Menurut Wikipedia, Pertama, kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Kedua, dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Ketiga, Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Keempat, menurut Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Kelima, H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan (http://paramadina.wordpress.com). 18 Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial dan kultural dengan akibat terjadinya perbedaan fungsi, peran dan tanggung jawab pada kedua jenis kelamin. Perbedaan ini merupakan konstruksi masyarakat sehingga sifatnya bisa berubah dan tidak sama.
Pembelian Tidak Terencana (Unplanned Purchase) (skripsi dan tesis)
Stimulus di dalam situasi pembelian yang dialami konsumen mempunyai peran dalam pembelian yang tidak direncanakan konsumen. Ketika seorang konsumen sedang berjalan-jalan di suatu mal dan melihat potongan harga pada produk baju yang sebetulnya kurang diperlukan, seketika itu konsumen mempertimbangkan pembelian tersebut (http://www.blogcatalog.com). Besarnya ketertarikan konsumen pada potongan harga pada baju yang ada pada gerai mampu membangkitkan keinginan untuk mencoba sehingga terjadilah pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya. Namun dapat saja niat yang muncul untuk mewujudkan pembelian yang tidak direncanakannya ini akan berubah karena konsumen mempertimbangkan kebutuhan, nilai dan ketertarikannya (keterlibatan) pada sepatu tersebut. Apabila kebutuhannya dirasakan tidak mendesak, nilai produk yang akan dibeli dirasakan rendah dan konsumen kurang tertarik untuk memilikinya, maka pembelian yang tidak direncanakannya sebelumnya tidak akan terjadi.
Perbedaan Pembelian Kompulsif dan Pembelian Impulsif (skripsi dan tesis)
Menurut Hirschman dan Stern (2001) Pembelian impulsif atau pembelian yang tidak direncanakan adalah kecenderungan konsumen untuk melakukan pembelian secara spontan, tidak terefleksi, secara terburu-buru dan didorong oleh aspek psikologis emosional terhadap suatu produk dan tergoda oleh persuasi dari pemasar. 16 Pembelian impulsif merupakan suatu proses pembelian yang terjadi ketika seseorang melihat suatu barang dan tiba-tiba ingin membeli barang tersebut, dan kemudian memutuskan untuk melakukan pembelian saat itu juga. Perilaku pembelian tanpa direncanakan yang dilakukan secara terus menerus menyebabkan orang berperilaku kompulsif.
Karakteristik Pembelian Kompulsif (skripsi dan tesis)
Pembelian Kompulsif memiliki beberapa karakteristik seperti yang dikutip oleh Iin dan prima (2006) sebagai (1) pembelian produk ditujukan bukan karena nilai guna produk; (2) konsumen yang membeli produk secara terus-menerus tidak mempertimbangkan dampak negatif pembelian; (3) pembelian produk yang tidak bertujuan memenuhi kebutuhan utama dalam frekuensi tinggi dapat mempengaruhi harmonisasi dalam keluarga dan lingkungan sosial; (4) perilaku ini merupakan perilaku pembelian yang tidak dapat dikontrol oleh individu; (5) ada dorongan yang kuat untuk mempengaruhi konsumen segara membeli produk tanpa memperhitungakan risiko, misalnya keuangan; (6) pembelian dilakukan secara tiba-tiba tanpa mencari informasi terlebih dahulu; (7) pembelian dilakukan untuk menghilangkan kekhawatiran atau ketakutan dalam diri; (8) perilaku yang ditujukan untuk melakukan kompensasi, misalnya kurangnya perhatian keluarga (Krueger, 1998; Magee, 1994)
Definisi Pembelian Kompulsif (skripsi dan tesis)
Menurut O’Guinn dan Faber (1992 : 459) Pembelian kompulsif adalah pembelian yang ”kronis berulang-ulang yang menjadi respon utama dari suatu kejadian atau perasaan yang negatif” sehingga pembelian kompulsif adalah satu bentuk konsumsi yang merupakan perilaku konsumen abnormal yang dianggap sebagai sisi gelap konsumsi (Shiffman dan Kanuk, 2000 dalam Park dan Burn, 2005) karena ketidakmampuan konsumen dalam mengendalikan dorongan hati yang kuat untuk selalu melakukan pembelian, dan terkadang mempunyai konsekuensi yang berat. Menurut Lorrin Koran, seorang Guru Besar Psikiatri dan Keperilakuan dari Stanford University, Pembeli kompulsif adalah konsumen yang cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang tersebut tidak mereka butuhkan (Koran, 2006) dan terkadang tidak mampu dibeli, dalam jumlah yang berlebihan (Hoyer dan MacInnis, 2001 dalam Park dan Burn,2005), perilaku semacam ini disebut juga sebagai keranjingan belanja (shopaholics). Menurut kutipan Horizon Surbakti (2009), Pembelian kompulsif merupakan proses pengulangan yang sering berlebihan dalam berbelanja yang dikarenakan oleh rasa ketagihan, tertekan atau rasa bosan (Solomon, 2002:15) dan pembelanja kompulsif adalah seseorang yang tidak dapat mengendalikan atau mengatasi dorongan untuk membeli sesuatu. Park dan Burns (2005:135).
Dimensi-dimensi Religiusitas (skripsi dan tesis)
Menurut Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) religiusitas terdiri dari
lima macam dimensi, yaitu:
a. Dimensi keyakinan (ideologi) menunjukkan tingkat keyakinan atau
keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap
ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Walaupun
demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya
diantara agama-agama, tetapi juga seringkali juga diantara tradisi-tradisi
dalam agama yang sama.
b. Dimensi praktik agama (ritualistik) mencakup perilaku pemujaan, ketaatan
dan hal-hal yang dilakukan individu untuk menunjukan komitmen
terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama ini terdiri dari ritual dan
ketaatan. Ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan
formal dan praktik-praktik suci yang dilakuakn para pemeluknya.
Sedangkan ketaatan dan ritual bagaikan ikan dalam air.
c. Dimensi pengalaman (eksperiensial) berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi
yang dialami individu atau didefenisikan oleh suatu kelompok keagamaan
(atau suatu masyarakat) terhadap komunikasinya terhadap Tuhan.
d. Dimensi pengetahuan (intelektual) menunjukkan tingkat pengetahuan dan
pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang
termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya.
e. Dimensi pengamalan (konsekuensial) mengacu pada identifikasi dari
akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan individu
dari hari ke hari seperti perilaku individu yang dimotivasi oleh ajaran
agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan ajaran agamanya
dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Dimensi ini merupakan efek
seberapa jauh kebermaknaan religiusitas individu. Jika keimanan dan
ketaqwaan individu tinggi, maka berdampak positif pada perilaku individu
dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut John E. Fetzer (1999) dimensi religiusitas terdiri dari dua belas
dimensi diantaranya yaitu:
a. Daily spiritual experiences
Merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spiritual dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini daily spiritual experiences
merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal
yang transenden (Tuhan, sifat-Nya) dan persepsi interaksi dengan
melibatkan transenden dalam kehidupan sehari-hari, sehingga daily
spiritual experiences lebih kepada pengalaman dibandingkan kognitif,
Underwood (dalam Fetzer, 1999). Persepsi “merupakan kesadaran intuitif
mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai
sesuatu” (Chaplin, 2011). Jadi, daily spiritual experiences merupakan
kesadaran individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal yang
transenden, yang mampu memberikan pengaruh terhadap kehidupannya
sehari-hari.
b. Meaning
Konsep Meaning dalam hal religiusitas sebagaimana konsep meaning
yang dijelaskan oleh Fiktor Vrankl yang biasa disebut dengan istilah
kebermaknaan hidup. Adapun meaning yang dimaksud disini adalah yang
berkaitan dengan religiusitas atau disebut religion-meaning yaitu sejauh
mana agama dapat menjadi tujuan hidupnya, Pargament (dalam Fetzer,
1999). Individu yang hidupnya dilandasi dengan agama akan merasa
bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab untuk menjadi individu yang
bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan berharga di hadapan
Tuhannya.
c. Values
Konsep values menurut Merton (dalam Fetzer, 1999) yaitu
menggambarkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama sebagai tujuan
hidup, dan norma-norma sebagai sarana untuk tujuan hidup tersebut. Para
ahli yang lain menganggap bahwa values sebagai kriteria yang digunakan
orang untuk memilih dan membenarkan tindakan (Williams dan
Kluckhohn dalam Fetzer, 1999). Aspek ini menilai sejauh mana perilaku
individu mencerminkan ekspresi normatif atau keimanan agamanya
sebagai nilai tertinggi. Dengan kata lain, konsep values yang dimaksud
adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai
tersebut mengajarkan tentang nilai agama yang mendasarinya untuk saling
menolong, melindungi dan sebagainya.
d. Beliefs
Konsep beliefs menurut Idler (dalam fetzer, 1999) merupakan sentral dari
religiusitas. Beliefs merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang
dibawa oleh suatu agama. Sebagai contoh dalam ajaran agama Islam,
konsep beliefs dikenal dengan istilah rukun iman, yaitu: iman kepada
Allah, Malaikat, Kitab (Al-Qur’an), Rasul, hari akhir, takdir qodho dan
qodar. Iman adalah “ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan
amalan dengan anggota badan”. Dari pengertian tersebut, maka yang
dimaksud dengan beliefs atau iman yaitu keyakinan yang diucapkan
dengan lisan, dihayati dengan hati, dan diamalkan dengan perilaku.
e. Forgiveness
Dimensi forgiveness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) mencakup
lima dimensi turunan, yaitu:
1) Pengakuan dosa, yaitu melakukan pengakuan atas kesalahan ataupun
dosa yang telah diperbuat, baik kepada sesama manusia maupun
kepada Tuhan.
2) Merasa diampuni oleh Tuhan, yaitu merasa bahwa Tuhan akan
mengampuni kesalahan yang telah diperbuat dengan cara bertaubat
kepada Tuhan.
3) Merasa dimaafkan oleh orang lain, yaitu merasa bahwa individu lain
memberi maaf terhadap dirinya yang pernah melakukan kesalahan.
4) Memaafkan orang lain, yaitu memberi maaf kepada individu lain yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya.
5) Memaafkan diri sendiri, yaitu memberi maaf kepada diri sendiri atas
kesalahan yang telah diperbuat dengan cara menyesali perbuatan
tersebut.
f. Private Religious Practices
Private religious practices menurut Levin (dalam Fetzer, 1999)
merupakan perilaku beragama dalam praktik beragama yang meliputi
ibadah, mempelajari kitab, dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan
religiusitasnya. Ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti
kepada Tuhan yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Sedangkan mempelajari kitab disini berarti tidak
hanya sekedar membaca kitab suci, tetapi juga memahami kandungan dari
isi kitab suci tersebut.
g. Religious coping
Religious coping menurut Pargament (dalam Fetzer,1999) merupakan
coping stres dengan menggunakan pola dan metode religious. Bentuk
religious coping diantaranya berdoa, beribadah untuk menghilangkan
stres, dan sebagainya.
h. Religious Support.
Religious support menurut Krause (dalam Fetzer, 1999) adalah aspek
hubungan sosial antara individual dengan pemeluk agama sesamanya.
Religious support juga dapat terjadi antara individual dengan
kelompok/lembaga dalam agamanya.
i. Religious history
Dimensi ini mengukur sejarah keberagamaan tiap individu. Sebagai
perbandingan untuk mengukur partisipasi keberagamaan individu saat ini.
j. Commitment
Konsep commitment menurut Williams (dalam Fetzer, 1999) adalah
seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta
berkontribusi kepada agamanya. Komitmen dalam mementingkan
agamanya dapat dimisalkan dengan kesungguhan individu untuk berusaha
menerapkan keyakinan agama yang dianutnya ke dalam seluruh aspek
kehidupan. Sedangkan kontribusi individu terhadap agamanya dapat
berupa pemberian sumbangan baik moril maupun materil demi syiar
agamanya.
k. Organizational religiousness
Konsep Organizational religiousness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999)
merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam
organisasi keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktifitas di
dalamnya. Dalam hal ini termasuk perilaku dan sikap terhadap individu
terhadap organisasi keagamaan.Yang termasuk ke dalam perilaku terhadap
organisasi keagamaan misalkan, keaktifan seseorang untuk melibatkan
dirinya dalam kegiatan organisasi keagamaan. Sedangkan yang termasuk
ke dalam sikap terhadap organisasi keagamaan misalkan, seseorang
merasa senang apabila mengikuti organisasi keagamaan bersama orang
lain yang seagama.
l. Religious preference
Konsep Religious preference menurut Ellison (dalam Fetzer, 1999) yaitu
memandang sejauh mana individu membuat pilihan dalam memilih
agamanya dan memastikan pilihan agamanya tersebut, yang termasuk
pandangan individu dalam memilih agamanya misalkan, merasa bangga
ataupun nyaman atas agama yang dianutnya. Sedangkan yang termasuk ke
dalam individu memastikan pilihan agamanya misalkan, dia merasa yakin
bahwa agama yang dianutnya akan menyelamatkan kehidupannya kelak.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa dimensi
religiusitas menurut Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) terdiri dari
dimensi Ideologi, ritual, pengalaman, intelektual dan pengamalan. Menurut
pendapat Fetzer (1999), dimensi religiusitas terdiri dari daily spiritual
experiences, meaning, values, beliefs, forgiveness, private religious practices,
religious coping, religious Support, religious history, commitment,
organizational religiousness, religious preference.
Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah dijelaskan di atas, peneliti
memilih untuk menggunakan dimensi dari Glock dan Stark (dalam Jalaluddin,
2016), karena dimensi tersebut lebih relevan dan lebih komprehensif, dimensi
religiusitas Glock dan Stark memberikan penjelasan lebih dalam dan
menyeluruh dari berbagai sisi tentang religiusitas, tidak hanya dalam hal yang
tampak namun juga aktivitas yang tidak tampak seperti orientasi nilai individu.
Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang merujuk pada dimensi Glock
dan Stark terkait dengan religiusitas
Pengertian Religiusitas (skripsi dan tesis)
Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016) menyatakan, bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama (ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan, saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas. Nurcholish Madjid (dalam Jalaluddin, 2016) meyatakan, bahwa religiusitas adalah tingkah laku yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan yang supra-empiris. Ia meletakan sesuatu yang empiris sebagai mana layaknya, tetapi ia meletakkan nilai sesuatu yang empiris di bawah supra-empiris. Ancok dan Suroso (dalam Purwadi, 2007) mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika individu melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak.
Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah tingkat penghayatan individu dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang mencakup dimensi keyakinan (ideologi), praktik agama (ritualistik), pengalaman (eksperiensial), pengetahuan (intelektual) dan pengamalan (konsekuensial). Kelima dimensi tersebut saling berhubungan, saling terkait, serta saling menentukan dalam membentuk religiusitas pada diri individu.
Faktor-Faktor Materialisme (skripsi dan tesis)
Ada berbagai pengaruh eksternal maupun internal yang tidak sehat, yang mengaktivasi materialisme pada diri individu. Menurut Husna (2015), terdapat beberapa penelitian terkait dengan tema materialisme dan telah ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah:
a. Faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah dan kecemasan akan kematian dan rasa tidak aman. b. Faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial serta stres dan konflik dalam keluarga.
c. Faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media.
d. Faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda dan media yang mendorong konsumerisme. e. Faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran
. f. Faktor jenis kelamin.
Menurut Mangestuti (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), mahasiswa perempuan lebih materialis dan memiliki kecenderungan belanja kompulsif yang lebih tinggi dibanding dengan lakilaki. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki persentase berbelanja lebih besar dibanding dengan laki-laki.
g. Faktor kemudahan berhutang (kartu kredit). Anak-anak muda sekarang memiliki nilai materialistik tinggi karena mereka mendukung kredit. Bank yang memberikan fasilitas kredit ataupun toko yang memberikan layanan pembelian secara kredit juga mampu membuat orang suka berbelanja maupun memiliki nilai materialistik tinggi.
Menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), ada beberapa faktor yang membentuk nilai materialisme pada diri individu diantaranya yaitu:
a. Psychological inscurity, yaitu ketidakamanan psikologis. Individu yang merasa tidak aman secara psikologis dapat melakukan kompensasi dengan berjuang keras untuk materi. Ketidakamanan psikologis dapat bersumber dari:
1) Pola asuh. Orang tua yang kurang mendukung tumbuhnya rasa aman pada anak akan menghasilkan anak-anak yang kurang aman secara psikologis.
2) Orang tua yang bercerai atau berpisah. Orang tua yang bercerai atau berpisah juga akan menghasilkan anak-anak yang tidak aman secara psikologis, sehingga mereka cenderung lebih materialis. 3) Deprivasi ekonomi. Orang yang berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang, cenderung lebih materialistik karena merasa kurang aman dengan kondisinya. Hasil penelitian menemukan bahwa individu yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang menguntungkan seringkali lebih materialis.
b. Tayangan peran model yang materialis
1) Tayangan Iklan. Iklan di berbagai media yang menayangkan gaya hidup yang menganggap penting materi dapat membuat individu menjadi materialis. Iklan di TV sering kali menggambarkan gambaran ideal dari selebriti dan kehidupannya. Ia akan mendorong pemirsa untuk membandingkan kehidupan sendiri dengan image ideal.
2) Orang tua yang materialis. Orang tua yang materialis cenderung menghasilkan anak-anak yang materialis. Orang tua yang memiliki harapan tinggi terhadap materi, akan menghasilkan anak-anak yang cenderung materialis.
3) Peer group yang materialis. Peer group materialis yang dijadikan referensi dalam berperilaku juga akan berpengaruh pada temannya. Komunikasi dengan peer merefleksikan interaksi dengan teman. Individu yang sering kali berkomunikasi dengan teman mungkin menunjukkan kebutuhan yang kuat untuk diterima oleh peer. Perbandingan sosial dengan teman merupakan prediktor yang lebih baik pada materialisme dibanding dengan figure di media.
Hal ini mungkin disebabkan karena teman lebih mudah diakses dan pola-pola konsumsi mereka lebih konkrit dan lebih mudah untuk diobservasi. Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi materialisme seseorang menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), terdiri dari psychological inscurity yaitu ketidakamanan psikologis dan tayangan peran model yang materialis. Menurut beberapa penelitian yang terkait dengan tema materialisme diperoleh beberapa faktor diantaranya: faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah, kecemasan akan kematian dan rasa tidak aman, faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak mendukung dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial dan stres dan konflik dalam keluarga, faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media, faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda serta media yang mendorong konsumerisme, faktor kemudahan berhutang kemudian faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran (Husna, 2015), dan faktor jenis kelamin (Mangestuti dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan materialisme adalah religiusitas. Peneliti memilih faktor religiusitas disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah belum adanya penelitian terkait dengan faktor religiusitas sebagai variabel yang berhubungan dengan materialisme pada mahasiswa usia remaja akhir. Kemudian terkait dengan faktor lainnya, peranan faktor religiusitas cukup menonjol karena nilai-nilai religiusitas lebih melekat pada internal jiwa individu. Nilai-nilai religiusitas tersebut dapat melandasi sikap dan pandangan individu di dalam menghadapi lingkungan hidup yang terpapar nilai-nilai materialisme, sehingga individu tersebut tidak mudah terjebak pada nilai-nilai materialisme tersebut. Menurut Jalaluddin, (2016) bahwa nilai-nilai religiusitas sebagai realitas yang abstrak menjadi daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup.
Dalam realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap. Dari beberapa hasil penelitian juga ditemuka kesimpulan bahwa individu yang memiliki religiusitas tinggi berdampak negatif yang signifikan pada materialisme dan berdampak positif pada kepuasan hidup (Rakrachakarn et al. dalam Husna, 2016). Kasser, dkk, (dalam Husna, 2015) menyatakan bahwa nilai-nilai religiusitas berlawanan dengan nilai-nilai materialisme. Lebih lanjut Menurut Djudiyah dan Sumantri, (2015) bahwa religiusitas merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalisir nilai materialistik pada mahasiswa.
Aspek-aspek materialisme (skripsi dan tesis)
Menurut Richins dan Dawson (1992), Individu yang materialistis dikenal meyakini 3 keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-aspek nilai materialisme, yaitu:
a. Acquisition Centrality
Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting. Individu yang materialistis menempatkan barang tersebut dan pemerolehannya di pusat kehidupan mereka. Kepemilikan barang memberikan makna bagi hidup dan memberikan tujuan bagi aktivitas atau usaha keseharian. Pada titik ekstremnya, individu materialis dapat dikatakan memuja benda-benda, dan pengejaran atas benda-benda tersebut menggantikan tempat agama dalam menstruktur kehidupan dan mengarahkan perilaku mereka.
b. Acquisition as the Pursuit of Happines
Keyakinan bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang lebih positif. Satu alasan mengapa harta benda dan perolehannya menjadi sangat penting bagi individu yang materialis adalah karena mereka memandang ini penting bagi kepuasan hidup dan well-being mereka. Individu materialis mengejar kebahagiaan lewat perolehan barang ketimbang lewat cara yang lain, seperti hubungan personal, pengalaman, atau prestasi.
c. Possession-Defined Success
Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang merupakan alat ukur untuk mengevaluasi prestasi diri sendiri juga orang lain. Individu yang materialis cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain dari jumlah dan kualitas barang yang dikumpulkan. Mereka memandang kesejahteraan atau well-being material sebagai bukti kesuksesan dan kebenaran cara berpikir (right-mindedness). Nilai suatu kepemilikan barang tidak hanya dari kemampuannya untuk memberikan status, tetapi juga memproyeksikan kesan diri yang diinginkan dan identitas individu sebagai partisipan dalam kehidupan sempurna yang dibayangkan.
Menurut Belk (1985), individu yang materialistis dapat dijelaskan melalui aspek-aspek berikut:
a. Kepemilikan (Possessiveness)
Kepemilikan adalah kecenderungan dan tendensi untuk menahan kontrol atau kepemilikan milik individu. Ruang lingkup kepemilikan tersebut meliputi kepedulian individu atas kehilangan harta bendanya baik melalui tindakan mereka sendiri maupun orang lain. Individu tersebut lebih menyukai kontrol yang lebih besar atas objek yang diperoleh melalui kepemilikan tersebut. individu yang memiliki tingkat materialisme tinggi menganggap penting kelekatan pada kepemilikan barang duniawi, kepemilikan tersebut menjadi pusat sentral kehidupan individu yang diyakininya memberikan sumber kepuasan dan ketidakpuasan dalam hidup (Belk, 1985).
b. Ketidakmurahan hati (nongenerosity)
Ketidakmurahan hati adalah sebuah sikap ketidak bersediaan individu memberikan kepemilikan barangnya untuk orang lain. Individu yang materialistis cenderung dimotivasi oleh sifat egois. Individu tersebut lebih mementingkan diri sendiri atas orang lain. Ketidak-sediaan meminjamkan atau menyumbangkan harta benda kepada orang lain dianggap sebagai ekspresi dari sifat kepribadian individu materialistis (Husna, 2016).
c. Kecemburuan/iri hati (envy)
Kecemburuan/iri hati adalah sebuah sikap interpersonal individu yang melibatkan ketidaksenangan dan niat buruk pada individu lain dalam kebahagiaan, kesuksesan, reputasi atau kepemilikan apa pun yang diinginkan. rasa iri hati pada individu materialis ditetapkan pada kepemilikan barang orang lain. iri hati tersebut berorientasi pada kepemilikan individu lain atas sesuatu. Seperti halnya kepemilikan (Possessiveness) dan ketidakmurahan hati (nongenerosity), iri hati (envy) di sini dipahami sebagai ciri umum daripada sikap tertentu terhadap individu. individu yang iri hati mengharapkan kepemilikan harta benda dari individu lain. Individu yang iri hati juga membenci mereka yang memiliki harta yang diinginkannya dan merasa direndahkan secara pribadi oleh individu lain yang memiliki benda-benda yang diinginkan, terutama jika individu lain tersebut dipandang kurang layak memiliki harta tersebut (Shoeck, dalam Belk, 1985).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa aspek materialisme menurut Richins dan Dawson (1992), terdiri dari kepemilikan barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting, barang sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, barang milik sebagai alat ukur kesuksesan, sedangkan menurut pendapat Belk (1985), aspek materialisme terdiri dari kepemilikan, ketidakmurahan hati dan kecemburuan/iri hati. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek materialisme menurut pendapat Richins dan Dawson (1992) karena cakupan penjelasan setiap aspeknya lebih luas serta sesuai dengan permasalahan pada subjek yang peneliti angkat. Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang menggunakan aspek-aspek materialisme Richins dan Dawson sebagai orientasi nilai individual.
Pengertian Materialisme (skripsi dan tesis)
Materialisme dalam psikologi didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang dalam hidup (Richins dan Dawson, 1992). Belk (1985), mendefinisikan materialisme sebagai the importance a consumer attaches to worldly possessions (sebuah kelekatan konsumen pada kepemilikan barang duniawi yang penting). Definisi tersebut menegaskan bahwa materialisme terkait dengan masalah kepemilikan barang duniawi yang dianggap penting dalam hidup. Pada definisi yang lain, materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan, dan nilai-nilai hidup yang menekankan atau mementingkan kepemilikan barangbarang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya, seperti yang berkenaan dengan hal-hal spiritual, intelektual, sosial, dan budaya (Kasser, 2002). Dari pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa materialisme mengacu pada keyakinan berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan pemilikan barang yang bersifat material dalam hidup individu
Faktor penyebab subjective well being (skripsi dan tesis)
Faktor yang mempengaruhi subjective well being dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Cantril, 2000; Bradburn, 1969; Campbell, Converse & Rodgers, 1976; Inglehart, 1990; Veenhoven, 1994 dalam Eddington dan Shuman, 2006).
1. Faktor internal yang mempengaruhi subjective well being sebagai berikut:
Traits, sifat seseorang dapat mempengaruhi subjective well being. Extraversion dan neuroticsm berpengaruh cukup besar dalam mempengaruhi subjective well being dibandingkan sifat-sifat. Ciri seseorang yang memiliki sifat extraversion cenderung lebih positif, hangat, mampu bersosialisasi sehingga hal ini berkorelasi dengan emosi yang menyenangkan. Sedangkan seseorang dengan sifat neuroticism cenderung mudah khawatir, sensitif, pesimis sehingga akan berhubungan dengan pikiran dan emosi yang tidak menyenangkan. Self esteem, Eddington & Shuman (2006) menunjukkan bahwa kepuasan diri merupakan predictor kepuasan terhadap hidupnya. Namun self esteem ini memiliki hubungan yang kecil, karena self esteem akan berubah sesuai dengan keadaan hidupnya. Self efficacy adalah perasaan yang dimiliki seseorang untuk mencapai tujuantujuan penting didefinisikan sebagai self efficacy (Feasel, 1995 dalam Eddington & Shuman, 2006). Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga, seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi mampu mencapai tujuan-tujuan yang penting dalam hidupnya dan mengesampingkan tujuan yang tidak penting sehingga individu tersebut semakin bahagia dengan hidupnya.
.2 Faktor eksternal yang mempengaruhi subjective well being sebagai berikut:
Sex differences, Shuman (Eddington dan Shuman, 2006) menyatakan penemuan menarik mengenai perbedaan jenis kelamin dan subjective well-being. Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama. Wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria. Sehingga wanita apabila bersedih maka dapat mengakibatkan kejadian yang buruk baginya sedangkan saat ia bahagia maka akan memberikan kejadian yang baik juga. Purpose memberikan peran penting dalam penyebab SWB, orang-orang merasa bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang dinilai tinggi dibandingkan dengan tujuan yang dinilai rendah. Contoh berhasil membeli rumah mewah lebih menyenangkan dibandingkan dengan membeli rumah yang biasa saja. Seseorang yang memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya akan cenderung lebih bahagia. Income atau pemasukan memiliki hubungan yang signifikan terhadap SWB walaupun hubungan yang dimiliki kecil. Secara umum, orang yang memiliki pemasukan yang tinggi lebih bahagia dibandingkan orang yang memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini dikarenakan dalam meningkatkan SWB, seseorang butuh untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makanan, tempat tinggal dan kebutuhan kesehatan. Pernikahan atau marriage berperan sebagai penopang dalam emosi dan kondisi ekonomi yang menghasilkan reaksi positif dan juga sebaliknya orang yang bahagia memiliki kemungkinan lebih besar menikah. Interaksi, pengkespresian emosi, dan pembagian tugas berperan dalam keberhasilan pernikahan. Persepsi tentang kesehatan lebih penting daripada secara objektif. Individu dengan kondisi kronis atau cacat memliki SWB yang rendah, jika kondisinya lebih ringan memungkinkan adaptasi. Kesehatan yang buruk mempengaruhi kebahagiaan secara negatif karena berhubungan pengan pencapaian goal atau tujuan. Agama disebutkan sebagai “opiate of the masses” yaitu berhubungan dengan lingkungan banyak atau beberapa orang, keyakinan beragama, relasi dengan Yang Maha Kuasa, sembahyang, serta partisipasi dan pengabdian. Agama juga mempengaruhi ketika individu berada dalam krisis serta berperan dalam meningkatkan hubungan dengan sesama dalam komunitas yang tersedia. Efek dari agama tidak selalu positif dan masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Kesenangan hidup tinggi bagi mereka yang pengangguran, pensiun, tua, atau bagi yang memiliki status kekayaan dan sosial tinggi dan pernikahan tanpa anak. Olahraga juga berpengaruh positif bagi kesenangan karena tubuh melepaskan hormone endorphin, relasi sosial, dan kepuasan terhadap kesuksesan atau self-efficacy. Kepuasan tertinggi dicapai oleh aktivitas tantangan yang melibatkan skill. Kesenangan paling popular adalah menonton televise dan liburan adalah sumber kebahagiaan serta relaksasi. Intensivitas pengalaman positif tidak memiliki banyak efek terhadap kebahagiaan berhubungan dengan kemunculan yang jarang. Individu mengalami mood yang positif ketika bersama teman dibanding dengan ketika bersama dengan orang tua atau sendiri. Kebahagiaan yang paling tinggi adalah jatuh cinta selama cinta itu masih ada. Kebahagiaan yang berlangsung paling lama adalah agama. Kemampuan intelejensi berhubungan dengan pencapaian tujuan termasuk pengaruh dengan kebahagiaan. Fisik yang menarik memiliki efek yang besar terutama bagi wanita muda. Kemapuan sosial extrovert berpengaruh positif pada kebahagiaan dibanding yang tidak bisa menemukan dukungan sosial atau pertemanan. Kebahagiaan juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan, dan kemampuan heteroseksual.
Dimensi subjective well being (skripsi dan tesis)
Penelitian terbaru menemukan 3 dimensi dalam Subjective well being, yaitu life satisfaction, postive affect dan negative affect. Life satisfaction adalah penilaian kognitif seseorang terhadap tingkat kepuasaan hidupnya. Positive affect adalah frekuensi dan intensitas emosi yang menyenangkan seperti perasaan nikmat dan bahagia. Negative affect adalah frekuensi dan intensitas emosi yang tidak menyenangkan seperti kekhawatiran dan kesedihan. Kedua afek tersebut (positif dan negatif) adalah perasaan orang terhadap kehidupan mereka (Diener, 2000 & Kashdan, 2004). Dengan demikian, orang yang merasakan emosi positif yang tinggi dan emosi negatif yang sedikit serta merasakan kehidupannya sempurna dapat didefinisikan sebagai orang yang bahagia. Hal ini sejajar dengan definisi Subjective well being yang dikemukakan oleh Diener, 2010 di atas
Definisi subjective well being (skripsi dan tesis)
Kebahagiaan dipandang dalam dua hal yaitu, kebahagiaan eudaimonic dan kebahagiaan hedonis. Eudaimonic berasal dari bahasa Yunani daimon, yang berarti diri yang sebenarnya. Kebahagiaan eudaimonic bermakna bahwa kebahagiaan adalah hasil dari perjuangan untuk mencapai aktualisasi diri (psychological well being), dimana dalam prosesnya akan sangat dipengaruhi oleh bakat, nilai dan kebutuhan dari individu dalam menjalani hidup (Maltby, Wood, Osborne & Hurling, 2009). Sedangkan, kebahagian hedonis memilik kesamaan dengan filosofi hedonism yang memandang bahwa tujuan hidup adalah pencarian kepuasaan dan kebahagiaan. Dan dalam hal ini Subjective well being (SWB) termasuk dalam kebahagiaan hedonism (Maltby, Wood, Osborne & Hurling, 2009). Subjective well being dipilih oleh peneliti karena peneliti ingin melihat evaluasi seseorang terhadap hidupnya. Subjective well being merupakan evaluasi orang terhadap kehidupannya sendiri, baik secara afektif maupun kognitif (Diener, 2000).
