Kesesuaian lahan (skripsi dan tesis)

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptibility)
suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas)
lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001 dalam Wisaksanti Rudiastuti, 2011:9). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian secara sistematik dari lahan dan menggolongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha tertentu (Bakosurtanal, 1996 dalam Wisaksanti Rudiastuti, 2011:9).
Menurut Hardjowigeno (2003) dalam Irianti (2004), klasifikasi kesesuaian
lahan dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif maupun
kualitatif tergantung dari data yang tersedia. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kuantitatif (dengan angka-angka) yang biasanya dilakukan juga perhitungan-perhitungan ekonomi. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan angka) dan tidak ada perhitungan ekonomi. Biasanya dilakukan dengan cara memadankan (membandingkan) kriteria masing-masing kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor fisik (karakteristik.kualitas lahan) yang merupakan faktor penghambat terberat.
Menilai kelas kesesuaian lahan menurut Djoemantoro dan Rachmawati
(2002) dan Sitorus (1985) dalam Irianti (2004) diperoleh bahwa kesesuaian lahan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu order S (sesuai) dan order N (tidak sesuai). Lahan yang tergolong order S adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu  penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap daya lahannya. Yang termasuk order N adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan.
Pembagian kelas dalam tingkatan kesesuaian lahan merupakan pembagian
lebih lanjut dari kesesuaian lahan di dalam order. Banyaknya kelas di dalam suatu
order tidak terbatas. Di dalam penelitian ini digunakan tiga kelas untuk order S
dan satu kelas untuk order N.
a. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), adalah lahan yang tidak memiliki
pembatas untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.
b. Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable), adalah lahan yang
mempunyai sedikit pembatas untuk suatu penggunaan tertentu. Pembatas
ini akan mempengaruhi produktivitas dan keuntungan yang diperoleh
dalam mengusahakan lahan tersebut.
c. Kelas S3: sesuai bersyarat (suitable conditional), adalah lahan yang
memiliki pembatas dengan tingkat yang lebih berat, akan tetapi masih bisa
diperbaiki dengan menggunakan perlakuan teknologi yang lebih tinggi.
d. Kelas N: tidak sesuai (not suitable), adalah lahan dengan pembatas sangat
berat sehingga tidak memungkinkan unutk suatu penggunaan tertentu
secara lestari.

Jenis dan Sumber Data SIG (skripsi dan tesis)

Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu
data spasial dan data atribut. Perbedaan antara dua jenis data tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Data Spasial
Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi objek
di bumi. Data spasial pada umumnya berdasarkan peta yang berisikan interpretasi dan proyeksi seluruh fenomena yang berada di bumi. Sesuai dengan perkembangan, peta tidak hanya merepresentasikan objek-objek yang ada di muka bumi, tetapi berkembang menjadi representasi objek di atas muka bumi (di udara) dan di bawah permukaan bumi.
Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber dalam berbagai format.
Sumber data spasial antara lain mencakup: data grafis peta analog, foto udara,
citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran dengan
menggunakan global positioning systems (GPS) dan lain-lain.
Gambar 2.2 Sumber Data dalam SIG (Ekadinata, dkk., 2008)
Data spasial memiliki dua macam penyajian, yaitu:
a. Model vektor
Model vektor menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial
dengan menggunakan titik-titik, garis-garis, dan kurva atau poligon beserta
atribut-atributnya. Bentuk dasar model vektor didefinisikan oleh sistem koordinat Kartesius dua dimensi (x,y).
Dengan menggunakan model vektor, objek-objek dan informasi di
permukaan bumi dilambangkan sebagai titik, garis, atau poligon. Masing-masing mewakili tipe objek tertentu sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Titik (point) : merepresentasikan objek spasial yang tidak memiliki dimensi
panjang dan/atau luas. Fitur spasial direpresentasikan dalam satu pasangan
koordinat x,y. Contohnya stasiun curah hujan, titik ketinggian, observasi
lapangan, titik-titik sampel.
Garis (line/segment) : merepresentasikan objek yang memiliki dimensi panjang
namun tidak mempunyai dimensi area, misalnya jaringan jalan, pola aliran, garis kontur.
Poligon : merepresentasikan fitur spasial yang memiliki area, contohnya adalah unit administrasi, unit tanah, zona penggunaan lahan.
b. Model data raster
Model data raster menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data
spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid (bidang referensi horizontal dan vertikal yang terbagi menjadi kotak-kotak). Piksel adalah unit dasar yang digunakan untuk menyimpan informasi secara eksplisit. Setiap piksel memiliki atribut tersendiri, termasuk koordinatnya yang unik. Akurasi model ini sangat tergantung pada resolusi atau ukuran piksel suatu gambar. Model raster memberikan informasi spasial apa saja yang terjadi di mana saja dalam bentuk gambaran yang digeneralisasi. Dengan model raster, data geografi ditandai oleh nilai-nilai elemen matriks dari suatu objek yang berbentuk titik, garis, maupun bidang.

2. Data Atribut
Data atribut adalah data yang mendeskripsikan karakteristik atau fenomena
yang dikandung pada suatu objek data dalam peta dan tidak mempunyai hubungan dengan posisi geografi. Data atribut dapat berupa informasi numerik, foto, narasi, dan lain sebagainya, yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan dan sensus, dan lain-lain.
Atribut dapat dideskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif. Pada
pendeskripsian secara kualitatif, kita mendeskripsikan tipe, klasifikasi, label suatu objek agar dapat dikenal dan dibedakan dengan objek lain, msalnya: sekolah, rumah sakit, hotel, dan sebagainya. Bila dilakukan secara kuantitatif, data objek dapat diukur atau dinilai berdasarkan skala ordinat atau tingkatan, interval atau selang, dan rasio atau perbandingan dari suatu titik tertentu.

Subsistem SIG (skripsi dan tesis)

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, maka SIG dapat
diuraikan menjadi beberapa sub-sistem sebagai berikut :
1. Data Input : sub-sistem ini bertugas untuk mengumpulkan,
mempersiapkan, dan menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai
sumber. Sub-sistem ini pula yang bertanggungjawab dalam
mengkonversikan atau mentransformasikan format-format data aslinya ke
dalam format (native) yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang
bersangkutan.
2. Data Output : sub-sistem ini bertugas untuk menampilkan atau
menghasilkan keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang
dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk
softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta, dan
lain sebagainya.
3. Data Management : sub-sistem ini mengorganisasikan baik data spasial
maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data
sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve (di-load
ke memori), di-update, dan di-edit.
4. Data Manipulation & Analysis : sub-sistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, sub-sistem ini juga melakukan manipulasi (evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan
operator matematis & logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan
informasi yang diharapkan

Pengertian Sistem Informasi Geografis (skripsi dan tesis)

