
pimpinan mendorong karyawan untuk kreatif, melakukan pendekatanpendekatan baru dalam memecahkan permasalahan pekerjaan.
d) Individualized consideration (pertimbangan individu). Dalam indikator
ini, pimpinan memberikan perhatian terhadap karyawan,
mengembangkan potensi karyawan, dan adanya sikap penerimaan
perbedaan individu.

Gaya Kepemimpinan Transformasional yang Efektif


Pimpinan suatu organisasi bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas
kepemimpinan dan mencapai sasaran atau tujuan organisasional. Gaya
kepemimpinan yang efektif berkenaan dengan pelaksanaan tugas kepemimpinan
dan dampaknya pada sasaran atau tujuan organisasional. Hasil survey Tichy dan
Devanna tahun 1986 dalam Luthans (2006:653), mengungkapkan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional yang efektif meliputi: 1) mengidentifikasi dirinya
sebagai alat perubahan, 2) pimpinan yang memiliki keberanian, 3) pimpinan yang
dapat mempercayai orang lain, 4) pimpinan yang dapat menjadi motor penggerak
nilai, 5) pimpinan yang merupakan pembelajar sepanjang masa, 6) pimpinan
yang memiliki suatu kemampuan untuk menghadapi kompleksitas, ambiguitas,
dan ketidakpastian, dan 7) pimpinan yang memiliki sikap visioner.
Gaya kepemimpinan transformasional yang efektif sangat dibutuhkan
organisasi agar organisasi dapat berkembang ke arah perubahan yang besar
dengan motivasi karyawan yang tinggi, optimis serta penggunaan pendekatan
baru dalam menyelesaikan masalah. Prinsip utama dari pemimpin
transformasional adalah bahwa mereka memiliki tinggi kompetensi dan visi untuk
mewujudkan kesuksesan, pimpinan dapat menginspirasi bawahan untuk
merespon dengan besar antusiasme dan berkomitmen untuk mencapai tujuan
mereka Keller (2006) dalam Wang (2016).

Gaya Kepemimpinan Transformasional


Akahir-akhir ini, penelitian mengenai gaya kepemimpinan
transformasional telah banyak mencuri perhatian bagi peneliti. Hal dikarenakan
pada penelitian-penilitian sebelumnya bahwa pengaruh dari gaya kepemimpinan
tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan
organisasi. Robbins dan Judge (2011:261) mengemukakan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional yang dimiliki oleh pimpinan dapat menginspirasi
para karyawannya untuk melampaui kepentingan diri mereka sendiri dan yang
berkemampuan untuk memiliki pengaruh secara mendalam dan luar biasa
terhadap bawahannya. Pada dasarnya gaya kepemimpinan transformasional
untuk memotivasi karyawan agar berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan,
dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri karyawan
yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. Sedangkan Bass (1998)
dalam Swandari (2003) menambahkan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional sebagai pimpinan yang mempunyai kekuatan untuk memengaruhi karyawan dengan cara-cara tertentu. Sehingga efek dari gaya
kepemimpinan transformasional terhadap karyawan akan menumbuhkan sikap
dipercaya, dihargai, loyal dan respek kepada pimpinannya. Proses
kepemimpinan ini juga akan memberikan perubahan besar dalam sikap dan
asumsi anggota organisasi terhadap misi dan tujuan organisasi.

Gaya Kepemimpinan


Organisasi merupakan sebagai wadah dalam merealisasikan tujuan
organisasi. Dalam organisasi ada berbagai komponen yang dapat mendukung
dalam pencapaian tujuannya. Salah satu komponen tersebut adalah Sumber
Daya Manusia (SDM). SDM yang mampu menyetir organisasi ialah SDM yang
dapat memberi pengaruh pada karyawan terhadap pekerjaan yang akan
dilakukan. Oleh karena itupada hakikatnya fungsi dari pemimpin adalah mampu
memberi pengaruh pada karyawan. Tujuan yang hendak dicapai punakan lebih
terarah dengan adanya seorang pimpinan. Robbins dan Coulter (1974) dalam
Setyowati (2013:104) mengungkapkan bahwa kepemimpinan dalam
organisasimerupakan kemampuan memengaruhi suatu kelompok untuk
mencapai tujuan tertentu. Secara struktural dan fungsional, kepemimpinan
dengan bekal kekuasaan yang dimilikinya akan lebih mudah dalam mengarahkan
karyawan dalam bekerja.
Kemudian, dalam kepemimpinan yang dijalankan akan ada sebuah
kecondongan sikap dalam mengarahkan karyawan sehingga dapat membedakan
antara pimpinan disetiap organisasi. Hal ini tentu cenderung akan menampilkan
gaya yang merupakan ciri khas seorang pimpinan. Menurut Robbins (2008:96)
bahwa gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan seseorang untuk
memengaruhikelompok menuju tercapainya sasaran. Pengertian tersebut sejalan
dengan Hasibuan (2011:56) bahwa gaya kepemimpinan merupakan cara
seorang pimpinan memengaruhi perilaku karyawan agar mau bekerja sama dan
bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan pada
beberapa pengertian tersebut, meskipun dengan berbagai gaya kepemimpinan
yang dimiliki oleh masing-masing pimpinan, pun tetap mengarah pada
optimalisasi kinerja organisasi.

Varians dengan Grafik ” S “

Cara lain untuk memperagakan adanya varians adalah dengan menggunakan grafik. Grafik dibuat dengan sumbu Y sebagai nilai kumulatif biaya atau jam-orang kerja yang telah digunakan atau persentase ( % ) penyelesaian pekerjaan, sedangkan sumbu X menunjukkan parameter waktu. Ini berarti menggambarkan kemajuan volume pekerjaan yang diselesaikan sepanjang siklus proyek. Bila grafik tersebut dibandingkan dengan grafik serupa yang disusun berdasarkan perencanaan dasar (komulatif pengeluaran berdasarkan anggaran uang /jam-orang) maka akan terlihat jika terjadi penyimpangan .

Grafik yang dibuat dengan sumbu vertikal sebagai nilai kumulatif biaya atau jam-orang atau penyelesaian pekerjaan dan sumbu horisontal sebagai waktu kalender masing-masing dari angka 0 sampai 100, umumnya akan berbentuk huruf S, ini disebabkan oleh kegiatan proyek berlangsung sebagai berikut:

  1. kemajuan pada awalnya bergerak lambat,
    1. diikuti oleh kegiatan yang bergerak cepat dalam kurun waktu yang lebih
      lama,
    1. akhirnya kecepatan kemajuan tersebut menurun dan berhenti pada titik akhir .

Penggunaan grafik “S” pada gambar 3.4 dan gambar 3.5 dijumpai dalam hal-hal sebagai berikut ini :

  1. Pada analisis kemajuan proyek secara keseluruhan.
  2. Penggunaan untuk satuan unit pekerjaan atau elemen-elemennya.
  3. Pada kegiatan engineering dan pembelian untuk menganalisis persentase
    (%) penyelesaian pekerjaan.
  4. Pada kegiatan konstruksi, yaitu untuk menganalisis pemakaian tenaga kerja
    atau jam-orang dan  menganalisis persentase (%)  penyelesaian  serta
    pekerjaan-pekerjaan lain yang diukur dan dinyatakan dalam unit versus
    waktu.

Lingkungan Kerja dan Produktivitas Kerja


Lingkungan Kerja merupakan fasilitas yang tersedia di organisasi. Lingkungan
kerja fisik adalah segala aspek fisik, yaitu pegawai dan peralatan kerja. Lingkungan kerja
non fisik adalah suasana kerja, hubungan kerja dengan sesama pegawai atau pegawai
dengan atasan. Saputra et al., (2020) Lingkungan kerja yang baik meliputi hubungan
kerja, komunikasi, kebersihan, penerangan ruang kerja, dan keamanan kerja. Faktor
lingkungan kerja yang memberikan pengaruh besar terhadap produktivitas kerja antara
lain pewarnaan, kebersihan, sirkulasi udara, pencahayaan, keamanan, dan kebisingan.
Madjidu et al., (2022) lingkungan kerja di katakan baik apabila pegawai melaksanakan
tugasnya secara optimal, sehat, aman, dan nyaman.

Budaya Organisasi dan Produktivitas Kerja


Budaya organisasi memungkinkan perusahaan untuk mencapai tujuan organisasi
melalui proses dan menciptakan budaya organisasi yang baik di dalamnya. Budaya
organisasi tercermin atas kepercayaan dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh pegawai
dalam melaksanakan tugasnya. (Madjidu et al., 2022) Budaya organisasi menjadi
identitas suatu organisasi serta pembeda dengan organisasi lain guna memperkuat
eksistensi organisasi dan keterikatan para anggota. (Safitri, 2021) menyatakan budaya
sebagai suatu pola keyakinan dan nilai-nilai yang dianut bersama dalam menjalankan
pekerjaan, sebagai cara memahami, memikirkan, dan bertindak yang akan menjadi
sebuah nilai atau aturan di dalam organisasi.

Metode Pengendalian Proyek

Suatu sistem pemantauan dan pengendalian disamping memerlukan perencanaan yang realistis sebagai tolok ukur pencapaian sasaran, juga harus dilengkapi dengan  teknik dan metode yang dapat mengungkapkan tanda-tanda terjadinya penyimpangan. Untuk pengendalian biaya dan waktu terdapat dua macam metodenya yaitu : Identifikasi Varians dan Konsep Nilai Hasil (Earned Value Concept). Identifikasi dilakukan dengan membandingkan jumlah uang yang sesungguhnya dikeluarkan dengan anggaran. Sedangkan untuk jadwal, dianalisis kurun waktu yang telah dipakai dibandingkan dengan perencanaan.

Penggunaan varians sebagai teknik dan metode pengendalian proyek dan grafiks “S” yang sering digunakan untuk memperlihatkan varians, penyajian konsep nilai hasil beserta indikator-indikator BCWS, BCWP, dan ACWP yang dianggap sebagai salah satu metode pengendalian yang efektif dan dapat dipakai untuk memperkirakan besarnya biaya dan jadwal sampai pada akhir proyek.

Pada setiap rapat yang membicarakan aspek pengendalian biaya dan jadwal, akan selalu ditanyakan bagaimana kemajuan pelaksanaan kegiatan terakhir, apakah pengeluaran melebihi anggaran atau kemajuan sesuai dengan jadwal. Untuk itu menjelang saat pelaporan dikumpulkan informasi mengenai status akhir kemajuan proyek dengan menghitung jumlah unit yang diselesaikan, kemudian dibandingkan dengan perencanaan atau dengan melihat catatan penggunaan sumber daya, misalnya jam-orang dan membandingkannya dengan anggaran. Teknik demikian dikenal sebagai teknik analisis varians, yang akan memperlihatkan perbedaan antara hal-hal berikut ini :

  1. Biaya pelaksanaan dengan anggaran .
  2. Waktu pelaksanaan dengan jadwal.
  3. Tanggal mulai pelaksanaan dengan rencana.
  4. Tanggal akhir pekerjaan dengan rencana.
  5. Angka kenyataan pemakaian tenaga kerja dengan anggaran.
  6. Jumlah penyelesaian pekerjaan dengan rencana.

Di samping menunjukkan angka perbedaan kumulatif antara rencana dan pelaksanaan pada saat pelaporan, analisis varians juga mendorong untuk melacak dan mengkaji dimana dan kapan telah terjadi varians yang paling dominan dan kemudian mencari penyebabnya untuk diadakan koreksi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja


Menurut Perdana (2022) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
lingkungan kerja, antara lain:

  1. Faktor individu
    Mencakup pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan komitmen individu.
  2. Faktor kemimpinan
    Mencakup kualitas pemimpin dalam memberikan arahan dan dorongan
    terhadap pegawai.
  3. Faktor tim
    Mencakup kerja sama tim, semangat, dukungan, dan kekompakan anggota
    tim.
  4. Faktor sistem
    Mencakup fasilitas dan infrastruktur organisasi.
  5. Faktor situasional
    Mencakup perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun
    lingkungan eksternal.

Pengertian Lingkungan Kerja


Lingkungan kerja merupakan tempat bagi pegawai untuk melakukan aktivitas
pekerjaannya, yang mana tempat itu diberikan dan difasilitasi oleh perusahaan baik
dalam bentuk fisik maupun non fisik. Sedarmayanti et al,. (2018) berpendapat bahwa
lingkungan kerja fisik adalah semua fasilitas di tempat kerja yang berbentuk fisik yang
dapat mempengaruhi pegawai secara langsung ataupun tidak langsung, sedangkan
lingkungan non fisik adalah suasana yang terjalin di tempat kerja, yang berkaitan
dengan hubungan kerja, seperti hubungan terhadap atasan maupun bawahan serta
hubungan antar sesama rekan kerja.
Terciptanya lingkungan kerja yang baik, secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kinerja pegawai dalam menjalankan tugas-tugasnya, pegawai
termotivasi akan fasilitas dan suasana lingkungan kerjanya yang baik, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas kerja pegawai. Kenyamanan di tempat kerja dapat menjadi
salah satu pendorong peningkatan kinerja dan produktivitas kerja pegawai, hal ini
sejalan dengan pendapat Ngangi et al., (2022) menyatakan bahwa manusia akan mampu
melaksnakan kegiatannya secara baik, sehingga hasil yang dicapai dapat optimal
apabila diantaranya ditunjang dengan kondisi lingkungan yang baik. Menurut Madjidu
et al., (2022) lingkungan kerja hasus didesain dengan baik sedemikian rupa, agar
tercipta hubungan kerja yang mengikat pegawai dengan lingkungannya.