Orang merasakan SWB yang melimpah ketika mereka mengalami perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika mereka merasakan kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika mereka puas dengan hidup mereka (Diener, 2000). Subjective well being mencerminkan penilaian masing-masing individu terhadap diri sendiri tentang kualitas kehidupan mereka. Penilaian ini bersifat subjektif karena tergantung dari invidu masing-masing. Penilain subjektif ini dikarenakan adanya perbedaan berdasarkan nilai hidup, ekspektasi dan hidupnya (Carr, 2004). Subjective well being tidak mencari tahu penyebab orang bahagia atau tidak bahagia (Carr, 2004). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Subjective well being itu adalah kebahagiaan itu sendiri. Oleh sebab itulah, dalam penelitian ini Subjective well being dan kebahagiaan dianggap memiliki makna yang sama.
Dampak materialisme yang Ditimbulkan (skripsi dan tesis)
Menurut Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon (2004), orientasi nilai materialisme pada individu dapat merusak hubungan interpersonal dan relasi dalam komunitas. Hal ini karena hubungan interpersonal pada individu yang materialistik akan ditandai dengan reaksi emosi yang ekstrim, bukan dengan kepercayaan dan kebahagiaan. Selain itu, individu yang materialistik sering membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga menimbulkan perasaan yang buruk terhadap diri sendiri dan membuat individu akan semakin materialistik (Kasser et al., 2004)
Faktor penyebab materialisme (skripsi dan tesis)
Ada 3 faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon, 2004 dalam Polak & McCoullough, 2006) yaitu sebagai berikut: Pertama, insecurity yaitu kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas dan ragu tentang perasaan berharga, mengatasi tantangan secara efektif, dan perasaan aman terhadap dunia yang sulit diprediksi; dengan cara memiliki materi-materi dalam rangka mengatasi perasaan tidak aman (insecurity) tersebut, pemaparan terhadap model dan nilai materialistik, dalam bentuk pesan-pesan implisit dan eksplisit yang menampilkan pentingnya uang dan kepemilikan. Kedua, gaya hidup yang materialistik pada anggota keluarga dan teman sebaya, juga yang ditampilkan oleh media, menimbulkan materialisme pada individu dan pengiklanan dan penyebaran kapitalisme. Ketiga, iklan-iklan yang terpengaruh oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang dapat menimbulkan perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh akan berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan cara memiliki uang atau materimateri lainnya yang ditampilkan oleh iklan tersebut.
Dimensi materialisme (skripsi dan tesis)
Materialisme ini dibagi dalam 3 dimensi oleh Richins & Dawson (1992 dalam Ahuvia & Wong, 1995). Berikut ini 3 dimensi materialisme menurut Richin & Dawson yaitu: Pertama, dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang (acquisition centrality) bertujuan untuk mengukur derajat keyakinan seseorang yang menganggap bahwa harta dan kepemilikan sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dimensi ini terlihat pada ciri dimana umumnya mereka egois dan terpusat pada diri sendiri, serta mereka mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka menginginkan untuk mempunyai tidak hanya “sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan sederhana. Kedua, dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup (possession defined success) untuk mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikanya. Dimensi ini terlihat pada ciri orang yang mengutamakan menghargai dan memamerkan kepemilikan. Ketiga, dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian (acquisition as the pursuit of happiness) untuk mengukur keyakinan apakah seseorang memandang kepemilikan dan harta merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup. Dimensi ini terlihat pada ciri dimana mereka miliki sekarang tidak dapat memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu mengharapkan kepemilikan yang lebih tinggi agar mendapatkan kebahagian yang lebih besar.
Definisi materialisme (skripsi dan tesis)
Materialisme menurut Belk (1985) adalah individu yang menempatkan kepemilikan duniawi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup sehingga kepemilikan duniawi sebagai sebuah tujuan hidup. Belk (1985) juga mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang dimiliki setiap orang. Belk (1985) menyatakan bahwa materialisme terdiri atas 4 dimensi yaitu: possessiveness yaitu kecenderungan untuk mempertahankan kontrol atau kepemilikan harta seseorang, nongenerosity yaitu keengganan untuk memberikan harta atau berbagi harta dengan orang lain, envy yaitu ketidaksenangan atau niat jahat pada keunggulan orang lain dalam kebahagiaan, kesuksesan, reputasi, atau kepemilikan apa pun yang diinginkan, dan preservation yaitu konservasi peristiwa, pengalaman, dan kenangan dalam bentuk materi. Selain itu, Materialisme menurut Richins & Dawson (1992 dalam Ahuvia & Wong, 1995) adalah nilai individu atau dasar kepercayaan yang menganut pentingnya kepemilikan benda atau materi sebagai kesejahteraan dan kesempurnaan hidup
Kepribadian terhadap Perilaku Merokok (skripsi dan tesis)
Kepribadian merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakan dan berperilaku yang relatif stabil dan dapat diprediksikan (Dorland, 2002). Selanjutnya definisi kepribadian menurut Allport (1961) (dalam Michel, 2003) adalah organisasi dinamis yang terdapat di dalam individu atas sistemsistem psikofisis yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungannya. Selanjutnya klasifikasi kepribadian, masing-masing tokoh mengembangkan teorinya dan memiliki klasifikasi yang khas, seperti klasifikasi kepribadian Eysenk, klasifikasi kepribadian Jung, big five factor model, dan yang terbaru adalah klasifikasi kepribadian HEXACO-PI-R dengan 6 tipe kepribadian.
Yaitu: honesty-humility (H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C), dan openness to experience (O) (Ashton dan Lee, 2007). Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing dimensi kepribadian tersebut: Honesty-Humility (kejujuran dan kerendahan hati) yaitu kecenderungan individu untuk bersikap adil dan tulus dalam bekerja sama, menghindari tindakan memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadi, tidak tergoda untuk melanggar aturan dan mudah bekerja sama serta selalu bersikap sopan. Pengaruhnya terhadap perilaku merokok belum pernah diteliti. Emotionality (emosional) yaitu berkaitan dengan bagaimana individu mendapatkan dukungan sosial dari orang lain, tidak sebatas perasaan empati tetapi juga dapat membentuk kedekatan emosional terhadap orang lain. Pengaruhnya terhadap perilaku merokok belum pernah diteliti.
Extraversion adalah individu yang mampu menyatakan apa yang dia rasakan, mempunyai kepercayaan diri dalam memimpin sebuah kelompok dan aktif dalam bersosialisasi atau interaksi sosial. Dimana menurut penelitian yang dilakukan Zolnowski (2012) tingginya skor extroversion memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku merokok. Agreeableness adalah individu yang mempunyai kecenderungan untuk memaafkan dan toleran terhadap orang lain, dapat bekerja sama dengan orang lain serta dapat mengendalikan emosi yang dia rasakan. Dalam penelitian yang dilakukan Zolnowski (2012), seorang perokok cenderung memiliki skor tinggi pada dimensi agreeableness. Conscientiousness adalah individu yang mempunyai managemen waktu yang baik, bekerja dengan rajin dan tekun untuk mencapai tujuan mereka, berusaha untuk selalu sempurna dalam setiap pekerjaannya serta bijaksana dalam mengambil keputusan
. Penelitian Von Ah et al., (2005), Malouff et al., (2006), Hames & Parker (2008), dan Zolnowski (2012) membuktikan bahwa rendahnya skor conscientiousnessditemukan pada orang-orang yang merokok. Openness to Experience adalah individu yang suka dengan keindahan, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki daya imajinasi yang baik serta dapat menciptakan hal-hal yang baru yang belum ada sebelumnya. Menurut bebrapa penelitian, bervariasinya skor kepribadian openness to experience tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku merokok. Modeling adalah proses belajar yang muncul dengan melihat perilaku orang lain yang nampak Bandura 1969 (dalam Taylor, 2009). Ormrod (2009) menjelaskan modeling adalah memperagakan sebuah perilaku untuk orang lain atau mengimitasi perilaku orang lain. Menurut J.P Chaplin (2008), modeling adalah belajar memberikan reaksi dengan jalan mengamati orang lain yang tengah mereaksi
Perilaku Merokok pada Remaja Usia Sekolah Dasar (skripsi dan tesis)
Dewasa ini rokok bukan hanya dikoknsumsi pria dewasa, namun juga banyak anak-anak dan perempuan yang mulai menghisapnya. Lebih fokusnya lagi, anak-anak yang menjadi perokok, hal ini dikarenakan pergeseran usia pubertas yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Kini remaja usia Sekolah Dasar yang duduk di kelas 4, 5 dan 6 sudah banyak yang memasuki usia pubertas, usia dimana mereka mengeksplorasi diri dan mencoba sesuatu yang baru. Mereka meniru perilaku orang dewasa, termasuk perilaku merokok, agar mereka diterima oleh lingkungannya (Atmojo, 2013). Menurut data Komnas Anak, pada tahun 1970 usia perokok termuda adalah 15 tahun, namun pada tahun 2004 usia perokok termuda adalah 7 tahun (Messwati, 2008). Hal tersebut didukung dari beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kebiasaan merokok telah dimulai sejak anak-anak. Bahkan dari tahun ke tahun menunjukkan usia awal merokok semakin muda. Hasil riset Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) melaporkan bahwa anak-anak di Indonesia sudah ada yang mulai merokok pada usia 9 tahun (Komalasari & Helmi, 2006). Merokok adalah suatu perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain yang berada di lingkungan sekitar kita. Sarafino (2011) mendefinisikan perilaku merokok sebagai perilaku individu saat membakar lintingan tembakau yang dihisap melalui pipa kecil atau langsung dengan mulut mereka.
Komitmen organisasional memperlemah hubungan positif stres kerja dengan perilaku disfungsional audit (skripsi dan tesis)
Komitmen organisasional adalah keadaan psikologis
individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan
penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilainilai
organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi,
serta keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota
organisasi (Akhsan & Utaminingsih, 2014). Pada umumnya,
orang yang memiliki rasa komitmen tinggi terhadap organisasi
akan melakukan yang terbaik untuk kemajuan organisasinya
melalui kinerjanya yang lebih baik daripada orang lain,
sehingga seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi
terhadap organisasi akan memiliki kinerja yang tinggi (Febrina,
2012) tanpa melakukan tindakan yang menyimpang
(Setyaningrum & Murtini, 2014).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
komitmen organisasional memberikan pengaruh negatif
terhadap perilaku disfungsional audit (Aisyah dkk., 2014;
Basudewa & Merkusiwati, 2015; Nelaz, 2014; Paino dkk., 2011;
Srimindarti & Widati, 2015). Sementara itu, Mindarti &
Puspitasari (2014) menemukan bahwa komitmen organisasional
dapat memoderasi hubungan antara turnover intentions dan
kinerja auditor terhadap perilaku disfungsional.
Seorang auditor menunjukkan komitmen yang
dimilikinya dengan kerja yang gigih walaupun di bawah tekanan
sekalipun (Aisyah dkk., 2014). Meskipun auditor mengalami
stres kerja, dengan komitmen organisasional yang tinggi, hal
tersebut akan mendorong auditor tersebut untuk menghindari
perilaku disfungsional audit.
Neuroticism memperkuat hubungan positif stres kerja dengan perilaku disfungsional audit (skripsi dan tesis)
Individu yang memiliki sifat neuroticism personality atau
disimbolkan dengan kepribadian “N” biasanya identik dengan individu
yang mudah mengalami kecemasan, kekhawatiran, mudah merasa
tertekan, sering gelisah dan memiliki emotional reactive sehingga
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya rendah
(Judge dkk., 2002). Sifat kepribadian neuroticism berpotensi merangsang
individu untuk melakukan tindakan yang menyebabkan konflik terhadap
lingkungan sehingga disebut sebagai kepribadian yang tidak diinginkan
oleh setiap individu.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kepribadian “N”
memiliki hubungan negatif dengan kepuasan kerja (Judge dkk., 2002),
tetapi memiliki hubungan positif dengan prestasi kerja (Skyrme dkk.,
2005). Sementara itu, suatu penelitian lain menunjukkan tidak adanya
hubungan antara kepribadian “N” dengan kemampuan mendeteksi
kecurangan (Jaffar dkk., 2011) serta perilaku menyimpang (Rustiarini,
2014).
Peneliti menduga bahwa auditor dengan kepribadian neuroticism
tingkat tinggi memiliki kecenderungan untuk mudah merasa tegang,
cemas, dan depresi ketika sedang mengalami tekanan kerja yang tinggi.
Hal tersebut dapat berdampak pada timbulnya pemikiran-pemikiran
negatif dan mengarah pada dysfunctional behaviour. Oleh karena itu,
peumusan hipotesis dari uraian di atas ialah sebagai berikut:
Agreeableness memperlemah hubungan positif stres kerja dengan perilaku disfungsional audit (skripsi dan tesis)
Seseorang yang memiliki sifat kepribadian agreeableness atau
kepribadian “A” mempunyai ciri suka membantu, menyenangkan, mudah
memaafkan, kooperatif dan perhatian (Bowling & Eschleman, 2010).
Auditor yang memiliki tingkat agreeableness tinggi memiliki
kecenderungan untuk menghindar dari berbagai konflik yang dapat
mengganggu kinerjanya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
menciptakan hubungan baik dengan rekan kerja melalui bentuk kerja sama
dan melakukan negosiasi untuk menyelesaikan permasalahan (Graziano &
Tobin, 2002). Beberapa peneliti sebelumnya menemukan adanya hubungan
negatif antara kepribadian “A” dengan keputusan pergantian CEO secara
sukarela (Lindrianasari dkk., 2012) dan perilaku kontraproduktif dalam
organisasi (Berry dkk., 2007; Farhadi dkk., 2012).
Menurut peneliti, ketika seseorang berkepribadian “A” sedang
mengalami stres kerja, ia akan berusaha memerangi tekanan tersebut
dengan membangun team work dan interaksi yang baik sehingga mampu
menghindari perilaku disfungsional.
Extraversion memperlemah hubungan positif stres kerja dengan perilaku disfungsional audit (skripsi dan tesis)
Individu dengan sifat kepribadian extraversion atau
disimbolkan dengan kepribadian “E” dideskripsikan dengan
seseorang yang memiliki semangat tinggi, aktif, pandai
berbicara, suka dengan tantangan, serta memiliki kemampuan
untuk beradaptasi dengan lingkungan secara baik (Judge dkk.,
2002). Sebagai seseorang yang berprofesi sebagai auditor,
mereka sangat diuntungkan apabila memiliki kepribadian “E”
karena auditor saat ini dituntut untuk fasih dalam melakukan
komunikasi dan interaksi dengan rekan kerja maupun klien
pada saat pelaksanaan tugas (Brigg dkk., 2007). Oleh karena
itu, kepribadian “E” seharusnya dapat mendukung kinerja
akuntan publik menjadi lebih baik.
Akan tetapi, pernyataan di atas tidak didukung oleh
penelitian Kraus dalam Rustiarini (2014) yang menunjukkan
bahwa extraversion tidak mempunyai pengaruh terhadap
prestasi kerja auditor. Hasil penelitian lain juga menemukan
bahwa extraversion tidak memiliki pengaruh pada hubungan
persepsi CEO atas kompensasi terhadap pergantian
20
(Lindrianasari dkk., 2012), hubungan stres dengan perilaku
menyimpang (Rustiarini, 2014), serta kemampuan untuk
mendeteksi kecurangan (Jaffar dkk., 2011).
Menurut peneliti, sifat kepribadian extraversion
mempunyai probabilitas untuk mengurangi pengaruh positif
stres kerja pada perilaku auditor yang disfungsional. Auditor
dengan kepribadian “E” akan lebih cenderung menganggap
tekanan kerja sebagai suatu tantangan untuk mengeksplorasi
dan meningkatkan kualitas diri daripada menilainya sebagai
suatu beban. Dengan demikian, kepribadian “E” akan
mengurangi kemungkinan terjadinya dysfunctional behaviour
dalam setiap penugasan audit. Dari uraian di atas, maka
hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
Conscientiousness memperlemah hubungan positif stres kerja dengan perilaku disfungsional audit (skripsi dan tesis)
Sifat kepribadian conscientiousness atau yang
disimbolkan dengan kepribadian “C” digambarkan oleh McCrae
& Costa (1987) dengan sifat yang ambisius, dapat dipercaya,
memiliki kompeten, tidak mudah menyerah, memiliki sikap
tanggung jawab tinggi, menjunjung tinggi kedisiplinan, dan
mampu bertindak secara efisien. Individu dengan kepribadian
“C” yang tinggi berpotensi mampu membuat suatu perencanaan
yang baik dan benar, memiliki orientasi yang serius terhadap
prestasi (Jaffar dkk., 2011) serta karir di masa depan (Nettle,
2006).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Farhadi dkk.
(2012) dan Bowling, (2010) menunjukkan bahwa individu yang
memiliki kepribadian conscientiousness tinggi cenderung akan
18
menghindari perilaku disfungsional. Di sisi lain, Rustiarini
(2014) menemukan bahwa kepribadian “C” tidak berpengaruh
terhadap hubungan tekanan kerja dengan perilaku
menyimpang.
Menurut peneliti, seseorang yang memiliki sifat
kepribadian conscientiousness tidak memiliki kemungkinan
yang tinggi untuk berperilaku menyimpang meskipun dalam
keadaan stres atas tekanan kerja. Meskipun seorang auditor
mengalami stres kerja, apabila auditor tersebut memiliki
tanggung jawab, kedisiplinan serta berkemampuan untuk
mengelola pekerjaan secara efektif dan efisien, maka auditor
tersebut mampu untuk menghindari perilaku disfungsional
audit. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang
diturunkan adalah sebagai berikut:
Openness to experience memperlemah hubungan positif stres kerja dengan perilaku disfungsional audit (skripsi dan tesis)
Sifat kepribadian merupakan pondasi yang menjadi dasar
untuk mendeskripsikan pemikiran, perasaan, dan perilaku yang
menyusun suatu kepribadian setiap individu (Barrick & Mount,
2005). Konsep sifat kepribadian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu konsep The Big Five Personality yang
dipopulerkan oleh McCrae & Costa (1987). Konsep kepribadian
tersebut dibagi menjadi lima dimensi, yaitu: (1) openness to
experience, (2) conscientiousness, (3) extraversion,(4)
agreeableness, dan (5) neuroticism.
Auditor dengan kepribadian openness to experience atau
kepribadian “O” mempunyai ciri mudah bertoleransi, kreatif,
memiliki sifat ingin tahu yang tinggi, berwawasan luas,
imajinatif, dan memiliki keterbukaan terhadap halhal yang
baru (Goldberg dkk., 1990). Denissen & Penke (2008)
menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki sifat kepribadian
ini mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah
meskipun dengan informasi terbatas dan waktu yang singkat.
Rustiarini (2014) menemukan bahwa auditor yang
memiliki sifat kepribadian ini tidak memiliki kecenderungan
untuk melakukan perilaku disfungsional meskipun ia sedang
mengalami stres kerja. Namun demikian, Kraus dalam
Rustiarini (2014) menemukan bahwa seseorang dengan sifat
openness to experience tinggi cenderung memiliki kinerja yang
rendah. Sementara itu, Jaffar, dkk. (2011) tidak menemukan
hubungan antara sifat kepribadian “O” dengan kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Menurut peneliti, auditor dengan kepribadian “O” yang
tinggi tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku
disfungsional ketika mengalami stres kerja. Hal tersebut dapat
terjadi karena meskipun auditor memeroleh tekanan pekerjaan,
auditor memiliki kemampuan untuk berfikir secara cerdas dan
inovatif dalam menggunakan teknik atau strategi baru untuk
menyelesaikan masalah yang ada pada pekerjaannya.
Stres kerja berpengaruh positif pada perilaku disfungsional audit (skripsi dan tesis)
Stres dapat muncul ketika seseorang mendapat tekanan
yang menyebabkan ia tidak mampu untuk mengikuti standar
standar yang ditetapkan selama proses pekerjaan. Stres kerja
dapat diartikan sebagai kesadaran atas perasaan tak terkendali
yang dimiliki seseorang akibat timbulnya suatu tekanan yang
membuat tidak nyaman atau dinilai sebagai ancaman di tempat
kerja (Montgomery dkk., 1996). Rustiarini (2014) menjelaskan
bahwa stres kerja pada level tinggi dapat menyebabkan
gangguan stabilitas emosional yang berpengaruh terhadap
perilaku kerja yang menyimpang. Kondisi tersebut dapat
dialami oleh auditor karena sering berhadapan dengan banyak
pekerjaan dan dituntut untuk menyelesaikannya dengan waktu
yang terbatas.
Beberapa penelitian terdahulu telah meneliti hubungan
stres kerja dengan perilaku disfungsional audit. Chen dkk.
(2006) menemukan bahwa beberapa auditor pada tingkat
tertentu tidak menganggap stres kerja sebagai beban,
melainkan sebagai motivasi bekerja. Namun demikian, hasil
penelitian Hsieh & Wang (2012) menunjukkan bahwa stres kerja
yang tinggi dapat meningkatkan job burnout. Hasil penelitian
tersebut didukung oleh Rustiarini (2014), Utami (2015) dan
Golparvar dkk. (2012) yang menunjukkan adanya hubungan
positif antara stres kerja pada level tinggi dengan perilaku
disfungsional audit. Sementara itu, Rahmi (2015) tidak
menemukan hubungan antara stres kerja dengan perilaku
disfungsional audit.
Menurut peneliti, tekanan dan tuntutan kerja yang tinggi
secara otomatis akan memaksa auditor untuk bekerja lebih
keras. Ketika seseorang merasa tidak mampu mengatasi
tekanan tersebut maka auditor akan mengalami stres kerja.
Apabila auditor tidak memiliki kemampuan dan kekuatan yang
cukup untuk mengontrol stres kerja yang dialami atas tuntutan
pekerjaannya, maka auditor akan terpicu untuk melakukan
perilaku disfungsional.
Komitmen Organisasional (Organizational Commitment) (skripsi dan tesis)
Komitmen organisasionl merupakan sikap yang mencerminkan
loyalitas seseorang pada organisasi tempat ia bekerja, sehingga individu
sebagai anggota organisasi tersebut dapat mengekspresikan perhatiannya
untuk meraih keberhasilan dan kemajuan yang berkelanjutan pada
organisasinya (Basudewa & Merkusiwati, 2015). Komitmen
organisasional menggambarkan bahwa kekuatan relatif yang ada pada diri
seseorang untuk selalu berpihak dan terlibat dalam organisasi, keinginan
untuk melakukan yang terbaik, dan keinginan untuk bertahan dalam
organisasi merupakan orientasi individu terhadap organisasi dalam hal
loyalitas, identifikasi dan keterlibatan.
Komitmen organisasional dinilai sebagai derajat sejauh mana
keterlibatan seorang dalam organisasinya dan menggambarkan kekuatan
identifikasinya terhadap suatu organisasi tertentu (Nelaz, 2014). Komitmen
organisasional ditandai dengan tiga hal yaitu:
a. adanya kepercayaan yang kuat terhadap organisasi dan
dapat menerima tujuan-tujuan serta norma-norma
organisasi;
b. memiliki keinginan yang kuat untuk memelihara dan
mempertahankan hubungan yang baik dan kuat dengan
organisasi; serta
c. memiliki kesiapan dan kesediaan untuk mengerahkan usaha
keras demi kepentingan dan keberhasilan organisasi.
Teori Kepribadian (Personality Theory) (skripsi dan tesis)
Teori personality merupakan bagian ilmu psikologi yang
membahas korelasi antara karakteristik, proses perkembangan
psikologis, perbedaan individu, serta penjabaran sifat manusia
yang diketahui melalui tindakan apa yang akan diambil dalam
situasi tertentu (Boeree dkk., 2006). Personality theory dapat
digunakan untuk melandasi pengaruh sifat kepribadian pada
hubungan stres kerja dengan perilaku disfungsional audit.
Konsep sifat kepribadian dalam penelitian ini
menggunakan The Big Five Personality atau The Big Five
Inventory yang dikembangkan oleh McCrae & Costa (1987).
Konsep ini membagi sifat kepribadian menjadi lima dimensi,
yaitu:
a. Opennes to Experience (O)
Sifat openness to experience atau yang biasa
disimbolkan dengan kepribadian “O” merupakan faktor yang
paling sulit untuk dideskripsikan. Hal tersebut dikarenakan
faktor ini tidak memiliki arti yang sejalan dengan bahasa
yang digunakan. Openness mengarah pada bagaimana
seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu idea
atau situasi yang baru.
Seseorang dengan sifat openness mempunyai ciriciri
mudah bertoleransi, mempunyai kapasitas besar untuk
menyerap informasi, sangat fokus, serta waspada pada
berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang
dengan tingkat openness yang tinggi dideskripsikan sebagai
seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broadmindedness,
dan a world of beauty. Sementara itu, seseorang yang
memiliki tingkat openness yang rendah memiliki nilai
kebersihan, kepatuhan dan keamanan bersama. Tingkat
openness yang rendah juga menggambarkan pribadi yang
berpikiran sempit, konservatif dan tidak menghendaki
adanya perubahan.
b. Conscientiousness (C)
Conscientiousness atau disimbolkan dengan
kepribadian “C” dapat disebut sebagai dependability,
impulse control dan will to achieve. Sifat kepribadian ini
menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline
seseorang. Seseorang dengan conscientiousness digambarkan
dengan seseorang yang mempunyai kontrol terhadap
lingkungan sosial, mampu berpikir sebelum bertindak,
dapat menunda kepuasan, mampu mengikuti peraturan dan
norma, memiliki rencana yang terorganisir dan
memprioritaskan tugas. Di sisi lain, seseorang dengan sifat
kepribadian ini juga dapat menjadi sangat perfeksionis,
kompulsif, workaholic dan membosankan. Individu dengan
tingkat conscientiousness yang rendah menunjukkan sikap
ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya.
c. Extraversion (E)
Extraversion atau kepribadian “E” bisa juga disebut
sebagai dominancesubmissiveness. Sifat extraversion
dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme
yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif,
energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic
dan ramah terhadap orang lain. Individu dengan sifat
extraversion juga memiliki tingkat motivasi yang tinggi
dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan
biasanya menjadi dominan dalam lingkungannya. Seseorang
yang memiliki faktor extraversion tinggi mempunyai
kemampuan untuk mengingat semua interaksi sosial dan
berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan
dengan seseorang yang memiliki extraversion rendah. Dalam
berinteraksi, individu dengan extraversion juga dianggap
sebagai orangorang yang ramah, funloving, affectionate dan
talkaktive.
d. Agreeableness
Agreeableness atau biasa disimbolkan dengan
kepribadian “A” merupakan sifat kepribadian yang
mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki
kepribadian yang selalu mengalah, lebih suka menghindari
konflik dan memilki kecenderungan untuk mengikuti orang
lain. Seseorang dengan skor agreeableness tinggi
digambarkan sebagai seseorang yang suka membantu,
pemaaf dan penyayang. Namun demikian, ditemukan
beberapa konflik pada hubungan interpersonal orang yang
memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, di mana self
esteem mereka akan cenderung menurun ketika berhadapan
dengan konflik.
e. Neuroticism (N)
Neuroticism atau biasa disimbolkan dengan
kepribadian “N” dideskripsikan dengan seseorang yang
memiliki masalah dengan emosi yang bersifat negatif seperti
rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional,
mereka dianggap labil dan suka mengubah perhatian
menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang dengan
tingkat neuroticism rendah cenderung merasa lebih bahagia
dan puas terhadap hidupnya dibandingkan dengan
seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi.
Sementara itu, seseorang dengan tingkat neuroticism yang
tinggi adalah pribadi yang mudah mengalami kecemasan,
marah, depresi dan memiliki kecenderungan emotionally
reactive.Tingkat neurotism tinggi juga dapat membuat
individu kesulitan dalam menjalin hubungan dan
berkomitmen, serta memiliki tingkat self esteem yang
rendah.
Teori Stres Kerja (Job Stress Theory) (skripsi dan tesis)
Stres kerja (job stress) adalah suatu perasaan tertekan
yang dialami atau dirasakan oleh individu ketika sedang
menghadapi suatu pekerjaan (Biron dkk., 2014). Spielberger &
Sarason (2014) menyebutkan bahwa stres kerja merupakan
tuntutantuntutan eksternal seseorang, seperti obyekobyek
dalam lingkungan atau suatu stimulus yang berbahaya secara
obyektif. Stres juga bisa diartikan sebagai suatu tekanan serta
ketegangan atau gangguan tidak menyenangkan yang berasal
dari luar diri seseorang.
Stres tidak selamanya bersifat negatif, stres juga bisa
bersifat positif apabila terdapat peluang yang menawarkan
perolehan potensial. Hodgkinson & Ford (2010) mengategorikan
stres menjadi dua jenis, yaitu eustress dan distress. Eustress
adalah hasil dari respon terhadap stres yang bersifat positif,
sehat dan bersifat membangun (konstruktif). Sementara itu,
distress merupakan hasil dari respon terhadap stres yang
bersifat negatif, tidak sehat dan bersifat merusak (destruktif).
Perilaku Disfungsional Audit (Dysfunctional Audit Behaviour) (skripsi dan tesis)
Dysfunctional audit behavior (DAB) merupakan suatu
bentuk reaksi terhadap lingkungan yang berkaitan dengan
sistem pengendalian (Donnelly dkk., 2003). Sistem pengendalian
yang berlebih dalam suatu organisasi dapat mengakibatkan
timbulnya konflik yang mengarah pada perilaku disfungsional.
Donnelly dkk. (2003) menjelaskan apabila auditor bersikap
menerima perilaku disfungsional, hal tersebut mengindikasikan
bahwa auditor tersebut telah melakukan disfungsional aktual.
Perilaku disfungsional audit dapat memberikan pengaruh
pada kualitas audit, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Perilaku yang mempunyai pengaruh langsung di
antaranya adalah premature sign off dan altering atau replacing
audit procedures (Donnelly dkk., 2003; Maryanti, 2005).
Premature sign off atau penghentian prematur atas prosedur
audit berkaitan dengan penghentian prosedur audit secara dini
yang dilakukan oleh seorang auditor dalam melakukan
penugasan. Sementara itu, altering atau replacing audit
procedures berkaitan dengan penggantian prosedur audit yang
telah ditetapkan untuk melakukan audit di lapangan.
Perilaku yang dapat memengaruhi kualitas audit secara
tidak langsung adalah underreporting of time (Donnelly dkk.,
2003; Maryanti, 2005). Perilaku under reporting of time terjadi
ketika auditor menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan
kepadanya tetapi ia tidak melaporkan waktu yang sebenarnya
untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Perilaku
underreporting of time oleh auditor bisa terjadi karena auditor
memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan tugas audit
sesuai dengan batas waktu yang dianggarkan, dengan tujuan
untuk memeroleh evaluasi kinerja personal yang lebih baik
(Otley & Pierce, 1995).
Teori Atribusi (Attribution Theory) (skripsi dan tesis)
Teori atribusi digunakan untuk menjelaskan berbagai
penyebab atau motif mengapa seseorang melakukan suatu
tindakan tertentu (Robbins & Judge, 2008). Teori ini
memberikan pemahaman bahwa pencapaian kinerja seseorang
di masa datang disebabkan oleh kegagalan atau kesuksesan
atas tugas yang dilakukan sebelumnya (Rustiarini, 2014). Teori
atribusi menurut Ivancevich dkk. (2007) merupakan teori yang
menjelaskan bagaimana cara menilai perilaku seseorang yang
ditentukan apakah berasal dari dalam dirinya (internal) atau
lingkungan (eksternal).