Pengertian Geographic Information System atau Sistem Informasi
Geografis (SIG) sangatlah beragam. Hal ini terlihat dari banyaknya definisi SIG
yang beredar di berbagai sumber pustaka. Definisi SIG kemungkinan besar masih berkembang, bertambah, dan sedikit bervariasi, karena SIG merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang digunakan oleh berbagai bidang atau disiplin ilmu, dan berkembang dengan cepat. Berikut adalah beberapa definisi SIG yang telah beredar di berbagai sumber pustaka (Prahasta, 2009) :
1. SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer (CBIS) yang digunakan
untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG
dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek dan fenomena di mana lokasi geografis merupakan karakteristik
yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut
dalam menangani data yang bereferensi geografis: (a) masukan, (b)
manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan
manipulasi data, dan (d) keluaran [Aronoff, 1989].
2. SIG adalah sistem yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data,
manusia (brainware), organisasi dan lembaga yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan meyebarkan informasiinformasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi [Chrisman, 1997].
3. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data
geografis. Sistem ini diimplementasikan dengan menggunakan perangkat
keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk: (a) akusisi dan
verifikasi data, (b) kompilasi data, (c) penyimpanan data, (d) perubahan
dan atau updating data, (e) manajemen dan pertukaran data, (f) manipulasi
data, (g) pemanggilan dan presentasi data, dan (h) analisa data [Bern,
1992].
4. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan,
memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisis informasi-informasi yang
berhubungan dengan permukaan bumi [Demers, 1997].
5. SIG adalah sistem yang dapat mendukung (proses) pengambilan keputusan
(terkait aspek) spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi
lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan di
lokasi tersebut. SIG yang lengkap akan mencakup metodologi dan
teknologi yang diperlukan, yaitu data spasial, perangkat keras, perangkat
lunak, dan struktur organisasi [Gistut, 1994].

Pendekatan Geografi (skripsi dan tesis)

Geografi ditandai dengan perkembangan metodologi tentang lingkup dan isi geografi. Perkembangan metodologi dalam geografi berkembang dengan pesat. Bintarto (1987) menyatakan dalam geografi terpadu (integrated geography) untuk mendekati atau menghampiri masalah dalam geografi digunakan bermacam-macam pendekatan atau hampiran (approach). Pendekatan dalam geografi tersebut yaitu pendekatan analisa keruangan (spatial analysis), analisa ekologi (ecological analysis), dan analisa kompleks wilayah (regional complex analysis).

  1. Pendekatan Keruangan

Analisa keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting. Hal yang harus diperhatikan dalam analisa keruangan adalah penyebaran penggunaan ruang yang telah ada dan penyediaan ruang yang akan digunakan untuk berbagai kegunaan yang direncanakan. Data yang dapat dikumpulkan dalam analisa keruangan adalah data titik (point) dan data bidang (areal). Data titik antara lain data ketinggian tempat, data sampel bantuan, data sampel tanah, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam data bidang antara lain data luas hutan, data luas pertanian, data luas permukiman, dan lain sebagainya.

Penyebaran penggunaan ruang yang telah ada memiliki kaitan dalam teori difusi. Difusi dalam geografi mempunyai dua arti yang berbeda yaitu difusi ekspansi (expansion diffusion) dan difusi penampungan (relocation diffusion). Difusi ekspansi yaitu suatu proses di mana informasi, material, dan sebagainya menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah yang lain. Dalam proses ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Hal ini berarti bahwa terjadi penambahan jumlah anggota baru pada populasi antara dua periode waktu. Penambahan anggota baru tersebut mengubah pola keruangan pupulasi secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa daerah asal mengalami perluasan karena terdapat tambahan anggota baru dalam populasi.

Difusi ekspansi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu difusi menjalar (contagious diffusion) dan difusi kaskade (cascade diffusion). Difusi menjalar adalah difusi yang proses menjalarnya terjadi dengan kontak langsung antar manusia atau antar daerah. Misalnya menjalrnya penyakit menular melalui kontak antar manusia. Proses ini sangat bergantung pada jarak sehingga mempunyai kecenderungan untuk menjalar secara sentrifugal dari daerah sumbernya.

Difusi kaskade adalah proses penyebaran fenomena melalui beberapa tingkat atau hirarki. Proses ini adalah proses yang terjadi pada difusi pembaharuan. Misalnya proses pembaharuan yang dimulai dari kota besar hingga kota pelosok. Difusi kaskade selalu dimulai dari tingkat atas kemudia menjalar ke tingkat bawah. Apabila proses penjalaran tersebut dimulai dari tingkat bawah ke tingkat atas maka disebut difusi hirarki (hierarchi diffusion).

Difusi penampungan (relocation diffusion) merupakan proses yang sama dengan penyebaran keruangan di mana informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah yang lama dan berpindah atau ditampung di daerah yang baru. Hal ini berarti bahwa anggota dari populasi pada periode waktu satu berpindah letaknya dari waktu satu ke waktu dua.

Gambar Difusi Ekspansi Gambar Difusi Relokasi Keterangan:

W1 = Waktu 1

W2 = Waktu 2

W3 = Waktu 3

  1. Pendekatan Ekologi

Ekologi merupakan studi mengenai interaksi antara organisme hidup dengan lingkungan. Untuk mempelajari ekologi diperlukan pemahaman mengenai organisme hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan serta lingkungannya seperti litosfer, hidrosfer, dan atmosfer. Kelompok organisme beserta lingkungan hidupnya sebagai satu kesatuan disebut dengan ekosistem. Ekosistem dibagi menjadi dua golongan yaitu bagian hidup (biotik) dan bagian tidak hidup (abiotik). Bagian abiotik dibagi menjadi tida bagian yaitu litosfer (bagian padat dari bumi), hidrosfer (bagian cair dari bumi), dan atmosfer. Tiap unsur dari ekosistem tersebut mempunyai sifat-sifat tertentu yang menentukan peranannya dalam ekosistem secara keseluruhan. Tiap unsur tersebut mempunyai jenis interaksi tertentu dengan unsur yang lain. Beberapa dari sifat unit tersebut berubah-ubah mengikuti ruang dan atau waktu serta merupakan dasar untuk membedakan antara ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain, sedangkan sifat yang lain tidak berubah. Sifat yang tidak berubah adalah sifat kimiawi, fisikal, biologi atau geologi. Contoh ekosistem antara lain ekosistem rawa, ekosistem hutan, ekosistem laut, dan lain sebagainya.

Lingkungan hidup manusia dapat digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu lingkungan fisikal (physical environment), lingkungan biologis (biological environment), dan lingkungan sosial (social environment). Lingkungan fisikal adalah segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk mati seperti pegunungan, sungai, udara, air, sinar matahari, rumah, dan lain sebagainya. Lingkungan bilogis adalah segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa organisme hidup seperti hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya. Lingkungan sosial memiliki beberapa aspek seperti sikap kemasyarakatan, sikap kejiwaan, sikap kerohanian, dan sebagainya. Dinamika yang terdapat dalam lingkungan sosial dapat menimbulkan perubahan gagasan manusia sehingga dapat menimbulkan penyesuaian dan pembaharuan sikap dan tindakan terhadap lingkungan tempat hidupnya. Di sisi lain lingkungan fisikalnya dapat mengalami perubahan bentuk dan fungsi yang disebabkan oleh campur tangan manusia.

  1. Pendekatan Kompleks Wilayah

Analisa kompleks wilayah adalah kombinasi antara analisa keruangan dan analisa ekologi. Pendekatan kompleks wilayah ini memiliki anggapan bahwa interaksi antar wilayah akan berkembang karena pada hakekatnya suatu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain karena terdapat permintaan dan penawaran antar wilayah tersebut. Hagget (1970) dalam Bintarto (1987) menyebutkan bahwa aspek dalam analisa kompleks wilayah antara lain ramalan wilayah (regional forecasting) dan perencanaan wilayah (regional planning).