Indikator produktivitas kerja


Produktivitas merupakan salah satu hal penting bagi semua pegawai di
perusahaan. Dengan pegawai bekerja secara produktif diharapkan dapat lebih efisien dan
efektif dalam bekerja, maka organisasi atau perusahaan harus memperhatikan dengan
baik mengenai produktivitas kerja pegawainya mengalami peningkatan atau tidak.
Menurut Sutrisno (2017) indikator produktivitas adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan
Memiliki kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas, yang mana
kemampuan individu sangat bergantung terhadap keterampilan yang dimilikinya
serta profesionalisme mereka dalam bekerja.
2) Meningkatkan hasil yang dicapai
Upaya untuk memanfaatkan produktivitas kerja bagi masing-masing yang terlibat
dalam suatu pekerjaan serta berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai. Hasil
merupakan salah satu yang dapat dirasakan baik yang mengerjakan maupun yang
menikmati hasil pekerjaan tersebut.
3) Semangat kerja
Usaha untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik dari hari sebelumnya. Indikator
ini dapat dilihat dari etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu hari yang kemudian
dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.
4) Pengembangan diri
Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja.
Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan dengan
apa yang dihadapi, semakin kuat tantangannya maka pengembangan diri mutlak
dilakukan.
5) Mutu
Berusaha untuk meningkatkan mutu yang lebih baik. Dimana mutu merupakan hasil
kerja yang dapat memperlihatkan kualitas kerja seorang pegawai.
6) Efisiensi
Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang
digunakan. Hal ini merupakan aspek produktivitas yang memberikan pengaruh cukup
signifikan bagi pegawai.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja


Selain budaya organisasi yang sehat, untuk meningkatkan produktivitas kerja
pada pegawai juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan kelangsungan organisasi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas kerja menurut Simanjuntak (2017):

  1. Pelatihan
    Membekali dasar pengetahuan pada pegawai dengan keterampilan dan cara-cara
    yang tepat untuk menggunakan alat kerja. Agar pegawai belajar untuk mengerjakan
    sesuatu dengan benar-bener dan sesuai, serta dapat meminimalisir kesalahankesalahan.
  2. Mental dan kemampuan fisik
    Keadaan mentan dan fisik pegawai adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan
    oleh organisasi, sebab mental dan fisik berhubungan erat dengan produktivitas kerja
    pegawai.
  3. Hubungan antara atasan dengan bawahan
    Ini berkaitan dengan bagaimana pandangan atasan terhadap bawahan, seperti sejauh
    mana bawahan diikutsertakan dalam penentuan tujuan, pengambilan keputusan, dan
    bagaimana hubungan atasan dengan bawahan dapat terjalin dengan baik. jika
    pegawai diperlakukan dengan baik, maka pegawai akan berpartisipasi dengan baik
    dalam proses produksi, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
    Menurut Ravianto (2017), faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja,
    yaitu:
  4. Pendidikan
  5. Keterampilan
  6. Disiplin
  7. Sikap
  8. Etika kerja
  9. Motivasi
  10. Gaji
  11. Kesehatan
  12. Teknologi
  13. Manajemen
  14. Kesempatan berprestasi
  15. Lingkungan kerja

Pengertian Produktivitas Kerja


Produktivitas kerja adalah suatu kemampuan meningkatkan hasil kerja yang
ditinjau dari sumber daya yang dimiliki oleh setiap individu. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nainggolan (2022) Produktivitas kerja sebagai kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk menghasilkan barang dan jasa dalam waktu yang telah
ditentukan.
Menurut Hasibuan (2018) Produktivitas adalah sikap mental manusia dan usahausahanya untuk mencapai hasil yang lebih baik dengan menggunakan sumber daya
seefektifnya yang kemudian diukur dengan masukan yang digunakan untuk mencapai
hasil yang optimal. Pendapat lain dari Sedarmayanti (2018) Produktivitas kerja adalah
keinginan dan upaya dari individu untuk dapat meningkatkkan kualitas dalam
kehidupannya dan penghidupan di berbagai aspek yang kemampuan seseorang
digunakan sebagai kekuatan untuk mewujudkan segenap potensi untuk menciptakan
kreativitas. Sedangkan menurut Elbandiansyah (2019) Produktivitas kerja adalah
perbandingan antara output yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang
diperlukan (input).

Karakteristik Budaya Organisasi


Ganyang (2018) menyatakan bahwa terdapat tujuh karakteristik budaya
organisasi, yaitu:

  1. Innovation and risk taking
    Manajemen organisasi diharapkan memberikan arahan terhadap anggota
    organisasi untuk lebih aktif dan berinovasi.
  2. Attention to detail
    Anggota organisasi diberi motivasi untuk melakukan analisis pelaksanaan
    dan perencanaan secara rinci terkait pekerjaannya sehari-hari.
  3. Outcome orientation
    Manajemen organisasi focus terhadap hasil dan manfaat yang diperoleh
    sebagai hasil karya dari anggota organisasi.
  4. People orientation
    Setiap kebijakan dan keputusan manajemen operasu tetap memperhatikan
    kepentingan para anggota organisasi, empati kepada masalah yang dihadapi
    oleh setiap individu anggota organisasi.
  5. Team orientation
    Manajemen organisasi dapat mengoptimalkan hasil kerja tim. Kerja tim
    yang mewujudkan sinergi dapat lebih efektif dan efisien pada
    penggabungan kerja setiap individu
  6. Aggressiveness
    Manajemen organisasi memberi arahan terkait agresivitas anggota
    organisasi menuju ke arah yang lebih baik.
  7. Stability
    Kestabilan dapat terwujud apabila anggota organisasi menjunjung tinggi
    nilai-nilai dan peraturan yang berlaku di organisasi.

Pengertian Budaya Organisasi


Budaya organisasi mengacu pada perilaku yang unik dari norma-norma, nilainilai, kepercayaan dan cara individu berperilaku yang menjadi ciri bagaimana individu
dan kelompok dalam menyelesaikan sesuatu. Dunggio (2020) Budaya organisasi
mengandung nilai-nilai yang harus dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan secara bersama
oleh semua anggota yang terlibat di dalam organisasi.
Menurut Setyorini & Santi (2021) Budaya organisasi merupakan kekuatan
individu sebagai faktor pendukung tercapainya kinerja suatu organisasi. Budaya
organisasi sebagai filosofi dasar organisasi yang berisi keyakinan, norma-norma, nilainilai bersama yang menjadi karakteristik melakukan sesuatu dalam organisasi.
Menurut Tutu et al., (2022) menyatakan budaya organisasi sebagai kebiasaan
yang sudah berlangsung lama yang digunakan dan diterapkan dalam aktivitas kerja
sebagai salah satu pendorong untuk meningkatkan kualitas kerja para pegawai. Pendapat
dari Suaiba et al., (2021) budaya organisasi (corporate culture) merupakan sebuah aturan
main yang ada di dalam organisasi yang menjadi pedoman bagi sumber daya manusianya
dalam menjalankan kewajiban dan nilai-nilai untuk berperilaku dalam organisasi
tersebut

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Menurut Harbani Pasolong (2008:186) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kinerja, yaitu:
a. Kemampuan
Menurut Robbins kemampuan adalah suatu kapasitas individu untuk
mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Pada dasarnya, kemampuan
berkaitan erat dengan Minat dan Bakat. Menurut Salahuddin minat adalah
perhatian seseorang yang mengandung unsur-unsur perasaan yang dapat
menentukan suatu sikap yang menyebabkan seseorang aktif dalam kegiatan
tertentu. Sedangkan bakat menurut Iskandar adalah suatu karakteristik unik
individu yang membuatnya mampu melakukan aktivitas dan tugas secara mudah
dan sukses.
Bakat biasanya dikembangkan dengan pemberian kesempatan
pengembangan pengetahuan melalui tiga hal, yaitu Pendidikan, Pelatihan, dan
Pengalaman Kerja. Adanya bakat yang potensial jika tidak diberi kesempatan
untuk dikembangkan tidak akan berubah menjadi kemampuan. Begitu juga
sebaliknya, walaupun diberi kesempatan, jika tidak memiliki bakat maka
pengembangan yang dilakukan tidak akan efektif.
b. Kemauan
Kemauan atau motivasi menurut Robbins adalah kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi. Kemauan atau
motivasi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Pengaruh lingkungan fisik, yaitu setiap pegawai menghendaki yang baik
untuk bekerja, pencahayaan yang baik, ruangan yang nyaman, dan lain-lain.
2) Pengaruh lingkungan sosial dalam melaksanakan pekerjaan tidak semata- mata hanya mengejar penghasilan saja, tetapi juga mengharapkan
penghargaan dari pegawai lain.
c. Energi
Energi menurut Jordan E. Ayan adalah pemercik api yang menyalakan
jiwa. Tanpa adanya energi psikis dan fisik yang mencukupi, perbuatan kreatif
pegawai terhambat. Ia berpendapat orang-orang yang sukses dalam melakukan
tugas jika bisa mencapai keadaan yang disebutnya Flow atau mengalir. Ketika
berada dalam keadaan tersebut, tingkat energi menjadi tinggi dan ketajaman
mental serta konsentrasi mengelola pekerjaan lebih tinggi.
d. Teknologi
Menurut Danise M. Rosseau teknologi adalah penerapan pengetahuan
untuk melakukan pekerjaan. Penerapan teknologi menurut Bill Creech adalah
lebih cenderung positif dan proaktif pegawai dalam melakukan pekerjaan, karena
mereka memandang teknologi sebagai teman, buka sebagai musuh untuk
meningkatkan kinerja. Pegawai juga akan lebih kreatif merancang dan
mengembangkan cara berpikir positif dalam strategi berbeda untuk lebih
meningkatkan kinerjanya.
e. Kompensasi
Kompensasi adalah sesuatu yang diterima pegawai sebagai balas jasa atas
kinerja dan bermafaat baginya. Jika pegawai mendapatkan balas jasa yang
setimpal dengan kinerjanya, maka mereka akan bekerja dengan tekun dan tenang.
Jika sebaliknya terjadi, maka kinerja pegawai cenderung lebih menurun.
f. Kejelasan Tujuan
Kejelasan tujuan merupakan salah satu faktor penentu dalam pencapaian
kinerja. Oleh karena pegawai yang tidak mengetahui dengan jelas tujuan
pekerjaan yang hendak dicapai, maka tujuan yang tercapai tidak efisien. Menurut
Widodo, seorang pemimpin harus menentukan tujuan birokrasi atau organisasinya
dan menentukan pula kriteria kinerjanya.
g. Keamanan
Keamanan pekerjaan menurut George Strauss dan Leonard Sayles adalah
sebuah kebutuhan manusia yang fundamental, karena pada umumnya orang yang
menyatakan lebih penting keamanan pekerjaan daripada gaji atau kenaikan
pangkat. Oleh sebab itu, tidak cukup tidak cukup hanya terpenuhi kebutuhan fisik
saja, namun mereka cenderung memastikan kebutuhan mereka di masa depan juga
akan terpenuhi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Mathias dan Jackson
dalam Andika Rahmadhan (2012:22) ialah:
a. Kemampuan Kinerja
b. Motivasi
c. Dukungan yang diterima
d. Lingkungan Kerja
e. Hubungan dengan organisasi

Standar Kinerja


Dalam masalah kinerja ini ada beberapa faktor yang menyebabkan kinerja
personil/karyawan dibawah standar , yaitu mulai dari keterampilan kinerja yang
buruk hingga motivasi yang tidak cukup atau lingkungan kerja yang buruk.
Seorang karyawan yang mempunyai tingkat keterampilan rendah tetapi memiliki
motivasi yang baik mungkin membutuhkan pelatihan. Tetapi seorang personil
yang memiliki keterampilan namun tidak mempunyai keinginan perlu adanya
strategi motivasi.
Standar kinerja pekerjaan (Performance Standard) menentukan tingkat
kinerja pekerjaan yang diharapkan dari pemegang pekerjaan tersebut dan criteria
terhadap kesuksesan pekerjaan yang diukur. Beberapa persyaratan yang mesti
dipenuhi standar kinerja pekerjaan adalah :
a) Haruslah mudah diukur
b) Standar kinerja haruslah mudah dipahami karyawan
c) Standar kinerja haruslah relevan dengan individu dan organisasi
d) Standar kinerja haruslah stabil dan dapat diandalkan
e) Standar kinerja haruslah membedakan antara pelaksanaan pekerjaan yang
baik, sedang atau buruk
f) Standar pekerjaan haruslah dinyatakan dalam bentuk angka
g) Standar kinerja haruslah memberikan penafsiran yang tidak mendua.
(Simamora, 2004 : 147-148)
Adapun Dimensi-Dimensi Kinerja adalah
a) Memikat dan menahan orang-orang didalam organisasi
b) Kebutuhan pertama dari setiap organisasi adalah memikat sejumlah orang
kedalam organisasi dan menahan mereka didalam perusahaan dalam
jangka waktu tertentu. Hal ini berarti bahwa organisasi itu haruslah
meminimalkan perputaran, ketidakhadiran dan keterlambatan karyawan.
c) Penyelesaian tugas yang terandalkan. Agar organisasi efektif, organisasi
haruslah meraih penyelesaian tugas yang terandalkan dari anggota- anggotanya.
d) Perilaku-perilaku inovatif dan spontan. Organisasi tidak dapat mengawasi
segala kemungkinan dalam aktivitas-aktivitasnya sehingga efektivitasnya
dipengaruhi oleh kesediaan karyawan-karyawannya untuk melakukan
perilaku inovatif dan spontan. (Simamora, 2004 : 418-419)