Penyebab perilaku seseorang dalam persepsi sosial
menurut Wade & Travis (2008) lebih dikenal dengan istilah
dispositional attributions (penyebab internal) dan situtional
attributions (penyebab eksternal). Dispositional attributions
cenderung mengarah pada aspek perilaku individual berupa
sesuatu yang pada dasarnya sudah ada dalam diri setiap orang,
seperti sifat pribadi dan persepsi diri. Sementara itu, situtional
attributions lebih mengacu pada perilaku individu yang
dipengaruhi oleh lingkungan, seperti kondisi sosial, nilai sosial
dan pandangan masyarakat.
Soekarso & Putong (2015) menjelaskan bahwa penyebab
atribusi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu consensus,
distinctiveness dan consistency. Perilaku consensus (konsensus)
merupakan perilaku yang ditunjukkan ketika semua orang yang
menghadapi situasi serupa merespon situasi tersebut dengan
cara yang sama. Perilaku distinctiveness (kekhususan)
menunjukkan bahwa individu dalam situasi yang berlainan
maka akan menghasilkan perilaku yang berlainan. Sementara
itu, consistency (konsistensi) menunjukkan adanya perilaku
yang sama oleh seseorang meskipun terdapat perubahan waktu.
Teori atribusi menjelaskan lebih dalam tentang caracara
kita menilai suatu hal secara berlainan, tergantung bagaimana
kita menghubungkan suatu makna ke dalam perilaku tertentu
(Wade & Travis, 2008). Oleh sebab itu, teori ini dapat digunakan
untuk menilai atribusi perilaku individu yang berkaitan dengan
stres kerja, sifat kepribadian dan komitmen organisasional
seorang auditor
Analisis DIF (skripsi dan tesis)
Menurut Gierl, Khalia, & Baughton (dalam Acar, 2011), DIF secara luas digunakan untuk menyelidiki bias dalam pengukuran. Terdapat beberapa metode untuk menentukan DIF. Beberapa contoh metode yang didasarkan pada CTT adalah teknik Mantel Haenzel (M-H) yang sebagian besar sering digunakan, regresi logistik (LR) dan simultaneous bias test (subtest). Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan untuk menganalisis DIF adalah menggunakan Regresi logistik (logistic regression), yaitu model regresi logistik ordinal (ordinal logistic regression). Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode terkini yang tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial. Alasan memilih regresi logistik ordinal antara lain (Miller & Spray dalam Zumbo, 1999): (a) Penggunaan regresi logistik ordinal memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan untuk model aitem bineri dan ordinal (b) Model statistik yang digunakan untuk aitem bineri dan ordinal ini sebaiknya memudahkan proses implementasi ketika analisis DIF belum biasa digunakan Universitas Sumatera Utara (c) Model regresi logistik ordinal diperluas oleh Zumbo-Thomas, yaitu memiliki uji statistik dan pengukuran yang cocok mengenai effect size, tidak seperti metode yang lainnya. Regresi logistik ordinal ini dapat diinterpretasi seperti regresi linear yang menjadi variabel prediktor terhadap sebuah variabel random yang yang tidak dapat diobservasi secara terus menerus,
Dampak DIF (skripsi dan tesis)
Validitas pengukuran merupakan salah satu masalah utama yang dipengaruhi oleh bias pengukuran. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu keobjektifan suatu aplikasi pengukuran adalah diperolehnya informasi mengenai individu dan aitem-aitem tes. Oleh karena itu, maka instrumen dan hasil pengukuran yang valid dan akurat sangat dibutuhkan untuk menghasilkan objektivitas. Namun, salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh yang negatif pada validitas adalah bias aitem yang dapat memberikan hasil yang tidak objektif. Selain itu, kehadiran bias Universitas Sumatera Utara aitem pada tes dapat melemahkan reliabilitas hasil yang berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat (Acar, 2011).
Selanjutnya, Thiesse, Steinberg, & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa aitem yang terdeteksi DIF merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap validitas sebuah instrumen yang mengukur level trait kelompok ataupun populasi yang berbeda. Instrumen yang berisi aitem-aitem yang terdeteksi DIF mungkin dapat mengurangi validitas untuk perbandingan antarkelompok, karena skor mereka mungkin menunjukkan atribut lain dibandingkan skala yang mengukur apa yang seharusnya diukur. Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2010) dijelaskan bahwa bias aitem juga merupakan ancaman terhadap validitas pengukuran. Bila aitem tes berfungsi secara berbeda pada dua kelompok peserta, mungkin aitem tersebut mengukur trait yang berbeda pada kelompok tersebut. Hal ini akan menyebabkan kesimpulan yang salah mengenai kemampuan tes untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. DIF merupakan titik awal studi tentang bias aitem.
Salehi & Tayebi (2012) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai konsep validitas yaitu berperan dalam hal bahasa yang digunakan dalam tes dan pengukuran. Proses validasi kemudian dikaitkan dengan usaha untuk proses membuat tes yang bisa digunakan secara umum, yaitu tes-tes keahlian bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris. Kemudian dihubungkan dengan konsep keadilan tes dan bias tes dan sumber-sumber penyebabnya (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lain-lain) dan kontribusi serta mengarah kepada validitas tes pada umumnya dan bahasa yang digunakan. Lebih lagi, dalam penelitian terkini, telah dilakukan peninjauan terhadap pendekatan-pendekatan yang berdeda-beda untuk meneliti validitas tes. DIF, diantara metode lain untuk meneliti validitas tes dengan deskripsi dan penjelasan serta kelebihan dan kelemahan masing-masing metode dan pendekatan berbeda menyimpulkan bahwa regresi logisitik adalah salah satu diantara metode terbaik saat ini (Salehi & Tayebi, 2012)
Jenis-jenis DIF (skripsi dan tesis)
Penelitian mengenai DIF menguji dua kelompok, yaitu kelompok Referensi (Reference Group) dan kelompok Fokal (Focal Group). Dan hal ini lebih umum dikenal dengan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dalam sebuah penelitian, seorang individu dapat termasuk ke dalam kelompok referensi, dan sebaliknya dapat pula termasuk dalam kelompok fokal untuk penelitian lain. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok Referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok Fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam teori respon aitem (Item Response Theory), DIF terbagi atas dua kategori, yaitu Uniform atau Consistent DIF dan Nonuniform atau inconsistent DIF. Pembagian kelompok tersebut dilihat dari Item characteristic curves (ICCs), yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kemungkinan jawaban benar terhadap suatu aitem dengan kemampuan individu (Camilli & Shepard, 1994):
1. Uniform atau Consistent DIF, terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk keseluruhan aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang tidak berpotongan atau bersinggungan pada semua aitem skala kemampuan ya
2. Non-uniform atau inconsistent DIF: terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk beberapa aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Oleh karena itu, DIF dapat memberikan keseimbangan ataupun tidak pada masing-masing kelompok untuk ditingkat tertentu.
Kajian Psikometri menjelaskan bahwa DIF memiliki hubungan dengan validitas. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan dalam penelitian Salehi & Tayebi (2012) bahwa konsep mengenai proses validasi berhubungan secara umum dengan pembuatan tes dan juga dengan konsep keadilan tes dan bias tes, serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan hal tersebut (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lainlain) dan umumnya dapat memberikan ancaman terhadap validitas tes (Salehi & Tayebi, 2012). Ketika membahas mengenai validitas dalam pengukuran, maka sangat penting untuk menilai secara utuh bahwa validitas merupakan sebuah konsep ilmiah dan merupakan hal yang penting dalam ilmu pengukuran.
Menurut American Educational Research Association, dkk (1999 dalam Osterlind, 2010), validitas merupakan hal yang menjadi pertimbangan utama ketika hendak mengembangkan dan mengevaluasi suatu tes (Osterlind, 2010).
Selain validitas, karakterisitk lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah alat ukur adalah reliabilitas. Reliabilitas hasil pengukuran memiliki hubungan dengan kesalahan (error), yaitu random error, yaitu kesalahan yang terjadi karena adanya perbedaan antara skor yang sebenarnya (true score) dan skor yang diamati (observed score) pada individu yang dapat berpengaruh kepada hasil kelompok. Hubungan antara reliabilitas dengan DIF adalah bahwa DIF terjadi karena adanya kesalahan (error) dalam pengukuran, yaitu kesalahan sistematis (systematic error), yaitu kesalahan yang melibatkan respon kelompok yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Oleh karena itu, munculnya kesalahan dalam pengukuran dapat menghasilkan reliabilitas yang rendah (Osterlind, 2010). Jadi, aitem yang mengandung DIF bisa dikatakan sebagai aitem yang memiliki kesalahan (error) karena bersifat tidak adil untuk dua kelompok yang berasal dari populasi yang berbeda dan dapat mengakibatkan pengukuran menjadi tidak reliabel.
Definisi Differential Item Functioning (DIF) (skripsi dan tesis)
Definisi DIF adalah istilah teknis dalam ilmu pengukuran. DIF merupakan keadaan yang menyatakan bahwa fakta-fakta empiris yang telah dianalisis menggunakan metodologi yang terstandarisasi menunjukkan bahwa sebuah aitem tes bekerja secara berbeda untuk dua kelompok atau lebih. Semua prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF perlu mempertimbangkan variasi kemampuan kelompok (Osterlind & Everson, 2009 dalam Osterlind, 2010). DIF juga menjelaskan performansi aitem secara individual dan tidak dihubungkan dengan tes secara keseluruhan (Osterlind, 2010). Selain definisi diatas, Thiesse, Steinberg & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa DIF merupakan kondisi sebuah aitem yang berfungsi secara berbeda untuk responden dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan kata lain, responden dengan kesamaan pada level trait laten, tetapi berasal dari populasi yang berbeda memiliki kemungkinan berbeda dalam merespon sebuah aitem.
Menurut kajian psikometri, awalnya diskusi mengenai DIF berada pada tataran emosional dan politik yaitu mengenai tes yang dianggap adil dan konsekuensi dari penggunaan tes terhadap pengambilan keputusan, kemudian diskusi terkini yang dilakukan oleh Camilli (dalam Osterlind, 2010) mengenai tes yang adil dipandang dari perspektif yang lebih luas, yaitu meliputi dampak dan penggunaan tes yang bersifat merugikan. Banyak ahli psikometri yang menguji masalah-masalah praktis pengujian DIF memfokuskan usaha-usaha mereka pada pengidentifikasian secara akurat terhadap fenomena tersebut (Osterlind, 2010). Istilah DIF sering dianggap sama dengan bias aitem. Beberapa penelitian menyatakan bahwa istilah DIF dan bias aitem sering dipertukarkan. Sebaliknya, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa DIF dan bias aitem merupakan dua konsep yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Ellis & Raju (dalam Acar, 2011) menggunakan istilah DIF yang sering dipertukarkan dengan bias aitem. Pada akhir tahun 1980an, istilah DIF berubah posisi dari istilah ‘bias aitem’. DIF mengungkap perbedaan dalam kesempatan menjawab aitem dengan benar dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan tiap kelompok yang telah diukur disesuaikan dengan aitem (Embretson & Reise, 2000; Lord, 1980 dalam Acar, 2011). Dalam studi mengenai DIF, diperlukan perbandingan performansi pada aitem tes suatu kelompok pada tingkat kemampuan yang sama tetapi memiliki karakteristik demografis yang berbeda, seperti pria-wanita atau Asia-Eropa (Greer, 2004 dalam Acar, 2011). Sebaliknya, Camilli, dkk (dalam Zumbo, 1999) menjelaskan bahwa konsep mengenai DIF dan Bias merupakan dua hal yang berbeda. Bias aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung untuk menjawab aitem dengan benar (atau menyetujui pernyataan dalam aitem) dibandingkan peserta individu dari kelompok lainnya, karena beberapa karakteristik dari aitem yang dipakai dalam mengukur atau situasi pengukuran yang tidak relevan dengan tujuan tes.
Sedangkan DIF merupakan sebuah kondisi yang terjadi ketika pengujian terhadap dua kelompok menunjukkan kemungkinan untuk menyetujui atau tidak menyetujui aitem yang berbeda,karena faktor-faktor seperti ras, budaya, kebangsaan, daerah demografis, dan lain-lain, setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan (Camilli & Shepard, 1994; Clauser & Mazor, 1998 dalam Zumbo, 1999). Dalam penelitian ini menggunakan konsep DIF yang sama dengan bias aitem. Hal ini dikarenakan DIF merupakan bagian dari bias, yaitu dua kelompok berasal dari populasi yang berbeda memiliki kesempatan yang berbeda dalam menyetujui aitem setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa karakteristik seperti budaya, demografis, ras, dan lainlain
Big Five Inventory (BFI) (skripsi dan tesis)
Berbicara mengenai kebutuhan akan sebuah instrumen pendek untuk mengukur komponen khusus dari Big Five, maka John, Donahue dan Kentle (dalam John & Srivastava, 1999) mengkonstrak Big Five Inventory (BFI). Empat puluh empat aitem BFI dikembangkan merepresentasikan definisi asli yang dikembangkan berdasarkan penilaian ahli dan kemudian dilakukan pembuktian dengan analisis faktor dan pembuktian terhadap penilaian kepribadian oleh pengamat. Tujuan dari pembuatan alat ukur singkat ini adalah agar tercipta alat ukur yang efisien dan fleksibel dari kelima faktor tersebut. Terdapat juga tokoh yang menjelaskan mengenai BFI tersebut, yaitu Burisch (dalam John & Srivastava, 1999) mengatakan bahwa skala yang singkat tidak hanya mempersingkat waktu tes, tetapi juga menghindari kebosanan dan kelelahan yang dialami subjek, subjek yang tidak memberikan respon yang sesungguhnya jika tes terlihat membutuhkan waktu yang panjang. BFI tidak menggunakan kata sifat tunggal sebagai aitem karena aitem seperti itu direspon dengan tidak konsisten dibandingkan ketika aitem ditambahkan definisi ataupun kalimat tertentu (Goldberg & Kilkowski, 1985 dalam John & Srivastava, 1999). BFI menggunakan frase yang singkat didasarkan kata sifat yang diketahui merepresentasikan kelima faktor Big Five (John, 1989, 1990 dalam John & Srivastava, 1999).
Kata sifat yang ada pada faktor Big Five disajikan sebagai inti dari aitem dimana informasi yang jelas, luas, dan kontekstual menjadi tambahan. Contohnya, kata sifat dari faktor ‘Openness’ merupakan kata sifat yang original kemudian menjadi aitem BFI muncul dengan definisi ‘berhubungan dengan ide Universitas Sumatera Utara baru’ dan kata sifat untuk faktor ‘Conscientiousness’ disajikan sebagai dasar untuk aitem dengan tambahan ‘bertahan hingga tugas diselesaikan’. Aitem-aitem yang ada dalam BFI memberikan keuntungan dengan kata sifat (ringkas dan sederhana) yaitu dapat mencegah ambiguitas atau arti ganda (multiple meaning). Ketika dilakukan pengujian pada sampel yang berasal dari negara Kanada dan Amerika Serikat, diperoleh reliabilitas alpha skala BFI berkisar antara 0.75 sampai 0.90 dan rata-rata reliabilitas tiap faktor diatas 0.80; reliabilitas tes retesnya dalam rentang waktu tiga bulan berada antara 0.80 sampai 0.85 dimana memiliki mean sebesar 0.80 (John & Srivastava, 1999). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Mariyanti (2012) diperoleh reliabilitas alpha skala sebesar 0.70, yang berarti bahwa BFI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia memiliki reliabilitas yang baik. BFI yang digunakan dalam penelitian ini adalah BFI yang telah diadaptasi kedalam versi bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Mariyanti (2012).
Berdasarkan teori tersebut ditemukan bahwa terjadi perbedaan indikator dari kelima faktor yang menyusun alat ukur BFI versi adaptasi Bahasa Indonesia, yaitu (Mariyanti, 2012):
1. Openness (O) adalah faktor yang melihat keterbukaan individu untuk mencari tantangan dan hal-hal baru. Seseorang dikatakan terbuka terhadap pengalaman (open to experience) ketika memiliki karakteristik seperti cerdas dan suka berpikir, memiliki ide-ide inovatif, percaya diri, mampu mempertimbangkan dan membuat suatu rencana dan menjalankannya serta memiliki rasa ingin tahu yang besar.
2. Neuroticism (N) adalah faktor yang mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis, yaitu mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas berlebihan, memiliki dorongan berlebihan, tidak bisa menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Selain itu juga terlihat dalam bentuk perilaku mudah tersinggung (irritability) dan pemarah (hostile). Seseorang dikatakan neurotis ketika individu tersebut mudah merasa tertekan dan sedih, tidak mampu menghadapi situasi stress dengan baik, pencemas, suasana hati mudah berubah, labil, pemalu dan perhatiannya mudah terganggu.
3. Conscientiousness (C) adalah faktor yang melihat kesadaran diri, motivasi dan kemampuan mengorganisasikan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan. Seseorang dikategorikan dalam faktor Conscientiousness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti teliti, terorganisir, tidak pemalas, menyukai suatu pekerjaan yang rutin serta mampu bertahan dan mengerjakan suatu tugas hingga selesai.
4. Extraversion (E) adalah faktor yang melihat aktivitas yang dilakukan seharihari dan kemampuan melakukan hubungan interpersonal individu. Seseorang dikatakan extrovert apabila individu tersebut suka mengobrol, tidak pendiam, santai, mudah bergaul dan senang bekerjasama dengan orang lain.
5. Agreeableness (A) adalah faktor yang melihat kualitas trust dan seni individu. Seseorang dikategorikan dalam faktor Agreeableness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti senang membantu dan tidak egois, mudah memaafkan dan mempercayai orang lain, dan memiliki apresiasi terhadap seni, musik atau sastra.
Keuniversalan Dimensi Big Five
Jika ada pertanyaan umum yang fokus pada perbedaan individu dan interaksi manusia, maka untuk menjawab hal ini perlu dilakukan pembuktian terhadap keuniversalan struktur faktor Big Five. Untuk membuktikan keuniversalan faktor Big Five, sejumlah penelitian lintas budaya mengenai trait kepribadian semakin meningkat secara dramatis pada dekade sebelumnya, terutama penelitian yang dilakukan secara internasional oleh tim yang berasal dari negara yang berbedabeda. Hal ini mungkin dapat menjadi awal untuk menjawab pertanyaan tersebut mengenai keuniversalan Big Five (Pervin, dkk, 2005). Penelitian lintas budaya sangat penting untuk menjadi acuan dalam menjawab keuniversalan faktor Big Five. Namun, sebelum melihat hasil dari penelitian, satu hal yang perlu diperhatikan yaitu metode yang digunakan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian, yaitu mengenai apakah Big Five bersifat universal, masalah metodologi dapat memberikan suatu perbedaan besar. Salah satu masalahnya meliputi penejermahan. Banyak peneliti yang mempelajari apakah trait kepribadian bersifat universal hanya dengan menerjemahkan kuesioner dari satu bahasa asli (seperti bahasa Inggris) menjadi beberapa bahasa yang lain (seperti bahasa Jerman, Jepang, dan lain-lain), tanpa mempertimbangkan terjemahan tersebut dapat bersifat menjebak, dan mungkin juga kurang satu persatu kata dari tiap terjemahan dan pemaknaan yang berbeda juga. Bahasa boleh berbeda dan bahkan kata-kata yang diterjemahkan sama dapat memiliki arti yang berbeda. Contohnya adalah kata “aggressive” dalam bahasa Inggris memiliki makna yang berbeda dengan kata yang sama dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman, kata “aggressive” memiliki arti “hostile (bersifat mengancam)” dibanding “forceful-assertive (ketegasan yang berlebihan) (Pervin, dkk, 2005). Sebuah resensi kuantitatif yang dilakukan oleh De Raad, dkk (dalam Pervin, dkk, 2005) membandingkan banyak penelitian Eropa, dan menyimpulkan bahwa faktor yang mirip dengan Big Five muncul dalam banyak bahasa tetapi faktor Openness yang paling sedikit muncul. Hanya sedikit penelitian pada budaya dan bahasa non-western yang pernah dilakukan (seperti Cina, Jepang, Filipina) dan faktor Openness tidak begitu terlihat. Penelitian-penelitian yang ada menemukan bahwa tiga faktor yaitu extraversion, agreeableness dan conscientiousness dapat ditemukan di hampir semua bahasa, hanya dua faktor lain yaitu neuroticism dan openness yang kurang reliabel secara lintas budaya (Saucier, Hampson, & Goldberg dalam Pervin, dkk, 2005). Penelitian yang ada di Indonesia, yaitu yang dilakukan oleh Mastuti (2005) menemukan bahwa terdapat satu faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor pada mahasiswa suku Jawa. Selain itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Mariyanti (2012) menemukan lima faktor yang ada pada Big Five tersebut ketika diberikan pada sampel yang lebih umum, dan penelitian Samosir (2013) menemukan bahwa terdapat dua faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor terhadap suku Batak Toba. Memandang perbedaan hasil tersebut, maka sangat perlu dilakukan pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada Big Five Inventory.
Sejarah Teori Kepribadian Big Five (skripsi dan tesis)
Trait adalah unit fundamental dari kepribadian, yang mewakili watak secara luas untuk merespon suatu kondisi dengan cara tertentu. Penelitian mengenai trait kepribadian membutuhkan model persetujuan yang general mengenai penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Selama 40 tahun terakhir, sejumlah konsep kepribadian, dan sejumlah skala pertanyaan didesain untuk mengukur trait kepribadian tersebut, dan hal ini semakin meluas tanpa ada akhir yang jelas. Dalam bahasa inggris sendiri, terdapat lebih dari 5000 kata yang menjelaskan trait kepribadian (Pervin, dkk, 2005). Selama bertahun-tahun, para peneliti trait termasuk Eysenck, Cattell, dan yang lainnya telah melakukan perdebatan mengenai jumlah dan asal dimensi dasar trait kepribadian. Namun hal ini tidak terselesaikan, hingga tahun 1980an terdapat perkembangan secara bertahap dalam kualitas dan pengalaman metode, yang berujung pada banyaknya peneliti yang setuju bahwa perbedaan individu dapat dikategorikan ke dalam lima faktor bipolar yang dikenal sebagai “Big Five” (John & Srivastava; McCrae & Costa dalam Pervin, dkk, 2005). Kelima faktor yang berbeda-beda tersebut adalah Neuroticism (N), Extraversion (E), Openness (O), Agreeableness (A), dan Conscientiousness (C), yang sering disingkat dengan sebutan OCEAN. Masing-masing faktor dalam BFI tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Pervin, dkk, 2005):
1. Neuroticism (N). Mengidentifikasi kecenderungan individu akan mengalami kondisi psikologis yang kurang baik, memiliki ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan tidak dapat menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Emotional Stability
2. Extraversion (E). Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, aktivitas yang dilakukan, kebutuhan akan stimulasi, melakukan hal yang disenangi. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Introversion
3. Openness (O). Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru bagi dirinya sendiri, senang mengetahui sesuatu yang tidak terkenal atau tidak familiar. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Closedness
4. Agreeableness (A). Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Antagonism.
5. Conscientiousness (C). Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecenderungan untuk menjadi malas dan lemah. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Lack of Direction
Motif-motif yang Mendasari Organizational Citizenship Behavior (OCB) (skrispi dan tesis)
Seperti halnyasebagian besar perilaku yang lain, Organizational
Citizenship Behavior (OCB) ditentukan oleh banyak hal, artinya tidak ada
penyebab tunggal dalam Organizational Citizenship Behavior (OCB). Sesuatu
yang masuk akal bila kita menerapkan Organizational Citizenship Behavior
(OCB) secara rasional.Salah satu pendekatan motif dalam perilaku organisasi
seperti yang ditulis dalam salah satu penelitian dengan konsep salah satu
variabel Organizational Citizenship Behavior milik Hardaningtyas (2004)
berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya. Menurut McClelland,
manusia mempunya tiga motif, yaitu:
a) Motif Berprestasi
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dianggap sebagai alat untuk
menunjukkan prestasi dalam tugas kerjanya.Ketika prestasi menjadi motif
organizational citizenship behavior muncul karena perilaku tersebut
dipandang perlu untuk kesuksesan tugas tersebut.Karyawan yang memiliki
motif prestasi memandang tugas dan perspektif yang lebih menyeluruh.
Karyawan yang berorientasi pada prestasi akan tetap menunjukkan
Organizational Citizenship Behavior selama cukup kesempatan untuk
melakukannya, hasil-hasil penting didasarkan pada penampilan kerja pribadi
masyarakat, tujuan tugas yang telah terdefenisi secara jelas dan feedback
penampilan kerja yang diterima. Karyawan yang berorientasi pada prestasi
memperlihatkan perilaku Organizational Citizenship Behavior sebagai suatu
kontribusi yang unik terhadap unit kerja, membantu unit tersebut untuk
bekerja lebih efisien.
b) Motif Afiliasi
Van Dyne (1994) menggunakan istilah afiliatif sebagai kategori perilaku
extra-role yang melibatkan Organizational Citizenship Behavior dan perilaku
prososial organisasi untuk membentuk dan memelihara hubungan dengan
orang lain atau organisasi. Karyawan yang berorientasi pada afiliasi
menunjukkan Organizational Citizenship Behavior karena mereka
menempatkan nilai orang lain dan hubungan kerjasama. Motif afiliasi
dipandang sebagai suatu komitmen terhadap pemberian pelayanan pada orang lain. Karyawan yang berorientasi pada afiliasi membantu orang lain karena mereka membutuhkan bantuan, atau menyampaikan suatu informasi karena hal tersebut menguntungkan penerima. Karyawan ini akan bersungguh-sungguh karena seseorang (atasan ataupun pelanggan) membutuhkan mereka.
Hasil penampilan kerja mereka tidak sebanyak perhatian tentang keuntungan
yang diterima oleh orang lain. Mereka menempatkan prioritas pada
Organizational Citizenship Behavior(OCB), meskipun kadang-kadang
merugikan dirinya sendiri.
Karyawan yang berorientasi pada afiliasi akan menunjukkan komitmen
terhadap orang lain dalam organisasi dengan rekan kerja, manajer dan
supervisor. Perilaku menolong, berkomunikasi, bekerjasama, dan
berpartisipasi kesemuanya muncul dari keinginan mereka untuk memiliki dan
tetap berada dalam kelompok. Selama karyawan tersebut memahami bahwa
kelompok tersebut bernilai, Organizational Citizenship Behavior (OCB)
akantetap berlanjut. Pada karyawan yang berorientasi pada afiliasi pemberian
pelayanan orang lain merupakan prioritas utama.
c) Motif Kekuasaan
Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menganggap OCB
merupakan alat untuk mendapatkan kekuasaan dan status dengan figur otoritas dalam organisasi.Tindakan-tidakan organizational citizenship behavior
didorong oleh suatu komitmen terhadap agenda karir seseorang. Karyawan
yang berorientasi pada kekuasaan, menolong orang lain, berkomunikasi lintas
departemen atau memberikan masukan dalam proses organisasi adalah agar
dapat terlihat peran kekuasaanya. Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menginvestasikan modalnya dengan menampilkan organizational citizenship behavior dan membangun landasan untuk kekuasaan mereka melalui organizational citizenship behavior
Faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (OCB) (skripsi dan tesis)
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya OCB cukup kompleks dan
terkait satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi OCB adalah faktor
budaya dan iklim organisasi, kepribadian, suasana hati, dukungan
organisasional, kualitas interaksi atasan-bawahan, masa kerja dan jenis
kelamin.
1) Budaya dan Iklim Organisasi
Menurut Organ (Borman & Botowidlo, 1997), terdapat bukti-bukti
kuat yang mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan kondisi
awal yang utama yang memicu terjadinya OCB. Sloat (Borman &
Botowidlo, 1997) berpendapatbahwa karyawan cenderung melakukan
tindakan yang melampaui tanggung jawab kerja mereka apabila mereka
merasa puas dengan pekerjaannya, menerima perlakuan yang positif dan
penuh perhatian dari para pengawas, percaya bahwa mereka diperlakukan
adil oleh organisasi.
Iklim organisasi dan budaya organisasi dapat menjadi penyebab kuat
atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi. Di dalam iklim
organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan
pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam uraian pekerjaan
dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan
oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya
bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya.
2) Kepribadian dan Suasana Hati
Kepribadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap
timbulnya perilaku OCB secara individual maupun kelompok. Geoge dan
Brief (Borman & Botowidlo, 1997) berpendapat bahwa kemauan
seseorang untuk membantu orang lain juga dipengaruhi oleh suasana hati.
Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang untuk
seseorang membantu orang lain.
3) Persepsi terhadap Dukungan Organisasional
Studi Shore & Wayne (Borman & Botowidlo, 1997)menemukan
bahwa persepsi terhadap dukungan organisasional dapat menjadi predictor
OCB. Pekerja yang merasa mereka didukung oleh organisasi akan
memberikan timbal baliknya dan menurunkan ketidakseimbangan dalam
hubungan tersebut dengan terlibat dalam OCB.
4) Persepsi terhadap Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan
Kualitas interaksi atasan-bawahan juga diyakini sebagai prediktor
OCB. Miner (Borman & Botowidlo, 1997)mengemukakan bahwa interaksi
atasan-bawahan yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti
meningkatnya kepuasan kerja, produktifitas dan kinerja karyawan.
Ringgio (Borman & Botowidlo, 1997) menyatakan bahwa apabila
interaksi atasan-bawahan berkualitas maka seorang atasan akan
berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan
merasakan atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini
meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga
mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh
atasan mereka.
5) Masa kerja
Karakteristik personal seperti masa kerja dan jenis kelamin
berpengaruh pada OCB. Karyawan yang telah lama bekerja di suatu
organisasi akan memiliki keterdekatan dan keikatan yang kuat terhadap
organisasi tersebut. Masa kerja lama juga akan meningkatkan rasa percaya
diri dan kompetensi karyawan dalam melakukan pekerjaannya, serta
menimbulkan perasaan dan perilaku positif terhadap organisasi yang
mempkerjakannya Greenberg dan Baron (Borman & Botowidlo, 1997).
6) Jenis Kelamin
Konrad et al (Borman & Botowidlo, 1997)mengemukakan bahwa
perilaku-perilaku kerja seperti menolong orang lain, bersahabat dan
bekerjasama dengan orang lain lebih menonjol dilakukan oleh wanita
daripada pria. Lovell (Borman & Botowidlo, 1997) juga mengemukakan
perbedaan yang cukup signifikan antara pria dan wanita dalam tingkatan
OCB mereka, dimana perilaku menolong wanita lebih besar daripada
pria.Morisson (1994) juga membuktikan bahwa ada perbedaan persepsi
terhadap OCB antar pria dan wanita dimana wanita menganggap OCB
merupakan bagian dari perilaku in-role mereka dibanding pria
Aspek-aspek Organizational Citizenship Behavior (OCB) (skripsi dan tesis)
Organ (2005) mengemukakan lima dimensi primer dari OCB yaitu
altruism, civic virtue (proaktif), concientiousness (ketaatan), courtesy
(kesopanan), sportsmanship (toleransi).
1) Altruism/Helping, yaitu perilaku pegawai dalam menolong rekan
kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang
dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah
pribadi orang lain.
2) Civic Virtue, yaitu perilaku mengindikasikan tanggung jawab pada
kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi,
mengambil insiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi
atau prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi
sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi), mengarah pada
tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk
meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.
3) Conscientiousnes (ketaatan)adalah perilaku yang ditunjukkan
dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku
sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas pegawai.
4) Courtesy (kesopanan) adalah perilaku yang bersifat menjaga
hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah
interpersonal. Perilaku ini menunjukkan adanya penghargaan
terhadap hak-hak orang lain yang bertujuan untuk mencegah
munculnya masalah-masalah pekerjaan yang berkaitan dengan
karyawan lain.
5) Sportmanship (perilaku sikap sportif atau toleransi) adalah perilaku
yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal
dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Dengan
kata lain perilaku ini mengindikasikan adanya keinginan untuk
mentolerir keadaan yang kurang ideal dengan tidak membuat isuisu yang merusak meskipun merasa tidak menyenangkan.
Selain itu, menurut William & Anderson (1991) OCB ada dua bagian
yaitu Organizational Citizenship Behavior (OCB-I) dan Organizational
Citizenship Behavior (OCB-O). OCB-I adalah perilaku yang secara
berkesinambungan memberikan manfaat bagi individu tetapi secara langsung
juga memberi manfaat pada kelangsungan organisasi. Salah satu contohnya
adalah membantu pekerjaan karyawan lain yang sedang tidak masuk.