Beberapa konsep wilayah antara lain uniform region, nodal regiongeneric region, dan specific regionUniform Region atau wilayah seragam maksudnya pada wilayah seragam terdapat keseragaman atau kesamaan dalam kriteria tertentu. Nodal Region atau wilayah nodus adalah suatu wilayah yang dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis melingkar. Contohnya kota yang diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang dihubungkan oleh jalur jalan yang melingkar. Oleh karena itu pada wilayah nodus atau tombol terdapat kaitan fungsional antar pusat-pusat kegiatan atau disebut dengan wilayah fungsional (functional region).

Generic Region adalah kategori wilayah menurut jenis. Klasifikasi wilayah menurut jenisnya menekankan kepada jenis sesuatu wilayah seperti wilayah iklim, wilayah pertanian, wilayah vegetasi, wilayah fisiografi, dan sebagainya. Sedangkan klasifikasi wilayah menurut kekhususannya (specific region) merupakan daerah tunggal, mempunyai ciri-ciri geografi khusus terutama yang ditentukan oleh lokasinya dalam kaitannya dengan daerah lain, misalnya wilayah Asia Tenggara.

Komponen Sistem Informasi Geografis (skripsi dan tesis)

       Komponen utama SIG dapat dibagi kedalam empat komponen utama, yaitu:

  1. a)Perangkat Keras

Perangkat keras SIG memiliki pengertian perangkat-perangkat fisik yang digunakan oleh sistem komputer. Perangkat keras SIG berupa digitizer, scanner, Central Procesing Unit (CPU), harddisk, dan lain-lain.

  1. b)Perangkat Lunak

Perangkat lunak dari segi SIG merupakan perangkat yang tersusun secara modular. Perangkat lunak aplikasi SIG berupa ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, dan lain-lain.

  1. c)Data dan Informasi Geografi

SIG mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara langsung dengan cara meng-import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasial dari peta dan masukan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan.

  1. d)Manajemen

Suatu proyek SIG akan berhasil jika di-manage dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian. Organisasi manajemen disebut juga sumberdaya manusia atau brainware, termasuk juga pengguna  (Eddy Prahasta, 2009: 121).

  1. Analisis data Sistem Informasi Geografis

Analisis SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukan. Secara umum terdapat dua fungsi analisis, yakni analisis atribut dan fungsi analisis spasial (Eddy Prahasta, 2001 : 137-139).

  1. a)Fungsi analisis data atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengolahan basis data (DBMS) dan perluasannya.

1)          Operasi basisdata mencakup:

  1.   Membuat basis data baru (create databased).
  2.   Menghapus basis data (drop databased).

                                  iii.  Membuat tabel basis data (create table).

  1.   Menghapus tabel basis data (drop table).
  2.   Mengisi dan menyisipkan data (record) ke dalam tabel (insert).
  3.   Mengubah dan mengedit data yang terdapat di dalam tabel basis data (update, edit).

                                vii.  Menghapus data dari tabel (pack)

                               viii.  Membuat indeks untuk setiap tabel basis data

2)          Perluasan operasi basis data

  1.   Membaca dan menulis basis data dalam sistem basis data yang lain (export dan import).
  2.   Dapat berkomunikasi dengan basis data yang lain (misalnya dengan menggunakan driver ODBC)

                                  iii.  Dapat menggunakan basis data standard SQL (structured query language).

  1.    Operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan didalam sistem basis data.
  2. b)Fungsi analisis spasial antara lain:

1)    Klasifikasi (reclassify)

Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial atau atribut menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.

2)    Jaringan (network)

Fungsi ini me rujuk data spasial titik-titik (point) atau garisgaris (lines) sebagai suatu jaringan yang tak terpisahkan.

3)    Tumpang susun (overlay)

Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya, yaitu dengan cara menumpangsusunkannya.

4)    Buffering

Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik-titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang melingkupi garis.

5)    Pengolahan citra digital (digital image processing)

Fungsi ini dimiliki data raster, analisis terdiri dari banyak sub-sub fungsi analisis pengolahan citra digital.

Definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) (skripsi dan tesis)

Sistem Informasi Geografis atau Geographic Information System (GIS) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentransformasi, memanipulasi dan menganalisis data-data geografis. Data geografis yang dimaksud disini adalah data spasial yang ciri-cirinya yaitu: (1) memiliki geometric properties seperti koordinat dan lokasi; (2) terkait dengan aspek ruang seperti persil, kota, kawasan pembangunan; (3) Berhubungan dengan semua yang terdapat di bumi, misalnya data, kejadian, gejala atau obyek; (4). Dipakai untuk maksud-maksud tertentu, misalnya analisis, pemantauan ataupun pengelolaan  (Yosep Yousman, 2004: 7).

 Sistem Informasi Geografis merupakan gabungan dari tiga unsur pokok, yaitu sistem, informasi, dan geografis. Berdasarkan ketiga unsur pokok tersebut, maka SIG merupakan salah satu sistem informasi dengan tambahan unsur Geografis (Eddy Prahasta, 2009: 109). BAKOSURTANAL dalam Eko Budiyanto, (2002: 2) menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berreferensi geografi.

 Sistem informasi geografis memiliki perbedaan pokok dengan system informasi lain. Sistem informasi selain SIG, basis data atributal adalah focus dari pekerjaan sistem, sedangkan SIG mengaitkan data atributal dengan data spasial. SIG member analisis keruangan pada data atribut tersebut.SIG menjelaskan di mana, bagaimana, dan apa yang akan terjadi secara keruangan yang diwujudkan dalam gambaran peta dengan berbagai penjelasan secara deskriptif, tabular, dan grafis. SIG menyajikan data dalam bentuk spasial dan deskriptif.  Berbagai unsur yang dibutuhkan dalam SIG antara lain adalah unsur manusia sebagai ahli, dan sekaligus operator, perangkat keras dan perangkat lunak, serta obyek permasalahan (Eko Budiyanto 2004: 1-2).

 Sistem informasi geografis duraikan menjadi beberapa subsistem. Subsistem Sistem Informasi Geografi menurut Eddy Prahasta (2009: 118) terdiri dari:

  1. a)Data input

Subsistem ini bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber, juga mengkonversi atau mentranformasi format data asli ke dalam format SIG

  1. b)Data output

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian data, baik dalam soft copy maupun hard copy dalam bentuk tabel, peta dan grafik.

  1. c)Data management

     Mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-tabel atribut ke sistem basis data sehingga data spasial tersebut mudah dicari, diupdate, dan diedit.

  1. d)Data manipulasi dan analisis

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dihasilkan SIG, juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untukmenghasilkan informasi yang diinginkan. Ji

Tata ruang (skripsi dan tesis)

Tata ruang menurut Eko Budiharjo (1995: 21) adalah wujud struktural  dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hierarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Wujud pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.

Perencanaan tata ruang wilayah menurut Robinson Tarigan (2005: 58) adalah suatu proses yang melibatkan banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang itu memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan yang berkesinambungan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010, Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan tersebut. Penataan ruang wilayah dilakukan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.