Penilaian Kinerja


Teknik yang digunakan oleh manajemen untuk meningkatkan kinerja
adalah penilaian (apprasial). Motivasi karyawan untuk bekerja, mengembangkan
kemampuan pribadi dan meningkatkan kemampuan di masa mendatang
dipengaruhi oleh umpan balik mengenai kinerja masa lalu dan pengembangan.
Penilaian kinerja (performance apprasial) adalah proses dengan organisasi
mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Dalam penilaian kinerja dinilai
kontribusi karyawan selama periode waktu tertentu. Umpan balik kinerja
(performance feedback) memungkinkan karyawan untuk mengetahui seberapa
baik mereka bekerja jika dibandingkan dengan standar-standar organisasi. Apabila
penilaian kinerja dilakukan secara benar, para karyawan, departemen sumber daya
dan organisasi perusahaan bakal diuntungkan.
Penilaian kinerja berkenaan dengan seberapa baik orang melakukan
pekerjaan yang ditugaskan atau diberikan. Sebagaimana yang dikemukakan
Mangkuprawiro bahwa penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan
perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang. Kinerja karyawan perlu diperhatikan guna mempertahankan dan
meningkatkan kepuasan pelanggan. Dampak penilaian kinerja individu karyawan
memiliki imbas negatif maupun positif terhadap moral kinerja karyawan. Pada
saat penilaian-penilaian kinerja untuk disiplin, kenaikan gaji, promosi, pemecatan
atau pemberhentian sementara, maka penilaian kinerja dianggap paling
menakutkan oleh orang-orang yang menganggap kemampuan dirinya rendah.
Penilaian kinerja karyawan akan memberikan manfaat bagi suatu
organisasi perusahaan. Hasil-hasil dari penilaian prestasi kinerja sering berfungsi
sebagai basis bagi evaluasi regular terhadap kinerja anggota-anggota organisasi.
Organisasi sering mencoba untuk mempengaruhi motivasi dan kinerja mendatang
dari anggota mereka dengan mengaitkan pelaksanaan berbagai imbalan, seperti
kenaikan gaji, dan promosi, terhadap ratting yang dihasilkan oleh sistem penilaian
kineja.
Unsur-unsur atau objek penilaian prestasi kerja karyawan adalah :
a. Kesetiaan dan tanggung jawab
b. Kejujuran
c. Kedisiplinan
d. Kreativitas dan prakarsa
e. Kepribadian dan kecakapan
f. Kerjasama
Dalam menilai kinerja karyawan, enam hal yang perlu dipahami yaitu:
a. Kegunaan hasil penilaian kinerja
b. Unsur-unsur penilaian kinerja
c. Teknik penilaian kinerja
d. Kiat melaksanakan penilaian kinerja yang berorientasi ke masa depan
e. Implikasi proses penilaian
f. Umpan balik bagi satuan kerja yang mengelola sumber daya manusia
dalam organisasi.
Menurut Malayu Hasibuan ada beberapa tujuan dan kegunaan penilaian
kinerja atau prestasi kerja karyawan yaitu:
a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi,
demosi, pemberhentian, dan penetapan balas jasanya.
b. Untuk mengukur prestasi kerja yaitu sejauh mana karyawan bisa sukses
dalam pekerjaannya.
c. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan di dalam
perusahaan.
d. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal
kerja, metode kerja, gaya pengawasan, kondisi kerja, dan peralatan kerja.
e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan
yang berada dalam organisasi.
f. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai
tujuan untuk mendapatkan permormance kerja yang baik.
g. Sebagai alat untuk mendorong atau membiasakan para atasan (supervisor,
manager, administrator) untuk mengobservasi perilaku bawahan
(subordinate) supaya diketahui minat dan kebutuhan-kebutuhannya.
h. Sebagai alat untuk bisa melihat kekurangan atau kelemahan di masa lampau
dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.
i. Sebagai kriteria di dalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan.
j. Sebagai alat untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan personel dan
dengan demikian bisa sebagai bahan pertimbangan agar bisa diikutsertakan
dalam program latihan dan kerja tambahan.
k. Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
l. Sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengembangkan uraian pekerjaan (job
description).

Pengertian Kinerja


Kinerja merupakan tingkat kemampuan karyawan secara individu ataupun
kelompok dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan dengan tingkat
pencapaian yang baik (Rosyid dan Palsa, 2003 : 173)
Ada berbagai pendapat tentang kinerja, seperti dikemukakan oleh Widodo
(2006:78), mengatakan bahwa kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan
menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnyadengan hasil seperti yang
diharapkan. Mangkunegara (2002: 67), mengatakan bahwa kinerja adalah
merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang
dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan
kepadanya. Sinambela dkk. (2006: 136), mendefenisikan kinerja pegawai sebagai
kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu dengan keahlian tertentu. Hal
senada dikemukakan oleh Stephen Robbins (1989: 439), bahwa kinerja adalah
hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dibandingkan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam Harbani Pasolong (2010: 175- 176).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kinerja
merupakan sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja.
(Muhaimin, 2002)
Kemudian menurut Bernardin dan Rusel (dalam Triton PB, 2005 : 94),
Kinerja adalah sebagai catatan hasil dan keuntungan yang dihasilkan oleh fungsi
pekerjaan tertentu atau aktifitas tertentu selama periode tertentu.

Fungsi Budaya Organisasi


Menurut (wibowo,2006:739) budaya organisasi yang kuat akan
berpengaruh lebih besar terhadap karyawan dibanding budaya yang lemah. Jika
memang kuat dan mendukung standar etis yang tinggi, budaya itu seharusnya
memiliki pengaruh yang sangat kuat dan positif terhadap prilaku karyawannya.
Sunarto (Riani:2011:8) menyebutkan bahwa budaya organisasi
mempunyai beberapa fungsi, antara lain:

  1. Peningkatan organisasi
    Budaya organisasi berfungsi sebagai peningkatan seluruh komponen
    organisasi, terutama pada saat organisasi menghadapi guncangan baik dari
    dalam maupun dari luar akibat adanya perubahan
  2. Integrator
    Budaya organisasi merupakan alat untuk menyatukan beragam sifat,
    karakter, bakat dan kemampuan yang ada didalam organisasi
  3. Identitas organisasi
    Budaya organisasi adalah salah satu identitas organisasi
  4. Energi untuk mencapai kinerja yang tinggi
    Berfungsi sebagai suntikan energi untuk mencapai kinerja yang tinggi
  5. Ciri kualitas
    Budaya organisasi merupakan representasi dari ciri kualitas yang berlaku
    dalam organisasi tersebut
  6. Motivator
    Budaya organisasi juga merupakan pemberi semangat bagi para anggota
    organisasi. Organisasi yang kuat akan menjadi motivator yang kuat juga
    bagi para anggotanya
  7. Pedoman gaya kepemimpinan
    Adanya perubahan didalam organisasi akan membawa pandangan baru
    tentang kepemimpinan
    Sementara itu Kreitner dan Kinicki (Wibowo:2011:49) fungsi budaya
    organisasi adalah:
  8. Memberikan anggota identitas organisasional
    Menunjukkan ciri khas yang membedakan dengan organisasi lainnya yang
    mempunyai sifat khas yang berbeda
  9. Memfasilitasi komitmen kolektif
    Anggota organisasi mempunyai komitmen bersama tentang norma-norma
    dalam organisasi yang harus diikuti dan tujuan bersama yang harus dicapai
  10. Meningkatkan stabilitas sosial sehingga mencerminkan bahwa lingkungan
    kerja dirasakan positif dan diperkuat, konflik dan perubahan dapat dikelola
    secara efektif
  11. Membentuk prilaku dengan membantu anggota menyadari atas
    lingkungannya.
    Budaya organisasi dapat menjadi alat untuk membuat orang berfikir sehat
    dan masuk akal.

Karakteristik Budaya Organisasi


Menurut Robbins (Wibowo:2011:37) mengemukakan adanya tujuah
karakteristik budaya organisasi:

  1. Innovation and risk taking ( inovasi dan pengambilan resiko),
    Merupakan suatu tingkatan dimana pekerjaan didorong untuk menjadi
    inovatif dan mengambil risiko.
  2. Attention to detail ( perhatian pada hal detail),
    dimana pekerjaan diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis dan
    perhatian pada hal yang detail.
  3. Outcome orientation ( orientasi pada manfaat)
    Dimana manajemen memfokuskan pada hasil dan manfaat dari pada
    sekedar pada teknik dan proses dan dipergunakan untuk mendapatkan
    manfaat tersebut.
  4. People orientatin ( Orientasi pada orang)
    Dimana keputusan manajemen mempertimbangkan pengaruh manfaatnya
    pada orang dalam organisasi.
  5. Team orientation ( orientasi pada tim)
    Dimana aktivitas kerja di organisasi berdasarkan tim dari pada individual.
  6. Aggressiveness ( agresifitas)
    Dimana orang-orang cenderung lebih agresif dan kompetitif dari pada
    easygoing. 7. Stability ( stabilitas)
    Dimana aktivitas organisasional menekankan pada menjaga status quo
    sebagai lawan dari perkembangan.
    Sementara itu, menurut Greenberg dan Baron (Wibowo:2011:37)
    mengemukakan bahwa terdapat tujuh elemen yang menunjukkan karakteristik
    budaya organisasi, antara lain:
  7. Innovation (inovasi)
    Suatu tingkatan dimana orang diharapkan kreatif dan membangkitkan
    gagasan baru
  8. Stability (stabilitas)
    Bersifat menghargai lingkungan yang stabil, dapat diperkirakan, dan
    berorientasi pada peraturan
  9. Orientation toward people (orientasi pada orang)
    Merupakan orientasi untuk menjadi jujur, mendukung, dan menunjukkan
    penghargaan pada hak individual
  10. Result-orientation (orientasi pada hasil)
    Meletakkan kekuatannya pada kepeduliannya untuk mencapai hasil yang
    diharapkan
  11. Easygoingness ( bersikap tenang)
    Suatu keadaan dimana tercipta iklim kerja bersifat santai
  12. Attetion to deteail ( perhatian pada hal deteail)
    Dimaksudkan dengan berkepentingan untuk menjadi analitis dan seksama
  13. Collaborative orientation (orientasi pada kolaborasi)
    Merupakan orientasi yang menekankan pada bekerja dalam tim sebagai
    lawan dari bekerja secara individu.

Budaya Organisasi


Manusia adalah makhluk yang berbudaya, setiap aktifitasnya
mencerminkan sistem kebudayaan yang berintegrasi dengan dirinya, baik cara
berpikir, memandang sebuah permasalahan. Pengambilan keputusan dan lain
sebagainya.
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang ditemukan dan
dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena mempelajari dan menguasai
masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja dengan cukup
baik untuk dipertimbangkan secara layak dan karena itu diajarkan pada anggota
baru sebagai cara yang dipersepsikan, berfikir dan dirasakan dengan benar dalam
hubungan dengan masalah tersebut Schein (Wirawan: 2011: 15).
Kata budaya (Culture) sebagai suatu konsep berakar dari kajian atau
disiplin ilmu Antropologi ; yang oleh Killman . et. Al (dalam Nimran, 2004 : 134)
diartikan sebagai Falsafah, ideologi, nila-nilai, anggapan, keyakinan, harapan,
sikap dan norma yang dimiliki bersama dan mengikat suatu masyarakat.
Kini konsep tersebut telah pula mendapat tempat dalam perkembangan
ilmu perilaku organisasi, dan menjadi bahasan yang penting dalam literatur ilmiah
dikedua bidang itu dengan memakai istilah budaya organisasi.
Organisasi merupakan elemen yang amat diperlukan didalam kehidupan
manusia, organisasi membantu kita melaksanakan hal-hal atau kegiatan-kegiatan
yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik sebagai individu sehingga mencapai
tujuan yang diharapkan.
Menurut Robbins (Achmad Sobirin:2007:5) organisasi merupakan unit
sosial yang sengaja didirikan untuk jangka waktu yang relatif lama,
beranggotakan dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama dan
terkoordinasi, mempunyai pola kerja tertentu yang terstruktur, dan didirikan untuk
mencapai tujuan bersama atau satu tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Organisasi adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah untuk tujuan
bersama. Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana
orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana,
terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya
(uang, material, mesin, metode, lingkungan), sarana-parasarana, data, dan lain
sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan
organisasi.
Cherrtington (Acmad Sobirin: 2007: 5) organisasi adalah sistem sosial
yang mempunyai pola kerja yang teratur yang didirikan oleh manusia dan
beranggotakan sekelompok manusia dalam rangka untuk mencapai satu set tujuan
tertentu.
Menurut Achmad Sobirin (2007:10) organisasi mempunyai lima
karakteristik:
a. Unit/entitas sosial
Organisasi adalah rekayasa sosial hasil karya cipta manusiayang
bersifat tidak kasat matadan abstrak sehingga organisasi sering disebut
artificialbeing. b. Beranggotakan minimal dua orang
Sebagai hasil karya cipta seseorang, organisasi bisa didirikan oleh
seseorang yang mempunyai kemampuan, pengetahuan dan sarana lain.
c. Berpola kerja yang terstruktur
Tanpa koordinasi dan pola terstruktur, kumpulan dua orang atau lebih
hanya lah sekumpulan orang bukan organisasi.
d. Mempunyai tujuan
Adapun organisasi didirikan adalah untuk saling membantu untuk
mencapai satu set tujuan baik tujuan individu maupun tujuan
organisasi tersebut.
e. Mempunyai identitas diri
Organisasi menentukan identitas yang berbeda.
Sedangkan menurut Schein (Winardi:2006:27) organisasi mempunyai
empat ciri-ciri atau karakteristik, antara lain:
a. Koordinasi upaya
b. Tujuan umum bersama
c. Pembagian kerja
d. Hirarki otoritas