Sedangkan OCB-O adalah perilaku yang bermanfaat bagi organisasi secara
keseluruhan misalnya mematuhi peraturan formal yang sudah ada
Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB) (skripsi dan tesis)
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan
yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan,
namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
Organizational Citizenship Behavior menurut Van Dyne et al.
(1995)adalah perilaku-perilaku yang dilakukan oleh karyawan yang tidak
secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari system reward
formal dan merupakan faktor pendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi.
Selain itu OCB sifatnya sukarela dikarenakan tidak diharuskan oleh
persyaratan peran atau deskripsi jabatan dan merupakan pilihan personal.
Kumar et al. (2009) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang
memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak
berkaitan langsung dengan sistem reward organisasi.
Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) menurut Organ
(2005) adalah perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang
tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan
perilaku positif berupa kontribusi individu yang mendalam melebihi tuntutan
peran di tempat kerja dan dilakukan tanpa ada paksaan dari siapapun. Atau
dengan kata lain perilaku ini ditunjukkan karyawan atas inisiatif sendiri dalam
melakukan pekerjaan diluar uraian tugasnya tanpa mengaharpkan reward dari
perusahaan namun dapat meningkatkan efektifitas dan fungsi organisasi.
Dilihat dari definisinya, OCB sangat baik untuk perusahaan maupun
karyawannya sendiri, karena selain meningkatkan produktivitas kinerja tetapi
juga dapat meningkatkan hubungan positif antar karyawan
Teori Motivasi McClelland (skripsi dan tesis)
David C. McClelland bersama asosiasinya dari Harvard University di
Amerika Serikat melakukan penelitian mengenai dorongan prestasi karyawan
selama 20 tahun. McClelland menekankan pentingnya kebutuhan akan
prestasi, karena kebutuhan akan prestasi merupakan cadangan energi potensial yang sangat besar dan orang yang berhasil dalam bisnis dan industri adalah orang yang berhasil menyelesaikan sesuatu. Teori ini berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi diatas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain (Thoha, 2009).
McClelland (Notoatmodjo, 2009) mengatakan bahwa dalam diri manusia
ada dua motivasi atau motif, yakni motif primer atau motif yang tidak
dipelajari, dan motif sekunder (motif sosial) atau motif yang dipelajari melalui
pengalaman serta interaksi dengan orang lain. Motif primer atau motif yang
tidak dipelajari ini secara alamiah timbul pada manusia secara biologis. Motif
ini mendorong seseorang untuk terpenuhinya kebutuhan biologisnya seperti
makan, minum, seks, dan kebutuhan-kebutuhan biologis lain. Sedangkan
motif sekunder adalah motif yang ditimbulkan karena dorongan dari luar
akibat interaksi dengan orang lain atau interaksi sosial.
Menurut McClelland (Yuwono, 2005), individu memperoleh sejumlah
kebutuhan dari budaya masyarakat yang dipelajari melalui sesuatu yang
mereka alami, khususnya di masa awal kehidupan. Ada 3 (tiga) kebutuhan
yang dipelajari seseorang dari lingkungan, yaitu:
a) Kebutuhan Berprestasi (Need for Achievement)
Menurut Notoatmodjo (2009), berprestasi adalah suatu dorongan yang
ada pada setiap manusia untuk mencapai hasil kegiatannya atau hasil
kerjanya secara maksimal. Secara naluri setiap orang mempunyai
kebutuhan untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya lebih baik dari
sebelumnya, dan bila mungkin lebih baik dari orang lain. Kebutuhan
berprestasi ini tercermin dalam dunia kerja, antara lain berani mengambil
tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya, selalu mencari
umpan balik terhadap keputusan atau tindakan-tindakannya yang berkaitan
dengan tugas-tugasnya, selalu berusaha melaksanakan pekerjaannya atau
tugasnya dengan cara-cara baru atau inovatif dan kreatif, senantiasa tidak
atau belum puas terhadap setiap pencapaian kerja atau tugas, dan
sebagainya.
Walandouw dkk. (1988) mendefenisikan kebutuhan akan prestasi
merupakan keinginan untuk berprestasi lebih baik atau menganggap
berprestasi lebih baik itu adalah penting. Ukuran keberhasilan disini
didasarkan standard yang ada dalam diri individu yang dimaksud dengan
keinginan berprestasi adalah apabila seseorang mengarahkan pikiran dan
tingkah lakunya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik, disadari atau
tidak. Keinginan yang timbul secara spontan ini akan membuat seseorang
menjadi aktif, dia akan selalu mencari hal-hal yang dirasakan menantang,
ingin mendapatkan umpan balik, tidak mau menerima pengarahan dari
orang lain. Menurut Walandow dkk, orang yang mempunyai dorongan
berprestasi yang tinggi akan memperlihatkan ciri-ciri tingkah laku sebagai
berikut :
1) Bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan-perbuatannya.
2) Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru.
3) Mencari hasil penilaian dari apa yang telah dikerjakannya.
4) Memilih resiko yang sedang didalam perbuatannya.
Sedangkan Usman (2010) mendefinisikan kebutuhanberprestasi
sebagai dorongan dari dalam diri untuk mengatasi segala tantangan dan
hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Menurut Usman, orang yang
kebutuhan berprestasinya tinggi mempunyai ciri-ciri:
1) Berusaha mencari umpan balik atas segala perbuatannya, selalu
bersedia mendengarkan pendapat orang lain sebagai masukan
dalam memperbaiki dirinya.
2) Berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan (menantang
dan terwujud) melebihi orang lain, lebih unggul, ingin menciptakan
yang terbaik.
3) Berusaha melakukan sesuatu secara inovatif dan kreatif (sesuatu
yang baru, sesuatu yang tiada duanya), banyak gagasan, dan
mampu mewujudkan sistem yang membatasi geraknya kearah yang
lebih positif.
4) Merasa dikejar-kejar waktu, pandai mengatur waktunya, yang
dapat dikerjakan sekarang jangan ditunda hari esok.
5) Bekerja kerasa dan bangga atas hasil yang telah dicapai.
b) Kebutuhan untuk Berafiliasi (Need for Affliation)
Kebutuhan untuk berafiliasi didefenisikan McClelland (Yuwono,
2005) sebagai suatu ketertarikan pada orang lain yang bertujuan untuk
meyakinkan perasaan bahwa dirinya dapat diterimaoleh mereka. Menurut
Walandouw dkk. (1988), kebutuhan untuk berafiliasi ini didefenisikan
sebagai suatu keinginan bersahabat atau berada bersama orang lain. Orang
yang kebutuhan untuk berafiliasinya tinggi memperlihatkan ciri-ciri
tingkah laku sebagai berikut :
1) Lebih suka bersama orang lain dari pada sendirian.
2) Sering berhubungan dengan orang lain, misalnya bercakap-cakap
lewat telepon.
3) Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi dalam pekerjaan
daripada segi tugas-tugas yang ada pada pekerjaan itu.
4) Melakukan pekerjaannya lebih giat apabila bekerja bersama-sama
dengan orang lain. Menjalin “pertemanan” atau persahabatan
dengan orang lain terutama dengan peer group-nya, dalam
melakukan pekerjaan atau tugas lebih mementingkan team work
daripada kerja sendiri, dalam melakukan tugas atau pekerjaaan
lebih merasa efektif bekerja sama dengan orang lain daripada
sendiri, setiap pengambilan keputusan berhubungan dengan tugas
cenderung meminta persetujuan atau kesepakatan orang lain atau
kawan sekerjanya, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Usman (2010) kebutuhan untuk berafiliasi ini
didefenisikan sebagai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain
atau dorongan untuk memiliki sahabat sebanyak-banyaknya. Orang yang
kebutuhan berafiliasinya tinggi bercirikan sebagai berikut:
1) Lebih suka berkomunikasi dan bersama dengan orang lain.
2) Lebih mengutamakan hubungan pribadi dari pada tugas kerja.
3) Selalu bermusyawarah untuk mufakat dengan orang lain.
4) Lebih efektif apabila bekerja sama dengan orang lain.
c) Kebutuhan untuk Berkuasa (Need for Power)
Kebutuhan untuk berkuasa didefenisikan McClelland (Yuwono, 2005)
sebagai kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan, mempengaruhi
perilaku orang lain dan mengambil tanggung jawab atas mereka. Menurut
Walandouw dkk. (1988) ada beberapa indikasi yang menunjukkan
tindakan yang bermotif kekuasaan, antara lain: melakukan tindakantindakan yang bersifat keras (misalnya menyerang), berusaha
menimbulkan kesan pada orang lain (misalnya berusaha menang dalam
suatu pemilihan), berusaha mengendalikan orang lain (misalnya mengatur
cara tingkah laku orang lain). Selanjutnya, menurut McClelland
(Walandouw, 1988) mengemukakan bahwa motivasi kekuasaan
mempunyai “two faces” (dua muka), yaitu :
1) Kekuasaan Sosial (Socialized Power)
Motivasi ini muncul dalam bentuk pikiran untuk menggunakan
kekuasaan demi kepentingan orang lain. Dalam hal kegiatan, orang
yang memiliki kekuasaan sosial suka berorganisasi dan biasanya
menjadi salah satu pengurus.
2) Kekuasaan Pribadi (Personalized Power)
Motivasi ini muncul dalam bentuk pikiran, menggunakan kekuasaan
untuk menaklukkan lawan, untuk memperoleh kemenangan atas
lawan, hidup ini ditandai oleh perasaan kalah menang.Dalam hal
kegiatan, kekuatan pribadi ini dimanifestasikan misalnya dengan
mengumpulkan barang-barang yang menunjukkan prestise, minumminuman keras secara berlebihan.
Menurut Usman (2010), kebutuhan untuk berkuasa merupakan
dorongan untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk pada kehendaknya.
Orang yang kebutuhann berkuasanya tinggi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Sangat aktif menentukan arah organisasi
2) Sangat peka terhadap pengaruh antar pribadi dan kelompok
3) Mengutamakan prestise
4) Mengutaakan tugas kerja daripada hubungan pribadi
5) Suka memerintah dan mengancam dengan sanksi
Menurut Walandouw dkk. (1988),seseorang yang mempunyai
dorongan kekuasaan yang tinggi akan memperlihatkan ciri-ciri tingkah
laku sebagai berikut :
1) Sangat aktif dalam menentukan tujuan kegiatan dari organisasi dimana
ia berada
2) Mudah tergerak oleh bentuk pengaruh antar pribadi dari kelompok
atau organisasi
3) Mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu
perkumpulan yang dapat mencerminkan harga diri
4) Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongan itu tidak diminta.
Ketiga jenis kebutuhan motivasi yang melatarbelakangi seseorang ini
menurut McClelland merupakan motivasi sosial yang mendasari tingkah
laku individu sehari-hari, hanya saja derajat kekuatannya tidak sama. Pada
satu situasi, mungkin kebutuhan akan persahabatan lebih kuat, namun
pada situasi lain mungkin kebutuhan akan kekuasaan yang lebih berperan.
Jadi kebutuhan mana yang lebih mendominasi seseorang untuk
bertingkahlaku sangat dipengaruhi oleh situasi dimana tingkah laku
tersebut akan muncul (Walandouw dkk., 1988)
Bentuk Motivasi (skripsi dan tesis)
Menurut Suwatno (2011), terdapat dua bentuk motivasi, yaitu sebagai
berikut:
a) Motivasi Intrinsik
Motivasi ini adalah pendorong kerja yang bersumber dari dalam diri
pekerja sebagai individu, berupa kesadaran mengenai pentingnya atau
manfaat/makna pekerjaan yang dilaksanakannya. Faktor individual
yang biasanya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu adalah:
1) Minat, yaitu seseorang akan merasa terdorong untuk melakukan
suatu kegiatan jika kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang
sesuai minatnya.
2) Sikap positif, yaitu seseorang yang mempunyai sifat positif
terhadap suatu kegiatan dengan rela ikut dalam kegiatan tersebut,
dan akan berusaha sebisa mungkin menyelesaikan kegiatan yang
bersangkutan dengan sebaik-baiknya.
3) Kebutuhan, yaitu setiap orang mempunyai kebutuhan tertentu dan
akan berusaha melakukan kegiatan apapun asal kegiatan tersebut
bisa memenuhi kebutuhannya.
b) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ini adalah pendorong kerja yang bersumber dari luar diri
pekerja sebagai individu, berupa suatu kondisi yang mengharuskannya
melaksanakan pekerjaan secara maksimal.Misalnya, berdedikasi
tinggi dalam bekerja karena upah/gaji yang tinggi, jabatan/posisi yang
terhormast atau memiliki kekuasaan yang besar, pujian, hukuman, dan
lain-lain.
Menurut F. Hezberg (Suwatno, 2011), terdapat dua faktor utama di
dalam organisasi atau perusahaan yang membuat karyawan merasa puas
terhadap pekerjaan yang dilakukan, dan kepuasaan tersebut akan
mendorong mereka untuk bekerja lebih baik. Kedua faktor tersebut antara
lain:
1) Motivator, yaitu prestasi kerja, penghargaan, tanggung jawab yang
diberikan, kesempatan untuk mengembangkan diri dan
pekerjaannya itu sendiri.
2) Kesehatan kerja, merupakan kebijakan dan administrasi
perusahaan yang baik, supervise teknisi yang memadai, gaji yang
memuaskan, kondisi kerja yang baik dan keselamatan kerja.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi (skripsi dan tesis)
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi menurut Gibson
(Hasibuan, 2005) adalah sebagai berikut:
1) Usaha (effort), merupakan tenaga yang dikeluarkan orang pada saat
melakukan pekerjaan.
2) Kemampuan (ability), menunjukkan kemampuan seseorang seperti
kecerdasan dan keterampilan.
3) Variabel keorganisasian, yaitu pola pekerjaan, rentang kendali, gaya
kepemimpinan, afiliasi kelompok dari orang itu, dan teknologi.
4) Kepuasan (satisfaction), seperti imbalan dan ganjaran yang
berhubungan dengan prestasi kerja yang lalu.
5) Kebutuhan pribadi, merupakan tujuan dan persepsi individu atau
kelompok, cara untuk mewujudkan kebutuhan, tujuan dan persepsi.
metode motivasi (skripsi dan tesis)
Ada dua metode motivasi menurut Hasibuan( 2007) yaitu sebagai berikut
1) Motivasi Langsung (Direct Motivation)
Motivasi langsung adalah motivasi (materil dan nonmateril) yang
diberikan secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk
memebuhi kebutuhan serta kepuasannya.Jadi sifatnya khusus, seperti
pujian, penghargaan, tunjangan hari raya, bonus, dan bintang jasa.
2) Metode Tak Langsung (Indirect Motivation)
Motivasi tidak langsung adalah motivasi yang diberikan hanya
merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah
kerja/kelancaran tugas sehingga para karyawan betah dan bersemangat
melakukan pekerjaannya.Misalnya, kursi yang empuk, mesin-mesin yang
baik, ruangan kerja yang terang dan nyaman, suasana pekerjaan yang
serasi, serta penempatan yang tepat.Motivasi tidak langsung besar
pengaruhnya untuk merangsang semangat bekerja karyawan sehingga
produktivitas kerja meningkat.
Tujuan-tujuan Motivasi (skripsi dan tesis)
Tujuan dan manfaat dari motivasi menurut Hasibuan (2007) adalah
sebagai berikut :
1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
2) Meningkatkan produktivitas karyawan
3) Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan
4) Meningkatkan kedisplinan karyawan
5) Mengefektifkan pengadaan karyawan
6) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
7) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan
8) Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan
9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya
10) Meningkatkan efesiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
Definisi Motivasi (skripsi dan tesis)
Peranan manusia sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi.
Untuk menggerakkan manusia agar sesuai dengan yang dikehendaki
organisasi, maka haruslah dipahami motivasi manusia bekerja pada suatu
organisasi, karena motivasi inilah yang menentukan perilaku orang-orang
untuk bekerja atau dengan kata lain perilaku merupakan cerminan yang paling
sederhana dari motivasi.
Motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti dorongan dari dalam
diri manusia, daya penggerak atau kekuatan yang menyebabkan suatu
tindakan atau perbuatan. Kata “movere” yang dalam bahasa inggris sering
disepadankan dengan “motivation” yang berarti pemberian motif.
Menurut Notoatmodjo (2009), banyak pengertian mengenai motivasi,
antara lain adalah sebagai berikut:
a) Pengertian motivasi seperti yang dirumuskan oleh Terry G. (1986)
adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan (perilaku).
b) Sedangkan Stooner (1992) mendefenisikan bahwa motivasi adalah
sesuatu hal yang menyebabkan dan mendukung tindakan atau
perilaku seseorang.
c) Dalam konteks pengembangan organisasi, Flippo (1984)
merumuskan bahwa motivasi adalah suatu arahan pegawai dalam
suatu organisasi agar mau bekerjasama dalam mencapai keinginan
para pegawai dalam rangka pencapaian keberhasilan organisasi.
d) Hasibuan (1995) berpendapat bahwa motivasi adalah suatu
perangsang keinginan (want) dan daya penggerak kemauan
bekerja seseorang. Ia menambahkan bahwa semua motif
mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Robbins dan Judge (2007) mendefenisikan motivasi sebagai proses yang
menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu
tujuan. Sedangkan menurut Samsudin (2005) motivasi sebagai proses
mempengaruhi atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok
kerja agar mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Motivasi
dapat diartikan juga sebagai dorongan (driving force) dimaksudkan sebagai
desakan yang alami untuk memuaskan dan mempertahankan kehidupan.
Menurut Greenberg & Baron (dalam Yuwono, 2005), “motivation as a set
of process that arouse, direct, and maintain human behaviour toward
attaining some goal”. Defenisi ini memberi kita pengertian bahwa motivasi
adalah suatu proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan
menjaga/memelihara perilaku manusia agar terarah pada tujuan. Berdasarkan
defenisi tersebut, diketahui motivasi mempunyai 3 komponen.Komponen
pertama adalah arousal, sesuatu yang membangkitkan.Hal ini berkaitan
dengan dorongan (drive) atau energi dibalik perilaku. Misalnya seseorang
yang telah lulus sarjana ingin mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini dapat
menstimulasi orang tersebut melakukan berbagai hal untuk mencapai
keinginanya.Namun hal itu belum sepenuhnya menggambarkan motivasi,
karena motivasi juga berkaitan dengan pilihan (choice) yang dibuat oleh orang
tersebut. Oleh karena itu komponen kedua adalah direction, arah tindakan
yang diambil dalam contoh diatas, orang tersebut dapat memilih tindakan
berupa mencari pekerjaan seperti memasukkan lamaran ke perusahaan dengan mencari dari internet, menanyakan teman-temannya info lowongan kerja atau mengikuti beberapa job fair dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan. Komponen ketiga adalah maintenance, seberapa lama seseorang akan bertahan pada pilihan yang dibuatnya untuk mencapai tujuan tersebut
Trait-trait dalam Big Five Personality (skripsi dan tesis)
Faktor kepribadian The Big Five merupakan salah satu pendekatan yang
dianggap lebih sederhana dan deskriptif dalam menggambarkan kepribadian
manusia (Pervin, Cervone & John, 2005). Menurut McCrae & Costa (Cervone
& Pervin, 2012)ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggolongkan
trait (sifat), yaitu:
a. Extraversion (E)
Dimensi ini merupakan taksiran kuantitas dan intensitas interaksi
interpersonal, tingkat atau level aktivitasnya, kebutuhan untuk mendapat
stimulasi dan kemampuan untuk berbahagia. Dimensi extraversion terdiri dari
subdimensi atau faset-faset sebagai berikut :
1) Warmth (kehangatan)
2) Gregariousness (suka berkumpul)
3) Assertiveness (asertivitas)
4) Activity level (tingkat aktivitas)
5) Excitement seeking (pencarian kesenangan)
6) Positive emotions (emosi positif)
Subfaktor dalam extraversion dapat dibagi kembali ke dalam 2 ciri
interpersonal dan temperamental.Subfaktor kehangatan (warmth) merujuk
pada interaksi personal yang bersahabat, suka bersosialisasi dan
tulus.Sebaliknya individu yang dingin cenderung kaku, pendiam dan tidak
dekat dengan orang kebanyakan.Kehangatan (warmth) dan sifat suka
berkumpul (gregariousness) biasanya muncul pada individu yang mudah
berkumpul.Individu yang suka berkumpul cenderung menyukai keramaian
dan dorongan sosial.Asertivitas adalah subfaktor ketiga dalam dimensi
Extraversion. Individu yang asertif biasanya memiliki kemampuan untuk
memimpin, bertanggung jawab akan suatu tugas dan mampu mengungkapkan perasaan atau keinginan dengan mudah.
Tiga subfaktor lain dari extraversion termasuk dalam ciri temperamental
yakni level aktivitas (activity level), pencarian kesenangan (excitement
seeking), dan emosi yang positif (positive emotion). Individu dengan tipe
kepribadianextraversion biasanya suka menyibukkan diri cenderung bertindak
dengan penuh semangat serta berbicara dengan cepat sehingga terkesan
energik.Mereka lebih menyukai lingkungan yang dapat menstimulasi mereka
dalam upaya pencarian kesenangan, contohnya mobil berkecepatan tinggi dan
pakaian yang mencolok.Kehidupan yang aktif dan menyenangkan dari
seorang individu dengan tipe kepribadian extraversion mencerminkan
pengalaman emosi yang positif.Kesenangan, semangat dan kelucuan menjadi
tema utama dari tipe kepribadian extraversion.Semua disposisi ini bersifat
sinergis, bersama-sama membentuk tipe kepribadian.
b. Agreeableness (A)
Dimensi ini mendeskripsikan kualitas orientasi interpersonal seseorang
secara berkesinambungan dari perasaan terharu sampai perasaan menentang
dalam pikiran, perasaan dan tindakan. Dimensi agreeableness terdiri dari
subdimensi atau faset-faset sebagai berikut :
1) Trust (kepercayaan)
2) Straightforwardness(berterusterang/langsung pada pokok
permasalahan)
3) Altruism (pengorbanan /mendahulukan kepentingan orang lain)
4) Compliance (kerelaan)
5) Modesty (rendah hati)
6) Tendermindedness (berhati lembut)
Individu dengan tipe kepribadian agreeablenessmempercayai orang lain
dan jarang mencurigai niat yang tersembunyi. Percaya (trust) adalah
perkembangan psikososial utama yang paling mendasar menurut teori Erikson.
Menurutnya individu yang tidak mengembangkan rasa percaya tidakakan
pernah menguasai tahap industry, identity, dan intimacy. Saat individu yang
agreeableness mempercayai orang lain, maka ia pun akan menjadi individu
yang dipercayai orang lain, ini ditandai oleh kejujuran serta keterusterangan
(straightforwardness).
Individu yang agreeableness cenderung tidak mementingkan diri sendiri,
sebagaimana yang tercermin dalam kebijaksanaan serta keinginan mereka
untuk membantu orang lain (Altruism). Individu yang agreeableness pada
dasarnya lembut dan mau mengalah demi orang lain. Subfaktor ini dikenal
sebagai compliance.Individu yang agreeableness menunjukkan kerendahan
hati (modesty) dalam menilai kemampuan dirinya.Skor yang rendah pada
subfaktor ini mungkin menunjukkan kecenderungan naristik.Selain itu,
individu yang agreeableness biasanya menunjukkan kebaikan hati
(tedermindedness), sentimental dan mudah tersentuh.
c. Conscientiousness (C)
Mendeskripsikan perilaku tugas dan arah tujuan, menilai kemampuan
individu dalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi, dan secara
sosial membutuhkan impuls kontrol. Dimensi conscientiousness terdiri dari
subdimensi atau faset-faset sebagai berikut :
1) Competence (kompeten)
2) Order (teratur)
3) Dutifulness (kepatuhan terhadap tugas)
4) Achievement stiving (pencapaian prestasi / pencapaian kesuksesan)
5) Self-Discipline (disiplin diri)
6) Deliberation (pemikir)
Individu dengan tipe kepribadian conscientiousness menunjukkan ciri
rasional dan berfikir bahwa diri mereka mempunyai kompetensi yang tinggi
(competence).Sebagian dari kesuksesan mereka berasal dari kemampuan
mereka dalam organisasi yang baik serta keteraturan yang tinggi order).Kedua
hal ini yang membuat mereka bekerja dengan efisien. Individu yang
conscientiousness memegang teguh tugas (dutifulness), memiliki kebutuhan
akan pencapaian prestasi yang tinggi (achievement striving), dan menggapai
kesempurnaan dalam segala sesuatu hal yang mereka lakukan demi pencapaian prestasi, memiliki displin diri yang tinggi sehingga mampu mencapai tujuan mereka (self-discipline), mereka umumnya menunjukkan ciri pertimbangan (deliberation), berpikir penuh dengan kehati-hatian sebelum bertindak dan membuat rencana di awal bukan dengan cara yang tiba-tiba.
d. Neuroticism (N)
Dimensi ini merupakan penyesuaian diri dengan ketidakstabilan emosi.
Dari dimensi ini dapat diidentifikasi kecenderungan individu, apakah mudah
tertekan tertekan secara psikologis, mempunyai ide-ide yang tidak realistis,
keinginan atau dorongan yang berlebihan, dan kegagalan untuk memberikan
respons-respons yang tepat. Dimensi neuroticism terdiri dari subdimensi atau
faset-faset sebagai berikut :
1) Anxiety (kecemasan)
2) Angry hostility (amarah)
3) Depression (depresi)
4) Self – consciousness (kesadaran diri)
5) Impulsiveness (menuruti kata hati)
6) Vulnerability (kerentanan)
Keenam subfaktor dari neuroticism menggambarkan tingkat kecemasan
dan ketidakmampuannya mengontrol dorongan dalam dirinya.Dua subfaktor
dari neuroticism yaitu kecemasan (anxiety) dan permusuhan (angry) yang
terbentuk dari 2 kondisi emosi dasar individu yaitu takut dan marah.Setiap
individu pasti pernah merasakan kedua emosi dari waktu ke waktu, namun
intensitas emosi yang mereka rasakan berbeda antara satu individu dengan
individu lainnya.Individu dengan sifat cemas cenderung gugup dan
tegang.Mereka mudah khawatir dan merenungkan hal-hal yang tidak berjalan
semestinya.Individu dengan rasa permusuhan yang tinggi menunjukkan
kecenderungan mudah marah, kebencian, penolakan dan sulit memaafkan dan
rukun dengan individu lainnya.
Dua emosi lain yang membentuk subfaktor depresi (depression) dan
kesadaran diri (self-consciousnes) adalah sedih dan malu. Sebagai sebuah sifat, depresi adalah suatu kecenderungan individu mengalami kesedihan, putus asa dan kesepian.Individu yang depresi sering memiliki perasaan bersalah yang berlebih dan merendahkan dirinya sendiri.Individu dengan kesadaran diri (selfconsciousnes) yang tinggi cenderung merasakan malu yang berlebihan.
Biasanya mereka peka terhadap ejekan dan cemoohan, karena sering merasa
inferior terhadap orang lain.
Dua faset lain darineuroticism lebih sering muncul dalam bentuk perilaku
daripada keadaan emosional. Impulsif adalah suatu kecenderungan untuk
dikuasai oleh dorongan dan keinginan yang besar karena mereka memiliki
kontrol yang lemah. Subfaktor vulnerability merujuk pada ketidakmampuan
individu dalam menangani stress dan kecenderungan memiliki emosi negatif,
individu dengan sifat ini cenderung panik saat dihadapkan pada keadaan
darurat, dan menjadi tergantung kepada bantuan dari orang lain. Sebagian
orang mungkin merasakan cemas namun tidak menunjukkan permusuhan,
sadar akan dirinya tapi tidak Impulsif. Individu yang memiliki tipe kepribadian
Neuroticism cenderung memiliki skor yang tinggi pada tiap subfaktor lainnya.
Mereka cenderung memiliki emosi yang negatif sehingga mempengaruhi
kemampuan mereka dalam menangani masalah dan menjalin hubungan dengan orang lain.
e. Openness to experience (O)
Dimensi ini mendeskripsikan luas, kedalaman, kerumitan mental individu
dan pengalaman hidup. Dimensi ini menilai individu dari usahanya secara
proaktif dan penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya
sendiri dan bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa. Dimensi
ini mengelompokkan individu berdasarkan lingkup minat dan ketertarikannya
terhadap hal-hal baru dan inovasi ia akan cenderung menjadi imajinatif,
cenderung kreatif, ingin tahu dan sensitive terhadap hal-hal yang bersifat seni.
Sebaliknya, mereka yang sifat keterbukaannya kurang cenderung memiliki
sifat konvensional, merasa nyaman dengan hal-hal yang ada, dan memiliki
minat yang sempit. Dimensi openness to experience terdiri dari subdimensi
atau faset-faset sebagai berikut adalah :
1) Fantasy (fantasi)
2) Aesthetics (estetika/keindahan)
3) Feelings (perasaan)
4) Actions (perbuatan-perbuatan)
5) Ideas (ide-ide)
6) Values (nilai-nilai)
Diketerbukaan terhadap pengalaman (openness to experience) diukur
melalui 6 area yang berbeda. Keterbukaan dalam fantasi atau khayalan artinya
individu memiliki imajinasi yang tinggi dan angan-angan yang luas. Subfaktor
keindahan (aesthetics) teramati dari sensitivitas terhadap seni dan
keindahan.Pengalaman aesthetics mungkin merupakan inti dari
keterbukaan.Individu yang memiliki kesenangan terhadap aktivitas aesthetics
umumnya adalah orang-orang yang terbuka.Keterbukaan terhadap tindakan
(actions) merupakan lawan dari kekakuan.Individu yang terbuka mempunyai
keinginan untuk mencoba hal-hal baru.Keterbukaan terhadap ide (ideas),
perasaan (feelings) dan nilai (values) juga merupakan subfaktor dari
kepribadian ini. Individu yang terbuka cenderung mempunyai rasa ingin tahu
dan menghargai pengetahuan dan pendapat dari orang lain. Mereka cenderung bebas dalam menganut nilai-nilai, mengakui bahwa benar atau salahnya suatu hal bagi satu orang mungkin akan berbeda jika diterapkan pada orang lain yang menghadapi kondisi berbeda.
Pengertian Kepribadian Big Five (skripsi dan tesis)
Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum, yaitu The Big Five Personality.Diantara ketiga tokoh pendekatan trait (sifat), Allport, Eysenck dan Cattel, terdapat pandangan mengenai penggunaan faktor analisis, mengenai jumlah dan dimensi sifat dasar yang diperlukan untuk mampu mendeskripsikan kepribadian.Perbedaan ini masih diperdebatkan selama bertahun-tahun.Namun sejak 1980, setahap demi setahap telah ada kemufakatan terutama dalam faktor analisis. Sekarang banyak peneliti yang setuju bahwa perbedaan individu dapat terorganisir dalam istilah lima perluasan yang terkenal dengan sebutan “Big Five” dimensi sifat karena keluasan dan tingkat keabstrakan yang luar biasa (Dwijayanti, 2013). Big five personality adalah kepribadian individual yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi pada The Big Five Personality memiliki hubungan langsung dengan faktor keturunan biologis.Dasar biologis dari kelima faktor ini sangat kuat.Faktor biologis atau alam yang menentukan kepribadian dan pengalaman sosial hanya memiliki sedikit pengaruh (McCrae & Costa dalam Cervone dan Pervin, 2012).