Tujuan penataan ruang menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010, sebagai berikut: 1) mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang; 2) memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan 3) mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang. Tujuan penataan ruang adalah menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai kegiatan di berbagai subwilayah agar tercipta hubungan yang harmonis dan serasi. Dengan demikian, akan  mempercepat proses tercapainya  kemakmuran dan terjaminnya kelestarian lingkungan hidup. Tata ruang membutuhkan pengendalian dengan kebijakan dan strategi agar menuju sasaran yang diinginkan (Robinson Tarigan, 2005: 59)

Peran tata ruang dalam mitigasi bencana dapat membantu perencanaan fisik sebagai upaya meminimalkan akibat negatif dari bencana yang terjadi. Coburn (1994: 37) berpendapat bahwa banyak terdapat bahaya yang bersifat lokal dengan kemungkinan pengaruhnya yang terbatas pada daerah-daerah tertentu yang sudah diketahui. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat dikurangi jika memungkinkan untuk menghindarkan penggunaan daerah-daerah bahaya untuk tempat-tempat hunian atau sebagai lokasi-lokasi struktur-struktur yang penting. Perencanaan perkotaan perlu memadukan kesadaran akan bahaya-bahaya alam dan mitigasi risiko bencana ke dalam proses-proses normal dari perencanaan pembangunan dari satu kota.

Mitigasi Bencana Gunungapi (skripsi dan tesis)

Tujuan mitigasi bencana gunungapi menurut Oman Abdurahman (2011: 32), yaitu untuk meminimalisir atau meniadakan jatuhnya korban akibat letusan gunungapi. Kegiatan utama mitigasi bencana gunungapi adalah melakukan evaluasi bahaya gunungapi. pemantauan dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bahaya gunungapi. Evaluasi bahaya menghasilkan Peta Daerah Bahaya Gunungapi atau Peta Rawan Bahaya (KRB) Gunungapi. Peta ini menggambarkan kawasan yang berpotensi terkena dampak letusan. Peta tersebut berguna sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menata tataruang wilayah dan menyiapkan evakuasi pada saat masa kritis.

Upaya mitigasi juga dilakukan melalui identifikasi jenis bahaya dan karakternya. Bahaya gunungapi mempunyai karakter yang tidak dapat diubah. Dengan memahami jenis bahaya dan karakternya, maka dapat dilakukan antisipasi bahayanya. Pemberdayaan masyarakat menjadi sangat vital, terutama pada masyarakat yang belum pernah mengalami peristiwa letusan gunungapi. Pemberdayaan masyarakat ini dilakukan melalui peningkatan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dengan membutuhkan kesadaran dan meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bahaya letusan gunungapi menjadi hal yang sangat penting dalam mitigasi bencana.

Pergerakan magma yang mengawali suatu letusan dapat dideteksi oleh peralatan pemantauan. Salah satu unsur dalam kesiapsiagaan, pemantauan gunungapi dilakukan untuk memberikan peringatan dini letusan gunungapi kepada masyarakat. Pemberian peringatan dini dilakukan secara bertahap, karena letusan memperlihatkan gejala awal (precursor) atau tanda-tanda sebelum kejadian. Semakin dekat dengan letusan, maka semakin jelas tanda-tandanya. Tingkatan aktivitas gunungapi secara bertahap dimulai dari Normal, Waspada, Siaga, dan Awas.

 

 

 

 

 

  Tabel 4. Penetapan Status Bahaya Gunung Meletus
1 Aktif Normal (level I) Kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan dan hasil visual, kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
2 Waspada (level II) Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya.
3 Siaga (level III) Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.
4 Awas (level IV) Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan pertama.
Sumber: Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2008)

 

Prinsip penanggulangan bencana (skripsi dan tesis)

Meliza Rafdiana (2011: 22 – 24) mengatakan bahwa besar kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari korban jiwa, kerusakan, atau biaya-biaya kerugian yang ditimbulkan. Dampak sebuah bencana dapat diprediksi dengan mengidentifikasi:

  1. a)Bahaya (Hazard) = H

Bahaya merupakanfenomena atau  situasi yang memiliki potensi untuk menyebabkan gangguan atau kerusakan terhadap orang, harta benda, fasilitas, maupun lingkungan. Bahaya merupakan potensi penyebab bencana.

  1. b)Kerentanan (vulnerability) = V

Kerentanan  merupakan suatu kondisi yang menurunkan kemampuan seseorang atau komunitas masyarakat untuk menyiapkan diri, bertahan hidup atau merespon potensi bahaya. Kerentanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: kemiskinan, pendidikan, sosial budaya, dan aspek infrastruktur.

  1. c)Kapasita (Capacity) = C

Kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang ada pada setiap individu dan lingkungan  yang mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi, dan pulih dari akibat bencana dengan cepat.

  1. d)Risiko Bencana (Risk) = R

Risiko bencana merupakan interaksi tingkat kerentanan dengan bahaya yang ada. Ancaman bahaya alam bersifat tetap karena merupakan bagian dari dinamika proses alami, sedangkan tingkat kerentanan dapat dikurangi sehingga kemampuan menghadapi bencana semakin meningkat.

Prinsip atau konsep yang digunakan dalam penilaian risiko bencana adalah:

Keterangan:

R: Risiko (Risk)

H: Bahaya (Hazard)

V: Kerentanan (Vulnerability)

C: Kapasitas (Capacity)

Mitigasi Bencana (skripsi dan tesis)

Mitigasi (mitigation) merupakan tindakan struktural dan non struktural yang diambil untuk menghadapi dampak merugikan dari potensi bahaya alam, kerusakan lingkungan, dan behaya teknologi (Strategi Internasional PBB dalam Neeraj Prasad, dkk. 2010: 23). Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU RI No. 24 Tahun 2007). Berikut ini adalah tahapan penting dalam mitigasi bencana, yaitu:

  1. a)Kesiapsiagaan (preparedness) terdapat dua bagian penting yaitu danya perencanaan yang matang dan persiapan yang memadai sehubungan dengan tingkat risiko bencana.
  2. b)Respon (response) merupakan tindakan tanggap bencana yang meliputi dua unsur terpenting, yaitu tindakan penyelamatan dan pertolongan. Pertama-tama tindakan tersebut ditujukan untuk menyelamatkan dan menolong jiwa manusia baik secara personal, kelompok maupun masyarakat secara keseluruhan. Kedua, ditujukan untuk menyelamatkan harta benda yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup personal, kelompok maupun masyarakat selanjutnya.
  3. c)Pemulihan (recovery) merupakan tahap atau langkah pemulihan sehubungan dengan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan oleh bencana. Dalam tahap ini terdapat terdapat dua bagian, yaitu pemulihan dan pengawasan yang ditujukan untuk memulihkan keadaan ke kondisi semula atau setidaknya menyesuaikan kondisi pascabencana, guna keberlangsungan hidup selanjutnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bencana Gunung Meletus (skripsi dan tesis)

Penyebab terjadinya bencana gunung meletus menurut Coburn (1994: 22) yaitu keluarnya magma dari kedalaman bumi, terkait dengan penutupan arus-arus konveksi. Gunung meletus juga bisa terjadi akibat proses-proses tektonis dari gerakan yang lambat dari daratan dan pembentukan lempengan. Meliza Rafdiana (2011: 9) mengemukakan bahwa bencana gunung meletus merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma adalah cairan pijar yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih dari seribu derajat celcius. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 700- 1.200 derajat celcius. Letusan gunungapi yang membawa batu dan abu dapat menyembur sampai 18 Km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri sampai sejauh 90 Km.