Konsep Kepemimpinan


Konsep kepemimpinan telah dikemukakakam oleh berbagai literature
kepemimpinan, disini penulis akan membahas konsep kepemimpinan
pendapat dari berbagai ahli, salah satu konsep kepemimpinan menurut Stoner
(1996:161), mengatakan kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan
mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota
kelompok. Menurut Cleary (2002:5), berpendapat lain tentang kepemimpinan
adalah sebuah persoalan kecerdasan, kelayakan untuk dipercaya, kelembutan,
keberanian dan ketegasan. Menurut pendapat Kartono (2005:153),
menyatakan kepemimpinan adalah “kemampuan” untuk memberikan
pengaruh yang konstruktif kepada orang lain untuk melakukan suatu usaha
kooperatif mencapai tujuan yang sudah direncanakan.
Kemudian menurut Stogdill (1974:259), mencoba mempetakan definisi
kepemimpinan. Sebagai berikut: (1) Kepemimpinan sebagai proses kelompok,
(2) Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berakibat, (3) Kepemimpinan
sebagai seni menciptakan kesepakatan, (4) Kepemimpinan sebagai
kemampuan mempengaruhi, (5) Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku, (6(
Kepemimpinan sebagai bentuk bujukan, (7) Kepemimpinan sebagai suatu
hubungan kekuasaan, (8) Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan,
(9) Kepemimpinan sebagai hasil interaksi, (10) Kepemimpinan sebagai
pemisahan peranan, dan (11) Kepemimpinan sebagai awal struktur

Konsep Pemimpin


Konsep “pemimpin” berasal dari kata asing “leader” dan”kepemimpinan “
dari “leadhership”.Pemimpin artinya adalah seseorang yang mempunyai
kemampuan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan organisasi agar kegiatan
tersebut dapat terselenggara dengan efisien. Selanjutnya, agar terjadi
ketertiban dalam kegiatan organisasi diperlukan pengaturan mengenai
pembagian tugas, cara kerja dan hubungan anatara pekerjaan yang satu dengan
pekerjaan yang lain.
Pemimpin dapat diartikan predikat yang disandang seseorang sebagai
pemimpin yang memiliki kewenangan, maka pemimpin tersebut wajib
melaksanakan fungsinya. Berikut ini adalah pengertian menurut beberapa ahli:
a. Menurut Kouzes (2004:17), mengatakan bahwa pemimpin adalah vionir
sebagai orang yang bersedia melangkah kedalam situasi yang tidak
diketahui. Pemimpin yang mempunyai visi yang jelas dapat menjadi
penuntun dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai
pemimpin.
b. Menurut Sudriamunawar (2006:1), mengatakan pemimpin adalah
seseorang yang memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi
para pengikutnya untuk melakukan kerjasama kearahpencapaian tujuan
yang telah di tenttukan sebelumnya.
c. Menurut Matondang (2008:5), mengatakan bahwa pemimpin adalah
seseorang yang mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang diinginkan.
d. Menurut Bennis (1998:71), mengatakan bahwa pemimpin adalah orang
yang paling berorientasi hasil di dunia, dan kepastian dengan hasil ini
hanya positif kalau seseorang mengetahui apa yang diinginkannya.
e. Menurut Kartono (2005:51), menyatakan pemimpind adalah seorang
pribadi yang memiliki superioritas tertentu, sehingga dia memiliki
kewibawaan dan kekuasaan untuk menggerakan orang lain melakukan
usaha bersama guna mencapai sasaran tertentu.
f. Menurut Rivai (2004:65), menyatakan pemimpin adalah anggota dari
suatu kumpulan yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan dapat
bertindak sesuai kedudukannya. Jadi pemimpin adalah juga seseorang
dalam suatu perkumpulan yang diharapakan dapat menggunakan
pengaruhnya untuk mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok.
g. Menurut Sudriamunawar (2006:1), pemimpin adalah seseorang yang
memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi para pengikutnya
untuk melakukan kerja sama kea rah pencapaian tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya.
h. Raven dalam Wirjana (2006:4), mengatakan bahwa pemimpin adalah
“seseorang menduduki suatu posisi di kelompok, mempengaruhi orang-
orang dalam mengkoordinasi serta mengarahkan kelompok untuk
mempertahankan diri serta mencapai tujuannya”.
i. Menurut Nawawi (2004:9), mengatakan bahwa pemimpin adalah orang
yang memimpin.
j. Sedangkan pengertian pemimpin yang paling baru sebagai post modern
dari menurut Lantu dalam bukunya (2007:29), menyatakan bahwa
pemimpin adalah pelayan. Definisi yang terakhir sangat menarik karena
yang terjadi selama ini adalah pemimpin yang dilayani, bukan melayani.
Intinya pemimpin adalah orang yang mempunyai pengikut atau pendukung
karena kapasitasnya.

Kinerja karyawan


Suatu peningkatan kinerja akan memberikan kemajuan untuk perusahaan
atau organisasi supaya dapat bertahan dalam persaingan bisnis di lingkungan bisnis
yang selalu menciptakan perubahan. Menurut Edison et al., (2016), kinerja
merupakan hasil dari suatu proses yang memberikan acuan dan pengukuran untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan syarat dan kesepakatan yang telah ditetapkan.
Menurut Hasibuan (2014), kinerja mengacu pada pekerjaan yang dilakukan
seseorang ketika menyelesaikan suatu tugas, dan uang dibebankan kepadanya
berdasarkan keterampilan, pengalaman, keseriusan dan waktu.
Menurut Prasadja (2018), kinerja merupakan gambaran tingkat pencapaian
suatu rencana kegiatan atau kebijakan untuk mencapai tujuan dan sasaran, yang
meliputi visi dan misi organisasi yang ditetapkan dalam rencana strategis
organisasi. Pelaksanaan kinerja semacam ini dapat dilakukan oleh karyawan
dengan tingkat kemampuan, semangat dan minat yang tinggi. Kinerja ini sendiri
dipengaruhi oleh bagaimana pemimpin memperlakukan dan menghargai
karyawannya. Berdasarkan konsep manajemen kinerja dapat dikatakan bahwa cara
mengatur individu dan unsur-unsurnya adalah dengan membiarkan karyawan
memahami apa yang harus dicapai dan bagaimana cara mencapainya agar tujuan
yang telah ditetapkan perusahaan dapat tercapai membuat sebuah prestasi.
Menurut pemahaman para ahli tentang kinerja, dapat disimpulkan kinerja
adalah pencapaian atau hasil yang diperoleh karyawan sesuai dengan waktu yang
dijadwalkan, dan berkaitan dengan interaksi antara kemampuan yang dimiliki
karyawan, dan kemampuan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan
strategi dan tujuan organisasi. Selain itu, kinerja dapat menunjukkan kecepatan dan
ketepatan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan guna mencapai
tujuan perusahaan yang telah direncanakan sebelumnya.
Kinerja karyawan suatu aspek penting dalam mencapai tujuan yang sudah
ditetapkan. Namun untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, terdapat beberapa
faktor yang akan mempengaruhi kinerja individu. Menurut Edison et al., (2016),
tiga faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan antara lain:

  1. Kompetensi: kemampuan seseorang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan,
    meliputi:
    a. Kemampuan dan keterampilan kerja dipengaruhi oleh beberapa
    faktor, seperti kesehatan fisik dan mental, pengalaman dan pelatihan
    kerja, serta tingkat pendidikan.
  2. Adanya motivasi dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, budaya dan
    agama, serta masyarakat sekitar.
  3. Teknologi/mesin, apakah kemampuan teknologi pendukung telah
    diantisipasi dan memenuhi syarat.
  4. Metode/sistem, perlu dibangun metode atau sistem (prosedur) sebagai
    akibatnya setiap keputusan mudah diambil, tidak kaku, bisa memperlancar
    birokrasi kerja, dan membentuk sinergi yang baik antar orang/bagian.

Gaya Kepemimpinan


Kepemimpinan atau leadership adalah sekelompok ilmu terapan atau
applied science yang berasal dari ilmu-ilmu sosial karena prinsip dan rumusnya
dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Sebagai langkah awal
dalam mempelajari dan memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan
kepemimpinan dan permasalahannya. Perlu memahami berbagai sudut pandang
terlebih dahulu.
Kepemimpinan melibatkan semua aspek kehidupan manusia, seperti gaya
hidup, kesempatan kerja, masyarakat bahkan negara, tampaknya diperlukan upaya
sadar untuk memperdalam semua aspek kepemimpinan yang efektif, dan bahkan
perbaikan terus-menerus dilakukan oleh para ilmuwan yang bersemangat dan
antusias mengumpulkan data tanpa henti mengenai kepemimpinan. Banyak ahli
yang mengemukakan pengertian kepemimpinan yang berbeda-beda.
Menurut Fahmi (2012) kepemimpinan adalah proses membimbing,
mempengaruhi, dan mengawasi orang lain dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan rencana pesanan. Menurut Robbins (2016) seorang pemimpin adalah
seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan memiliki otoritas manajemen.
Kepemimpinan adalah proses memimpin sebuah tim untuk mencapai tujuannya.
Menurut Taryaman (2016) kepemimpinan adalah ilmu dan seni yang dapat
mempengaruhi orang lain atau kelompok orang untuk bekerja sama, bukan saling
meremehkan untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Sutrisno (2014) kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan di
mana seseorang menggerakkan orang lain dengan memimpin, membimbing, dan
mempengaruhi orang lain, melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Menurut pemahaman para ahli tentang kepemimpinan, dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan di mana seseorang
menggerakkan orang lain dengan membimbing dan mempengaruhi orang lain
untuk bekerja sama, bukan saling merendahkan untuk mencapai tujuan organisasi.
Gaya kepemimpinan adalah metode, cara, dan kemampuan tertentu yang
digunakan pemimpin untuk memengaruhi, membimbing, mendorong, dan
mengendalikan orang lain atau bawahan untuk mencapai tujuan melalui perilaku,
komunikasi, dan interaksi. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang
berbeda, dan satu gaya kepemimpinan belum tentu lebih baik atau lebih buruk dari
yang lain.
Menurut Alimudin dan Sukoco (2017), gaya kepemimpinan merupakan
rangkaian karakteristik yang digunakan oleh pemimpin untuk mempengaruhi
bawahannya guna mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, gaya
kepemimpinan merupakan cara berperilaku dan strategi yang disukai dan sering
diadopsi oleh pemimpin

Pengukuran/Penilaian kinerja

Kinerja adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia dari kata dasar “kerja” yang menterjemahkan kata dari bahasa asing prestasi. Bisa pula berarti hasil kerja. Pengertian Kinerja Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga perusahaan / instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.

Menurut Barry Cushway (2002 : 1998) “Kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditentukan”.

John Witmore dalam Coaching for Perfomance (1997 : hal. 104) “kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan”. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negative dari suatu kebijakan operasional. Mink (1993 : hal. 76) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: (a) berorientasi pada prestasi, (b) memiliki percaya diri, (c) berperngendalian diri, (d) kompetensi.  ( dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja)

Dari pengetian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja dikaitkan dengan pelaksanaan proyek adalah nilai/ukuran bagaimana proyek telah bekerja dibandinkan dengan target atau rencana yang telah ditentukan             ( anggaran) Kinerja Proyek merupakan bagaimana cara kerja proyek tersebut dengan membandingkan hasil kerja nyata dengan perkiraan cara kerja pada kontrak kerja yang disepakati oleh pihak owner dan kontraktor pelaksana        ( Extern) serta anatara pelaksana proyek/manajemen proyek dengan manajemen pucak, yang lebih tinggi (Intern)

Menurut Samryn.(2002:263) [5.3] “ Pengukuran kinerja selalu bertitik tolak pada tujuan organisasi yang ditetpkan sebelumnya. Tujuan perusahaan itu sendiri dapat berupa :

  1. Maksimasi laba
  2. Maksimasi Penjualan
  3. Mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan
  4. Pencapaian suatu tingkat laba yang memuaskan
  5. Pencapaian pangsa pasar tertentu
  6. Meminimumkan perputaran karyawan
  7. Inetrnal peace bagi manajemen
  8. Memaksimumkan tunjangan dan gaji manajeman

Dari tujuan tersebut diatas maksimasi penjulan merupakan hal yang paling strategis untuk tujuan jangka panjang. Dengan penjualan yang memadai maka perusahaan dapat melakukan perencanaan agar menjamin kelangsungan hidup usaha, termasuk perolehan tingkat laba tertentu. Laba secara sederhana dapat dikukur dengan selisih antara total penjualan dengan total biaya. Laba bersih usaha yaitu laba suatu organisasi sebelum dikurangi dengan bunga dan pajak penghasilan perusahaan, atau laba yang diperhitungkan sebesar laba bruto dikurangi dengan biaya-biaya penjualan, umum dan administrasi

Dengan demikian pengukuran kinerja suatu proyek berkaitan dengan pencapaian laba yang direncanakan dan  salah satu indikator dalam pencapaian laba adalah waktu dan biaya. Berkenaan dengan waktu, kita mengetahui bahwa waktu merupakan salah satu faktor yang penting suatu proyek. Waktu pelaksanaan proyek menentukan progress/produksi, dan biaya yang dikeluarkan. Untuk itulah anilisis penyimpangan produksi/progress dan biaya sangat diperlukan dalam pengukuran kinerja suatu proyek

Pelaporan kinerja dari pelaksana anggaran merupakan hal yang dibutuhkan oleh manajemen sebagai ( umpan balik ) feedback , yang merupakan sinyal apakah operasi organisasi/proyek berada dalam jalur yang direncanakan. Umpan balik merupakan alat yang sangat efektif untuk melakukan pengendalian,  Hansen/Mowen, hal. 6 [5.1] Pelaporan kinerja Proyek umumnya berkaiatan dengan pencapaian progress/penjualan, biaya, cash flow dan Mutu

Menurut Dipohusodo, Manajemen Proyek & Konsruksi 1996, [5.5] , proses pengendalian kinerja dalam pelaksanaan proyek konstruksi secara umum terdiri dari 3 langkah pokok, yaitu:

  1. Menetapkan standar kinerja. Standar ini dapat berupa biaya yang dianggarkan dan jadwal.
  2. Mengukur kinerja terhadap standar dengan jalan membandingkan antara performansi aktual dengan standar performansi. Hasil pekerjaan dan pengeluaran yang telah terjadi dibandingkan dengan jadwal dan biaya yang telah direncanakan.
  3. Melakukan tindakan koreksi apabila terjadi penyimpangan terhadap standar yang telah ditetapkan.