J.Feist dan G.J Feist (2009) menyatakan bahwa big five adalah satu kepribadian yang dapat baik memprediksi dan menjelaskan perilaku. Suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to experiences.Semua orang dapat digambarkan dengan kelima dimensi Big Five; tetapi beberapa orang dicirikan dengan nilai ekstrem pada salah satu dari dimensi tersebut, dengan kata lain diantara kelima faktor tersebut, manusia cenderung memiliki salah satu faktor yang dominan (McCrae dan Costa, dalam Friedman & Schustack, 2008). Selanjutnya teori lima faktor didesain untuk menangkap trai-trait kepribadian yang dipandang oleh manusia sebagai hal paling penting dalam kepibadian. Goldberg telah menyebutkan sisi rasional dari pendekatan ini dalam istilah hipotesis leksikal yang fundamental (fundamental lexical hypothesis), perbedaan individu yang paling penting dalam transaksi manusia akan disingkap sebagai istilah-istilah tunggal pada beberapa atau keseluruhan bahasa di dunia (Goldbert, dalam Cervone dan Pervin, 2012)
Bentuk dukungan sosial teman sebaya (skripsi dan tesis)
House (dalam Smet 1994) mengemukakan 4 bentuk dari dukungan sosial,
yaitu:
a. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, seperti apabila
seseorang memberikan pinjaman uang padanya atau menolong dengan
melakukan suatu pekerjaan pada waktu mengalami stres.
b. Dukungan informasional
Dukungan informasional mencakup pemberian nasehat petunjukpetunjuk, saran saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi
individu.
c. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan berupa penghargaan positif pada individu,
pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu dan
perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini
membantu individu dalam mebangun harga diri dan kompetensi.
d. Dukungan emosi
Dukungan emosi adalah dukungan yang mencakup ungkapan empati,
kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan, seperti:
umpan balik, penegasan.
Menurut Cutrona dan Russell (1990) mengemukakan lima aspek
dukungan sosial meliputi:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional mewakili kemampuan untuk beralih keorang lain
sehingga mendapat kenyaman, keaman selama masa stress dan
membuat orang tersebut merasa dirawat oleh orang lain.
b. Dukungan integrasi sosial
Mengacu pada perasaan seseorang bagian dari kelompok yang
anggotanya memiliki kepentingan dan kekhawatiran bersama.
Hubungan semacam itu mencerminkan persahabatan yang lebih santai,
yang memungkinkan seseorang untuk terlibat dalam berbagai bentuk
kegiatan sosial rekreasi.
c. Dukungan Penilaian
Mewakili penyatuan rasa kompeten seseorang atau harga diri oleh
orang lain. Mengumpulkan umpan balik positif individu atas
kemampuan atau mengekspresikan keyakinan bahwa orang tersebut
mampu mengatasi kejadian menyedikhan.
d. Dukungan instrumental
Mengacu pada bantuan yang konkret, dimana seseorang dalam situasi
yang penuh tekanan diberi sumber daya yang diperlukan (misalnya
bantuan keuangan, bantuan fisik) untuk mengatasi kejadian stress
tersebut.
e. Dukungan informasional
Dukungan informasional adalah memberi nasihat atau panduan
individu mengenai kemungkinan solusi terhadap suatu masalah.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli
maka dapat disimpulkan bahwa bentuk dari dukungan sosial menurut House
meliputi, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan emosi. Menurut Cutrona dan Russell meliputi, dukungan instrumental, dukungan penilaian, dukungan informasional, dukungan emosional dan dukungan integrasi sosial.
Pengertian Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)
Sarafino (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa dukungan sosial
adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam
bentuk lain yang diterima individu dari teman sebaya. Sementara
dukungan sosial didefinisikan oleh Cobb (dalam Sarason & Sarason, 1985)
sebagai informasi yang mengarahkan subjek untuk percaya bahwa dirinya
diperhatikan, dicintai, dihargai yang termasuk dalam jaringan komunikasi
dan kewajiban bersama. Dukungan sosial terdiri dari informasi atau
nasehat verbal atau non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan
oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima
Gottlieb (dalam Smet 1994). House (dalam Lin, Dean & Ensel, 1986)
menguraikan bentuk dukungan sosial dapat berasal dari pasangan suami
istri, tetangga, supervisor pekerjaan, rekan kerja, kerabat atau teman.
Menurut Mappiare (1982) teman sebaya merupakan lingkungan sosial
tempat remaja belajar untuk hidup bersama orang lain yang bukan anggota
keluarganya, dan lingkungan teman sebaya merupakan suatu kelompok
yang baru yang memiliki ciri, norma, kebiasaan yang jauh berbeda dengan
apa yang ada dalam lingkungan keluarga. Menurut Santrock (2003)
batasan teman sebaya adalah kurang lebih individu yang berusia atau
memiliki level kematangan yang sama.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial teman sebaya adalah kenyamanan, perhatian,
penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lain yang diterima dari teman
yang berusia atau memiliki level kematangan yang sama
Faktor kesepian (skripsi dan tesis)
Menurut Perlman dan Peplau (dalam Peplau & Goldston, 1984) terdapat
dua faktor yang menyebabkan terjadinya kesepian
a. Faktor pemicu (Precipitate factor)
Faktor pemicu kesepian dapat dibagi menjadi dua yaitu, perubahan
pada hubungan sosial yang dimiliki dan perubahan hubungan sosial
yang diinginkan.
1) Hubungan sosial yang sebenarnya
Hubungan sosial yang sebenarnya dapat memicu kesepian apabila
hubungan tersebut dinilai tidak lagi memuaskan bagi individu
seperti sebelumnya. Mungkin penentu yang paling jelas dari
kesepian adalah sifat hubungan sosial yang sebenarnya. Meskipun
beberapa kegagalan untuk meniru menunjukan bukti yang tegas
bahwa orang yang kesepian memiliki kontak atau hubungan sosial
yang lebih sedikit dari pada yang tidak kesepian. Seseorang yang
kesepian mengatakan bahwa kegiatan sosial yang dimiliki lebih
sedikit dan memiliki teman-teman yang lebih sedikit (Jones,
Perlman, Goldenbreg, Russell, dalam Peplau & Goldston 1984).
Seseorang yang kesepian memiliki kontak yang kurang dengan
teman-teman mereka (Perlman, 1978). Survey yang dilakukan
oleh Perlman dan Goldenbreg (dalam Peplau & Goldston 1984)
pada mahasiswa tahun pertama di Universitas, bahwa kontak
dengan teman-teman menjadi prediktor yang kuat untuk kesepian.
Bentuk kontak dengan teman-teman dapat berupa dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber diantaranya
dukungan sosial dari keluarga dukungan sosial teman sebaya dan
kelompok tertentu yang memberikan informasi dan memiliki
kesamaan situasi (Sarafino & Smith, 2011).
2) Hubungan sosial yang dibutuhkan atau diinginkan
Hubungan sosial yang diinginkan individu juga dapat memicu
kesepian, apabila pada kenyataanya individu memiliki hambatan
untuk mewujudkannya.
b. Faktor kerentanan ( predispose factor )
Faktor yang dapat membuat individu rentan terhadap keepian dan
memperpanjang durasi terjadinya kesepian dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
1) Karakteristik personal
a) Sifat malu (shyness)
Sifat malu diidentifikasikan sebagai kecenderungan untuk
menghindari interaksi sosial dan gagal untuk berpartisipasi
secara tepat dalam situasi sosial yang dapat menjadi contributor
penting untuk kesepian menurut Pilkonis (dalam Duak &
Gilmour, 1981).
b) Harga diri
Menurut Santrock (2003) harga diri adalah keseluruhan cara
yang kita gunakan untuk mengevaluasi diri kita. Locks &
Cutrona (dalam Duak & Gilmour, 1981) menyatakan bahwa
bahwa harga diri yang rendah sejalan dengan kesepian yang
lebih besar. Jones (dalam Peplau & Goldston 1984)
menemukan korelasi signifikan antara skor pada skala kesepian
UCLA dan pada skala harga diri dalam Coopersmith
c) Ketrampilan sosial
Weiss dkk (dalam Duak & Gilmour, 1981) menyatakan bahwa
kurangnya keterampilan sosial kemungkinan berasal dari masa
kanak-kanak, dan berkaitan dengan kesepian.
2) Karakteristik Situasional
Faktor situasional juga dapat mempengaruhi orang untuk
kesepian. Situasi bervariasi dalam kesempatan yang mereka
berikan untuk kontak sosial dan inisiasi hubungan yang baru.
Beberapa kendala mendasarkan waktu, jarak dan uang. Faktor
situasi juga dapat mengurangi kemungkinan mempertahankan
hubungan sosial yang memuaskan.
3) Karakteristik Budaya
Teoritis yang berorientasi pada sosiologi telah melihat
kesepian sebagai hasil dari faktor budaya dan penataan institusi
sosial. Misalnya, sosiolog berpendapat bahwa sekularisasi,
mobilitas dan urbanisasi berkontribusi pada tingkat kesepian di
masyarakat Amerika.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesepian meliputi
faktor pemicu (Precipitate factor ) yaitu: hubungan sosial yang sebenarnya
(dukungan sosial teman sebaya dan keluarga), dan hubungan sosial yang
dibutuhkan atau diinginkan, faktor kerentanan (Predispose factor) yaitu:
karakteristik personal, karakteristik situasional, karakteristik budaya
Aspek-aspek kesepian (skripsi dan tesis)
Menurut Peplau & Perlman (1981) yang menjadi aspek-aspek kesepian yaitu:
a. Afektif Bradbrun dkk (dalam Peplau & Perlman, 1981) berpendapat bahwa individu yang kesepian merasa kurang bahagia, kurang puas, lebih pesimis dan menggambarkan dirinya sendiri tegang, tidak dapat santai 10 dan jemu. (Loucks & Perlman dalam Peplau & Perlman, 1981) mengidentifikasikan bosan dan gelisah sebagai perasaan yang dimiliki oleh orang yang kesepian.
b. Motivasional Sullivan (dalam Peplau & Perlman, 1981) kesepian adalah kekuatan yang mendorong atau memotivasi seseorang untuk melakukan interaksi atau hubungan dengan orang lain meski merasa cemas terhadap interaksi tersebut. Fromm (dalam Peplau & Perlman, 1981) kesepian dapat meningkatkan rasa putus asa yang mendalam.
c. Kognitif Lake (1986) adanya kesepian menyebabkan seseorang merasa kehilangan kepercayaan terhadap orang lain. Peplau & Perlman (1981) individu yang kesepian umumnya kurang dapat berinteraksi atau kurang memfokuskan perhatian secara efektif. Weiss (1973) individu yang kesepian terlalu berhati-hati dan waspada terhadap suatu ancaman. Hal ini disebabkan individu merasa cemas dalam menghadapi situasi-situasi sosial yang terkecil sekalipun. Akibatnya adalah suatu tendensi salah dalam menginterpretasikan intensi dari orang lain.
d. Perilaku Individu yang kesepian akan menunjukan perilaku menghindari orang lain. Senyumnya tampak aneh dan tidak tulus serta jabatan tanganya kaku, enterpretasi wajah, nada suara, kecepatan bicara, jarak berdiri, cara berpakaian, kurang banyak bicara dengan orang lain, sedikit bertanya (Lake, 1986).
Menurut Russell (dalam, Krisnawati & Soetjiningsih, 2017) yang menjadi aspek kesepian yaitu:
a. Trait loneliness yaitu adanya pola yang lebih stabil dari perasaan kesepian yang terkadang berubah dalam situasi tertentu, atau individu yang mengalami kesepian karena disebabkan kepribadian mereka. Kepribadian yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki kepercayaan yang kurang dan ketakutan akan orang asing.
b. Social desirability loneliness yaitu terjadinya kesepian karena individu tidak mendapatkan kehidupan sosial yang diinginkan pada kehidupan dilingkungannya,
c. Depression loneliness yaitu terjadinya kesepian karena terganggunya perasaan seseorang seperti perasaan sedih, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga dan berpusat pada kegagalan yang dialami oleh individu.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek kesepian menurut Perlman & Peplau adalah aspek afektif, motivasional, kognitif dan perilaku. Menurut Russell aspek kesepian meliputi: trait loneliness, social desirability loneliness dan depression loneliness. Berdasarkan kedua teori tersebut, peneliti menggunakan empat aspek yang diungkapkan oleh Perlman & Peplau yaitu aspek afektif, motivasional, kognitif dan perilaku dikarenakan aspek dari Perlam & Peplau lebih lengkap dan dapat digunakan untuk mengungkap perasaan kesepian.
Kesepian (skripsi dan tesis)
Kesepian adalah pengalaman subjektif atau perasaan emosi negatif yang tidak menyenangkan dimana kualitas dan kuantitas hubungan sosial seseorang mengalami penurunan secara signifikan (Peplau & Perlman, dalam Peplau & Goldston, 1984). Kesepian adalah pengalaman yang 9 sangat tidak menyenangkan terhubung dengan kebutuhan manusia yang tidak memadai seperti keintiman (Sulivan dalam Sarason & Sarason, 1985). Gierveld (dalam Sarason & Sarason, 1985) menyatakan kesepian adalah menyadari hubungan interpersonal yang diinginkan tetapi tidak dapat diterima, terutama bila orang tersebut merasa tidak mampu untuk mewujudkan hubungan interpersonal yang diinginkan dalam jangka waktu yang wajar. Ada kalanya seseorang mengalami kesepian walaupun ia berada dalam suatu keramaian, sementara yang lain tidak mengalami kesepian meskipun ia seorang diri. Jadi kesepian akan muncul sesuai persepsi orang mengenai keadaan diri dan lingkungannya (Perlman & Peplau dalam Peplau dan Goldston, 1984). Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesepian pada remaja akhir adalah pengalaman subjektif atau perasaan emosi negatif yang tidak menyenangkan dimana kualitas dan kuantitas hubungan sosial seseorang mengalami penurunan secara signifikan.
Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok (skripsi dan tesis)
Tujuan terapi aktivitas kelompok yang akan diberikan kepada para lansia
yang kesepian menurut Yosep (2009) adalah:
a. Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal
Diharapkan lansia yang mengikuti terapi aktivitas kelompok ini, dapat
meningkatkan hubungan interpersonal terhadap orang lain dan
lingkungan sekitar.
b. Memberi tanggapan terhadap orang lain
Diharapkan subjek dapat bersosialisasi dan memberi tanggapan ketika
berinteraksi dengan orang lain.
c. Mengekspresikan ide dan tukar persepsi
Diharapkan lansia setelah mengikuti terapi aktivitas kelompok, lansia
dapat mengekspresikan ide ataupun perasaan yang negatif dan
mengubahnya menjadi persepsi yang positif.
d. Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan
Diharapkan lansia mampu menerima stimulus yang berasal dari
lingkungan dengan baik sehingga tidak beranggapan negatif terhadap
lingkungan sekitar.
e. Mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.
Diharapkan lansia dapat mengekspresikan ide dan perasaannya dengan
baik dan lebih positif ketima lansia menerima stimulus dari
lingkungan sekitarnya.
Bentuk Terapi Aktivitas Kelompok (skripsi dan tesis)
Bentuk-bentuk aktivitas kelompok yang akan diberikan adalah
berdasarkan bentuk-bentuk dari terapi modalitas. Bentuk-bentuk aktivitas
yang akan diberikan tersebut dapat dilakukan untuk menyibukkan
seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar,
bersosialisasi dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan
emosional maupun fisik (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Bentuk-bentuk
terapi aktivitas kelompok berdasarkan terapi modalitas (Setyoadi &
Kushariyadi, 2011) yang digunakan oleh para lansia sebagai berikut:
a. Life Review Therapy
Life Review Therapy ini akan membawa seseorang untuk bisa
menjadi lebih akrab pada realita kehidupan. Life Review Therapy
membantu seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka panjang di
mana akan terjadi mekanisme recall tentang kejadian pada kehidupan
masa lalu hingga sekarang. Dengan cara seperti ini lansia akan lebih
mengenal siapa dirinya dan dengan recall tersebut. Haight dan Dias
dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menguji proses dan hasil dari
life review therapy tersebut dapat mengurangi depresi, mengurangi
kesepian, meningkatkan kepercayaan diri, dan meningkatkan
kemampuan individu untuk beraktivitas sehari-hari. Terapi ini juga
bertujuan untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan
menceritakan pengalaman hidupnya. Misalnya bercerita di masa
mudanya.
b. Psikodrama
Psikodrama adalah metode psikoterapi kelompok di mana susunan
kepribadian, hubungan interpersonal, konflik, dan masalah emosional
digali dengan menggunakan metoda dramatik spesifik (Pramesti, dalam
Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Psikodrama merupakan upaya
pemecahan masalah melalui drama, di mana masalah yang didramakan
adalah masalah psikis yang dialami oleh individu (Utama, dalam
Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Terapi psikodrama diciptakan oleh
Moreno, seorang dokter psikiatri dari Vienna. Terapi psikodrama
bermanfaat terutama bagi individu yang sulit menyatakan suatu
peristiwa atau perasaan secara verbal (Kurniadi, dalam Setyoadi &
Kushariyadi, 2011) dan lansia yang mengalami kesepian dan depresi.
Terapi psikodrama ini juga bertujuan untuk mengekspresikan
perasaan lansia. Tema dapat dipilih sesuai dengan masalah lansia
yaitu kesepian.
c. Terapi Okupasi
Setyoadi & Kushariyadi (2011) menyatakan bahwa, terapi
okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang
untuk melaksakan suatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan
42
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan kemampuan,
serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi yang dibutuhkan
dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Terapi okupasi lebih
dititikberatkan pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada
seseorang kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga
mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkan oleh seseorang
tersebut. Berdasarkan penelitian dalam Kaharingan, Bidjuni, &
Karundeng (2015) menyatakan bahwa Menjadi seseorang yang berarti
dalam hidup tampaknya sangat penting saat memasuki periode lansia.
Pada masa ini, lansia harus dapat menerima, bersikap positif serta dapat
menjalani masa tuanya dengan tenang. Lansia akan menghadapi
berbagai persoalan seperti perasaan kesepian, menurunnya kondisi fisik
dan kognitif, perasaan tidak mampu, kematian pasangan atau orangorang terdekat, hilangnya dukungan sosial dan penurunan kesempatan
dalam hal ekonomi karena tidak bekerja atau pensiun (Suprapto, 2013).
Terapi okupasi ini baik diberikan kepada seseorang yang
mengalami kurangnya konsentrasi, mengalami kesepian, depresi. Terapi
okupasi ini juga bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan
meningkatkan produktivitas dengan membuat atau menghasilkan karya
dari bahan yang telah disediakan. Misalnya: membuat kipas, membuat
keset, membuat bunga dari bahan yang mudah didapatkan (pelepah
pisang, sedotan, botol bekas, dan lain-lain), menjahit dari kain, merajut
dari benang, kerja bakti yaitu membersihkan lingkungan sekitar. Pada
penelitian ini bentuk terapi okupasi yang akan dilakukan adalah
membuat bunga dari sedotan, dan untuk membuat sedotan tersebut
adalah lansia yang tidak mengalami kekakuan pada jari tangan, tidak
mengalami tremor berat, dan lansia yang tidak memiliki gangguan
penglihatan. Alasan peneliti menggunakan sedotan untuk membuat
bunga, dilihat dari kondisi fisik yang dimiliki oleh para lansia. Kondisi
fisik yang dialami oleh para lansia mengalami penurunan terutama pada
gerakan motoriknya. Kegiatan okupasi tersebut para lansia dapat
bersosialisasi dan agar memilki kegiatan sehingga tidak merasa sendiri.
d. Terapi Tertawa
Terapi tertawa merupakan suatu terapi untuk mencapai
kegembiraan di dalam hati yang dikeluarkan melalui mulut dalam
bentuk suara tawa, senyuman yang menghias wajah, perasaan hati yang
lepas dan gembira, dada yang lapang, peredaran darah yang lancar
sehingga dapat mencegah penyakit, memelihara kesehatan, serta
menghilangkan stres (Robinson, 1990; Dahl dan O’Neal, 1993 dalam
Setyoadi & Kushariyadi, 2011).
Hipotesis fisiologis menyatakan bahwa tertawa melepaskan
hormon endorfin ke dalam sirkulasi sehingga tubuh menjadi lebih
nyaman dan rileks. Saat tertawa, tidak hanya hormon endorfin saja yang
keluar tetapi banyak hormon positif lainnya yang muncul. Keluarnya
hormon positif ini akan menyebabkan lancarnya peredaran darah dalam
tubuh sehingga fungsi kerja organ berjalan dengan normal.
Simon (dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menunjukkan bahwa
hormon dapat memengaruhi persepsi individu lansia tentang kesehatan
dan moral, berkaitan dengan proses penuaan yang lancar. Peneliti dari
Loma Linda University, California, mengungkapkan bahwa tertawa
dapat dijadikan terapi untuk sejumlah penyakit, diantaranya serangan
jantung dan juga diabetes. Terapi tertawa diberikan pada klien untuk
meringankan penyakit bronkitis, asma, dan migren. Tertawa juga bisa
meningkatkan kapasitas paru-paru dan kadar oksigen dalam darah.
e. Terapi Rekreasi
Terapi rekreasi adalah kegiatan penyegaran kembali tubuh dan
pikiran dan kegiatan yang menggembirakan hati seperti hiburan atau
piknik. Rekreasi dapat meningkatkan daya kreasi manusia dalam
mencapai keseimbangan antara bekerja dan beristirahat. Terapi rekreasi
pada lansia adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang yang
bertujuan untuk membentuk serta meningkatkan kembali kesegaran
fisik, mental, pikiran, dan daya rekreasi (individul maupun kelompok)
yang hilang akibat aktivitas rutinitas sehari-hari dengan dengan cara
mencari kesenangan, hiburan, dan kesibukan yang berbeda.
Terapi rekreasi yang diberikan kepada lansia akan memengaruhi
kondisi fisik dan psikis lansia. Secara fisik terapi rekreasi mampu
membantu lansia dalam mengembalikan atau memperbaiki kondisi fisik
yang sudah lama jarang di gerakkan akibat hospitalisasi yang lama.
Secara psikis terapi rekreasi akan memengaruhi psikis lansia seperti
45
membantu menyegarkan otak dan pikiran, membuat perasaan perasaan
menjadi tenang, senang, serta nyaman.
Dengan demikian, lansia tidak akan merasa cemas, stres, maupun
depresi. Terapi rekreasi bertujuan untuk menciptakan dan membina
hubungan manusia, mempertahankan nilai-nilai budaya, menimbulkan
kesenangan dan kepuasan karena dapat memenuhi rasa ingin tahu, dan
memulihkan kesehatan jasmani dan rohani. Terapi rekreasi ini cocok
diberikan kepada lansia yang baru keluar dari rumah sakit setelah
perawatan selama lebih dari dua minggu, lansia yang sedang
mengalami cemas, stres, maupun depresi, dan lansia yang mempunyai
penyakit kronis.
f. Terapi Hewan
Terapi hewan (animal therapy) adalah terapi modalitas/terapi
aktivitas kelompok yang menggunakan hewan peliharaan sebagai
medianya. Hewan yang digunakan adalah hewan yang berfungsi khusus
sebagai teman sehari-hari, setia pada majikan, dan memiliki
kemampuan menarik tertentu seterti menyanyi, misalnya kucing dan
burung. Dr. L. Suryantha Chandra, psikiater dan Direktur Utama
Sanatorium Dharmawangsa Jakarta, mengatakan bahwa mempunyai
hewan peliharaan bisa menjadi salah satu unsur dalam terapi pada
gangguan jiwa. Dengan demikian, dianjurkan orang yang mengalami
gangguan jiwa (depresi), agar mempunyai hewan peliharaan.
46
Hewan peliharaan mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan
jiwa manusia, mengisi rasa kesepian, dan juga sebagai tempat untuk
mencurahkan perasaan. Terapi hewan ini juga bertujuan untuk dapat
menyembuhkan hati yang patah, impian yang hilang, serta ide dan
pikiran yang buruk, dapat membantu seseorang untuk mengurangi
kecemasan melawan penyakit, mengusir kesepian, dan depresi,
meningkatkan interaksi sosial, bahkan dapat memperpanjang umur.
Selain itu terapi hewan dapat juga untuk membuat seseorang menjadi
tenang dan menanggulangi depresi, melawan penyakit jantung,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan kepercayaan
diri dan harga diri individu dengan gangguan fisik dan seksual.
g. Terapi Spiritual
Terapi spiritual adalah terapi dengan pendekatan terhadap
kepercayaan yang dianut oleh klien dengan cara memberikan
pencerahan. WHO menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah
satu dari empat unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut
adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan sehat spiritual.
Pendekatan ini diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat (The American
Psychiatric Association, 1992) yang dikenal dengan pendekatan biopsiko-sosio-spiritual. Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau kesehatan
jiwa, doa dan zikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatri
setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.
Hal ini dikarenakan doa dan zikir mengandung unsur spiritual yang
dapat membangkitkan harapan (hope) dan rasa percaya diri (self
confidence) pada diri seseorang yang sedang sakit sehingga kekebalan
tubuh serta proses penyembuhan dapat meningkat. Penelitian Young
(1993) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) menunjukkan bahwa
praktik spiritual klien lansia dapat meningkatkan perasaan produktivitas
dan kemampuan beradaptasi yang membantu dalam menghadapi
individu yang sakit kronis.
Hasil penelitian mengenai terapi psikoreligius menurut Larson
(1992) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) yang melakukan studi
banding pada klien lansia dengan klien usia muda yang akan menjalani
operasi. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa klien lansia
dengan tingkat religius tinggi serta banyak berdoa atau berzikir kurang
mengalami ketakutan, kecemasan, tidak takut mati, dan tidak menundanunda jadwal operasi, dibandingkan dengan klien usia muda yang
tingkat religiusnya rendah. Terapi spiritual ini juga bertujuan untuk
mereduksi lamanya waktu perawatan individu gangguan psikis,
memperkuat mentalitas dan konsep diri individu. Individu dengan
gangguan psikis berasal dari persepsi yang salah terkait dengan dirinya,
orang lain dan lingkungan, dengan terapi spiritual maka individu akan
dikembalikan persepsinya terkait dengan dirinya, orang lain dan
lingkungan. Terapi spiritual juga mempunyai efek positif dalam
menurunkan stres yang dialami oleh individu.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentukbentuk terapi aktivitas kelompok berupa terapi okupasi, life review
therapy, psikodrama, terapi tertawa, terapi rekreasi, terapi hewan, dan
terapi spiritual. Bentuk terapi aktivitas kelompok yang akan dipakai untuk
penelitian ini adalah terapi aktivitas kelompok yang diambil menurut
Setyoadi & Kushariyadi yaitu terapi okupasi, life review therapy, dan
psikodrama untuk menurunkan kesepian pada lansia. Alasan peneliti
menggunakan terapi okupasi, psikodrama dan life review karena terapi
yang lain seperti terapi spiritual, terapi rekreasi, terapi hewan sudah pernah
dilakukan seperti lansia mengikuti pengajian, pergi piknik bersama dan
mereka sudah memiliki hewan peliharaan di rumah. Sehingga ketiga
bentuk terapi yaitu terapi okupasi yaitu terapi ini diberikan kepada lansia
guna para lansia dapat mengisi waktu luang dengan berkumpul dan
bersosialisasi dengan lansia dan melatih motorik kasarnya dengan
membuat suatu karya seperti membuat bunga dari sedotan , life review
therapy yaitu suatu terapi yang diberikan kepada lansia guna para lansia
tersebut berbagi pengalaman hidupnya kepada para lansia yang lain, dan
psikodrama yaitu suatu terapi yang diberikan kepada para lansia guna para
lansia dapat mengekspresikan perasaan-perasaan yang ada didalam
dirinya, sehingga ketiga bentuk terapi tersebut yang efektif untuk
dilakukan berdasarkan kondisi lansia yang akan menjadi subjek penelitian
yaitu lansia yang memiliki aspek kesepian seperti terisolasi, merasa disalah
mengerti, merasa tidak dicintai, tidak memiliki sahabat, malas membuka
diri, bosan, dan gelisah.
Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok (skripsi dan tesis)
Terapi aktivitas merupakan suatu kegiatan yang diberikan kepada lansia dan untuk dilakukan secara bersama-sama. Terapi aktivitas kelompok ini lebih mengarah terhadap kegiatan-kegiatan seperti senam bersama, melakukan keterampilan bersama-sama, sehingga individu atau lansia lebih bersemangat dan untuk melatih gerakan fisik yang sudah menurun pada lansia (Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok adalah sebuah treatment yang dilakukan dengan cara menyertakan beberapa orang dalam sebuah kelompok kecil yang didampingi oleh satu terapis atau lebih yang terlatih dalam proses terapi aktivitas kelompok (Brabendem, Fallon, & Smolar, 2004). Menurut Yalom dalam Stuaart & Laraia (2001), terapi aktivitas kelompok adalah suatu kegiatan yang anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaan psikis seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, kesepian, dan menarik. Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok. Terapi aktivitas kelompok ini merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar individu lain dengan melakukan kegiatan bersama-sama dengan individu yang lain, guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik dengan orang lain secara sosial (Kelliat dan wiyono, 2005).
Terapi aktivitas kelompok ini merupakan kumpulan individu yang saling berhubungan dan memiliki masalah yang sama dengan menggunakan aktivitas sebagai terapi (Kelliat dan wiyono, 2005). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok individu secara bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Yosep, 2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi individu dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008). Terapi aktivitas kelompok adalah bentuk terapi yang diberikan kepada individu yang dibentuk dalam kelompok, dan merupakan suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok (Lundry & Jenes dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama (Keliat dalam Sumaila, 2015). Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif (2004). Terapi modalitas adalah terapi dalam keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki pasien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi atau penyembuhannya (Sarka, 2008). Terapi aktivitas kelompok ini diberikan kepada lansia yang mengalami kesepian yaitu guna lansia tersebut merasakan kebahagiaan, tidak merasa sendiri dengan melakukan kegiatan secara bersama-sama sehingga dapat menurunkan kesepian yang terjadi pada lansia tersebut (Keliat, 2005).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu bentuk kegiatan terapi psikologik yang dilakukan dalam sebuah aktivitas dan diselenggarakan secara kolektif dalam rangka pencapaian penyesuaian psikologis, perilaku dan pencapaian adaptasi optimal pada individu (Maryam & Siti, 2008). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terapi aktivitas kelompok merupakan suatu kegiatan yang diberikan kepada individu dan dilakukan secara bersama-sama dengan individu yang lain, guna untuk meningkatkan dan membangun hubungan yang baik dengan orang lain secara sosial. Terapi aktivitas kelompok ini merupakan kumpulan individu yang saling berhubungan dan memiliki masalah yang sama dengan menggunakan aktivitas sebagai terapi
Upaya untuk mengatasi kesepian (skripsi dan tesis)
Kesepian disebabkan oleh banyak faktor, peristiwa dan keadaan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri individu. Upaya untuk mengatasi kesepian tersebut berdasarkan diri lansia itu sendiri, banyak cara untuk mengatasi kesepian yaitu dengan:
a. Dukungan sosial
Dukungan sosial adalah suatu dorongan atau bantuan nyata seperti kenyamanan, perhatian, penghargaan, serta hal-hal yang dapat memberikan keuntungan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu (pasangan, teman dekat, tetangga, saudara, anak, keluarga, dan masyarakat sekitar) kepada individu yang sedang mengalami kesulitan, agar individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai. Untuk memperoleh dukungan sosial tersebut para lansia perlu berinteraksi dengan orang lain seperti membuat kontak sosial. (Marini & Hayati, 2009)
b. Latihan Keterampilan Sosial
Latihan keterampilan sosial yaitu suatu kegiatan untuk melatih para lansia dalam keterampilan sosial sehingga para lansia merasa nyaman dalam situasi sosial dan melakukan interaksi sosial. Latihan keterampilan sosial merupakan suatu intervensi dengan teknik modifikasi perilaku didasarkan prinsip-prinsip bermain peran, praktek dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah pada klien yang kesepian (Mashitoh, 2011).
c. Terapi musik angklung
Latihan musik angklung adalah sebuah terapi yang menggunakan alat musik tradisional yang memiliki alunan suara yang lembut yang dapat memberi pengaruh terhadap fungsi fisiologi dan psikologis terutama pada lansia yang mengalami kesepian (Ariani, 2012).
d. Terapi aktivitas kelompok merupakan upaya yang dapat mengurangi kesepian yaitu melakukan kegiatan yang terkait hobi dan lain-lain. Terapi aktivitas kelompok adalah metode pemberian terapi yang menggunakan beberapa bentuk yang dilakukan secara bersamasama dan untuk menguatkan hubungan interpersonal antar individu (Setyoadi & Kushariyadi, 2011)
Kesepian pada lansia (skripsi dan tesis)
Kesepian pada lansia adalah dimana orang lanjut usia merasa
sendirian, merasa terisolasi, merasa tidak memiliki seorangpun untuk
dijadikan pelarian saat dibutuhkan serta kurangnya waktu untuk
berhubungan dengan lingkungannya (lingkungan sosial) baik dalam
keluarga ataupun disekitar tempat tinggal mereka (Santrock, 2002).