Gunungapi yang sering meletus disebut gunungapi aktif. Gunungapi yang akan meletus dapat diketahui melalui beberapa tanda, antara lain: suhu di sekitar gunung naik, mata air menjadi kering, sering mengeluarkan suara gemuruh disertai getaran (gempa), tumbuhan disekitar gunung layu, dan binatang di sekitar gunung bermigrasi.

Bahaya yang ditimbulkan dari letusan gunungapi dibagi menjadi dua jenis. Bahaya yang pertama adalah bahaya primer: berupa guguran lava pijar, awan panas, jatuhan bahan letusan, sebaran abu,  dan gas beracun. Bahaya selanjutnya adalah bahaya sekunder yang berupa aliran lahar (Muzil Azwar, 1998: 82-84). Lahar merupakan istilah bahasa jawa yang pertama kali diperkenalkan oleh Schrivenor tahun 1929. Lahar berarti aliran air yang membawa bongkah-bongkah batu dan material sedimen lainnya (pasir) menuruni lereng gunungapi dengan kecepatan tinggi, sebagai aliran pekat (Sudibyakto, 2011: 14). Besar kecilnya lahar hujan ditentukan oleh volume air hujan yang turun di atas endapan abu gunungapi (Djauhari Noor, 2005: 124)

Elemen-elemen yang berisiko terkena letusan gunungapi adalah semua yang berada dekat dengan gunungapi tersebut. Elemen-elemen itu antara lain: atap-atap rumah atau bangunan-bangunan yang mudah terbakar, persediaan air yang rentan terkena jatuhan debu, bangunan-bangunan yang lemah dapat runtuh terkena tekanan-tekanan abu, tanaman pangan dan ternak menjadi risiko (Coburn, 1994: 22).

Jenis Bencana (skripsi dan tesis)

Meliza Rafdiana (2011: 6) menjelaskan jenis-jenis bencana yaitu:

  1. a)Bencana alam

Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

  1. b)Bencana non – alam

Bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

  1. c)Bencana sosial

Bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Menurut Arie Priambodo (2009: 23), dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana, tingkat bahaya, serta risiko yang dapat ditimbulkan. Berikut rincian tabel skala bencana:

Tabel 3. Skala Bencana

Skala Tingkat bahaya Manusia Bangunan
A Ringan Cedera Rusak ringan
B Menengah Luka parah Rusak sedang
C Berat Cacat permanen Rusak parah
D Dahsyat Meninggal dunia Hancur

Sumber: Arie Priambodo (2009: 23)

Pengertian Bencana (skripsi dan tesis)

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Menurut Rautela dalam Bevaola Kusumasari (2014: 6), bencana merupakan kejadian yang tidak dapat diprediksikan dan terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran yang besar serta penderitaan bagi umat manusia.

Zonasi (skripsi dan tesis)

Zonasi secara bahasa adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan. Zonasi merupakan langkah dasar dari perencanaan tata ruang. Robinson tarigan (2005: 49) menjelaskan bahwa perencanaan tata ruang wilayah pada dasarnya adalah menetapkan bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur penggunaannya (jelas peruntukannya) dan ada bagian-bagian yang kurang/tidak diatur penggunaannya. Dalam pembuatan zonasi harus ada pembagian atau pengelompokan kesatuan wilayah yang mempunyai kriteria tertentu dengan tujuan untuk membedakan dengan kesatuan yang lain. Dalam perencanaan tata ruang wilayah, pembuatan zonasi sangat penting untuk memperjelas perencanaan pemanfaatan penggunaan lahan pada ruang tersebut.

Zonasi yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada tingkat bahaya erupsi Merapi. Tingkat bahaya erupsi dibagi menjadi tiga zona bahaya. Zonasi daerah bahaya gunungapi menurut Suprapto Dibyosaputro (2001: 10) yaitu:

  1. Daerah Terlarang (Forbidden Zone)

Daerah terlarang adalah daerah di sekitar gunungapi yang letaknya terdekat dengan sumber bahaya (titik letusan), sehingga secara langsung daerah ini terkena aliran panas piroklastik (awan panas), jatuhan tefra berukuran bongkahan, bom, lapili, pasir kasar, dan aliran lava pijar sangat besar. Daerah terlarang harus dikosongkan secara tetap. Bentuk daerah terlarang seperti corong menghadap ke beratdaya – selatan dengan ujung utara dan timur merupakan sebuah sektor lingkaran agak bulat dengan jari-jari 3-4 km.

  1. Daerah Bahaya Pertama (First Danger Zone)

Daerah bahaya pertama adalah daerah yayng dianggap berbahaya berdasarkan pengalaman letusan yang lampau. Daerah tersebut tidak terkena awan panas tetapi dapat tertimpa piroklastik jatuhan, bom yang masih membara, dan piroklastik lainnya. Bentuk sebarannya hampir mengikuti daerah terlarang yang diperluas. Pemanfaatan daerah untuk permukiman tidak diperbolehkan.

  1. Daerah Bahaya Kedua (Second Danger Zone)

Daerah bahaya kedua adalah daerah yang letaknya disepanjang dan berdekatan dengan sungai yang berhulu di puncak gunungapi, secara topografi mempunyai elevasi rendah, sehingga pada musim hujan dapat terlandaaliran lahar. Daerah tersebut dibagi lagi kedalam daerah siap siaga dan daerah yang dikosongkan. Daerah siap siaga merupakan daerah yang secara topografi lebih tinggi, seperti bukit yang digunakan oleh penduduk menyelamatkan diri apabila alahar datang. Daeerah yang dikosongkan merupakan daerah yang sedemikian rupa, sehingga pada waktu terjadi banjir lahar, penduduk tidak sempat menyelamatkan diri.

Penelitian ini merupakan pemetaan daerah rawan bencana akibat erupsi Gunung Merapi. Peta kerawanan bencana dibuat dengan cara zonasi. Zonasi dibuat untuk mmengetahui zona rawab akibat erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Magelang. Hasil zonasi kemudian dijadikan sebagai arahan untuk penataan ruang Kabupaten Magelang yang berbasis mitigasi bencana.

Geomorfologi (skripsi dan tesis)

Heru pramono dan Arif Ashari (2014: 3) mengemukakan bahwa geomorfologi adalah Ilmu tentang berbagai bentuklahan di permukaan bumi di atas maupun di bawah permukaan permukaan laut dengan pendekatan studinya pada asal, sifat, proses, perkembangan, susunan material, dan kaitannya dengan lingkungan.

Menurut Verstappen (1983: 3) pada dasarnya terdapat empat aspek besar dalam geomorfologi yaitu geomorfologi statik, geomorfologi dinamik, geomorfologi genetik dan geomorfologi lingkungan.