Laporan kinerja member informasi tentang kinerja biaya dan sumber daya serta waktu sebagai hasil progress kerja atau produksi yang telah diselesaikan. Informasi kinerja pekerjaan menjelaskan status kinerja dari biaya proyek yang telah dikeluarkan. Informasi ini dapat berbentuk :

  1. Hasil pekerjaan yang sudah diselesesaikan dan yang belum
  2. Biaya yang dikeluarkan dan yang diterima
  3. Estimasi waktu dan biaya penyelesaian
  4. Bobot pekerjaan pekerjaan yang telah diseesaikan

Anggaran, Perencanaa dan Pengendalian

Pengertian  anggaran menurut Drs.Amim Wijawa Tunggal, ( Akuntansi Manajem, 247, [5.4] : “Anggaran adalah rencana keuangan di masa mendatang dan merupakan alat bantu dalam mengoordinasikan dan menimplementasikan rencana yang telah dibuat” Anggaran dapat mencakup aspek keuangan dan non-keuangan dari rencana tersebut. Aspek keuangan ini adalah kuantitatif mengenai ekspektasi manajemen di masa depan yang berkaitan dengan laba, arus kas, dan posisi keuangan. Sedangkan aspek non-keuangan adalah segala asumsi yang mendasari pembuatan anggaran keuangan tersebut. Anggaran dapat membawa manfaat sebagai berikut :

  1. Menekankan kepada pihak manajemen mengenai pentingnya perencanaan dan pengimplementasian rencana.
  2. Menyediakan criteria pengukuran
  3. Salah satu sumber informasi perbaikan pengambilan keputusan
  4. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi ke seluruh bagian persusahaan

Anggaran biaya (Cost Budget) adalah proses penyusunan rencana anggaran pelaksanaan yang optimal, berdasarkan perencanaan waktu pelaksanaan dan estimasi biaya pelaksanaan. ( Engineering PT. Wijaya karya, Pedoman Manajeman Proyek 2010, hal. 5-31, [5.6]

Setiap aktivitas usaha memerlukan anggaran dalam setiap aktifitasnya tak terkecuali entitas pencari laba ataupun nirlaba yang mana bisa mendapatkan manfaat dari perencanaan dan pengendalian yang diberikan anggaran.

Tujuan akhir dari perencanaan laba ialah memeksimalkan pendapatan bersih, Semua anggaran idealnya berkempentingan meminimalkan biaya yang dikeluarkan untuk setiap penjualan yang didapatkan, dan memaksimalkan laba kotor dari kombinasi produksi Suatu anggaran merupakan titik focus dari keseluruhan proses perencanaan dan pegendalian. Anggaran membatu manajer dalam merencanakan kegiatan dan memonitor kinerja operasi serta laba yang dihasilkan oleh pusat pertnaggungjawaban ( responsibility centre)

Menurut Garrison/Noren/Brewer, Akuntansi Manajerial 2008, hal. 7  [5.2 ]

 mengilustrasikan siklus perencanaan dan pengendalian sebagai berikut :

Perencanaan dan pengedalian merupakan hal yang bener-benar saling berhubungan, Perencanaan adalah pandangan ke depan dan untuk melihat tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar dapat mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Pengendalian adalah melihat ke belakang, menentukana pakah yang sebenarnya telah terjadi, dan membandingkannya dengan hasil yang direncanakan sebelumnya

Menurut Istimawan Dipohusodo,  Manajemen Proyek dan Konstruksi, Kanisius 1996, hal. 407-407, [5.6] “ Syarat untuk menuntun ke keberhasilan suatu proyek adalah pengendalian yang mengkus terhadap factor-faktor waktu, biaya dan mutu”, 

Teori Kesesuaian CSR


Konsep kecocokan dapat digambarkan sebagai kecocokan antara dua faktor atau lebih (Varadarajan, P.et al, 1988) namun kecocokan CSR mengacu pada relevansi yang dirasakan antara karakteristik perusahaan dan aktivitas CSR-nya (Schwaiger, M et al 2010). Ditambahkan dalam pernyataan lain bahwa CSR fit mengacu pada sejauh mana suatu program selaras dan konsisten dengan produk atau layanan perusahaan (Becker-Olsen et al., 2006). Kesesuaian CSR juga melibatkan kesamaan antara karakteristik suatu organisasi dan karakteristik kegiatan CSR-nya (Becker-Olsen, Cudmore, & Hill, 2006; Du, Bhattacharya, & Sen, 2010)
Dalam perkembangannya, fit menjadi salah satu aspek yang harus lebih diperhatikan oleh perusahaan dalam melaksanakan CSR. Mengingat program CSR merupakan upaya komunikasi yang dilakukan perusahaan terhadap pemangku kepentingan, maka ketika informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan tujuan perusahaan maka akan mengundang skeptisisme pemangku kepentingan itu sendiri. Dikatakan bahwa CSR mampu mendamaikan permasalahan dengan aktivitas bisnis inti perusahaan; hal ini memungkinkan terjalinnya hubungan yang langgeng dengan pemangku kepentingan perusahaan (Porter & Kramer, 2006). Selain itu, pemangku kepentingan (secara umum) dan konsumen (khususnya) dapat menghukum perusahaan yang menampilkan diri mereka sebagai perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial, namun justru dianggap tidak bertanggung jawab secara sosial (Kotchen & Moon, 2011; Lange & Washburn, 2012). Bagi perusahaan, penting untuk memahami tanggapan konsumen terhadap CSR, yang bergantung pada kesesuaian atau kesenjangan yang dirasakan konsumen antara komitmen perusahaan, seperti yang terungkap dalam pelaksanaan CSR, dan nilai, preferensi, dan gaya hidup konsumen (Costa & Menichini, 2013). . Jika aktivitas dan kebijakan CSR perusahaan tidak sesuai dengan nilai dan keyakinan konsumen, dampak positifnya dapat berkurang (BeckerOlsen et al., 2006).
Dalam penelitian ini, fit mengacu pada informasi yang ingin disampaikan perusahaan melalui CSR dengan memilih program dan mitra yang dianggap tepat. Menon & Kahn (2003) dan juga Nan & Heo (2007) menyarankan agar organisasi memilih kegiatan CSR yang relevan dengan minat kelompok sasaran organisasi, jenis produk atau bisnis. Hal ini membantu meningkatkan persepsi kredibilitas pesan mengenai kegiatan CSR, sedangkan sedikit kesesuaian antara isu sosial dan bisnis suatu organisasi membuat orang percaya bahwa suatu organisasi terlibat dalam kegiatan tersebut hanya untuk mendapatkan reputasi positif, menciptakan kesan yang baik, atau menebus kesalahannya. Untuk keberhasilan kemitraan korporasi-LSM, kombinasi yang baik antara kedua mitra dalam hal makna dan citra harus terjalin tanpa memerlukan perubahan mendadak. Selain itu, merek dengan banyak konsep mungkin kurang efektif dalam membangun posisi, karena konsumen mungkin lebih kesulitan mengidentifikasi makna dasar merek tersebut (Crifo; Forget, 2015).

Strategi CSR


Dalam beberapa tahun terakhir, para akademisi dan eksekutif telah mencurahkan perhatiannya pada implikasi kebijakan dan praktik CSR (Mcwilliams, Siegel, & Wright, 2006). CSR Strategis adalah strategi bisnis yang diintegrasikan dengan tujuan bisnis inti dan kompetensi inti untuk menciptakan nilai bisnis dan nilai sosial/lingkungan yang positif, dan tertanam dalam budaya dan operasi bisnis sehari-hari ((Porter & Kramer, 2006).
Strategi CSR merupakan titik temu bagi mereka yang mengusulkan CSR dan yang tidak mengusulkan CSR karena kegiatan CSR dimasukkan sebagai bagian dari strategi perusahaan yang akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan sekaligus memenuhi kewajaran sosial perusahaan kepada para pemangku kepentingannya. CSR Strategis didasarkan pada dua bentuk saling ketergantungan antara perusahaan dan pemangku kepentingannya ((Porter & Kramer, 2006). CSR Strategis menggabungkan praktik berkelanjutan di dalam bisnis, serta fungsi luar perusahaan untuk menciptakan nilai bersama bagi perusahaan dan masyarakat.
Dengan kata lain, CSR strategis berkaitan dengan bagaimana perusahaan mengelola proses mengantisipasi ekspektasi pemangku kepentingan, artikulasi kebijakan CSR, dan mengelola berbagai alat komunikasi organisasi yang dirancang untuk memberikan informasi yang benar dan transparan tentang integrasi perusahaan atau merek dalam operasi bisnisnya. keprihatinan sosial dan lingkungan, dan interaksi dengan pemangku kepentingan (Podnar, 2008). Konsep ini kemudian memberikan tambahan wawasan tentang bagaimana strategi CSR dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi perusahaan itu sendiri.
Salah satu penjelasannya adalah bahwa para pemangku kepentingan sering mengalami, dan kecewa dengan, ketidakselarasan antara pembicaraan perusahaan mengenai CSR dan praktiknya, yang juga disebut sebagai greenwashing (Bartlett, 2011; Waddock dan Googins, 2011). Akibatnya, perusahaan dihadapkan pada khalayak yang pada dasarnya skeptis, yang, lebih jauh lagi, menganggap tidak pantas jika perusahaan mengkomunikasikan perbuatan baik mereka. Namun, pada saat yang sama, pemangku kepentingan juga mengharapkan perusahaan untuk terlibat dalam CSR, dan mereka menginginkan lebih banyak informasi CSR daripada yang ditawarkan saat ini (Dawkins, 2004; Podnar, 2008). Dengan cara lain, menurut Bhattacharya dan Sen (2003), dengan praktik CSR yang baik, perusahaan dapat mendorong pelanggan setia yang akan menjadi pendukung merek. Tindakan CSR juga diklaim tidak hanya meningkatkan penjualan, tetapi juga membuat masyarakat menganggap perusahaan sebagai tempat yang menarik untuk bekerja dan investor menganggap perusahaan sebagai tempat yang menarik untuk investasi mereka. Dengan demikian, CSR mendorong terbangunnya hubungan dengan seluruh pemangku kepentingan, yang diungkapkan melalui penghargaan atau loyalitas (O’Brien et al., 2015)

Konsep CSR


Sebagai sebuah konsep yang banyak diperbincangkan oleh para ahli, CSR tidaklah sama dalam memberikan definisi, meskipun memiliki esensi yang sama. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) telah didefinisikan sebagai upaya dan pendirian organisasi sehubungan dengan kewajiban masyarakat atau pemangku kepentingan untuk meningkatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif terhadap masyarakat (Brown & Dacin, 1997). Karena berbagai kekuatan pasar seperti persaingan yang ketat, meningkatnya pengawasan media, dan meningkatnya ekspektasi di antara berbagai pemangku kepentingan seperti konsumen dan karyawan (Cone, 2013), CSR telah menjadi fokus praktik bisnis kontemporer yang mengarahkan para peneliti untuk menganjurkan pemeriksaan konteks, proses, dan proses. dan hasil dari upaya sosial tersebut (misalnya, Ellen, Webb, & Mohr, 2006).
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) juga disebut sebagai bisnis yang bertanggung jawab adalah bentuk bisnis yang diatur secara mandiri di mana perusahaan memantau dan memastikan kepatuhannya terhadap hukum, perilaku etis, dan norma-norma internasional. Bagi beberapa perusahaan, hal ini merupakan hal yang wajib sesuai dengan undang-undang perusahaan tahun 2013, namun beberapa perusahaan benar-benar terlibat dalam upaya untuk mencapai tujuan sosial dan oleh karena itu mereka tidak hanya memperhatikan kepentingan mereka sendiri tetapi juga memperhatikan kebutuhan masyarakat (Shanu, 2017). CSR mencakup hubungan antara perusahaan dan masyarakat dimana mereka berinteraksi dan mencakup tanggung jawab yang melekat pada kedua sisi hubungan tersebut (Werther dan Chandler 2006). Masyarakat didefinisikan dalam arti luas dan dalam berbagai tingkatan yang mencakup seluruh pemangku kepentingan dan kelompok konstituen yang mempertahankan kepentingan berkelanjutan dalam operasi organisasi (Werther dan Chandler 2006). Faktor yang telah diidentifikasi sebagai komponen penting keberhasilan program CSR dan terbukti mempengaruhi manfaat organisasi yang terkait dengan program CSR adalah keaslian (Beckman, Colwell, & Cunningham, 2009; Mazutis & Slawinski, 2014).
Standar Pedoman Tanggung Jawab Sosial ISO 26000:2010 menyoroti tujuh elemen: hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, masalah konsumen, serta keterlibatan dan pembangunan masyarakat. Hal ini harus memiliki hubungan mendasar dan keterlibatan dengan pemangku kepentingan (ISO, 2017). Lebih lanjut, prinsip tanggung jawab sosial dirujuk sebagai akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, penghormatan terhadap kepentingan pemangku kepentingan, penghormatan terhadap supremasi hukum, penghormatan terhadap norma perilaku internasional dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (Morena, 2015).
Dari berbagai penelitian tersebut, CSR dapat digambarkan sebagai komitmen sukarela perusahaan untuk melampaui kewajiban eksplisit dan implisit yang dibebankan pada suatu perusahaan sesuai dengan ekspektasi masyarakat terhadap perilaku konvensional perusahaan. Hal ini mengacu pada kegiatan kemitraan yang dikembangkan Project Wings dengan Lush. Dimana Lush Company melaksanakan CSR sebagai kegiatan sukarela untuk membina hubungan baik dengan pemangku kepentingan guna meningkatkan citra dan meningkatkan posisi perusahaan.