Pada umumnya masalah psikologis yang paling banyak terjadi pada
lansia adalah kesepian, kesepian merupakan perasaan terasing (terisolasi
atau kesepian) adalah perasaan tersisihkan, terpencil dari orang lain,
karena merasa berbeda dengan orang lain (Probosuseno, 2007). Kesepian
merupakan hal yang bersifat pribadi dan akan ditanggapi berbeda oleh
setiap orang, bagi sebagian orang kesepian merupakan yang bisa diterima
secara normal namun bagi sebagian orang kesepian bisa menjadi sebuah
kesedihan yang mendalam (Probosuseno, 2007).
Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan
dengan hidupnya, sehingga dirinya berharap agar kematian segera datang
menjemputnya. Hal itu karena dirinya tidak ingin menyusahkan keluarga
dan orang-orang disekitarnya (Gunarsa, 2004). Pada saat lansia mengalami
kesepian, maka lansia tersebut akan merasa ketidakpuasan, kehilangan dan
ditress, namun hal ini berarti bahwa perasaan ini sama setiap waktu.
Kesepian adalah perasaan tersisihkan, ter-pencil dari orang lain karena
merasa berbeda dengan orang lain, tersisih dari kelompoknya, merasa
tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari
lingkungan, serta tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman.
Kondisi ini menimbulkan perasaan tidak berdaya, kurang percaya diri,
ketergantungan, dan keterlantaran. Seseorang yang menyatakan dirinya
kesepian cenderung menilai dirinya sebagai individu yang tidak berharga,
tidak diperhatikan dan tidak dicintai. Rasa kesepian akan semakin
dirasakan oleh lanjut usia yang sebelumnya adalah seseorang yang aktif
dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan
orang banyak (Hurlock, 2000).
Fenomena kesepian pada lanjut usia yang merupakan masalah
psikologis dapat dilihat dari: sudah berkurangnya kegiatan dalam
mengasuh anak-anak, berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya
aktifitas di luar rumah, kurangnya aktifitas sehingga waktu luang
bertambah banyak, meninggalnya pasangan hidup, ditinggalkan anakanak karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi, atau meninggalkan
rumah untuk bekerja, anak-anak telah dewasa dan membentuk keluarga
sendiri (Baron & Byrne, 2005).
Ciri-ciri lansia (skripsi dan tesis)
Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai
dengan perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Perubahan yang bersifat fisik :
1) Kekuatan fisik & motorik yang sangat kurang, terkadang ada
sebagian fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.
2) Kesehatan sangat menurun sehingga sering sakit-sakitan.
b.Perubahan yang bersifat psikis :
1) Munculnya rasa kesepian, yang mungkin disebabkan karena putra
atau putrinya sudah besar dan berkeluarga,sehingga tidak tinggal
serumah lagi. Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk
mengatasi rasa kesepian tersebut.
2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi
fisik yang menurun.
3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet.
4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau
pendengaran dan kadang-kadang dapat menjadi pikun.
5) Suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya di masa
lampau.
6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah
dan beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati
kematian yang pasti datang menjemputnya. Lansia atau Masa
dewasa akhir jugaditandai dengan berbagai tantangan. Tantangan
ini termasuk penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri
dengan perubahan dalam jaringan dukungan sosial, mengatasi
masalah kesehatan dan menghadapi kematian (Wayne & Llyod,
2006). Selain menghadapi kematian diri sendiri, lansia juga
kemungkinan menghadapi kematian pasangan, saudara kandung,
teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (Corr, Nabe
& Corr, 2003).
Menurut Erikson (dalam Haditono, 2004), tantangan dalam tahap
akhir perkembangan manusia adalah mencapai integritas ego. Individu yang
mencapai integritas (integrity) mampu untuk melihat masa lalu dengan
perasaan puas, menemukan makna dan tujuan hidup, sebaliknya
keputusasaan (despair) adalah kecenderungan untuk tinggal dalam
kesalahan masa lalu, meratapi pilihan yang tidak diambil dan merenung
tentang kematian yang semakin dekat dengan kepahitan. Erikson
menekankan bahwa lebih baik menghadapi masa depan dengan penerimaan
daripada tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan.
Hasil yang diharapkan pada usia ini adalah pemenuhan dan
kepuasan hidup dan kesediaan untuk menghadapi kematian (Wayne &
Llyod, 2006). Tujuan tugas perkembangan lansia adalah menyelesaikan
konflik pada masa lalu & meraih makna hidup yang baru, baiksebagai
penerimaan akan masa lalu lansia maupun sebagai persiapan untuk
menghadapi kematian. Jika proses ini berhasil, hasilnya adalah integritas
(Integrity) dan kebijaksanaan (Wisdom) (Erickson & Erickson dalam Corr,
Nabe & Corr, 2003). Jika tidak berhasil, maka lansia akan merasa tidak puas
dengan hal yang telah dilakukan dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr,
2003).
Erickson (dalam Haditono, 2004) memandang bahwa lansia mencoba
untuk menemukan makna dalam hidup yang akan membantu lansia untuk
menghadapi kematian yang tidak dapat dielakkan. Ahli gerontologi Robert
Butler mengatakan bahwa lansia terlibat dalam proses yang disebut
meninjau kehidupan atau life review dimana lansia merefleksikan konflik
yang tidak dapat diselesaikan pada masa lalu untuk mendapatkan makna
bagi diri sendiri, menemukan makna hidup yang baru dan sesuai serta
mempersiapkan diri untuk kematian (Sigelman & Rider, 2003). Integritas
mengarah pada kemampuan untuk melihat kembali kehidupan seseorang
dan melihatnya sebagai hal yang memuaskan dan bermakna. Kemampuan
melihat hidup sebagai sesuatu yang memuaskan dan bermakna mengarah
pada penerimaan kematian. Individu yang putus asa (despair) memandang
hidup sebagai hal yang tidak memuaskan, mengalami penyesalan yang
besar, menghindari perubahan serta mengalami ketakutan akan kematian
(Lemme, 1995). Integritas sebagaimana yang digunkan dalam teori Erickson
merupakan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup dan menghadapi
kematian tanpa rasa takut (Newman & Newman, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
lansia yang akan diambil oleh peneliti berdasarkan ciri-ciri menurut Mubin
dan Cahyadi (2006), meliputi yaitu perubahan yang bersifat fisik dan
perubahan yang bersifat psikis.
Pengertian Lansia (skripsi dan tesis)
Masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan
yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa
ini adalah masa pemyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan
kesehatan, menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian
diri dengan peran-peran sosial (Santrock, 2006). Lansia merupakan usia
yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia. Usia tahap ini
dimulai pada usia 60 tahun sampai akhir kehidupan (Hasan, 2006). Masa
lansia dibagi dalam tiga kategori yaitu: orang tua muda (young old) (65-74
tahun) , orang tua tua (old-old) (75-84 tahun) dan orang tua yang sangat
tua (oldest old) (85 tahun ke atas) (Papalia, 2005).
Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan.
Penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan pada usia lanjut
daripada pada usia tengah baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif
pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami
kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan
perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paruparu, syaraf dan jaringan tubuh lainnya (Hasan, 2006). Penuaan terbagi
atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder (secondary
aging). Pada penuaan primer tubuh melemah dan mengalami penurunan
karena proses normal yang alamiah. Pada penurunan sekunder terjadi
proses penuaan karena faktor-faktor ekstrinsik seperti lingkungan atau
perilaku (Hasan, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lansia
yang akan peneliti ambil adalah lansia menurut Santrock yaitu lansia
adalah orang-orang yang sudah berumur 60 tahun keatas sampai akhir
kehidupan. Masa lansia juga merupakan masa penyesuaian diri dimana
terjadi kurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan,
dan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial.
Aspek kesepian (skripsi dan tesis)
Menurut Bruno (2000) yang menjadi aspek-aspek kesepian, yaitu:
a) Isolasi
Suatu keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuan-tujuan
hidup, dijauhkan dari masyarakat, keluarga dan lingkungan sekitar
sehingga seseorang tersebut merasa sendirian.
b) Penolakan
Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak diterima, diusir
dan dihalau oleh lingkungannya. Seseorang yang kesepian akan merasa
dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada ditengah-tengah
keramaian.
c) Merasa disalah mengerti
Suatu keadaan dimana seseorang merasa seakan-akan dirinya
disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalah
mengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri
dan merasa tidak mampu untuk bertindak.
d) Merasa tidak dicintai
Adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mendapatkan kasih
sayang, tidak diperlukan secara lembut dan tidak dihormati, merasa
tidak dicintai akan jauh dari persahabatan dan kerjasama.
e) Tidak mempunyai sahabat
Tidak ada seseorang yang berada disampingnya, tidak ada hubungan,
tidak dapat berbagi.
f) Malas membuka diri
Suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut
terluka, senantiasa merasa cemas dan takut jangan-jangan orang lain
akan melukainya.
g) Bosan
Suatu perasaan seseorang yang merasa jenuh tidak menyenangkan tidak
menarik, merasa lemah, orang-orang yang pembosan biasanya orangorang yang tidak pernah menikmati keadaan-keadaan yang ada.
h) Gelisah
Suatu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan
tentram didalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak senang, dan
perasaan galau dilanda kecemasan.
Menurut Galanaki (2004) ada 3 aspek dari kesepian itu:
a. Aspek emosi yaitu kesepian yang merupakan rasa sakit secara
emosional yang diasosiasikan dengan kesedihan dan kebosanan.
b. Aspek kognitif yaitu kesepian yang merupakan hasil persepsi mengenai
adanya kekurangan baik secara kuatitatif dan kualitatif dalam hubungan
interpersonal dan kepuasan dalam terhadap kebutuhan sosial dan
interpersonal dasar yaitu pertemanan, inklusi, dukungan emosional,
afeksi, persekutuan yang dapat dipercaya, peningkatan harga diri dan
kasih sayang.
c. Aspek interpersonal merupakan kesepian yang dikaitkan dengan
berbagai macam konteks yang bersentuhan dengan keterpisahan secara
fisik dan jarak psikologis.
Melihat kedua aspek kesepian di atas dan berdasarkan kondisi lansia
yang ditemukan peneliti di lapangan, yaitu banyak para lansia yang merasa
dirinya tidak dicintai, gelisah, dan lain sebagainya sehingga aspek yang
dipakai dalam penelitian ini menggunakan aspek menurut Bruno (2000) yang
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kesepian merupakan suatu keadaan
yang meliputi keterasingan (isolasi), tidak diterima orang lain (merasa ada
penolakan), merasa disalah mengertikan, merasa tidak dicintai, tidak
mempunyai sahabat, malas membuka diri, bosan, gelisah.
Pengertian Kesepian (skripsi dan tesis)
Penelitian tentang kesepian mulai banyak dilakukan pada awal tahun
70-an. Pengertian kesepian masih masih sangat beragam dari berbagai
perspektif dn pendekatan. Para ahli psikologi berusaha memberikan defenisi
kesepian yang didasari oleh orientasi teoritis masing-masing. Sullivan
memandang kesepian sebagai pengalaman subjektif yang tidak
menyenangkan dan yang bersifat menekan. Keadaan ini disebabkan oleh
tidak terpenuhinya kebutuhan akan keakraban secara adekuat, khususnya
keakraban interpersonal (Feist & Feist, 2006). Kesepian tidak sama dengan
sendiri, ttapi sendiri dapat menjadi awal dari kesepian. Individu dapat terlihat
di kerumunan, tengah-tengah banyak orang, tetapi tetap merasa kesepian.
Kesepian adalah kondisi subjektif individu saat merasa kebutuhan
sosialnya tidak terpenuhi seperti yang diharapkan. Manusia dinyatakan
sebagai makhluk sosial, sehingga hubungan emosional dengan orang lain
merupakan hal yang penting bagi kebanyakan individu (Hughes, Waite,
Hawkley, & Cacioppo, 2004). Bila individu secara subjektif mempersepsikan
bahwa hubungannya dengan orang lain terbatas, mereka biasanya merasakan
kesepian. Kesepian melibatkan rasa terisolasi dan minimnya keterhubungan
secara relasional dan juga koloktif (Russell, Peplau, & Cutrona, dalam
Hughes, Waite, Hawkley, & Cacioppo, 2004). Rasa kesepian tidaklah berarti
merasa sendiri, namun melibatkan rasa terisolasi, tidak terhubung, dan
minimnya kebersamaan. Perasaan tersebut merefleksikan perbedaan antara
harapan dan juga hubungan sosial yang dimiliki. Beberapa individu akan
tetap merasa kesepian meskipun sebenarnya memiliki network sosial yang
besar, hal inilah yang disebut dengan konsep alienasi (Brennan, shaver, dalam
Tomaka, Thompson, & Palacios, 2006).
Menurut Myers (2012), kesepian merupakan sebuah kesadaran yang
penuh perasaan sakit mengenai hubungan sosial yang kurang banyak atau
kurang berarti dibandingkan dengan yang diharapkan. Yang dan Viktor (2008)
mendefinisikan kesepian sebagai adanya penurunan atau ketidak sesuaian
antara keadaan yang sebenarnya dan yang diinginkan dri hubungan sosial
dalam kehidupan seseorang. Sears, dkk (Santrock, 2002) mengatakan
kesepian sebagai suatu pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan
dalam berinteraksi dengan orang lain baik dalam segi kuantitas maupun
kualitas. Kesepian adalah suatu keadaan mental dan emosional yang terutama
dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan
yang bermakna dengan orang lain (dalam Frank, 2000).
Kesepian merupakan suatu keadaan yang menyakitkan dan akan
muncul jika seseorang tersebut merasa tersisih dari kelompoknya, tidak
diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, tidak
ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman, dan tidak mempunyai
pilihan (Suardiman, 2011). Kesepian sendiri merupakan suatu keadaan mental
dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan
kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000)
Teori Identitas (skripsi dan tesis)
Secara sederhana, yang dimaksud dengan identitas adalah rincian karakteristik atau cirri-ciri khusus sebuah kebudayaan yang dimiliki kelompok orang yang diketahui batas-batasnya, tatkala dibandingkan dengan karakteristik kebuadayaan orang lain. Hal ini berarti pula bahwa jika ingin mengetahui dan menetapkan identitas suatu budaya, tidak sekedar menetukan karakteristik fisik atau biologis -semata, tetapi juga mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia melalui tatanan berfikir,perasaan, dan cara bertindak. Menurut Castels identitas adalah pemaknaan dan pengalaman seseorang, sumber penekanan dan pembedaan antara representasi diri dan aksi sosial. Identitas berhubungan dengan peran-peran sosial seorang individu dalam masyarakat. Peran-peran ini seperti pekerja, ibu rumah tangga,kativitas sosial dan lain-lain,dibentuk melalui norma-norma yang terstruktur dalam institusi dan organisasi sosial.
Dalam ilmu sosiologi, perbincangan tentang identitas biasanya dibicarakan dalam konteks esensialisme dan anti esensialisme. Pencarian idfentitas yang didasarkan atas esensialisme berarti bahwa harus ada sesuatu sebagai inti universal dan abadi dalam diri manusia. Esensialisme berasumsi bahwa deskripsi tentang diri mencerminkan suatu identitas esensial. Berdasarkan asumsi ini maka akan ada esensi feminitas, maskulinitas, Mandar, Bugis, dan kategori sosial lainnya. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh para penganut anti esensialisme, bahwa identitas merupakan aspek budaya yang spesifik menurut ruang dan waktu. Pecheux, salah seorang penganut anti esensialisme mengatakan bahwa ada tiga cara dimana identitas subyek terbentuk. Pertama, subyek yang dihasilkan oleh identifikasi (formasi diskursif). Kedua, subyek yang muncul dari praktek counter identifikasi. Ketiga, subyek yang merupakan produk dari praktik politik dan diskursif yang menggunakan sekaligus menentang ideologi dominan. Secara jelas, Pecheux melihat bahwa identitas bukanlah sesuatu yang alami tapi dibentuk oleh jalinan formasi diskursif, politik dan kepentingan budaya.
Dengan demikian, dalam perspektif anti esensialisme tidak ada esensi tentang laki-laki, peremnpuan misalnya. Semua ini hanyalah bentukan yang diwariskan secara tradisional. Identitas dengan demikian dalam pandangan anti esensialisme adalah konstruksi diskursif yang berubah maknanya menurut ruang, waktu, dan pemakaian. Teori identitas, dalam konteks studi mengenai interaksi dan jarak sosial menjadi sangat penting karena identitas merupakan salah satu unsur yang sangat berpengaruh pada terbentuknya prasangka sosial. Identitas seseorang, akan mempengaruhinya dalam memandang orang lain
Teori Mayoritas – Minoritas (skripsi dan tesis)
Teori Mayoritas- Minoritas merupakan salah satu teori yang baik digunakan untuk memotret persoalan prasangka sosial (streotipe, jarak sosial, dan diskriminasi). Secara umum, konsep mayoritas dan minoritas biasanya dihubungkan dengan agama, etnik, ras, golongan, dan politik. Kelompok mayoritas dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang merasa memiliki kekuasaan untuk melakukan control sosial terhadap kelompok minoritas. Kelompok mayoritas biasanya lebih mudah untuk menguasai sumbersumber kekuasaan politik yang sangat berpengaruh dalam masyarakat seperti lembaga pemerintahan, lembaga ekonomi dan agama. Sebaliknya kelompok minoritas kurang memiliki akses terhadap sumber daya, bahkan sangat sulit mendapatkan peluang untuk mendapatkan akses kekuasaan. Hal tersebut mendorong lahirnya ketidak seimbangan kekuasaan dan mendorong terciptanya prasangka sosial mi.’alnya kelompok mayoritas menganggap kelompok minoritas lebih rendah kedudukannya, sementara kelompok minoritas menganggap kelompok mayoritas sebagai kelompok serakah, penindas, dan (jika ada kesempatan) harus ditaklukkan.
Williams menyatakan bahwa kelompok mayoritas memiliki beberapa karakteristik,7 yaitu: 1. Sekelompok orang yang bersikap bahwa mereka lebih superior terhadap kelompok etnik yang dianggap inferior. 2. Mereka percaya bahwa kelompok minoritas adalah kelompok “yang lain” karena itu harus dsipisahkan bahkan harus disingkirkan. 3. Mereka merasa diri sebagai kelompok yang paling berkuasa, mempunyai status sosial yang tinggi, dank arena itu mereka harus dihormati. J. Mereka selalu memiliki rasa takut dan selalu curiga bahwa kelompok minoritas selalu berencana menggerogoti factor-faktor yang menguntungkan kelompok dominan
Hubungan Antara Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri (skripsi dan tesis)
Konsep diri adalah pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain. Aspek – aspek Konsep diri mencangkup fisik, psikis, sosial, moral etik dan keluarga. Lebih lanjut, konsep diri dapat mempengaruhi penyesuaian diri yang dimiliki seseorang Berzonsky (dalam Rahmaningsih, 2014). Penyesuaian diri adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk dapat secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi dan relasi sosial, sehingga tuntutan dalam kehidupan sosialnya dapat diterima dan memuaskan (Schneiders dalam Pritaningrum, 2013). Aspek yang pertama dari konsep diri ialah aspek fisik yang merupakan penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya (Berzonsky dalam Evi, 2003). Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, kepercayaan diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri (Schaneiders dalam Pritaningrum, 2013). Menurut Walgito (1994) penilaian positif terhadap keadaan fisik seseorang sangat membantu perkembangan sikap penerimaan diri ke arah yang positif.
Lebih lanjut, ini disebabkan penilaian positif akan membuat rasa puas terhadap keadaan diri, dan rasa puas ini merupakan awal sikap positif terhadap dirinya dan diri orang lain. Sebaliknya, kondisi fisik yang tidak sehat dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, kurang percaya diri atau bahkan menyalahkan diri sendiri sehingga akan berpengaruh kurang baik bagi proses penyesuain diri (Schaneiders dalam Pritaningrum, 2013). Peranan sosial juga menjadi salah satu yang berperan dalam kehidupan individu dengan sejauh mana individu menilai perfomannya sendiri yang didapatkan melalui aspek sosial (Berzonsky dalam Evi, 2003). Seseorang yang memiliki aspek tersebut akan membuatnya memiliki kemampuan untuk menghargai diri sendiri secara objektif sehingga individu yang mempunyai konsep diri yang baik, akan dapat menyesuaikan dirinya dengan baik juga. Penyesuaian diri yang baik akan membantu individu melakukan evaluasi diri sehingga dapat dengan mudah berinteraksi dengan lingkungannya (Wallis, 1992). Dilain sisi, kurangnya peranan sosial didlam kehidupan seseorang, akan menimbulkan perasaan kurang berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain. Indivu merasa tidak mampu untuk berinteraksi dengan cara yang dimilikinya sehingga menimbulkan perasaan cemas (Fitts dalam Burns, 1979).
Perasaan tersebut dapat mempengaruhi keharmonisan dengan lingkungannya yaitu kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, keterlibatan dalam partisipasi sosial, kesediaan kerjasama, kemampuan kepemimpinan, dan sikap toleransi dalam lingkungannya (Schneiders dalam Evi, 2003). 23 Lingkungan tidak lepas dari bagaimana aspek moral yang dimiliki oleh individu yaitu mengenai persepsi individu mengenai dirinya yang dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika (Berzonsky dalam Evi, 2003). Menurut Schneiders (dalam, Pritaningrum, 2013) individu akan mempertimbangkan adanya norma-norma yang berlaku di lingkungan dalam memenuhi kebutuhan untuk menyesuaikan diri. Pemenuhan kebutuhan akan didapatkan individu melalui proses belajar, seperti belajar memahami, mengerti, dan berusaha untuk melakukan apa yang diinginkan oleh diriya dan juga lingkungannya. Sebaliknya, seseorang yang tidak memenuhi aspek moral akan sulit memiliki sikap mandi mandiri dalam cara berpikir serta bertindak, ketidakmampuan untuk mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta sulit menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku di lingkungan (Hurlock, 2008). Norma yang berlaku dalam lingkungan tentunya tidak lepas dari sikapsikap individu, pikiran, perasaan, dan sikap-sikap terhadap dirinya sendiri merupakan aspek psikis (Berzonsky dalam Evi, 2003). Aspek psikis akan mempengaruhi setiap tindakan yang di lakukan oleh seseorang untuk menghadapi masalah ditempat kos, baik yang berkaitan dengan hubungan sosial, pelajaran dan juga aktifitas di sekolahnya atau kampus (Hurlock, 2008). Dilain sisi, aspek psikis yang tidak terpenuhi akan membuat keadaan mental menjadi tidak sehat, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental dapat melatar belakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri.
Keadaan mental yang tidak baik, sulit mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya (Schneiders, Pritaningrum 2013). Konsep diri yang tinggi membuat seseorang menentukan perilakunya sendiri atau bagaimana sesorang memandang dirinya akan tampak dari keseluruhan perilaku (Pudjijogyanti, 1993). Salah satu perilaku yang ditunjukan yaitu dengan penyesuaian diri yang baik, dengan begitu seseorang akan memiliki respon mental dan tingkah laku dalam berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang di alaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang di harapkan oleh lingkungan seseorang tinggal (Schneiders dalam Evi, 2003). Lain halnya, ketika seseorang memiliki konsep diri yang rendah, maka akan sulit untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga menimbulkan perasaan cemas (Fitts dalam Burns, 1979). Hal tersebut membuat seseorang berpandangan atau menilai dirinya dengan buruk yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain untuk dapat secara efektif dan, sehingga tuntutan dalam kehidupan sosialnya sulit diterima dan tidak memuaskan (Schneiders dalamEvi, 2003). Hal tersebut didukung berdasarkan hasil penelitian Astutik, dkk. (2010) yang mengungkapkan bahwa konsep diri dapat mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Begitu pula dari hasil penelitian Evi (2003) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara konsep diri dengan penyesuaian diri remaja (mahasiswa).
Aspek-aspek Konsep Diri (skripsi dan tesis)
Berzonsky (dalam Rahmaningsih, 2014) mengemukakan bahwa aspekaspek konsep diri meliputi:
a. Aspek fisik (physical self)
Penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti
tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya. Seperti contohnya apakah
individu merasa puas atau tidak dengan apa yang dimiliki oleh individu
tersebut.
b. Aspek sosial (sosial self)
Bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana
penilaian individu terhadap perfomannya. Seperti peranan individu dalam
lingkup peran sosialnya dan penilaian individu terhadap peran tersebut.
c. Aspek moral (moral self)
Merupakan persepsi individu mengenai dirinya dilihat dari standar
pertimbangan nilai moral dan etika. Menyangkut kepuasan hidup akan nilainilai keagamaan dan moral yang dipegangnya yang menyangkut atasan baik
dan buruk.
d. Aspek psikis (psychological self)
Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap
dirinya sendiri. Bagaimana individu akan berpikir tentang dirinya sndiri dan
juga melihat bagaimana sikap-sikap individu sendiri.
Selanjutnya, aspek-aspek konsepdiri dikemukakan oleh Fitts (dalam
Burns, 1979), yaitu:
a. Diri fisik (physical self)
Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang kondisi
kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya. Indivu mampu menerima
kondisi fisiknya.
b. Diri moral-etik (moral-ethical self)
Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang nilai- nilai moraletik yang dimilikinya. Hal tersebut meliputi sifat – sifat baik atau sifat – sifat jelek yang dimiliki induvidu tersebut dan penilaian dalam hubungannya
dengan Tuhan-nya.
c. Diri sosial (sosial self)
Aspek ini mencerminkan sejauh mana perasaan yang dimiliki indivu mampu
dan berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain. Indivu merasa
mampu untuk berinteraksi dengan cara yang dimilikinya sendiri tanpa ada
perasaan cemas.
d. Diri pribadi (personal self)
Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai seorang pribadi, dan
evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya dengan orang
lain. Individu merasa dapat menilai diri sendiri dengan positif.
e. Diri keluarga (family self)
Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga dalam kapasitasnya
sebagai anggota keluarga. Dukungan dari anggota keluarga dapat membantu
individu untuk lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Berdasarkan pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
konsep diri menurut Berzonsky (dalam Rahmaningsih, 2014) yaitu fisik (physical self), sosial (sosial self), aspek moral (moral self), dan psikis (psychological self), sedangkan aspek-aspek konsep diri menurut Fitts (dalam Burns, 1979) yaitu diri fisik (physical self), diri moral-etik, (moral-ethical self), diri sosial (sosial self), diri pribadi (personal self) dan diri keluarga (family self
Pengertian Konsep Diri (skripsi dan tesis)
Berzonsky (dalam Rahmaningsih, 2014) menyatakan bahwa konsep diri yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya. Brooks (dalam Rakhmat, 17 2002) menjelaskan bahwa konsep diri sebagai pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, pandangan individu diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai arti penting dalam hidupnya. Konsep diri ini bukan merupakan faktor bawaan tetapi faktor yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Grinder (1976) bahwa persepsi orang mengenai dirinya dibentuk selama hidupnya melalui hadiah dan hukuman dari orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya Pudjijogyanti (1993) menambahkan bahwa konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari keseluruhan perilaku. Dengan kata lain, perilaku individu akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas tertentu, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuannya tersebut.
Partosuwido, dkk (1985) menambahkan bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal dan sosial. Menurut Centi (1993) konsep diri (selfconcept) adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita meninginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan. Sasse (dalam Suyuti, 2010) mengelompokkan 18 konsep diri menjadi dua yaitu; konsep diri positif dan konsep diri negatif. Individu yang memiliki konsep diri positif akan dapat menerima dirinya apa adanya tanpa merasa tertekan dan terbebani dengan keadaan dirinya maupun pandangan orang lain terhadapnya. Individu dengan konsep diri negatif tidak memiliki kepercayaan diri, cenderung tidak dapat menerima kelemahankelemahan dirinya sehingga individu menjadi frustrasi, cenderung berpikir negatif dan selalu khawatir.
Aspek-aspek Penyesuaian Diri (skripsi dan tesis)
Menurut Schneiders (dalam Evi, 2003) aspek penyesuaian diri terbagi
menjadi tiga, yaitu :
a. Kemampuan individu untuk menerima keadaan dirinya
Kemampuan individu untuk menerima keadaan dirinya ialah kemantapan
suasana kehidupan emosional, kemantapan suasana kehidupan kebersamaan
dengan orang lain, kemampuan untuk santai, gembira dan mampu menerima
kenyataan diri sendiri.
b. Keharmonisan dengan lingkungan
Keharmonisan dengan lingkungan ialah kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan, keterlibatan dalam partisipasi sosial,
kesediaan kerjasama, kemampuan kepemimpinan, dan sikap toleransi.
c. Kemampuan mengatasi ketegangan, konflik dan frustrasi
Kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan diri tanpa terganggu oleh
emosi, kemudian kemampuan memahami orang lain dan keragaman,
kemampuan mengambil keputusan dan dapat mengatasi suatu permasalahan
dengan tenang.
Aspek-aspek penyesuaian diri berikutnya dikemukakan oleh Hurlock (2008),
yaitu :
a. Mampu menilai diri secara realistik
Mampu menilai diri secara realistik ialah individu dengan kepribadian sehat dapat menilai diri sesuai dengan kenyataan, baik kelebihan maupun kelemahan yang menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, kesehatan dan kemampuan).
b. Mampu menilai situasi secara realistik
Individu dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dihadapi secara realistik dan bersedia menerimanya secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan tersebut sebagai suatu yang harus sempurna.
c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik
Individu dapat menilai prestasinya secara realistik dan menanggapi secara
rasional, tidak menjadi sombong dan angkuh apabila memperoleh prestasi yang tinggi, atau kesuksesan dalam hidup. Pada saat mengalami kegagalan tidak menanggapi dengan frustrasi, namun dengan sikap yang tetap optimis.
d. Menerima tanggung jawab
Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung jawab, mempunyai
keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah – masalah
kehidupan yang dihadapi.
e. Kemandirian
Individu memiliki sikap mandiri dalam cara berpikir dan bertindak, memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri
serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku di
lingkungan.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atat dapat dikesimpulan bahwa
aspek-aspek penyesuaian diri menurut Schneiders (dalam Evi, 2003), yaitu
kemampuan individu untuk menerima keadaan dirinya, keharmonisan dengan
lingkungan, kemampuan mengatasi ketegangan, selain itu terdapat aspek-aspek penyesuaian diri lainnya menurut Hurlock (2008) yaitu mampu menilai diri secara realistik, mampu menilai situasi secara realistik, mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik, menerima tanggung jawab, dan kemandirian.
Pengertian Penyesuaian Diri (skripsi dan tesis)
Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu. Individu akan berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang di alaminya. Hal tersebut dapat mewujudkan tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang di harapkan oleh lingkungan individu tinggal (Schneiders dalam Pritaningrum, 2013). Hurlock (2008) menjelaskan bahwa penyesuaian diri secara lebih umum, yaitu apabila seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap orang lain secara umum ataupun terhadap kelompoknya, dan individu memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan berarti individu diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Dengan kata lain, orang itu mampu menyesuaikan sendiri dengan baik terhadap lingkungannya. Menurut Ali dan Asrori (2005) penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada sebelumnya. Semiun (2006) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu istilah yang sangat sulit didefinisikan karena penyesuaian diri mengandung banyak arti. Kriteria untuk menilai penyesuaian diri tidak dapat dirumuskan secara jelas karena penyesuaian diri atau ketidak mampuan menyesuaikan diri (maladjustment) memiliki batas yang sama sehingga akan mengaburkan perbedaan di antara keduanya. Lebih lanjut, penyesuaian diri tidak bisa dikatakan baik atau buruk, sehingga Semiun mendefinisikan penyesuaian diri dengan sangat sederhana, yaitu suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustrasi-frustrasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepada individu oleh dunia dimana individu hidup. Penyesuaian diri juga merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri idividu dengan lingkungannya (Sunarto, 2008). Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental tingkah laku dan individu mampu untuk mengatasi konflik–konflik yang dialami, sehingga akan terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam dirinya dan dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan.