  1. Studi bentuk lahan (geomorfologi statik) yaitu berupa studi kualitatif dan atau kualitatif (morfometri) tentang relief permukaan bumi yang meliputi unsur-unsur seperti: bentuk lereng, amplitude relief, tingkat pengikisan dan lain sebagainya.
  2. Studi proses (geomorfologi dinamik) yaitu mempelajari perubahan-perubahan bentuklahan dalam waktu yang singkat. Geomorfologi modern mempelajari proses-proses yang aktif baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan juga mencoba memahami proses-proses pada masa lampau dengan memperhatikan adanya perubahan iklim.
  3. Studi cara terbentuk (geomorfologi genetik) yaitu mempelajari tentang cara terbentuknya bentuklahan dan perkembangannya dalam waktu yang lama serta dalam hubungannya dengan waktu yang akan datang.
  4. Studi lingkungan (geomorfologi lingkungan). Lingkungan adalah suatu konsep antardisiplin ilmu yang sangat mempengaruhi geomorfologi akhir-akhir ini. Hubungan bentuklahan dan proses-prosesnya dengan unsur-unsur bentanglahan yang lain (misalnya tanah, air tanah, air permukaan, serta vegetasi) melalui hubungan ekologis termasuk didalamnya manusia sebagai suatu agen, telah menjadi bidang studi baru.

Heru Pramono dan Arif Ashari (2014 :14) mengemukakan manfaat studi geomorfologi untuk penelitian bagi pembangunan yaitu  penting diperhatikan bahwa setiap proses geomorfologis meninggalkan jejak karakteristik pada bentuklahan, sehingga memungkinkan untuk menelusuri proses apa yang telah menyebabkannya. Dalam banyak kejadian, manusia melalui berbagai kegiatannya secara tidak langsung atau tidak sengaja telah mengubah dan sering merusak lahan secara berulang-ulang. Relief mempunyai peranan penting dalam menentukan posisi saluran irigasi dan pola penggunaan lahan di daerah irigasi. Relief juga memainkan peranan penting dalam manentukan rute jalan raya yang akan dibangun. Dalam pembangunan jembatan maka tiang penopangnya harus diletakkan pada posisi yang tepat sesuai dengan kondisi geomorfologi yang ada. Pemanfaatan studi geomorfologi yang lain adalah dalam pembangunan permukiman penduduk dan tempat-tempat industri, serta pembangunan kawasan pantai.

Kajian geomorfologi dapat memberikan informasi mengenai karakteristik relief, material tanah/batuan, dan proses geomorfik, dan memperkirakan proses geomorfik yang akan datang (Sutikno, 1999: 3). Penyusunan peta satuan medan yang unsur pembentuknya adalah: satuan bentuklahan, relief/topografi dan penggunaan lahan. Peta ini digunakan untuk mengidentifikasi daerah yang kemungkinan akan terkena bencana dan dapat digunakan sebagai penentuan faktor penyebab bencana alam. Peta ini dapat digunakan untuk menentukan tindakan pencegahan, penentuan daerah yang aman dari bahaya yang digunakan sebagai tempat untuk pengungsian, serta digunakan sebagai rekomendasi untuk rehabilitasi dan kontruksi terutama dalam pemilihan lokasi yang lebih aman dan material bahan bangunan (Sutikno, 1999: 6).

  1. Satuan Medan

Medan menurut Van Zuidam dan Cancelado, (1979: 3-4) adalah suatu bidang lahan yang berhubungan dengan sifat-sifat fisik permukaan dan dekat permukaan yang kompleks dan penting bagi manusia. Medan meliputi unsur fisikal dimana termasuk diantaranya adalah iklim, relief, proses geomorfologi, batuan dan strukturnya, tanah, hidrologi, dan vegetasi. Dasar untuk mempelajari medan adalah analisis dan klasifikasi bentuklahan, sehingga analisis dan klasifikasi medan akan selalu terkait dengan geomorfologi.

Satuan medan adalah kelas medan yang menunjukkan suatu bentuklahan atau kompleks bentuklahan yang sejenis dalam hubungannya dengan karakteristik medan dan komponen-komponen medan yang utama. Satuan medan juga dapat diartikan sebagai satuan ekologis yang dapat berupa bentuklahan, proses, batuan, tanah, air, dan vegetasi yang masing-masing saling mempengaruhi untuk membentuk suatu keseimbangan alamiah.

Perspektif geografi dalam penelitian (skripsi dan tesis)

       Perspektif geografi terhadap suatu fenomena geosfer tidak lepas dari pendekatan dan konsep. Pendekatan yang diterapkan dalam penelitian geografi yaitu  pendekatan analisa keruangan (spatial analysis), analisa ekologi (ecological analysis), dan analisa kompleks wilayah (regional complex analysis). Penelitian ini menggunakan analisa pendekatan keruangan. Pendekatan analisa keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting yang memperhatikan penyebaran penggunaan ruang dan penyediaan ruang untuk berbagai kegunaan yang dirancangkan (Bintarto dan Surastopo hadisumarno 1979: 12-24).

        Keruangan dalam perspektif geografi menjadi basis utama dalam setiap analisis geografi. Ruang dalam geografi dipandang sebagai ruang absolut dan relatif.  Ruang absolut bisa diamati secara kasat mata secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan ruang secara relatif merupakan konsep yang diciptakan manusia dan bersifat persepsual. Pendekatan keruangan adalah suatu metode untuk memahami gejala tertentu agar mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam melalui media ruang sebagai variabel utama dalam setiap analisis. geografi mengartikan ruang sebagai bagian tertentu dari permukaan bumi yang mampu mengakomodasikan berbagai bentuk kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Hadi Sabari Yunus 2010: 44-69). Analisis ruang dalam penelitian geografi mengkaji karakteristik tatanan sebaran elemen pembentuk ruang yang saling berkaitan. Analisis dalam penelitian ini mengidentifikasi fenomena atau obyek-obyek berupa struktur, pola, dan proses keruangan pada kawasan bencana merapi di Kabupaten Magelang. Kawasan bencana merapi tersebut dibuat zonasi wilayah berdasarkan tingkat kerawanan bencana. Hal ini dapat diketahui pemanfaatan zona tersebut untuk keperluan arahan penataan ruang berbasis mitigasi bencana.

        Geografi menggunakan konsep untuk mengkaji fenomena yang terjadi. Konsep merupakan suatu abstraksi, suatu pengertian atau merupakan definisi operasional yang terdiri dari kesadaran, pemahaman, dan pengalaman yang kompleks melambangkan hubungan -hubungan dan gejala-gejala empiris (Widoyo Alfandi, 2001: 85). Sepuluh konsep yang digunakan untuk menganalisis suatu fenomena menurut Suharyono dan Moch. Amien (2013: 35), sebagai berikut: konsep lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, interaksi dan interdependensi, diferensiasi area, dan keterkaitan ruang. Konsep geografi yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi: (1) Konsep Lokasi menunjukkan letak suatu tempat. Konsep lokasi dibedakan antara lokasi absolut dan lokasi relatif. Konsep lokasi dalam penelitian ini berkaitan dengan tempat daerah penelitian yakni di Kabupaten Magelang; (2) Konsep Jarak merupakan pembatas alami yang diukur dari satu obyek ke obyek lain. Konsep jarak dalam penelitian ini berkaitan dengan jarak titik- titik lokasi dengan sumber bencana; (3) Konsep Morfologi menggambarkan perwujudan dataran muka bumi sebagai hasil pengangkatan atau penurunan wilayah (secara geologi) yang biasanya disertai dengan erosi dan sedimentasi hingga terbentuk dataran luas berpegunungan dengan lereng-lereng tererosi, lembah-lembah dan dataran aluvialnya. Konsep morfologi dalam penelian ini menunjukkan keadaan medan serta pengaruhnya dari morfologi dengan kerawanan bencana akibat gunung meletus pada titik lokasi penelitian; (4) Konsep Keterjangkauan menunjukkan kaitan antara lokasi, jarak, dan medan yang menghubungkan tempat satu dengan yang lain. Keterjangkauan erat kaitannya dengan jaringan jalan, sarana angkutan dan komunikasi yang dapat dipakai. Konsep keterjangkauan dalam penelitian ini terdapat pada titik-titik lokasi penelitian yang rawan akibat bencana gunung meletus dengan jalur dan lokasi untuk evakuasi; (5) Konsep Pola berkaitan dengan persebaran alami maupun yang bersifat sosial budaya. Dalam penelitian ini, pola berkaitan dengan alur sungai, vegetasi, permukiman penduduk dan sebagainya.