Teknik Analisis Data Kualitatif

Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif-interaktif yang terdiri atas reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. (Miles & Hubermas, 1992: 20)

Bagan Analisis data: Model Interaktif

  1. Reduksi data

Reduksi data adalah aktifitas peneliti dalam memilih data yang dianggap relevan untuk disajikan. Proses pemilihan data memfokuskan pada informasi yang mengarah untuk pemecahan masalah, pemaknaan, dan penemuan untuk menjawab pertanyaan peneliti. Kegiatan ini berlangsung sejak awal sampai akhir penelitian. Reduksi data merupakan bagian internal dan tidak terpisahkan dari analisis data. Fungsinya menggolongkan, mengarahkan, menajamkan, dan membuang yang tidak perlu serta mengorganisasikan sehingga interpretasi dapat dilakukan.

  • Penyajian data

Pada kegiatan analisis data yang kedua yaitu penyajian data, yaitu menggelar data dalam bentuk sekumpulan informasi. Hal ini diharapkan dapat mempermudah panarikan kesimpulah, pengambilan verifikasi atau bisa melengkapi data yang masih kurang melalui pengumpulan data tambahan dan reduksi data. Data disajikan secara sistematis, agar lebih mudah dipahami tentang apa yang dilakukan perusahaan untuk para karyawan yang telah di PHK dan apa saja yang dilakukan karyawan pasca PHK untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bentuk penyajian data lebih banyak berisi narasi yaitu pengungkapan secara tertulis, tujuannya adalah untuk memudahkan mengikuti kronologis alur peristiwa, sehingga dapat terungkap apa yang sebenarnya terjadi dibalik peristiwa tersebut. Teknik penyajian data yang runtut dan sistematis sangat membantu peneliti dalam menarik kesimpulan dan verifikasi yang memadai berupa apa yang dilakukan perusahaan untuk para karyawan yang telah di PHK dan apa saja yang dilakukan karyawan pasca PHK untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

  • Verifikasi

 Pada tahap ini kesimpulan ditarik dari data yang terkumpul, perlu diverifikasi terus menerus selama penelitian berlangsung agar data dapat terjamin keabsahan dan keobjektifannya. Analisa data kualitatif merupakan upaya berulang terus menerus dan terjalin hubungan yang saling terkait antara kegiatan reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan. Jika kesimpulan yang diambil masih kurang maka dilakukan pengumpulan data tambahan yang dianalisis melalui rangkaian kegiatan yang sama. Data-data tersebut kemudian disajikan untuk ditarik kesimpulan sementara. Langkah berikutnya adalah kesimpulan tesebut diverifikasi untuk disempurnakan sehingga memperoleh kejelasan pemahaman tentang apa yang hendak diungkap dalam penelitian. Selajutnya dilakukan cek dan ricek yang sekaligus mendapatkan informasi yang memunculkan pertanyaan baru yang terjadi pada saat wawancara. Setelah dicek dan diperoleh kebenarannya, maka dicari makna berdasarkan kajian teoritis yang digunakan dengan cara pemilihan, pemilahan, dan penganalisaan data. Langkah berikutnya data ditransformasikan dan disusun secara tematik dalam bentuk tulisan naratif sesuai dengan karakteristik masing-masing tema atau fokus penelitian.

Upaya karyawan pasca PHK untuk memenuhi kebutuhan hidup

Upaya karyawan pasca PHK untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang pasca PHK untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang terdiri dari:

  1. Mencari pekerjaan lagi

Mencari pekerjaan lagi adalah upaya karyawan yang terkena PHK untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain merupakan salah satu alternatif upaya yang dapat dilakukan oleh korban PHK. Namun karena adanya krisis ekonomi global maka di perusahaan lain juga banyak yang di PHK sehingga mencari pekerjaan lagi sanagt sulit.

  • Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri. Banyak juga karyawan yang menganggur karena tidak memiliki modal apa-apa untuk membuka usaha baru. Ini terbukti setelah saya melakukan wawancara terhadap beberapa karyawan CV. Makmur yang terkena PHK.

Di antaranya adalah Sumiyati yang berumur 45 tahun.Ibu dari 2 orang anak ini harus menganggur setelah terkena PHK dari perusahaan. Dia tidak memiliki modal apapun untuk membuka usaha kecil-kecilan. Saat mencoba melamar kerja ke perusahaan lain pun dia tidak diterima bekerja, itu karena perusahaan tidak membutuhkan karyawan baru di tengah situasi krisis global saat ini padahal ibu sumiyati masih harus membayar uang sekolah anaknya dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

  • Membuka usaha sendiri

Membuka usaha sendiri adalah membuka usaha baik dengan modal sendiri atau pinjaman yang dilakukan dengan kemauan dan tenaga sendiri. Perusahaan memberikan pesangon bagi karyawan yang di PHK. Pesangon tersebut biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara sementara sampai mereka mendapatkan pekerjaan yang baru. Ada juga yang menggunakan pesangon tersebut sebagai modal usaha misalnya dengan membuka kios atau menjadi pedagang kaki lima untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak dapat dihindari.

Banyak dari pedagang kaki lima yang berjualan di tepi jalan adalah korban PHK dari perusahaan yang telah bangkrut.

Mereka semua berusaha mencari pendapatan dengan cara berjualan di tepi jalan. Mungkin itu merupakan alternatif yang paling mudah di tempuh oleh mereka di bandingkan mereka harus mencari pekerjaan baru lagi yang saat ini sangat sulit karena banyak perusahaan yang mem PHK karyawan mereka dikarenakan situasi krisis global saat ini yang sangat terasa bagi perusahaan dan karyawan.

Lain hal nya dengan Nining, gadis berusia 25 tahun ini membuka usaha kecil-kecilan dengan menjual makanan dan minuman untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan modal yang tidak begitu besar Nining membuka kios di depan rumahnya supaya tetap bias bekerja setelah di PHK.

Semua berusaha mempertahankan hidup di tengah situasi yang makin tidak memungkinkan ini, di mana mencari pekerjaan sangatlah sulit.

Ironisnya, banyak korban PHK yang masih mau berusaha dengan berbagai macam cara untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka masih bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Kewirausahaan

Wirausaha identik dengan wiraswasta. Pengertian wiraswasta adalah  berdiri sendiri atau berusaha sendiri bukan pula berarti suatu sikap yang menyendiri atau tertutup. Akan tetapi harus diartikan “kepercayaan diri” dalam mengatasi tantangan hidup. Kepercayaan diri merupakan faktor penting dalam mencapai sukses. Tidak ada satu carapun yang dapat mengatasi masalah tanpa kepercayaan diri yang tinggi. Jadi kepercayaan diri merupakan inti dalam pengembangan wirausaha. 

Wirausaha adalah keberanian atau keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri.

Kewirausahaan sendiri berarti semangat, sikap, perilaku, kemampuan yang mengarah pada upaya  mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru, menangani usaha atau kegiatan,  meningkatkan efisiensi pelayanan yang lebih baik dan memperoleh keuntungan yang lebih besar.(www.edukasi.net)

Pengamat kewirausahaan Rusman Hakim menuliskan beberapa alasan pentingnya belajar wirausaha bagi semua pihak, mulai dari karyawan level rendah hingga mereka yang berada di posisi tinggi dan strategis, bagi yang masih menganggur.

Pertama, penghasilan seorang karyawan terutama yang masih berada di tingkat staf pelaksana, lebih-lebih yang masih non-staf, bahkan mereka yang sudah berpredikat 1st line manager, pada umumnya belum mencukupi kebutuhan hidup secara wajar. Di sini mereka perlu pandai- pandai menata kehidupannya untuk menambah penghasilan, oleh karenanya mempelajari dan menjadi familiar dengan seluk beluk kewirausahaan merupakan salah satu solusi terbaik.

Kedua, bila seorang karyawan, lebih-lebih kalau sudah menduduki posisi tinggi dan strategis, datangnya masa pensiun nanti akan merupakan saat-saat yang kritis dan mencekam. Apa yang akan dilakukan setelah purnabhakti.

Ketiga, kalau seorang pengangguran, tentu otak kita sudah “kapalan” dengan kenyataan bahwa mencari pekerjaan itu susah bukan main. Kalau sudah demikian, kewirausahaan merupakan jalan lebar untuk menuju kesuksesan hidup.

Keempat, bahwa tren bisnis yang akan datang akan memaksa kita semua untuk jadi wirausahawan. Persaingan yang semakin ketat, mengharuskan semua perusahaan memaksimalkan efisiensi, sehingga rekrutmen karyawan terus ditekan sampai ke titik minimum. Kita sudah lihat gejalanya sekarang, di mana penerimaan karyawan kebanyakan dilakukan dengan sistem kontrak, paling tidak pada 2 tahun pertama. Jika karyawan tidak dibutuhkan lagi setelah 2 tahun, pasti ada PHK. Kemudian, pos-pos kerja yang bisa dilakukan pihak ketiga, hampir pasti akan di “outsource” kan. Tidak ada lagi peluang melamar posisi-posisi yang sudah di- outsource. Sementara itu dii dunia industri, tidak terlalu lama lagi akan dimanfaatkan robot-robot pengganti tenaga manusia. Tidak ada lagi lowongan menjadi buruh dan mandor pabrik.(www.enterpreneur.com)

Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan
antara jumlah calon buruh yang banyak sedangkan lapangan usaha relatif sedikit;
atau banyaknya lapangan kerja namun kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak
sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerja ini
memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang dapat berakibat pada
aspek sosial yang lebih luas. Problema kelangkaan lapangan kerja, disebabkan
oleh:

1. Investasi usaha rendah karena problem regulasi yang dianggap mempersulit
investor, tingkat KKN pejabat yang tinggi, atau karena problem sosial dan
sekuritas usaha.

2. Kurangnya peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM dan sikap
enterpreneurship masyarakat. Juga karena minimnya dukungan pemerintahan dalam
membantu usaha pribadi/wiraswata bagi masyarakat (permodalan, pelatihan
pembukaan pasar, kemudahan izin usaha, penghapusan berbagai jenis pajak,
perlindungan keamanan, dan lain-lain).

3. Penguasaan modal dan sumber daya alam pada segelintir orang (konglomerat)
menyebabkan usaha rakyat kecil/ warga bermodal kecil tidak mampu bersaing dan
pada akhirnya tidak menumbuhkan usaha kecil dalam jumlah banyak (mis. usaha
mieinstan, produk makanan, ternak unggas dan pakannya, monopoli jalur
distribusi, dan lain-lain.

4. Pemerintah tidak berfungsi sebagai pembuka dan penyedia lapangan kerja
bagi rakyatnya tetapi hanya berfungsi sebagai regulator ketenagakerjaan,
padahal banyak lahan usaha padat karya yang bisa dikelola oleh pemerintah guna
menutupi kelangkaan lahan usaha.(www.hayatulislam.com)

PHK (Hubungan Industrial/Ketenagakerjaan)

Hampir di semua negara saat ini, problema ketenagakerjaan atau perburuhan
selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang
menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat dari selalu
adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang
dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil
sehingga terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju
berkutat pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan mahalnya gaji
tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga
kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, sosial bahkan
politis. Sementara di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait
dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka penganguran, rendahnya
kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, jaminan sosial nyaris
tidak ada.

Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah PHK. PHK
ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Jumalah Pengangguran
di Indonesia sangat besar. Menurut Center for Labor and Development Studies
(CLDS), pada 2002, jumlah penganggur diperkirakan sebesar 42 juta orang
(Republika, 13/05/02). Pastilah, banyaknya pengangguran ini akan berakibat
banyak pada sektor kehidupan lainnya. Sebenarnya, PHK adalah perkara biasa
dalam dunia ketenagakerjaan. Tentunya asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja
bersama (KKB) dan pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati
pemutusan kerja ini.

Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab seperti permintaan sendiri,
berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/
kondisi fisik yang tidak memungkinkan, dan meninggal dunia. Problema PHK
biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problema lain yang lebih besar bagi
kalangan buruh, karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha,
diantaranya:

1. Posisi salah satu pihak yang lemah (biasanya pihak pekerja) sehingga pihak
lain yang lebih kuat dengan mudah memutuskan hubungan kerja dan menggantinya
dengan pekerja baru yang sesuai keinginan. Hal itu dilakukan dengan alasan
logis maupun direkayasa.

2. Tidak jelasnya kontrak (waktu) kerja sehingga PHK bisa terjadi kapan saja.
Kebijakan menetapkan KKB (KesepakatanKerja Bersama) tidak dilakukan dan
dikontrol dengan baik sehingga kasus PHK bisa terjadi kapan saja.

3. Rendahnya SDM kaum pekerja, semakin sulitnya mencari pekerjaan alternatif,
dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara.Tidak heran, PHK
menjadi seperti vonis mati bagi pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan normalnya.

4. Tidak adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian kasus PHK secara tuntas
yang memuaskan kedua pihak, terutama pihak buruh yang paling sering menerima
kekalahan. Meskipun pemerintah telah menyusun peraturan teknis tentang PHK
dalam UU No. 12 Tahun 1964 yang disempurnakan olehPeraturan Menteri Tenaga
Kerja No.PER-03/MEN/1996, namun dalam pelaksanaan teknisnya banyak realitas
yang merugikan hak-hak kaum buruh itu sendiri. Secara kasuistik, hal itu lebih
disebabkan rendahnya pemahaman buruh terhadap berbagai peraturan pemerintah,
posisi tawar yang rendah, dan tidak adanya lembaga pendamping yang secara
serius membela kondisi kaum buruh dalam menghadapai kasus PHK ini.

Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh
pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh
sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai azas politik perekonomiannya.(www.hayatulislam.net)

Konsep Ekonomi Makro Berdampak Pada Unit Bisnis

Ekonomi makro atau makroekonomi adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan. Makroekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.(www.wikipedia.com)

Krisis ekonomi sepertinya telah membawa Indonesia kembali ke titik awal pembangunan. Bahkan dalam kondisi yang lebih sulit lagi. Ini disebabkan jumlah penduduk Indonesia sudah terlanjur banyak, kualitas yang masih kurang memadai, sumberdaya alam yang sudah banyak terkuras, serta utang luar negeri yang sedemikian besar.

Walaupun relatif sedikit data yang tersedia untuk menggambarkan besaran perubahan ekonomi yang terjadi sejak krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, namun masyarakat yang paling menderita akibat krisis ekonomi ini diperkirakan berada di daerah perkotaan di pulau Jawa. Disamping itu jika dilihat berdasarkan sektor ekonomi, maka nampaknya yang paling banyak terkena dampak  krisis adalah sektor konstruksi, perpabrikan, properti, perbankan dan keuangan,  serta sektor industri. Sektor-sektor di atas memang terkonsentrasi di daerah perkotaan di pulau Jawa, terutama di sekitar Jabotabek. Dilain pihak sektor pertanian, perikanan, kehutanan, serta pertambangan, terutama yang merupakan produk ekspor seperti coklat, cengkeh, plywood, minyak dan gas, udang dan lain sebagainya, justru mengalami keuntungan selama krisis ekonomi ini. Keuntungan tersebut disebabkan harga jual produk-produk tersebut menjadi sangat kompetitif dipasaran internasional, sebagai dampak dari depresiasi nilai tukar rupiah. 

Indonesia telah berhasil mengembangkan sektor industri dengan penuh kehati-hatian dan disesuaikan dengan kondisi makro ekonomi yang ada. Namun sejak awal tahun 1990-an perkembangan industri tersebut berubah dengan lebih menekankan pada industri berteknologi tinggi. Dampaknya adalah terjadi tekanan yang sangat berlebihan pada pembiayaan yang harus ditanggung oleh pemerintah.

Walaupun Indonesia sedikit demi sedikit berhasil mengatasi krisis ekonomi yang ditandai dengan mulai berputarnya roda ekonomi di sektor riil, sektor keuangan dan perbankan yang relatif semakin baik, serta arah perkembangan kondisi ekonomi makro yang semakin  kondusif, namun terlalu dini jika mengatakan bahwa Indonesia telah keluar dari krisis dan siap untuk bersaing kembali dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Masalah harus ditelaah dengan benar untuk kemudian dianalisis apakah yang lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi persoalan mendasar tersebut telah ditangani dengan benar sehingga tidak terjadi krisisulangan dimasa mendatang. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri yang dipandang sebagai pangkal permasalahan krisis ekonomi saat ini masih belum dapat diselesaikan. Kecenderungan ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri ini menjadi semakin mendalam. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri tersebut tidak akan berkurang jika pemerintah tidak melakukan  perubahan mendasar terhadap strategi pembangunan ekonomi yang ada pada saat ini.  

Dalam upaya keluar dari krisis ekonomi dewasa ini perlu dikembangkan kebijaksanaan ekonomi makro dan mikro yang tetap mengacu pada pembangunan berwawasan kependudukan disamping peningkatan good governance, pembenahan utang luar negeri, sektor keuangan dan perbankan.Untuk itu harus dilakukan reorientasi kebijaksanaan ekonomi makro yang berwawasan kependudukan, sebagai berikut: 

-Merubah Strategi Orientasi Ekspor dengan Strategi  Pasar Dalam Negeri.  Sebagai Negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia, maka jumlah penduduk tersebut harus dapat dimanfaatkan sebagai pasar bagi produk dalam negeri. Upaya memenuhi pasar dalam negeri perlu mendapat perhatian utama. Prioritas pada pasar domestik/dalam negeri sejalan dengan pembangunan berwawasan kependudukan (people-centered development). Jika kebijakan ini dijalankan, maka tidak saja berbagai usaha akan tumbuh, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Dalam hubungan ini tentunya jenis usaha kecil dan menengah yang menghasilkan barang-barang untuk keperluan domestik, yang perlu dikembangkan. Walaupun dengan tidak menutup kemungkinan untuk tetap melakukan ekspor, sepanjang harga, mutu dan corak, memungkinkan. 

-Kembali pada usaha yang sederhana (simple business). Pembangunan ekonomi hendaknya bertumpu pada usaha-usaha yang sederhana yang memang sesuai dengan kondisi kebanyakan penduduk Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) harus mendapat dukungan yang luas dan dijalankan dengan konsisten. UKM  telah terbukti menjadi tulang punggung penggerak ekonomi pada saat krisis.

-Kembali ke sektor pertanian dan kelautan. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, baik di darat maupun di air, seharusnya sektor pertanian dan kelautan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Namun sampai saat ini kenyataannya tidaklah demikian. Berbagai kebijakan yang ada belum mampu belum mampu meningkatkan “rate of return” mereka yang bekerja dalam sektor ini, sehingga banyak ditinggalkan orang. Harus dibuat suatu kebijakan yang mampu meningkatkan “rate of return” terhadap hasil pertanian dan kelautan. Untuk itu harus dikembangkan teknologi pertanian dan kelautan serta pengembangan berbagai produk pertanian dan kelautan dalam skala yang besar. Perlu dilakukan “economic of scale” dalam usaha sektor pertanian, khususnya agribisnis dan kelautan. 

-Pemantapan konsep dan Implementasi Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Pembangunan kependudukan harus tetap terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan integrasinya kedalam berbagai sektor pembangunan, terutama yang berkaitan dengan sektor ekonomi. Jika selama ini kependudukan lebih dititik beratkan pada sektor sosial dalam kerangka pembangunan nasional, saat ini perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan pembangunan kependudukan kedalam sektor EKUIN. Dalam melaksanakan pembangunan kependudukan itu sendiri maka sasaran peningkatan kualitas penduduk harus tetap dijadikan prioritas utama pembangunan kependudukan, disamping masalah pengendalian kuantitas dan pengarahan mobilitas penduduk.

Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara  berkelanjutan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan

pembangunan ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan.

Belum terjadi strategi pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini.(www.bappenas.go.id)

Konsep Kepemimpinan


Konsep kepemimpinan telah dikemukakakam oleh berbagai literature
kepemimpinan, disini penulis akan membahas konsep kepemimpinan
pendapat dari berbagai ahli, salah satu konsep kepemimpinan menurut Stoner
(1996:161), mengatakan kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan
mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota
kelompok. Menurut Cleary (2002:5), berpendapat lain tentang kepemimpinan
adalah sebuah persoalan kecerdasan, kelayakan untuk dipercaya, kelembutan,
keberanian dan ketegasan. Menurut pendapat Kartono (2005:153),
menyatakan kepemimpinan adalah “kemampuan” untuk memberikan
pengaruh yang konstruktif kepada orang lain untuk melakukan suatu usaha
kooperatif mencapai tujuan yang sudah direncanakan.
Kemudian menurut Stogdill (1974:259), mencoba mempetakan definisi
kepemimpinan. Sebagai berikut: (1) Kepemimpinan sebagai proses kelompok,
(2) Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berakibat, (3) Kepemimpinan
sebagai seni menciptakan kesepakatan, (4) Kepemimpinan sebagai
kemampuan mempengaruhi, (5) Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku, (6(
Kepemimpinan sebagai bentuk bujukan, (7) Kepemimpinan sebagai suatu
hubungan kekuasaan, (8) Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan,
(9) Kepemimpinan sebagai hasil interaksi, (10) Kepemimpinan sebagai
pemisahan peranan, dan (11) Kepemimpinan sebagai awal struktur

Konsep Pemimpin


Konsep “pemimpin” berasal dari kata asing “leader” dan”kepemimpinan “
dari “leadhership”.Pemimpin artinya adalah seseorang yang mempunyai
kemampuan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan organisasi agar kegiatan
tersebut dapat terselenggara dengan efisien. Selanjutnya, agar terjadi
ketertiban dalam kegiatan organisasi diperlukan pengaturan mengenai
pembagian tugas, cara kerja dan hubungan anatara pekerjaan yang satu dengan
pekerjaan yang lain.
Pemimpin dapat diartikan predikat yang disandang seseorang sebagai
pemimpin yang memiliki kewenangan, maka pemimpin tersebut wajib
melaksanakan fungsinya. Berikut ini adalah pengertian menurut beberapa ahli:
a. Menurut Kouzes (2004:17), mengatakan bahwa pemimpin adalah vionir
sebagai orang yang bersedia melangkah kedalam situasi yang tidak
diketahui. Pemimpin yang mempunyai visi yang jelas dapat menjadi
penuntun dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai
pemimpin.
b. Menurut Sudriamunawar (2006:1), mengatakan pemimpin adalah
seseorang yang memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi
para pengikutnya untuk melakukan kerjasama kearahpencapaian tujuan
yang telah di tenttukan sebelumnya.
c. Menurut Matondang (2008:5), mengatakan bahwa pemimpin adalah
seseorang yang mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang diinginkan.
d. Menurut Bennis (1998:71), mengatakan bahwa pemimpin adalah orang
yang paling berorientasi hasil di dunia, dan kepastian dengan hasil ini
hanya positif kalau seseorang mengetahui apa yang diinginkannya.
e. Menurut Kartono (2005:51), menyatakan pemimpind adalah seorang
pribadi yang memiliki superioritas tertentu, sehingga dia memiliki
kewibawaan dan kekuasaan untuk menggerakan orang lain melakukan
usaha bersama guna mencapai sasaran tertentu.
f. Menurut Rivai (2004:65), menyatakan pemimpin adalah anggota dari
suatu kumpulan yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan dapat
bertindak sesuai kedudukannya. Jadi pemimpin adalah juga seseorang
dalam suatu perkumpulan yang diharapakan dapat menggunakan
pengaruhnya untuk mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok.
g. Menurut Sudriamunawar (2006:1), pemimpin adalah seseorang yang
memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi para pengikutnya
untuk melakukan kerja sama kea rah pencapaian tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya.
h. Raven dalam Wirjana (2006:4), mengatakan bahwa pemimpin adalah
“seseorang menduduki suatu posisi di kelompok, mempengaruhi orang-
orang dalam mengkoordinasi serta mengarahkan kelompok untuk
mempertahankan diri serta mencapai tujuannya”.
i. Menurut Nawawi (2004:9), mengatakan bahwa pemimpin adalah orang
yang memimpin.
j. Sedangkan pengertian pemimpin yang paling baru sebagai post modern
dari menurut Lantu dalam bukunya (2007:29), menyatakan bahwa
pemimpin adalah pelayan. Definisi yang terakhir sangat menarik karena
yang terjadi selama ini adalah pemimpin yang dilayani, bukan melayani.
Intinya pemimpin adalah orang yang mempunyai pengikut atau pendukung
karena kapasitasnya