Dampak gagal penyesuaian diri (skripsi dan tesis)
Kegagalan tidak pernah hilang dalam kehidupan, segala sesuatu yang sudah direncanakan secara baik dan tersusun bisa gagal kapan saja. Meskipun dengan usaha yang begitu kuat dan semaksimal mungkin pasti pernah terjadi sebuah kegagalan. Begitu dengan penyesuaian diri, individu pasti akan merasakan kegagalan dalam melakukan sebuah penyesuaian diri pada sebuah tempat baru yang dihadapinya. Dalam kegagalan penyesuaian diri, terdapat beberapa dampak yang dihasilkan dari kegagalan itu. Suryawan (2012) mengatakan dampak lain dari kegagalan penyesuaian diri yaitu gangguan mental organik dan gangguan mental fungsional yang disebabkan salah belajar dan gagal mendapatkan pola yang memadai untuk menyesuaiakan diri dengan tekanan kehidupan lingkungan sekitar, yaitu:
a. Psikosis
Dampak yang dihasilkan berupa gangguan afektif (depresi), schizophrenia, dan paranoia (curiga).
b. Neurotic
Dampak yang dihasilkan berupa kecemasan, disosiasi, reaksi konversi, phobia, dan obsesif kompulsif.
c. Gangguan kepribadian
Ahmadi dkk (2008) mengatakan terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan apabila seseorang tidak mampu atau gagal dalam melakukan penyesuaian diri pada lingkungan sekitar, diantaranya sebagai berikut:
a. Kesulitan bergaul
Hal ini membuat individu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain atau orang baru yang ada di lingkungan sekitar
. b. Minder
Tidak ada keberanian dalam diri individu, takut salah jika berkomunikasi dengan orang lain yang ada di lingkungan sekitar.
c. Tertutup
Ketika individu sudah menjadi minder, maka individu akan menutup dirinya dari lingkungan sekitar. d. Dikucilkan
Ketika individu sudah minder dan tertutup, maka tidak akan bergaul dengan orang yang ada di lingkungan sekitar. Sehingga masyarakat akan menganggap individu tersebut menyimpang dari yang seharusnya ada dalam masyarakat tersebut dimana individu itu tinggal sekarang. Berdasarkan penjelasan dampak dari kegagalan dalam penyesuaian diri di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak dari gagal penyesuaian diri yaitu dari segi psikosis yang membuat individu tersebut mengalami stres dan depresi, segi neurotic yang membuat individu tersebut merasa cemas dan takut dalam berinteraksi sehingga menjadi sulit dalam bergaul, dikucilkan dari lingkungan sekitar dan tidak mampu dalam mencapai kebahagiaan yang diinginkan, serta mengalami gangguan kepribadian.
Proses penyesuaian diri (skripsi dan tesis)
Proses penyesuaian diri melibatkan beberapa unsur, seperti motivasi, sikap terhadap realitas dan pola dasar penyesuaian diri, menurut Schneiders (dalam Ali dkk, 2009).
a. Motivasi Faktor motivasi merupakan kunci dasar dalam memahami proses penyesuaian diri, sama halnya dengan kebutuhan. Perasaan dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organisme.
b. Sikap terhadap realitas Sikap yang sehat terhadap realitas dan kontak yang baik terhadap realitas itu sangat diperlukan bagi proses penyesuaian diri yang sehat, untuk membuat individu terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses kearah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap dengan tuntutan eksternal dari realitas.
c. Pola dasar penyesuaian diri Suatu rancangan atau cara awal dalam melakukan atau memecahkan suatu permasalahan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar.
Tanpa mengalami kesulitan dan hambatan dalam melakukannya. Proses penyesuaian diri menurut Sunarto dkk (2008), dapat ditunjukkan sebagai berikut:
a. Mula-mula individu di satu sisi merupakan dorongan keinginan untuk memperoleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan di sisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri.
b. Kemampuan menerima atau menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan.
c. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yanga ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya. d. Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes, dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh kecemasan atau ketakutan.
e. Bertindak sesuai dengan potensi-potensi positif yang layak dikembangkan sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan.
f. Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran, selalu menunjukkan perilaku hormat sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang serius dengan keadaan dirinya
. g. Kesanggupan merespon frustrasi, konflik, dan stres secara wajar, sehat dan profesional, dapat mengontrol dan mengendalikan sehingga dapat memperoleh manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam.
h. Kesanggupan bertindak secara terbuka dan sanggup menerima kritik dan tindakannya dapat bersifat murni sehingga sanggup memperbaiki tindakantindakan yang sudah tidak sesuai lagi.
i. Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta selaras dengan hak dan kewajbannya.
j. Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan segala sesuatu di luar dirinya sendiri sehingga tidak pernah merasa tersisih dan kesepian.
Dari penjelasan proses penyesuaian diri di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penyesuaian diri mencakup beberapa unsur berupa motivasi yang mendorong seseorang untuk memiliki sebuah keinginan yang baik bagi dirinya, sikap terhadap realitas yang menerima atau menilai kenyataan dengan mampu bertindak sesuai potensi positif, dinamis, terbuka dan sesuai norma yang ada, serta pola dasar penyesuaian diri yang dimiliki dari rasa hormat pada sesama manusia yang saling bertoleransi antar individu dan percaya pada diri sendiri sehingga mampu mengontrol diri dalam memperoleh manfaat bagi diri sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri (skripsi dan tesis)
Menurut Schneiders (dalam Ali dkk, 2009) faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri adalah:
a. Kondisi fisik
Kondisi fisik individu adalah faktor yang sangat mempengaruhi penyesuaian
diri seorang individu yaitu hereditas dan konstitusi fisik, sistem utama tubuh,
dan kesehatan fisik.
b. Kepribadian
Pada setiap tahap perkembangan kepribadian memiliki unsure penting dalam
penyesuaian diri yaitu kemauan dan kemampuan untuk berubah, pengaturan
diri, realisasi diri, dan kecerdasan. Bukan hanya proses pembelajarannya saja
namun kepribadian individu juga penting dalam membantu proses penyesuaian diri individu.
c. Edukasi/pendidikan
Mental sehat merupakan sebuah syarat dalam mencapai penyesuaian diri yang baik, tetapi jika memiliki unsur penting dalam pendidikan yaitu belajar,
pengalaman, latihan dan determinasi diri, akan memberikan respon yang baik
dalam penyesuaian diri individu.
d. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan
pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggotanya
merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri
individu. Unsur penting yang dapat mempengaruhi yaitu lingkungan sekolah,
rumah maupun keluarga, semua memiliki peran yang sangat penting.
e. Agama dan budaya
Agama yang memiliki kaitan yang erat dengan budaya, memiliki pengaruh
yang baik dalam penyesuaian diri individu. Agama yang memberikan nilai,
keyakinan dan makna yang mendalam, kestabilan dan keseimbangan dalam
hidup.Serta budaya yang diwariskan kepada individu melalui berbagai media
dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Menurut Ghufron dkk (2014) secara garis besar faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Faktor internal yang berasal dari diri individu yang meliputi: kondisi jasmani,
psikologis, kebutuhan, kematangan intelektual, emosional, mental, dan
motivasi.
b. Faktor eksternal yaitu dari lingkungan yang meliputi:lingkungan rumah,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Menurut Fatimah (2006). Faktor yang mempengaruhi penyesuian diri terdiri
dari faktor internal maupun faktor eksternal, faktor-faktor itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Faktor fisiologis
Kesehatan dan penyakit jasmaniah berpengaruh terhadap penyesuaian diri.
Kualitas penyesuaian diri yang baik hanya dapat dicapai dalam kondisi
kesehatan jasmaniah yang baik pula. Gangguan penyakit yang kronis dapat
menimbulkan kurangnya kepercayaan diri, perasaan rendah diri, rasa
ketergantungan, perasaan ingin dikasihi dan sebagainya.
b. Faktor psikologis
Banyak faktor psikologis yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri
seperti pengalaman, hasil belajar, kebutuhan-kebutuhan, aktualisasi diri,
frustrasi, depresi dan sebagainya.
c. Faktor perkembangan dan kematangan
Dalam proses perkembangan, respon berkembang dari respon yang bersifat
instinktif menjadi respon yang bersifat hasil belajar dan pengalaman.
Bertambahnya usia, perubahan dan perkembangan respon, tidak hanya
diperoleh melalui proses belajar, tetapi juga perbuatan individu telah matang
untuk melakukan respon dan ini menentukan pola penyesuaian dirinya.
d. Faktor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja adalah sebagai berikut:
1) Lingkungan keluarga yang harmonis yaitu lingkungan keluarga yang di
dalamnya terdapat cinta kasih, respek, toleransi, rasa aman, dan kehangatan,
seorang anak akan dapat melakukan penyesuaian diri secara sehat dan baik.
Di lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan
berbagai kemampuan, yang dipelajarinya melalui permainan, senda gurau,
pengalaman sehari-hari dalam keluarga. Di dalam keluarga, seorang anak
belajar untuk tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi rasa dengan
anggota keluarga dan belajar menghargai hak orang lain. Di dalam keluarga
seorang anak mempelajari dasar-dasar dari cara bergaul dengan orang lain.
2) Lingkungan teman sebaya yaitu menjalin hubungan erat dan harmonis
dengan teman sebaya sangatlah penting pada masa remaja. Suatu hal yang
sulit bagi remaja adalah menjauh dari dan dijauhi oleh teman. Pengertian dan
saran-saran dari teman akan membantu dirinya dalam menerima keadaan
dirinya serta memahami hal-hal yang menjadikan dirinya berbeda dari orang
lain dan keluarga orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya, semakin
meningkat keadaannya untuk menerima dirinya, mengetahui kekuatan dan
kelemahannya. Ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.
3) Lingkungan sekolah yaitu sekolah tidak hanya terbatas pada masalah
pengetahuan dan informasi saja, tetapi juga mencakup tanggung jawab moral
dan sosial secara luas dan kompleks. Dengan demikian, proses pendidika
merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang
diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan individu.
e. Faktor agama dan budaya
Proses penyesuaian diri anak, mulai lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor kultur dan agama.
Lingkungan kultural tempat individu berada dan berinterakasi akan menentukan pola-pola penyesuaian dirinya.
Dari penjelasan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri di atas,
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah faktor internal berupa fisik, kesehatan, kebutuhan, pendidikan, mental, kematangan, kepribadian, pengalaman serta respon yang baik dari hasil pengalaman yang diperoleh, dan faktor eksternal berupa lingkungan rumah, lingkungan keluarga, lingkungan teman sebaya, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat serta agama dan budaya yang ada di sekitar.
Aspek-aspek penyesuaian diri (skripsi dan tesis)
Penyesuaian diri yang baik sangat diperlukan oleh seorang mahasiswa pendatang dalam menghadapi gaya hidup dan kebiasaan yang baru. Individu harus mampu untuk berinteraksi dengan baik dan benar pada orang sekitarnya, selain itu juga harus mampu mengikuti adat kebiasaan yang sudah ada sebelumnya di lingkungan baru itu. Untuk bisa mendapatkan penyesuaian diri yang baik pula, individu harus mampu memenuhi beberapa aspek dari penyesuaian diri yang baik. Karena dengan mampu dan dapat memenuhi kriteria tersebut maka individu dikatakan berhasil dalam menjalankan penyesuaian diri pada lingkungan barunya. Adapun beberapa aspek dalam penyesuaian diri yang baik yang disampaikan oleh beberapa peneliti.
Schneiders (dalam Clarabella dkk, 2015) menyatakan bahwa penyesuaian diri memiliki enam aspek, yaitu:
a. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan Individu mengontrol emosinya dalam menghadapi suatu masalah dengan cerdas dan dapat menentukan berbagai alternative penyelesaian masalah
. b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal Menekankan pada penyelesaian masalah dengan melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri dan tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi.
c. Frustrasi personal yang minimal Meminimalkan frustrasi yang dapat memunculkan perasaan tidak berdaya dan mengakibatkan individu mengalami kesulitan dalam kemampuan berpikir.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri Menekankan pada individu yang berpikir dan mempertimbangkan masalah serta mengorganisasi pikiran, tingkah laku, dan perasaan untuk jalan keluar.
e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu Pengalaman dirinya maupun pengalaman orang lain dapat menjadi proses belajar individu dengan melakukan analisis faktor-faktor yang dapat membantu dan mengganggu penyesuaiannya. f. Sikap realistis dan objektif Sikap realistis dan objektif bisa didapatkan dari pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Runyon dan Haber (dalam Irene, 2013) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memilki lima aspek sebagai berikut:
a. Persepsi yang akurat terhadap realita
Hal ini termasuk pengakuan kita terhadap kemungkinan munculnya distorsi atau perubahan persepsi dan interpretasi kita pada suatu kejadian.
b. Kemampuan untuk mengatasi stres dan kecemasan
Coping terhadap stres atau kecemasan akan terjadi apabila kita mau mengakui bahwa pencapaian tujuan dalam hidup akan memberikan arah dan jalan serta membuat kita dapat lebih bertahan dari keinginan, kekalahan yang tidak terelakkan, rasa frustrasi dan stres yang mungkin terjadi.
c. Self- image positif
Penilaian diri yang kita lakukan harus bersifat positif dan negatif.Kita tidak boleh terjebak pada satu penilaian saja terutama penilaian yang tidak diinginkan, kita harus berusaha memodifikasi penilaian positif dan negatif tersebut menjadi suatu perubahan yang lebih luas dan lebih baik. Individu seharusnya mengakui kelemahan dan kelebihannya, jika seseorang mengetahui dan memahami dirinya denga cara yang realistik, dia akan mampu mengembangkan potensi, sumber-sumber dirinya secara penuh.
d. Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan Individu mampu merasakan, mengekspresikan keseluruhan emosi secara realistik dan tetap berada di bawah kontrol.Masalah-masalah dalam pengungkapan perasaan seperti kurang kontrol atau adanya kontrol yang berlebihan. Kontrol yang berlebihan dapat menyebabkan dampak yang negatif, sedangkan kurangnya kontrol akan menyebabkan emosi yang berlebihan.
e. Hubungan interpersonal yang baik
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Sejak kita berada dalam kandungan, kita selalu tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti kebutuhan fisik, sosial dan emosi. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mampu menciptakan suatu hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain.
Menurut Fatimah (2006), penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial.
a. Penyesuaian pribadi
Kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapainya hubungan yang harmonis antara dirinya dan lingkungan sekitarnya
. b. Penyesuaian sosial
Kehidupan dalam bermasyarakat terjadi proses saling mempengaruhi satu sama lain yang terus-menerus dan silih berganti. Dari proses tersebut, timbul suatu pola tingkah laku yang sesuai dengan aturan, hukum, adat istiadat, nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Proses ini dikenali dengan istilah proses penyesuaian sosial.
Pengertian penyesuaian diri (skripsi dan tesis)
Schneider (dalam Agustiani, 2006), mengatakan bahwa penyesuaian diri diartikan sebagai suatu proses yang mencakup suatu respon mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, konflik dan frustrasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal. Penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustrasi-frustrasi dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh dunia dimana ia hidup (Semiun, 2006). Colhoun-dan-Acocella (dalam Sobur, 2009) mengatakan penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang kontinu dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia individu itu sendiri. Suatu interaksi yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap menekankan sebuah hubungan yang harmonis dengan orang lain dan lingkungan yang ada di sekitarnya, serta mampu menghadapi situasi baru yang akan dihadapinya dengan menyelaraskan dirinya sesuai dengan norma dan aturan yang ada di lingkungan tersebut. Kemudian menurut Gerungan (2004) penyesuaian diri adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan (autoplastis=dibentuk sendiri) dan mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri (aloplastis=yang lain) sehingga penyesuaian diri ada artinya pasif dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan dan ada artinya aktif dimana kita pengaruhi lingkungan. Kartono (dalam Mahmudi dkk, 2014) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan lain-lain emosi negatif sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis.
Penyesuain diri merupakan suatu cara seseorang untuk dapat diterima disuatu tempa ataupun suatu keadaaan dan dapat beraktivitas dengan biasa tanpa ada yang mengganggu atau menghalanginya dengan melakukan sosialisasi dan bergaul pada lingkungan sekitar tempatnya dengan baik dan sesuai dengan aturan yang ada tanpa menimbulkan sebuah permasalahan. Bergaul dan bersosialisasi dengan sewajarnya tanpa menimbulkan sebuah permasalahan di lingkungan yang baru itu, membuat seseorang merasa bahwa diriya sudah mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tersebut. Sunarto dkk (2008) juga mengatakan penyesuaian diri adalah proses individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan, penyesuaian diri yang sempurna terjadi jika manusia atau individu selalu dalam keadaan seimbang antara dirinya dengan lingkungan. Sedangkan menurut Hurlock (2002) penyesuaian diri meruakan perbaikan perilaku yang dibangun oleh seseorang yang merasa perilakunya menyebabkan dirinya sulit untuk menyatu dan diterima dalam kelompok, membuat seseorang berusaha untuk memperbaiki perilakunya sehingga dapat diterima oleh kelompok. Berdasarkan dari teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup suatu respon mental dan tingkah laku, dengan individu berinteraksi secara kontinu pada dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya dengan mengubah diri sesuai dengan keadaan sekitar dalam mencapai keharmonisan dan keseimbangan diri, yang berguna untuk menghilangkan prasangka buruk atau pikiran negatif dalam memenuhi kebutuhan serta dapat menyatu dan diterima dalam kelompok atau lingkungan yang ada di sekitarnya
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi (skripsi dan tesis)
Menurut Hurlock (2008) hal-hal yang dapat memengaruhi kematangan
emosi adalah:
a. Gambaran tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi-reaksi
emosional.
b. Membicarakan berbagai masalah pribadi dengan orang lain.
c. Lingkungan sosial yang dapat menimbulkan perasaan aman dan
keterbukaan dalam hubungan sosial .
d. Belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosi.
e. Kebiasaan dalam memahami dan menguasai emosi (kematangan) dan
nafsu.
Menurut Schneider (1964) tercapainya kematangan emosi didukung oleh
kesehatan fisik yang berhubungan dengan kesehatan emosi dan penyesuaian
emosi. Sedangkan menurut Young, faktor-faktor yang mempengaruhi
kematangan emosi yang lain adalah:
a. Faktor lingkungan yaitu adanya faktor lingkungan individu, misalnya
lingkungan yang tidak aman akan mempengaruhi emosinya.
b. Faktor pengalaman yaitu bagaimana pengalaman hidup individu yang
telah memberikan masukan nilai-nilai dalam kehidupan.
c. Faktor individu yaitu factor-faktor yang terdapat dalam diri individu itu
sendiri, contohnya bagaimana kepribadiannya.
Dari pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa faktor-faktor
kematangan emosi yang memengaruhi kematangan emosi adalah; faktor
lingkungan di sekitar individu, faktor keluarga hal ini berkaitan dengan
perhatian, kasih-sayang dan perasaan aman, faktor keadaan individu
meliputi keadaan fisik, kepribadiannya, maupun keadaan emosi.
Aspek-Aspek Kematangan Emosi (skripsi dan tesis)
Overstreet (Schneider, 1964) mengungkapkan bahwa kematangan emosi
seseorang memiliki aspek – aspek sebagai suatu ciri sifat atau perilaku yang
dapat terlihat atau perilaku yang dapat terlihat atau diobservasi, aspek
tersebut yaitu:
a. Kecukupan respon emosional (Adequancy of Emotional Respon) adalah
kemampuan seseorang untuk menampilkan respon emosional dengan
kadar yang tepat, tidak berlebihan atau kurang, yang berarti bahwa
respon-respon emosinya harus cocok dengan tingkat pertumbuhannya.
Orang dewasa yang seperti anak kecil menggunakan tangisan atau
ledakan kemarahan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya
merupakan ketidak matangan emosi.
b. Jarak dan kedalaman emosi (Emotional range and Depth) adalah
kemampuan seseorang untuk menampilkan respon emosional yang
sesuai dengan rangsangan yang diterima. Kematangan emosi menuntut
adanya suatu perkembangan yang memadai sehingga mampu menjadi
dasar penyesuaian yang baik. Seseorang dikatakan belum mencapai
kematangan emosi adalah seseorang yang mempunyai perasaan dangkal
dan memperlihatkan sebagai seseorang yang terlalu simpatik atau
seseorang yang memiliki kekurangan perasaan cinta, simpati, perhatian,
dan keramahan.
c. Kontrol Emosi (Emotional Control) adalah kemampuan seseorang
untuk mengendalikan dan mengontrol emosi. Kontrol emosi yang
kurang atau berlebih akan menghambat penyesuaian sosial. Sikap dan
perilaku individu yang menunjukkan kurangnya kontrol emosi antara
lain, kemarahan yang meledak-ledak yang ditunjukkan dengan perilaku
emosional, misalnya membanting barang atau berkelahi. Kegagalan
seseorang untuk mengatur perasaan merupakan salah satu factor penting
yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya seseorang dalam
mengendalikan emosinya. Seseorang dikatakan belum matang
emosinya ketika seseorang tersebut masih terus menerus menjadi
korban oleh perasaan takut, cemas, marah, cemburu, dan rasa benci..
Sedangkan menurut Walgito (2004) aspek-aspek kematangan emosi
antara lain:
a. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun orang lain seperti apa
adanya secara obyektif.
b. Tidak bersifat impulsive, yaitu individu akan merespon stimulus dengan
cara mengatur fikirannya secara baik untuk memberikan tanggapan
terhadap stimulus yang mengenainya, orang yang bersifat impulsive
yang segera bertindak suatu pertanda bahwa emosinya belum matang.
c. Dapat mengontrol emosinya atau dapat mengontrol ekspresi emosinya
secara baik, walaupun seseorang dalam keadaan marah tetapi marah itu
tidak ditampakkan keluar, karena dia dapat mengatur kapan kemarahan
itu perlu dimanifestasikan.
d. Bersifat sabar, pengertian, dan umumnya cukup mempunyai toleransi
yang baik.
e. Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri tidak
mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh
pertimbangan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa aspek-aspek
kematangan emosi yang dikemukakan di atas menurut Walgito (2004),
aspek-aspek ini juga yang digunakan untuk penelitian meliputi; dapat
menerima keadaan dirinya maupun orang lain, tidak implusif, dapat
mengontrol emosi dan mengontrol ekspresi dengan baik, dapat berfikir
objektif dan realistis, mempunyai tanggung jawab yang baik dapat berdiri
sendiri dan tidak mudah merasa frustrasi. Aspek ini dipilih dikarenakan
peneliti memandang bahwa aspek kematangan emosi sesuai dengan
konstruk yang akan diteliti oleh peneliti yaitu dapat mengetahui sejauh
mana tingkat kematangan emosi subjek.
Pengertian Kematangan Emosi (skripsi dan tesis)
.
Chaplin (Kartono, 2011) dalam bukunya menjelaskan kematangan
emosi (emotional maturity) adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai
tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, karena itu pribadi yang
bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi
anak-anak. Morgan (Kafabi, 2012) mengatakan dalam introduction to
psychology, kematangan emosi merupakan keadaan emosi yang dimiliki
seseorang dimana apabila mendapat stimulus emosi tidak menunjukkan
gangguan emosi. Gangguan kondisi emosi yang terjadi tersebut dapat
berupa keadaan kebingungan, berkurangnya rasa percaya diri dan
terganggunya kesadaran sehingga orang tersebut tidak dapat menggunakan
pemikirannya secara efektif dan rasional. Kematangan emosi dimana juga
memiliki pengertian sebagai kemampuan untuk memikirkan emosi yang
membantu meningkatkan kemampuan untuk menguasai atau
mengendalikannya.
Menurut Hurlock (2008) kematangan emosi dapat dikatakan sebagai
suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu
obyek permasalahan sehingga untuk mengambil suatu keputusan atau
bertingkah laku didasari dengan suatu pertimbangan dan tidak mudah
berubah-ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain.
Menurut Sudarsono (1993) emotional maturity adalah kedewasaan secara
emosi, tidak terpengaruh kondisi kekanak-kanakan, atau sudah dewasa
secara sosial. Kartono (2011) mengatakan kematangan emosi sebagai
kedewasaan dari segi emosional dalam arti individu tidak lagi terombangambing oleh motif kekanak-kanakan.
Menurut Cole (Nyul, 2008) emosi yang matang memiliki sejumlah
kemampuan utama yang harus dipenuhi yaitu; kemampuan untuk
mengungkapkan dan menerima emosi, menunjukkan kesetiaan,
menghargai orang lain secara realitas, menilai harapan dan inspirasi,
menunjukkan rasa empati terhadap orang lain, mengurangi pertimbanganpertimbangan yang bersifat emosional, serta toleransi dan menghormati
orang lain (Sumitro, 2012). Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai
kemampuan mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan
mempertimbangkan perasaan dan keyakinan orang lain (Covey, 2001).
Dariyo (2006) juga mendefinisikan kematangan emosi sebagai keadaan
atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi
sehingga individu tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak
pantas.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kematangan
emosi itu adalah suatu kondisi emosional dimana tingkat kedewasaan
individu yang terkendali, tidak kekanak-kanakan, tidak ada amarah yang
meluap-luap, dan mampu mengungkapkan emosi sesuai kondisi yang ada
yang mana individu dapat menilai situasi secara kritis sebelum bereaksi
secara emosional dan peduli terhadap perasaan orang lain. Kematangan
emosi juga merupakan kesiapan individu dalam mengendalikan dan
mengarahkan emosi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi,
kesiapan tersebut tercapai sesuai dengan perkembangan usia
Pengertian Emosi (skripsi dan tesis)
Secara harafiah menurut Oxford English Dictionary (Goleman, 1999).
Emosi didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pengolahan pikiran,
perasaan, nafsu setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.
Goleman (1999) menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran-pikiran khasnya suatu keadaan biologis, psikologis, dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Dari segi etimologi emosi
berasal dari kata bahasa latin “movere” yang berarti menggerakkan,
“move” yang berarti bergerak dan “e” yang memberi arti bergerak menjauh
(Darwis, 2006).
Chaplin (Kartono, 2011) mendefinisikan emosi sebagai suatu yang
terangsang dari organism, mencakup perubahan-perubahan yang disadari,
yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Menurut Darwis (2006)
mendefinisikan emosi sebagai suatu gejala psiko-fisiologis yang
menimbulkan efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku serta
mengejawantah dalam bentuk ekspresi tertentu. Emosi dirasakan secara
psikofisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Ketika emosi
bahagia meledak-ledak ia secara psikis memberi kepuasan, tapi secara
fisiologis membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki menjadi
terasa ringan. Juga tak terasa berteriak puas kegirangan, namun hal-hal
yang disebutkan tidak sespesifik terjadi pada semua orang dalam seluruh
kesempatan. Mengutip pendapat Sarwono (1989) emosi adalah suatu yang
mendorong terhadap sesuatu dalam diri manusia, emosi merupakan
penyusunan organis yang timbul secara otomatis pada diri manusia dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu.
Dari rangkaian penjelasan diatas dapat disimpulkan emosi adalah
suatua gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap,
dan tingkah laku yang mendorong sesuatu dalam diri manusia,yang
mencakup perubahan-perubahan yang disadari yang mendalam sifatnya
dan perkembangannya melewati berbagai fase
Pengertian Kematangan (skripsi dan tesis)
Chaplin (2006) mengartikan kematangan (maturation) sebagai
perkembangan proses mencapai kemasakan atau usia masak, proses
perkembangan yang dianggap berasal dari keturunan atau merupakan
tingkah laku khusus spesies (jenis, rumpun). Myers (1996) mendefinisikan
kematangan (maturation) sebagai proses biologi yang memungkinkan
tertib dalam prilaku, relatif tidak terpengaruh oleh pengalaman. Sedang
menurut Zigler dan Stevenson (1993) kematangan adalah perubahan
fisiologis yang terjadi pada semua spesies dari waktu ke waktu dan tanpak
sesuai dengan perencanaan genetic. Sementara itu Davidoff (1991)
menggunakan istilah kematangan (maturation) untuk menunjuk pada
munculnya pola perilaku tertentu yang tergantung pada pertumbuhan
jasmani dan kesiapan susunan saraf.
Kematangan itu sebenarnya merupakan suatu potensi yang dibawa
individu sejak lahir, timbul dan bersatu dengan pembawaannya serta turut
mengatur pola perkembangan tingkah lakuindividu. Kematangan tidak
dapat dikategorikan sebagai faktor keturunan atau bawaan, karena
kematangan merupakan sifat tersendiri yang umum dimiliki oleh individu
dalam bentuk dan masa tertentu.
Dari berbagai pendapat di atas dikesimpulan bahwa kematangan
adalah sebagai perkembangan proses mencapai kemasakan atau usia
masak yang dibawa individu sejak lahir, timbul dan bersatu dengan
pembawaannya serta turut mengatur pola perkembangan tingkah
lakuindividu
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri (skripsi dan tesis)
.
Menurut Fatimah (2006), proses penyesuaian diri sangat dipengaruhi
oleh faktor – faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri, baik internal
maupun eksternal. Adapun faktor internal yaitu : faktor fisiologis, faktor
psikologis yang mencakup faktor pengalaman, seperti : persepsi,
kematangan emosi, harga diri dan lain-lain, faktor belajar, determinasi diri,
dan faktor konflik. Sedangkan faktor eksternal meliputi kematangan sosial,
moral, faktor lingkungan, agama dan budaya.
Faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri dikelompokkan
menjadi dua kelompok menurut Soeparwoto (2004) yang terdiri dari faktor
internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal
1) Motif, merupakan dorongan-dorongan sosial seperti dorongan
untuk berprestasi, dorongan untuk menjadi lebih unggul didalam
lingkungan, dorongan untuk bersosialisasi.
2) Self-concept atau konsep diri, bagaimana individu memandang
dirinya sendiri serta sikap yang dimilikinya, baik terkait degan
dimensi fisik, karakteristik individual dan motivasi diri. Selain itu,
meliputi kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh dirinya, dan juga
kekurangan atau kegagalan dirinya. Individu yang memiliki konsep
diri yang positif akan mampu menyesuaiakan diri dan
menyenangkan dibandingkan dengan individu yang memiliki
konsep diri yang buruk.
3) Persepsi, adalah proses pengamatan dan penilaian melalui kognitif
maupun afeksi individu terhadap objek, peristiwa dalam
pembentukan konsep baru.
4) Sikap, merupakan kesiapan atau kesediaan individu untuk
bertindak. Individu dengan sikap yang baik cenderung lebih mudah
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dibandingkan dengan
individu yang memiliki sikap tidak baik.
5) Intelegensi dan minat, intelegensi sebagai langkah awal dalam
berinteraksi atau proses penyesuaian diri, dengan intelegensi
individu dapat menganalisis dan menalar, selain itu degan adanya
minat terhadap sesuatu akan membatu mempercepat proses
penyesuaian diri individu.
6) Kepribadian, prinsipnya individu yang memiliki kepribadian
ekstrovert cenderung mudah menyesuaiakan diri dibandingkan
dengan individu yang memiliki kepribadian introvert.
b. Faktor eksternal
1) Keluarga
Keluarga merupakan pintu awal individu dalam belajar berinteraksi
dengan individu lainnya. Pada dasarnya pola asuh akan
menentukan kemampuan penyesuaian diri individu, keluarga yang
menganut pola asuh demokrasi akan memberikan kesempatan lebih
kepada individu untuk berproses dalam penyesuaian diri secara
lebih baik.
2) Kondisi Sekolah
Sekolah dengan lingkungan kondusif akan sangat mendukung
individu agar dapat bertindak dalam proses penyesuaian diri
dengan lingkungannya secara selaras.
3) Kelompok Sebaya
Kelompok sebaya akan mempengaruhi proses penyesuaian diri
individu, kelompok sebaya dapat menjadi sarana yang baik dalam
proses penyesuana diri. Namun, ada juga yang sebaliknya sebagai
penghambat proses penyesuaian diri individu.
4) Prasangka Sosial
Prasangka sosial akan menghambat proses penyesuaian diri
individu apabila masyarakat memberikan label yang negatif kepada
individu seperti nakal, suka melanggar peraturan, menentang orang
tua dan sebagainya.