Masyarakat dan Fasilitas Pelayanan Pendidikan (skripsi dan tesis)

Keberhasilan proyek pembangunan yang berorientasi pada masyarakat, dikenal sangat tergantung pada perhatian yang diberikan pada faktor manusia. Apabila hanya digunakan pendekatan teknis belaka dengan asimisi pemenuhan kebutuhan masyarakat secara otomatis, maka hal ini tidak akan membawa hasil. Sangat disayangkan bahwa pada banyak tahap perencanaan pembangunan tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan pokok tentang kebutuhan masyarakat akan pelayanan. Ini membuktikan bahwa pendekatan lama secara vertikal (top down) belum berubah menjadi bottom up yang efektif (Rukmana, 1993).

 

Dengan adanya reformasi disegala bidang termasuk pendidikan tentu saja akan diikuti dengan perubahan dalam sistem pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Kesadaran anggota masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan dan program publik pada umumnya akan semakin meningkat. Keadaan ini akan terjadi pada sektor pendidikan. Orang tua dan anggota masyarakat akan menjadi stake holder yang semakin aktif dalam memantau pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan (Indryanto, 1998).

 

Implikasinya, public accountability dan efficacy menjadi ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Manakala anggota masyarakat dan orang tua menjadi stake holder yang aktif terhadap kebijakan dan program pendidikan. maka mereka juga menuntut bahwa kebijakan dan program pendidikan juga mencerminkan kepentingan mereka. Permasalahan yang dikemukakan tidak hanya pada kebijakan dan program apa yang akan dilaksanakan, tetapi mengapa kebijakan program pendidikan itu yang dilaksanakan. Anggota masyarakat dan orang tua melalui kelompok kepentingannya akan secara lebih langsung terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Melalui proses ini mekanisme public accountability akan berlangsung.

 

Sayangnya yang terjadi selama ini peran serta masyarakat khususnya orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan proses pendidikan (Pengambilan keputusan, monitoring, pengawasan dan akuntabilitas). Dengan demikian, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada orang tua sebagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan (Anonymous, 2000).

 

Untuk mengkaji dan mengevaluasi tercapainya tujuan perencanaan adalah dengan penelitian. Salah satu penelitian yang berguna dalam mengevaluasi sasaran dan tujuan suatu program, terutama yang berorientasi kepada masyarakat adalah Penelitian Survai. Dari penelitian ini dapat diketahui sejauh mana tujuan yang digariskan pada awal program tercapai (Mantra, 1998).

Jalur Transportasi dan Ketersediaan Fasilitas Pelayanan (skripsi dan tesis)

Penelitian Sunardi (1999) di Kabupaten Magelang membuktikan bahwa faktor aksesibilitas merupakan faktor potensi wilayah yang mempunyai hubungan paling erat dengan ketersediaan fasilitas pelayanan dibandingkan dengan faktor potensi wilayah yang lain. Faktor aksesibilitas ditentukan dengan membandingkan luas wilayah dengan panjang jalan. Dengan kata lain bahwa semakin padat jalur-jalur transportasi maka kemungkinan semakin besar tersedianya suatu fasilitas pelayanan.

Terdapat dua teori utama yang secara khusus menerangkan peranan jalur transportasi dalam pengembangan wilayah perkotaan (Sabari, 1994). Teori tersebut adalah Teori Poros oleh Babcock dan Teori Sewa-Nilai Lahan dari Haig. Teori Poros memandang peran jalur transportasi dalam perspektif ekologis, keberadaan poros transportasi akan mengembangkan pertumbuhan daerah perkotaan karena sepanjang jalur ini berasosiasi dengan mobilitas tinggi sehingga berimplikasi pada perkembangan zone-zone yang ada disepanjang poros transportasi lebih besar dari zone-zone yang lain. Haig memandang dari perspektif ekonomi, sewa dan nilai lahan sepanjang jalur transportasi yang memiliki sewa dan nilai lahan tinggi sebagai fungsi aksesibilitas akan tumbuh terutama karena investasi di sektor-sektor non agraris.

Jalur-jalur transportasi dan utililas kota merupakan pembentuk pola penggunaan lahan di kota. Sejak awal pertumbuhan komunitas, berbagai kegiatan usaha memilih lokasi di sepanjang jalur-jalur lalu lintas primer dan tempat-tempat yang merupakan konsentrasi para pelanggan potensial (Branch, 1995). Sehingga kota-kota yang dilalui jalur transportasi padat aktifitas ekonomi akan cenderung lebih berkembang dan mampu melayani daerah belakangnya.

Pada semua kota, terdapat hubungan yang erat antara struktur jaringan transportasi, bentuk fisik kota, dan pola keruangan aktifitas kekotaan. Saat proses pembangunan kota berlangsung, perubahan sistem transportasi perkotaan akan mempengaruhi unsur-unsur fungsional pada fisik kekotaan dan mengarahkan pola pertumbuhan kota (Herbert, 1982).

Kajian dan Analisis Wilayah Fasilitas Pelayanan (skripsi dan tesis)

 

Sebagaimana bentuk perencanaan lain, pengumpulan dan analisis data adalah komponen penting pada perencanaan pelayanan sosial. Ada dua macam data yang dibutuhkan, pertama data ketersediaan fasilitas pelayanan dan yang kedua data kebutuhan akan pelayanan di masa mendatang (Conyers, 1982).

Untuk menilai ketersediaan pelayanan dikenal tiga metode, pertama Metode Ketersediaan Pelayanan {Service Availability), menilai dengan ada atau tidaknya fasilitas pelayanan. Jika pelayanan tersedia diberi nilai 1, dan jika tidak tersedia diberi nilai 0. Metode ini disebut juga Gutman Sculling Methods. Metode yang kedua disebut Metode Tingkat Ketersediaan (Size of Availability) adalah metode yang memperhatikan jumlah unit pelayanan yang tersedia. Metode yang sering digunakan adalah Scalogram. Sedangkan yang terakhir dikenal dengan fungsi pelayanan atau daya layan (Function of Availability) merupakan perbandingan antara ketersediaan fasilitas dengan variabel pembanding. Variabel pembanding dapat berupa penggunaan aktual, pengguna potensial, penduduk keseluruhan, dan dengan pembanding standard (Muta’ali, 1999).