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi


Budaya organisasi sangat mempengaruhi berjalannya sebuah sistem dalam
perusahaan, namun pada hakikatnya budaya organisasi tidak dapat berjalan
sendiri, melainkan terdiri dari faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembanganya. Faktor-faktor yang mempengaruhi budaya organisasi terbagi
atas empat faktor yang menggambarkan bagaimana budaya organisasi dapat
berjalan dengan baik. Empat faktor yang mempengaruhi budaya organisasi
tersebut adalah karakter perorangan, etika perusahaan, pembagian kekuasaan dan
struktur organisasi. (Ardiana, dkk, 2013).
a. Faktor Karakter Perorangan
` Faktor yang berperan dalam sebuah budaya organisasi adalah individu
yang berada dalam organisasi tersebut, setiap perusahaan memiliki budaya
organisasi yang berbeda-beda hal ini disebabkan oleh perbedaan nilai, kepribadian
dan etik setiap individu dalam organisasi masing-masing. Faktor ini didukung
oleh dua buah sub-faktor yaitu sub-faktor pemimpin dan sub-faktor anggota :
1) Sub-faktor pemimpin, memiliki pengaruh yang sangat penting dalam
sebuah perusahaan, karena nilai-nilai kepribadian dan
kepercayaannya. Pemimpin memberikan skenario yang
mempengaruhi perkembangan budaya organisasi.
2) Sub-faktor pegawai, adalah orang yang memiliki karakteristik,
pandangan dan kepercayaan yang sama terhadap nilai-nilai budaya
organisasi yang ada dalam sebuah organisasi/ perusahaan yang dipilih
oleh pemimpin perusahaan.
b. Faktor Etika Perusahaan
Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memiliki etika yang baik
terhadap orang lain ataupun sesama karyawan. Etika perusahaan disini meliputi
moral, kepercayaan dan aturan yang menjaga kestabilan hubungan dengan sesama
anggota organisasi.
c. Faktor Pembagian Hak/Kekuasaan
Pembagian hak dalam sebuah organisasi yaitu hak untuk memakai
sumber-sumber daya yang ada dalam organisasi tersebut. Pembagian hak
memberikan aturan dan tanggung jawab kepada setiap individu yang termasuk
dalam organisasi tersebut dan mempengaruhi perkembangan nilai, norma dan
atitude dalam organisasi tersebut.
d. Faktor Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah sistem formal tentang tugas dan hubungan
kekuasaan yang digunakan untuk mengatur jalannya perusahaan/ organisasi
tersebut. Perbedaan dalam pemilihan struktur organisasi akan menyebabkan
perbedaan nilai budaya organisasi dalam tiap-tiap perusahaan. Stuktur organisasi
memiliki peranan penting dalam budaya organisasi karena hal inilah yang
membentuk karyawan dalam melakukan aktifitas mereka serta berjalannya
informasi dalam organisasi.

Fungsi Budaya Organisasi


Robbins (2002) mengemukakan bahwa fungsi dari budaya organisasi
antara lain adalah:
a. Budaya organisasi memiliki suatu peran batas-batas penentu yaitu budaya
menciptakan perbedaan antara satu perusahaan dengan perusahaan yang
lain.
b. Budaya berfungsi untuk menyampaikan rasa identitas kepada anggota- anggota perusahaan sehingga karyawan merasa bangga menjadi anggota
dari perusahaan tempatnya bekerja. c. Budaya mempermudah penerusan komitmen sampai mencapai batasan
yang lebih luas, melebihi batasan ketertarikan individu sehingga mampu
mencapai tujuan perusahaan. d. Budaya mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan suatu
ikatan sosial yang membantu mengikat kebersamaan perusahaan dengan
menyediakan standar-standar yang sesuai mengenai apa yang harus
dikatakan dan dilakukan karyawan.
e. Budaya mendorong stabilitas sosial. Budaya merupakan suatu ikatan sosial
yang membantu mengikat kebersamaan perusahaan dengan menyediakan
standar-standar yang sesuai mengenai apa yang harus dikatakan dan
dilakukan karyawan.
f. Budaya bertugas sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian
yang memberikan panduan dan membentuk perilaku serta sikap karyawan.
Menurut Rivai (2008) budaya organisasi mempunyai fungsi sebagai
berikut:
a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya
menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi
yang lain.
b. Budaya memberikan identitas bagi anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada
kepentingan individu.
d. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna kendali yang memandu serta
membentuk sikap dan perilaku karyawan.

Aspek Budaya Organisasi


Tujuh hal yang menjadi aspek penting suatu budaya organisasi menurut Robbins
(2002) adalah:
a. Inovasi dan pengambilan resiko (Inovationand Risk Taking). Tingkat daya
pendorong karyawan untuk bersikap inovatif, berani mengambil keputusan
dan resiko.
b. Perhatian terhadap detail (Attention to Detail). Tingkat tuntutan terhadap
karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan,analisis dan perhatian
terhadap detail.
c. Orientasi terhadap hasil (Outcome Orientation). Tingkat tuntutan terhadap
manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan
perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil
tersebut.
d. Orientasi terhadap individu (People Orientation). Tingkat keputusan
manajemen dalam mempertimbangkan efek hasil terhadap individu yang
ada dalam perusahaan.
e. Orientasi terhadap tim (Team Orientation). Tingkat aktivitas pekerjaan
yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
f. Agresivitas (Aggresiveness). Tingkat tuntutan terhadap individu agar
berlaku agresif dan bersaing (kompetitif), serta tidak bersikap santai.
g. Stabilitas (Stability). Tingkat penekanan aktivitas perusahaan dalam
mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan

Definisi Budaya Organisasi


Menurut Robbins &Judge (2008), Budaya Organisasi mengacu pada
sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan
organisai tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini, ketika
dicermati secara seksama, adalah sekempulan karakteristik kunci yang di junjung
tinggi oleh organisasi. Ada tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan,
merupakan hakikat budayasebuah organisasi, yaitu :
a. Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan
didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
b. Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan
menjalankan presisi, analisi, dan perhatian pada hal-hal detail.
c. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil
ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil
tersebut.
d. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam
organisasi.
e. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi padatim
ketimbang pada individu-individu.
f. Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif
ketimbang santai. g. Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan
pertumbuhan. Menurut Stoner, dkk, (dalam Suryo 2010) Budaya organisasi adalah
sejumlah pemahaman penting, seperti norma, nilai, sikap dan keyakinan, yang
dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Davis (dalam Lako, 2004) budaya
organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami,
dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti
tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara (2005) yang
menyatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem
keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang
dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi
masalah adaptasi eksternal dan internal.
Luthans (2006), menyatakan budaya organisasi mempunyai sejumlah
karakteristik penting. Beberapa diantaranya adalah:
a. Aturan perilaku yang diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi
satusama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang
berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.
b. Norma. Adalah standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa
banyak pekerjaan yang dilakukan.
c. Nilai dominan. Organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan
nilai-nilai utama. Contohnya adalah kualitas produk tinggi, sedikit absen,
dan efisiensi tinggi.
d. Filosofi. Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi
mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diperlakukan.
e. Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan.
Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar
diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang.
f. Iklim Organisasi. Merupakan keseluruhan ”perasaan” yang disampaikan
dengan pengaturan baru yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan
cara anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari
luar

Definisi Organisasi


Sobirin (2007) mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial atau entitas
yang didirikan oleh manusia dalam jangka waktu yang relatif lama,
beranggotakan sekelompok manusia-manusia minimal dua orang, mempunyai
kegiatan yang terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai
tujuan tertentu
Malinowski (dalam Cahyani, 2004) mengatakan organisasi sebagai suatu
kelompok orang yang bersatu dalam tugas-tugas, terikat pada lingkungan tertentu,
menggunakan alat teknologi dan patuh pada peraturan.

Definisi Budaya


Menurut Edward Taylor (dalam Sobirin, 2007) budaya adalah
kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral,
hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja
yang diperoleh seorang manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat.
Perucidan Hamby (dalam Tampubolon, 2004) mendefisinisikan budaya
adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia
dalam masyarakat, serta termasuk pengakumulasian sejarah dari objek-objek atau
perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu

Dimensi – Dimensi Gaya Kepemimpinan Transformasional


Formula asli dari Bass, (1985) meliputi tiga jenis perilaku
transformasional: pengaruh ideal, stimulasi intelektual, dan pertimbangan
intelektual. Pengaruh ideal adalah perilaku yang membangkitkan emosi dan
identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin. Stimulasi intektual
adalah perilaku yang meningkatkan kesadaran pengikut akan permasalahan dan
pengaruh para pengikut untuk memandang masalah dari perspektif yang baru.
Pertimbangan individual meliputi pemberian dukungan, dorongan, dan pelatihan
bagi pengikut. Sebuah revisi dari Bass &Avolio, (1990),menambahkan dimensi
motivasi inspirasional yang meliputi penyampaian visi yang menarik, dengan
menggunakan symbol untuk memfokuskan upaya bawahan dan membuat model
perilaku yang tepat (dalam Yulk, 2007). Bass & Avolio, 1997 (dalam Muenjohn & Armstrong, 2008), menunjukkan bahwa pemimpin transformasional biasanya menampilkan perilaku
mereka yang diasosiasikan dengan empat karakteristik (dimensi-dimensi) sebagai
berikut:
1) Idealized Influence, digambarkan ketika seorang pemimpin dapat
menjadi teladan bagi pengikutnya dan mendorong para pengikut untuk
berbagi visi dan tujuan bersama dengan memberikan visi yang jelas dan
rasa mencapai tujuan yang kuat.
2) Inspirational Motivation, mewakili perilaku ketika seorang pemimpin
mencoba untuk mengekspresikan pentingnya tujuan yang diinginkan
dengan sederhana, mengkomunikasikan harapan yang tinggi dan
meyakinkan pengikut bahwa pekerjaannya berarti dan menantang. 3) Intellectual Stimulation, mengacu pada pemimpin yang menantang ideide pengikutnyadan nilai-nilai untuk memecahkan masalah. Dalam
Munandar (2001), pemimpin mendorong bawahan untuk memikirkan
kembali cara kerja mereka, untuk mencapai cara-cara baru dalam
melaksanakan tugas. 4) Individualised Consideration, mengacu pada pemimpin yang
menghabiskan lebih banyak waktu dan membina pengikutnya serta
memberikan perhatian pada pengikutnya dengan dasar individual
pengikut. Dalam Munandar (2001), dijelaskan bahwa pemimpin
memperlakukan setiap bawahannya sebagai seorang pribadi dengan
kecakapan, kebutuhan, dan keinginannya masing-masing. Ia memberi
nasihat yang bermakna, memberi pelatihan yang diperlukan dan bersedia
mendengarkan pandangan dan keluhan mereka.

Definisi Gaya Kepemimpinan Transformasional


Gaya kepemimpinan transformasional, menurut Bass (dalam Muenjohn &
Armstrong, 2008), didefinisikan sebagai proses dimana seorang pemimpin
mencoba untuk meningkatkan kesadaran pengikut dari hal yang benar dan penting
serta memotivasi pengikut untuk melakukan hal yang melebihi harapan yang
mungkin. Menurut Robbins, (2002) Gaya kepemimpinan transformasional adalah
perilaku pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual
yang diindividualkan dan memiliki karisma.
Bass& Avolio, 1993; Burns, 1978, (dalam Bass, Avolio, dan Atwater,
1996) menyatakan bahwa pengaruh gaya kepemimpinan transformasional
terhadap pengikut adalah dengan mengajak mereka untuk melampaui kepentingan
diri mereka demi kebaikan kelompok, organisasi, atau masyarakat, sementara juga
meningkatkan harapan dan kemampuan pengikut, dan kesediaan mereka untuk
mengambil risiko. Dari penelitian-penelitiannya, Bass (dalam Luthans, 2006)
menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional membawa keadaan
menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaruan dan
perubahan.
Munawaroh (2011), mengemukakan bahwa kepemimpinan
transformasional digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang dapat
membangkitkan atau memotivasi karyawan, sehingga dapat berkembang dan
mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi, melebihi dari apa yang mereka
perkirakan sebelumnya. Pengikut seorang pemimpin transformasional merasa
adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin
tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya
diharapkan terhadap mereka.
Menurut Tichky & Devanna (dalam Jewell & Siegall, 1998), pemimpin
yang menggunakan gaya kepemimpinan transformasional mengenali kebutuhan
akan perubahan organisasi, kemampuan melihat masa depan, mobilisasi
komitmen terhadap penglihatan kedepan, pembentukan budaya perusahaan untuk
mendukung perubahan, dan melihat sinyal perubahan yang baru

Definisi Gaya Kepemimpinan


Menurut Rivai (2008) definisi gaya kepemimpinan secara luas meliputi
proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku
untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan
budayanya. Gaya kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses mengarahkan dan
mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para
anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini yaitu:
a. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun
pengikut,
b. Kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin
dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok secara
seimbang tanpa daya,
c. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda
untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara.
Gaya kepemimpinan (dalam Rivai & Mulyadi, 2011) adalah perilaku dan
strategi, sebagai hasil dari komunikasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap,
yang sering diterapkan oleh seorang pemimpin ketika dia mencoba mempengaruhi
kinerja bawahannya.
Robbin (2006) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan
untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Kepemimpinan
menurut Siagian (2002) adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang
lain dalam hal ini para bawahannya sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau
melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak
disenangi. Sedangkan Yukl (2005) mengatakan kepemimpinan adalah proses
untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang
perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses
untuk memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk mencapai tujuan
bersama.
James McGregor Burn, 1978 (dalam Yulk, 2007) menulis sebuah buku
mengenai kepemimpinan politis. Burn membedakan gaya kepemimpinan
transformasional dengan gaya kepemimpinan transaksional. Gaya kepemimpinan
transformasional menyerukan pada nilai-nilai moral dari para pengikut dalam
upayanya untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis dan untuk
memobilisasi energi dan sumber daya manusia untuk mereformasi institusi.
Suatu gaya kepemimpinan tentunya dijalankan oleh pemimpin. Sule &
Saifullah (2008), mendefenisikan pemimpin sebagai seseorang yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan
kekuatan, sehingga orang-orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai
sosok yang layak memimpin mereka.