Salah satu standar dalam petunjuk tersebut disusun berdasarkan Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) dan Christaller. Turunan (derivation) teori ini menyatakan bahwa setiap barang atau jasa yang disediakan fasilitas pelayanan mempunyai batas atas dan batas bawah. Batas atas (upper limit) adalah jarak maksimum dimana konsumen akan pergi ke fasilitas pclayanan untuk mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya melalui beberapa pelayanan terdekat (Herbert, 1982). Konsep ini kemudian dikenal dengan distance treshold atau jarak ambang Sebagai konsekuensinya daerah maksimum yang dilayani dan pusat pelayanan merupakan daerah lingkaran komplementer. Sedangkan batas bawah (lower limit) adalah jarak minimum yang dibutuhkan pada kondisi dimana daerah pelayanan memiliki penduduk yang cukup untuk menghasilkan permintaan konsumen sehingga penawaran barang menjadi ekonomis bagi fasilitas pelayanan tersebut (Herbert, 1982). Konsep penduduk yang cukup untuk menghasilkan pemintaan konsumen sehingga penawaran barang menjadi eknomis ini kemudian disebut population treshold atau penduduk ambang.

Teori ini berperan dalam memberitahukan kepada perencana, daerah-daerah mana yang “tak terlayani” (unserved) dan “terlayani” (underserved) melalui identifikasi keberadaan wilayah pelayanan (Huisman, 1987). Dalam persebarannya secara keruangan kadang-kadang wilayah pelayanan saling tumpang tindih (overlap), hal ini tidaklah bermanfaat, sehingga keberadaan satu atau beberapa pelayanan tersebut harus dipertimbangkan (UN ESCAP, 1979).

Persebaran pelayanan sendiri menyangkut dua aspek, aspek sosial dan keruangan (Huisman, 1987). Aspek sosial berkaitan dengan tingkat kemudahan dicapai oleh berbagai kelompok sosial dan masyarakat, sedangkan aspek Keruangan berkaitan dengan tingkat kemudahan dicapai perwilayah/daerah.

Pola persebaran keruangan (permukiman) secara kuantitatif dapat memberikan perbandingan antar pola keruangan obyek dengan lebih baik dibandingkan secara deskriptif dari segi waktu dan dari segi ruang. Analisinya disebut analisis tetangga terdekat yang memberikan ukuran kuantitatif terhadap pola acak, tersebar, dan mengelompok (Bintarto, 1991).

Salah satu a1at yang dapat mengkaji persebaran keruangan fasilitas pelayanan adalah Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah kombinasi unsur yang dirancang untuk menyimpan, memanggil, manipulasi, dan menampilkan data geografi atau informasi tentang lokasi. Unsur-unsumya berupa perangkat keras,  perangkat  lunak,  data,  dan  operator  (ESRL,   199S).  Dalam perkembangannya yang pesat aplikasi SIG dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan telah melalui tiga tahap perkembangan. Dari hanya penyadapan data, informasi data base, dan inventarisasi ke arah yang lebih analisis, modelling dan manajemen. Pada tahap ketiga atau paling mutakhir, ditandai dengan evolusi sistem informasi dari proses transaction ke arah sistem penunjang pengambilan keputusan dengan analisis yang  lebih canggih dan operasi modeling yang berbasis pada analisis keruangan. Aplikasi umum dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan di tahap ini termasuk analisis lokasi fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan (Longley, 1995).

Hasil pcnelitian M. Rosul di Bantul (1996) menyimpulkan bahwa keberadaan sarana dan prasarana di tiap desa daerah penelitian bervariasi. Keberadaan sarana dan prasarana dipengaruhi oleh kondisi penduduk, keadaan lahan, dan kebijaksanaan pemerintah. Faktor-faktor penduduk meliputi pertumbuhan penduduk, pergerakan penduduk, mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan dan distribusi penduduk. Faktor-faktor lahan meliputi topografi, keadaan drainase, luas, dan keadaan ketersediaan air minum. Kebijakan pemerintah dalam hal ini menyangkut kebijaksanaan penataan ruang dan kelembagaan pemerintah.

Pelavanan Sosial dasar dan Pendidikan di Indonesia Ditinjau Dari Pembangunan Keruangan (skripsi dan tesis)

            Geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan kasual gejala-gejala muka bumi dan peristiwa yang terjadi di permukaaan bumi baik fisik maupun yang menyangkut mahluk hidup beserta permaslahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi dan kompleks wilayah untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan ( Bintarto, 1983 )

            Pembangunan keruangan biasanya dicirikan dengan adanya pengorganisasian tata ruang (spatial organization) dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial yang membawa tekanan-tekanan tak terelakkan terhadap kebijaksanaan regional tergantung dari tingkatan atau tahapan pembangunan dan pengorganisasian tata ruang yang bersangkutan. Pentingnya kebijaksanaan regional dan jenis-jenis permasalahan yang harus dihadapi akan berubah-ubah ( Fisher, 1975 ).  Pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah sebagai tempat kegiatan diperlukan adanya penataan ruang agar dicapai penyebaran yang efisisen.

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan memenuhi peningkatan permintaan pelayanan di kota sekunder negara dunia ketiga sangatlah rendah selama dua dekade belakangan. Penelitian Osborn di bebcrapa kota menengah di Indonesia membuktikan bahwa pelayanan infrastruktur dan kebutuhan dasar seperti sekolah, rumah sakit, air bersih, drainase, dan bangunan fisik sangatlah kurang (Osbom dalam Rondinelli, 1983). Sisi lain diungkapkan oleh Conyers (1982) yang menyatakan bahwa fasilitas pelayanan sosial pendidikan dan kesehatan di negara dunia keliga menyerap lebih banyak sumber dana dan tenaga kerja dibandingkan jenis pelayanan sosial lainnya.

Bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu prioritas utama dalam kebijakan pembangunan, dimana investasi di bidang ini tersebar luas di bawah kendali pemerintah pusat. Meskipun secara kualitas dalam bidang kesehatan kurang mendapat perhatian, akibatnya kota-kota besar mendapatkan pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik dibanding kota-kota kecil. Hal ini dapat terlihat dari variasi jumlah dan jenis dokter spesialis yang tersedia (Atmodirono, 1974).

Kekurangan fasilitas pelayanan pendidikan telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan pembangunan fasilitas secara cepat. Presiden Republik Indonesia secara khusus di tahun 70-an mengeluarkan instruksi (yang kemudian dikenal dengan inpres) untuk menyediakan bangunan Sekolah Dasar setiap tahunnya dengan dana berasal dari penjualan ekspor minyak bumi. Hingga tahun 1978 telah dibangun 24.065 Sekolah Dasar Inpres dengan total proporsi 30% dari keselumhan Sekolah dasar di negeri ini. Tahun 1979-1980 saja telah dibangun 10.000 Sekolah Dasar baru, 15.000 kelas baru, dan perbaikan 15.000 bangunan Sekolah Dasar lainnya. Untuk tingkat menengah, pembangunan dikonsentrasikan pada pengembangan laboratorium sains dimana selama tahun 1974-1975 telah berdiri 1000 laboratorium baru bagi tingkat SLTP dan 200 lainnya untuk tingkat SLTA (Postlethwaite, 1980).

Hal yang terjadi kemudian adalah sistem sentralistik dalam pengelolaan dan alokasi program pendidikan terjadi bukan hanya dalam hal pengadaan sarana dan prasarana, tapi ke semua aspek program, sehingga telah membentuk sikap tertentu kepada pengelola pendidikan baik di pusat maupun di daerah. Salah satu sikap yang selama ini terbentuk adalah adanya ketergantungan pengelola pendidikan baik di daerah dan sekolah kepada pemerintah pusat dalam hal orientasi program pendidikan dan penyediaan dana pendidikan (Indryamo, 1998).