5) Hukum dan Norma
Hukum dan norma akan membentuk penyesuaian diri yang baik,
apabila masyarakat konsekuen dalam menegakkan hokum dan
norma yang berlakku di dalam masyarakat.
Hurlock (2008) mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi
penyesuaian diri individu di sekolah atau kampus, yaitu:
1) Teman-teman sebaya. Individu dengan teman-teman sebayanya mulai
belajar bahwa standar perilaku yang dipelajari mereka di rumah sama
dengan standar teman dan beberapa yang lain berbeda. Oleh karena
itu, individu akan belajar tentang apa yang dianggap sebagai perilaku
yang dapat diterima dan apa yang dianggap sebagai perilaku yang
tidak dapat diterima.
2) Guru atau dosen. Secara langsung guru atau dosen dapat memengaruhi
konsep diri individu dengan sikap terhadap tugas-tugas pelajaran serta
perhatian terhadap siswa atau mahasiswa. Guru atau dosen yang
memiliki penyesuaian diri baik biasanya penuh kehangatan dan
bersikap menerima siswa atau mahasiswa.
3) Peraturan sekolah. Peraturan sekolah memperkenalkan pada individu
perilaku yang disetujui dan perilaku yang tidak disetujui oleh anggota
kelompok tempat individu belajar, apa yang dianggap salah dan benar
oleh kelompok sosial.
Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa faktor-faktor
penyesuaian diri yang dapa mempengaruhi penyesuaian diri adalah; faktor
internal yang meliputi motivasi berprestasi dan motivasi bersosialisasi,
konsep diri, persepsi, sikap, intelegensi, minat serta kepribadian. Faktor
eksternal hal ini berkaitan dengan keluarga, kelompok sebaya, kondisi
sekolah
Aspek-Aspek Penyesuaian Diri (skripsi dan tesis)
Menurut Alberlt & Emmons (2002) penyesuaian diri memiliki 4 (empat) aspek, yang terdiri dari:
a. Aspek self-knowledge dan self-insight. Aspek self-knowledge dan selfinsight yaitu kemampuan dalam memahami dirinya sendiri bahwa dirinya memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini dapat diketahui dengan pemahaman emosional pada dirinya, yang berarti adanya kesadaran akan kekurangan dan disertai dengan sikap yang positif terhadap kekurangan tersebut maka akan mampu menutupinya.
b. Aspek self-objectifity dan self-acceptance, bersikap realistik setelah mengenal dirinya sehingga mampu menerima keadaan dirinya.
c. Aspek self-development dan self-control, mampu mengarahkan diri, menyaring rangsangan-rangsangan dari luar, ide-ide, prilaku, emosi, sikap, dan tingkahlaku yang sesuai. Kendali diri dapat mencerminkan individu tersebut matang dalam menyelesaikan masalah kehidupannya.
d. Aspek Satisfaction, menganggap bahwa segala sesuatu yang dikerjakan merupakan pengalaman yang apabila tercapai keinginannya maka menimbulkan rasa puas dalam dirinya.
Schneider (1964), mengungkapkan enam aspek penyesuaian diri, yaitu:
a. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan. Menekankan adanya kontrol dan ketenangan emosi untuk menghadapi permasalahan dan menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah. Jadi, individu bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi lebih pada kontrol emosi ketika menghadapi situasi tertentu.
b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal. Seseorang dikategorikan normal apabila bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seseorang dikatakan mengalami gangguan penyesuaian apabila mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai
. c. Frustasi personal yang minimal. Individu yang mengalami frustasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, sehingga sulit mengorganisasikan kemampuan berpikir dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Menjelaskan seseorang yang memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik dan kemampuan mengorganisasikan pikiran, tingkah laku, dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun akan menunjukkan penyesuaian diri yang baik apabila seseorang dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik.
e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu. Penyesuaian diri yang ditunjukkan oleh individu merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres.
f. Sikap realistik dan objektif. Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah, dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan.
Menurut Buchori (2002), penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu:
a. Penyesuaian pribadi.
Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab, kecewa, dan tidak percaya diri. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya goncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang, dan keluhan terhadap nasib yang dialami. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan, dan keluhan terhadap nasib yang dialami.
b. Penyesuaian Sosial.
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu berinteraksi dengan orang lain, mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Setiap individu merupakan bagian dari masyarakat yang saling memengaruhi satu sama lain yang mempunyai aturan, hukum, adat, dan nilai-nilai yang dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari. Individu dituntut dapat mematuhi normanorma dan peraturan sosial kemasyarakatan.
Hurlock (2008) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian diri, yaitu:
a. Penampilan nyata.
Overt performance yang diperlihatkan individu sesuai dengan norma yang berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok tersebut.
b. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok. Individu mampu menyesuaikan diri secara baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya maupun orang dewasa.
c. Sikap sosial. Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, ikut pula berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam kegiatan sosial.
d. Kepuasan pribadi. Kepuasan pribadi ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia karena dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompok dan mampu menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.
Pengertian Penyesuaian Diri (skripsi dan tesis)
Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah adjusment yang berarti suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya (Mu’tadin, 2002). Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri yaitu proses yang melibatkan respon-respon mental serta perilaku dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, kekecewaan, dan konflik-konflik untuk mencapai keadaan yang harmonis antara dorongan pribadi dengan lingkungannya. Penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam memenuhi salah satu kebutuhan psikologis dan mampu menerima dirinya serta mampu menikmati hidupnya tanpa jenis konflik dan mampu menerima kegiatan sosial serta mau ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di dalam lingkungan sekitarnya (Khatib, 2012). Menurut Arkoff (Vidyanindita, dkk., 2015), mendefinisikan penyesuaian diri perguruan tinggi mencerminkan seberapa mampu mahasiswa melalui dan adanya efek pada pertumbuhn pribadinya (Sharma, 2012).
Menurut Mappiare, penyesuaian diri merupaka sebuah upaya individu untuk diterima didalam suatu lingkungan dan mengabaikan kepentingan pribadinya demi kepentingan kelompok sehingga merasa dirinya adalah bagian penting dari kelompoknya (Ahyani, 2012). Menurut Hurlock (2008) penyesuaian adalah seberapa jauh kepribadian individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat. Calhoun & Acocella (Wijaya, 2012) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah interaksi individu yang terus-menerus dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar tempat individu hidup. Kartono (2008) menyatakan bahwa penyesuaian diri dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan emosi negatif yang lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan penyesuaian diri adalah proses yang terjadi secara terus menerus yang dilakukan oleh seseorang dengan dirinya sendiri kepada orang lain, serta lingkungannya untuk mengatasi konflik, kesulitan, dan rasa frustasi sehingga tercipta suatu hubungan yang serasi antara dirinya dengan lingkungan
Bentuk-bentuk Emosi (skripsi dan tesis)
Daniel Goleman (1995) dalam Yusuf (2011:63)
mengidentifikasi emosi menjadi beberapa kelompok :
a) Amarah meliputi benci, jengkel, kesal hati, brutal,
bermusuhan, rasa pahit, tindakan kekerasan, tersinggung
b) Kesedihan meiputi sedih, putus asa, muram, pedih, putus
asa, di tolak, kesepian, mengasihani.
c) Rasa takut meliputi gugup, takut, gelisah, cemas,
waswas, tidak tenang, panik, ngeri, waspadah, khawatir,
fobia.
d) Kenikmatan meliputi bahagia, terpesona, gembira,
girang, bangga, takjub, puas, rasa terpenuhi, senang
sekali.
e) Cinta meliputi rasa dekat, persahabatan, kepercayaan,
penerimaan, kebaikan hati, kasmaran, kasih sayang.
f) Terkejut meliputi kaget, terkesima, takjub, terpana.
g) Jengkel meliputi muak, benci, hina, jijik.
h) Malu meliputi kesal hati, hina, meyesal, rasa bersalah,
malu hati.
Kecerdasan Emosional (skripsi dan tesis)
Menurut George Miller emosi adalah pengalaman seseorang
tentang perasaan yang kuat dan biasanya diiringi dengan perubahan
fisik dalam peredaran darah dan pernafasan, biasanya disertai
dengan tindakan pemaksaan (Oki dan Asrori, 2006:7). Sedangkan
menurut Musa, emosi merupakan perubahan tiba-tiba yang meliputi
segala aspek individu, baik psikis maupun fisik (Suciati, 2003 :
184).
Menurut Atkinson (2004) dalam Suciati (2003 : 186), satu
emosi yang kuat akan melibatkan 4 komponen umum yaitu respon
tubuh internal (rangsangan otonomik), keyakinan atau penilaian
kognitif, ekspresi wajah dan reaksi terhadap emosi. Menurut Crow
& Crow dalam Golemen (2014 : 46) mengungkapkan bahwa emosi
adalah suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang
berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam)
terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dalam
keselamatan individu
Dapat disimpulkan emosi mengandung beberapa unsur yaitu
perasaan kuat baik dalam kontinum senang atau tidak senang,
diikuti perubahan tubuh dan memengaruhi perilaku. Emosi
merupakan keadaan seseorang saat dalam keadaan tidak terkontrol.
Gejolak yang timbul akibat perasaan yang tidak menentu disertai
perubahan fisik individu tersebut. Emosi adalah suatu keadaan
seseorang berdasarkan apa yang sedang dialami saat itu, perasaan
yang dirasakan seseorang terhadap lingkungan dan apa yang
dipikirkan
Adapun istilah kepekaan emosi sering terjadi pada anak-anak.
Anak yang mudah sakit hati dan merspon yang berlebihan terhadap
sikap dan perasaan orang berarti anak mengalami kepekaan emosi.
Anak yang mengalami hal seperti itu terkadang tidak dapat
menerima komentar, penilaian dan keritikan orang lain. kekesalan
pada anak akan mudah muncul hanya dengan ejekan dan prasangak
dari orang lain. akibat kepekaan emosi pada anak akan muncul rasa
malu, rasa marah, tidak mau bergaul, dan sering murung serta
mudah marah.
Dalam buku masalah perkembangan anak dan solusinya
(Prayitno, 2004:198-199) menyebutkan beberapa penyebab
kepekaan emosi pada anak yaitu anak merasa kurang atau bahkan
tidak sama dengan orang lain, anak memiliki harapan yang tidak
sesuai dengan realita, anak menginginkan hal lebih dari orang lain
tapi terjadi penolakan yang membuat anak mersa sakit, anak
merasa orang lain baik dan selalu memahami keinginan, orang tua
yang terlalu memanjakan atau terlalu overprotektif pada anak,
keluarga yang tidak utuh atau tidak harmonis.
Istilah kecerdasan emosi (emotional intelligence,EI)
diperkenalkan oleh ahli psikologi yaitu Peter Salovey dan John
Mayer pada tahu 1990 (Nuryanti, 2008:30). Peter Salovey dan John
Mayer dalam (Muhayadi, 2006:84) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan memantau dan mengenalkan
perasaan diri dan orang lain, serta menggunakan perasaan perasaan
itu untuk memandu pikiran dan tindakan.
Kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang
lain, kemampuan memotivasi emosi dengan baik pada diri sendiri
dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2014:512).
Misalnya, Ketika individu berada dalam keadaan tidak terkontrol
emosinya, konsentrasinya mudah terganggu. Saat kondisi seperti
itu sseorang akan mengalami kesulitan dalam pengambilan
keputusan. Sekalipun seseorang memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi namun, jika tidak mampu mengendalikan emosi dengan baik,
maka cenderung mudah mengalami hambatan dalam berinteraksi
dengan orang lain.
Menurut Devies dan rekan-rekannya dalam Satiadarma dan
Waruwu (2003:27) Kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri dan orang lain, dan
menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir
serta perilaku seseorang, sedangkan menurut Eko Mulana Ali
Suroso (2004:127) kecerdasan emosional adalah sebagai
serangkaian kecakapan untuk memahami bahwa pengendalian
emosi dapat melapang kan jalan untuk memecahkan peroalan yang
dihadapi (Goleman, 2002 : 513-514).
Menurut teori di atas dapat disimpulkan kecerdasan
emosional adalah keadaan seseorang dalam mengenali diri sendiri
dalam keadaan sadar dan mampu mengontrol pikiran dan tindakan
dan mengenali perasaan orang lain menerima, menilai dan
mengelola emosi orang lain. kecerdasan emosional juga merupakan
kemampuan seseorang untuk memotivasi orang lain. seseorang
yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi berarti memiliki
rasa empati yang tinggi p
Fungsi keluarga (skripsi dan tesis)
Keluarga memiliki fungsi yang sangat penting dalam
pembentukan karakter anak. Menurut Friedman (1992) dalam
(Jamal, 2003 : 59) fungsi keluarga fokus pada pencapaian
tujuan keluarga. Tujuan keluarga dapat tercapai dengan adanya
komunikasi yang baik antar keluarga. Secara umum keluarga
memiliki lima fungsi. Pertama, fungsi biologis yaitu
meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak,
memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Fungsi kedua, psikologis
yaitu memberikan perlindungan, rasa aman , perhatian bagi
anggota keluarga.
Fungsi ketiga, sosialisasi yaitu mengajarkan sosialisasi
kepada anak, mengajarkan norma-norma dan perilaku kepada
anak dan keluarga. Fungsi keempat, ekonomi yaitu mencari
sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
mengatur pengeluaran dan penghasilan. Fungsi kelima,
pendidikan meliputi menyekolahkan, memberi pendidikan dan
pengetahuan kepada anak.
Fungsi keluarga juga dikemukan oleh beberapa ahli.
Fungsi keluarga menurut Friedman (1992) dalam (Lestari,
2012: 22) meliputi :
a) Fungsi afektif, fungsi keluarga yang utama utuk membentuk
mengajarkan, memberitahu dan memberi pengetahuan
tentang segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota
keluarga dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan orang
lain atau di sekitar.
b) Fungsi sosialisasi dan tempat sosialisasi, keluarga adalah
tempat paling utama untuk melatih dan mengembangkan
kehidupan sosial untuk anggota keluarga.
c) Fungsi reoroduksi, keluarga sebagai tempat untuk
mempertahankan generasi dan kelangungan keluarga.
d) Fungsi ekonomi, keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, memberikan pemasukan dalam
keseharian.
d. Anak
Menurut KBBI anak adalah keturunan yang kedua, manusia
yang masih kecil. Anak menurut UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak Pasal 1 Ayat 1 dalam Djamal (2016 : 402)
adalah seseorang yang belum berusia genap 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Menurut Imam Ghazali dalam
(Djamal, 2016:46) mengatakan :
„Anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya suci
merupakan mutiara yang masih murni belum patah maupun
dibentuk. Mutiara ini dapat patah dalam bentuk apa pun.
Apabila diajarkan dan dibiasakan kebaikan, maka akan
tumbuh dalam kebaikan.‟
Setiap anak yang tumbuh dalam kebaikan maka akan tumbuh
dan hidup dalam kebaikan, apabila anak tumbuh dalam keburukan
sejak anak lahir. Maka, anak akan hidup dalam keburukan kecuali
anak mendapat pendidikan yang baik dari keluarga terutama orang
tua. UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu
seseorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak
tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar baik secara rahasia, jasmani maupun sosial. Anak adalah
seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum
mengalami masa pubertas.
Menurut teori di atas anak adalah seorang yang belum cukup
umur, belum balig dan masih memiliki hak-hak dalam keluarga.
Seorang yang masih harus diperhatikan jasmani dan rohaninya oleh
orang tua. Seorang yang masih harus tumbuh dan berkembang atas
bimbingan dan arahan orang tua dan keluarga sekitar.
Peranan dalam keluarga (skripsi dan tesis)
Peran keluarga sebagai interpersonal, sifat dan kegiatan
yang berhubungan dengan individu sesuai dengan posisi dan
situasi. Peranan keluarga menurut Effendy (1998) dalam
(Jamal, 2003:58) yaitu pertama, peran ayah sebagai suami dari
istri dan ayah dari anak-anak, mencari nafkah, pendidik,
pelindung, dan pemberi rasa aman. Ayah berperan sebagai
kepala keluarga. Kedua, Peran ibu sebagai istri dari suami dan
ibu dari anak-anak. Ibu memiliki peran penting dalam
mengurus rumah tangga, mengasuh, mendidik. Ibu juga dapat
berperan sebagai pencari nafkah. Ketiga, peran anak
melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat
perkembanganya, baik fisik, metal, sosial atau spiritual.
Bentuk keluarga (skripsi dan tesis)
Bentuk keluarga dapat di tinjau dar beberapa sudut
pandang, pertama sudut pandang garis keturunan yang
dibedakan menjadi patrilineal dan matrilieal. Keluarga
patrilineal adalah keluarga sederhana yang terdir dari sanak
saudara sederhana dalam beberapa generasi, hubungan tersebut
menurut jalur garis ayah. Sedangkan keluarga matrilineal
adalah keluarga sederhana yang terdiri dari sanak saudara
sederhana dalam beberapa generasi , hubungan dari garis ibu
(Lestari, 2012 : 20).
Bentuk kedua keluarga berdasarkan jenis perkawinan
terdiri dari monogami dan poligami. Monogami adalah
pernikahan yang terdiri dari suami dan istri. Sedangkan
poligami adalah keluarga yang terdiri dari seorang suami dan
beberapa istri. Bentuk ketiga dari sudut pandang kekuasaan
dalam keluarga, dibedakan menjadi patriakal, matriakal dan
ekualitarian. Keluarga patriakal (keluarga kebapakan) yaitu
keluarga dengan kekuasaan berada ditangan suami. Keluraga
matriakal (keluarga keibuan) yaitu kekuasaan berada di istri.
Sedangkan ekualitarian (keluarga setara) adalah keluarga
dengan peran suami dan istri berada dalam keadaan seimbang.
Bentuk keempat ditinjau dari pemukiman, yaitu
patrilokal, matrilokaldan neolokal. Keluarga patrilokal adalah
pasangan yang tinggal bersama keluarga searah dari suami.
Keluarga matrilokal adalah pasangan yang tinggal serumah
bersama keluarga sedarah dari istri. Keluarga neolokal adalah
pasangan yang tinggal jauh dari keluargasuami dan istri.
Bentuk kelima ditinjau dari jenis anggota keluarganya (Lestari,
2012 : 21
Komponen keluarga (skripsi dan tesis)
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat 3 “ Keluarga adalah
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan
anak, atau ayahnya dan anaknya, atau ibunya dan anaknya,
atau keluarga sederhana dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga (Djamal, 2016 : 402).
Menurut UU di atas dapat di simpulkan bahwa yang termasuk
komponen keluarga yaitu :
a) Suami
b) Istri
c) Anak
d) Ayah dan ibu dari suami
e) Ayah dan ibu dari istri
f) Saudara sekandung ayah
g) Saudara sekandung ibu
h) Anak dan saudara seayah seibu
Keluarga (skripsi dan tesis)
Keluarga secara harfiah berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “kulawarga”. Kula berarti “ras” dan warga berarti “anggota”. Artinya keluarga adalah kumpulan dari ras. Dapat dismpulkan keluarga adalah anggota dari lingkungan yang terdiri dari beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah (Sunaryo, 2014:30). Undang-undang tentang perlindungan anak 23 tahun 2002 bab 1 pasal 1 ayat 4 dalam Djamal (2016:402) “ keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,istri atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya atau keluarga sederhana dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai dengan derajad ketiga”. Keluarga adalah sebuah institusi yang terbentuk karena adanya ikatan pernikahan antara sepasang manusia (Djamarah, 2014:18). Berdasarkan undang-undang diatas, keluarga tidak hanya sekelompok anggota yang hidup sendiri. Namun keluarga merupakan sekumpulan anggota yang terdapat dalam masyarakat.
Menurut Bailon dan Maglaya (1989) dalam Djamarah (2014:23) mengungkapkan : „Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi, memunyai peran masingmasing, menciptakan dan mempetahankan suatu budaya.‟ 26 Menurut teori diatas dapat disimpulkan keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat yang mana terdiri terbentuk dari sebuah pernikahan yang sah, melahirkan anak-anak yang melengkapi dalam rumah, memiliki kesamaan ekonomi antara satu dan yang lain nya. Tempat di mana anak merasa menjadi manusia atau makhluk seutuhnya. Menurut ajaran Islam keluarga adalah fondasi masyarakat atau penguat (Jamal, 2003:53). Akan tetapi, keluarga bukan hanya terdiri dari kedua orangtua, saudara lelaki dan perempuan. Namun, keluarga muslim merupakan jaringan sanak keluarga yang dekat ataupun jauh, yang tiap masing-masing mereka memiliki hak dan tanggung jawab dalam struktur keluarga. Dapat disimpulkan keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal bersama dalam satu atap dan satu sama lain merasakan adanya ikatan batin yang saling mempengaruhi, memperhatikan satu sama lain. Keluarga merupakan tempat terbaik dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan
Aspek-aspek Kekerasan (skripsi dan tesis)
Terry .E. Lawson dalam jurnal pendidikan (2004)
psikiater anak membagi child abuse menjadi 4 macam yaitu :
a) Kekerasan Fisik (Physical abuse)
Kekerasan fisik adalah tindakan yang dilakukan
seseorang yang dapat melukai tubuh orang lain. Ketika ibu
memukul anak (padahal anak membutuhkan perhatian)
dengan tanga, kayu atau logam akan diingat oleh anak
(Anggarini, 2013 : 10). Kekerasan fisik juga merupakan
tindakan yang disengaja sehingga menghasilkan luka dan
merupakan hasil dari kemarahan dan bertujuan untuk
menyakiti orang lain (Hidayat, 2004 : 83).
b) Kekerasan Verbal (Verbal abuse)
Ketika anak meminta perhatian kepada ibu dengan
menangis atau merengek dan ibu menyuruhnya diam
dengan kata-kata kasar seperti “diam bodoh” atau ketika
anak mulai bicara ibu berkata “kamu cerewet” kata-kata
kasar itu akan diingat oleh anak (Solihin, 2004 : 130).
Kekerasan verbal adalah tindakan yang melibatkan
perkataan yang menyebabkan konsekuensi yang merugikan
emosional (Fitriana, Pratiwi dan Sutanto, 2015 : 81-93).
Kekerasan verbal yang dialami anak tidak berdampak pada
fisik, namun biasanya merusak anak beberapa tahun
kedepan.
c) Kekerasan Psikis (Emotional Abuse)
Kekerasan psikis yaitu seorang ibu mengabaikan anak
yang sedang menginginkan sesuatu seperti lapar atau basah
karena bermain air, ibu lebih mementingka kesibukan yang
sedang dilakukan dan meninggalkan atau mengabaikana
anaknya. Anak akan mengingat kekerasan emosi jika itu
dilakukan konsisten. Kekerasan psikis merupakan perilaku
orang tua yang menghardik anak. Pada pasal 7 Undangundang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Rumah Tangga disebut sebagai kekerasan psikis adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
percaya diri, rasa tidak berdaya, hilangnya kemampuan
untuk bertindak (Giantari, 2014).
d) Kekerasan Seksual (Sexsual Abuse)
Menurut End Child Postitution In Asia Tourism
(ECPAT) Internasional dalam Noviana (2015:15) kekerasan
seksual adalah hubungan atau interaksi yang dilakukan oleh
anak dengan orang dewasa seperti, orang asing, saudara
sekandung atau orang tua sebagai pemuas kebutuhan
seksula oleh pelaku. Biasanya dilakukan dengan cara
memaksa, mengancam dan tipuan
Kekerasan Anak (Skripsi dan tesis)
Kekerasan kata yang digunakan untuk menggambarkan perilaku seseorang yang menyakiti orang lain baik fisik atau nonfisik. Buss (1961) sebagaimana dikutip Djamal (2016:77) mendefinisikan kekerasan sebagai „sebuah respons yang mengantarkan stimuli beracun kepada makhluk hidup lain‟. Mengutip pendapat WHO dari buku Djamal : WHO (Djamal, 2016:82) kekerasan adalah ancaman atau tindakan, kekerasan fisik atau kekuatan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma/memar, ganguan psikologi bahkan kematian, dan kelainan perkembangan. Perspektif hukum dalam PP pengganti UU No.1 tahun 2002 dalam Djamal (2016:82) kekerasan adalah setiap perbuatan yang menyalahgunakan kekuatan fisik dengan menggunakan secara melawan hukum dam menimbulkan bahaya bagi badan bahkan dapat menghilangan nyawa orang lain. Kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefenisikan sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang umunya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak (Bagong, 2013). Dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan perilaku yang sengaja dilakukan untuk melukai orang lain baik fisik ataupun non fisik. Kekerasan merupakan respon negatif yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuatan lebih dibanding korban. Adanya pihak yang dirugikan saat kekerasan dilakukan dan kerugian yang dialami korban dapat beruba jangka panjang maupun jangka pendek
Dampak (skripsi dan tesis)
Dampak dalam KBBI adalah benturan, pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (negatif atau positif). Sedangkan menurut Schemel (1976) dampak adalah tingkatperusakan terhadap tataguna tanak lainya yang ditimbulkan oleh suatu permanfaatan lingkungan tertentu. Menurut para ahli dampak adalah akibat, imbas atau pengaruh yang terjadi (baik itu negatif ataupun positif) dari sebuah tindakan yang dilakukan oleh satu/ sekelompok orang yang melakukan kegiatan tertentu. Berdasarkan teori dapat diambil kesimpulan dampak adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi (baik negatif ataupun positif) 21 seseorang terhadap apa yang orang lain lakukan. Dampak merupakan akibat atau timbal balik dari apa yang telah diperbuat dan tidak hanya satu orang saja namun orang-orang dan lingkungan sekitarnya pun akan terkena akibat itu
Tahap Perkembangan Anak Usia Sekolah (skripsi dan tesis)
Ciri anak usia sekolah secara perkembangan intelektual dan emosi,
perkembangan bahasa, dan perkembangan moral, sosial dan sikap, perkembangan motorik, dan perkembangan keagamaan (Sofa, 2008) serta perkembangan kognitif (Piaget, 2010) sebagai berikut :
1) Perkembangan Intelektual dan Emosi
Perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada berbagai
faktor utama, antara lain kesehatan gizi, kebugaran jasmani, pergaulan
dan pembinaan orang tua. Akibat terganggunya perkembangan
intelektual tersebut anak kurang dapat berfikir operasional, tidak
memiliki kemampuan mental dan kurang aktif dalam pergaulan maupun
dalam berkomunikasi dengan teman-temannya.
Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adanya
perbedaan jenis kelamin, usia, lingkungan, pergaulan, dan pembinaan
orang tua maupun guru di sekolah. Perbedaan perkembangan emosional
tersebut juga dapat dilihat berdasarkan ras, budaya, etnik dan bangsa.
Perkembangan emosional juga dapat dipengaruhi oleh adanya
gangguan kecemasan, rasa takut dan faktor-faktor eksternal yang sering
kali tidak dikenal sebelumnya oleh anak yang sedang tumbuh. Namun
sering kali juga adanya tindakan orang tua yang sering kali tidak dapat
mempengaruhi perkembangan emosional anak.
2) Perkembangan Bahasa
Bahasa telah berkembang sejak anak berusia 4-5 bulan. Orang
tua yang bijak selalu membimbing anaknya untk belajar berbicara mulai
dari yang sederhana sampai anak memiliki keterampilan berkomunikasi
dengan mempergunakan bahasa. Oleh karena itu, bahasa berkembang
setahap demi setahap sesuai dengan pertumbuhan organ pada anak dan
kesediaan orang tua membimbing anaknya.
3) Perkembangan Moral, Sosial dan Sikap
Kepada orang tua sangat dianjurkan bahwa selain memberikan
bimbingan juga harus mengajarkan bagaimana anak bergaul dalam
masyarakat dengan tepat, dan dituntut menjadi teladan yang baik bagi
anak, mengembangkan keterampilan anak dalam bergaul dan
memberikan penguatan melalui pemberian hadiah kepada anak apabila
berbuat atau berperilaku yang positif.
Terdapat bermacam hadiah yang sering kali diberikan kepada
anak, yaitu yang berupa materiil dan non materiil. Hadiah tersebut
diberikan dengan maksud agar pada kemudian hari anak berperilaku
lebih positif dan dapat diterima dalam masyarakat luas.
4) Perkembangan motorik
Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang,
maka perkembangan motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan
baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhannya. Pada fase
ini ditandai dengan kelebihan gerak atau aktivitas motorik yang lincah.
Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar
keterampilan yang berkaitan dengan motorik ini, seperti menulis,
menggambar, melukis, mengetik, berenang dsb.
Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor
penentu kelancaran proses belajar, baik di bidang pengetahuan maupun
keterampilan. Oleh karena itu perkembangan motorik sangat menunjang
keberhasilan belajar pserta didik. Pada usia sekolah dasar kematangan
perkembangan motorik ini pada umumnya dicapai, karena mereka sudah
siap menerima pelajaran keterampilan.
5) Perkembangan Keagamaan
Kualitas keagamaan anak akan sangat dipengaruhi oleh proses
pembentukan atau pendidikan yang diterimanya. Berkaitan dengan hal
tersebut, pendidikan agama disekolah dasar mempunyai peranan
penting. Oleh karena itu pendidikan agama di sekolah dasar harus
menjadi perhatian semua pihak. Senada dengan paparan tersebut Zakiah
Darajat mengemukakan bahwa pendidikan agama di sekolah dasar
merupakan dasar bagi pembinaan sikap positif terhadap agama dan
membentuk pribadi dan akhlak anak.
6) Tahap cara berfikir / kognitif menurut Piaget dalam Isjoni (2010:36)
Ahli-ahli teori kognitif menerangkan pembelajaran merupakan
perubahan yang berlaku pada maklumat yang tersimpan dalam ingatan
seseorang. Mereka mengaitkan aktiviti-aktiviti pembelajaran dengan
proses-proses mental dalaman iaitu fikiran, ingatan, pengetahuan
dan penyelesaian masalah.
Tahap kognitif merupakan tahap pemikiran yang lebih bersifat
egosentris dan intuitif ketimbang logis, penalaran logika menggantikan
penalaran intuitif tetapi hanya dalam situasi konkret. Kemampuan
berfikir yang lebih abstrak, idealis, dan logis.
Karakteristik Anak Usia Sekolah (skripsi dan tesis)
Anak usia sekolah merupakan golongan yang mempunyai karakteristik mulai mencoba mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan norma. Di sinilah variasi individu mulai lebih mudah dikenali seperti pertumbuhan dan perkembangannya, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian, serta asupan makanan (Yatim, 2005). Ada beberapa karakteristik lain anak usia ini adalah anak akan banyak berada di luar rumah untuk jangka waktu antara 4-5 jam. Aktivitas fisik anak semakin meningkat seperti pergi dan pulang sekolah, bermain dengan teman, akan meningkatkan kebutuhan energi. Apabila anak tidak memperoleh energi sesuai kebutuhannya maka akan terjadi pengambilan cadangan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga anak menjadi lebih kurus dari sebelumnya (Khomsan, 2010).
Karakteristik anak usia sekolah dasar tidak hanya itu. Menurut Sumantri dan Sukmadinata dalam Wardani (2012), karakteristik anak usia sekolah dasar yaitu:
a. Senang bermain Siswa-siswa sekolah dasar terutama yang masih berada di kelas-kelas rendah pada umumnya masih suka bermain. Oleh karena itu, guru sekolah dasar dituntut untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang bermuatan permainan, lebih-lebih untuk siswa kelas rendah.
b. Senang bergerak Siswa sekolah dasar berbeda dengan orang dewasa yang bisa duduk dan diam mendengarkan ceramah selama berjam-jam. Mereka sangat aktif bergerak dan hanya bisa duduk dengan tenang sekitar 30 menit saja. Oleh karena itu, guru harusnya merancang model pembelajaran yang menyebabkan anak aktif bergerak atau berpindah.
c. Senang bekerja dalam kelompok Oleh karena itu, guru perlu membentuk siswa menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 siswa untuk mneyelesaikan tugas secara berkelompok. Dengan bergaul dalam kelompoknya, siswa dapat belajar bersosialisasi, belajar bagaimana bekerja dalam kelompok, belajar setia kawan dan belajar mematuhi aturan-aturan dalam kelompok
d. Senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung Siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret. Mereka berusaha menghubungkan konsep-konsep yang sebelumnya telah dikuasai dengan konsep-konsep yang baru dipelajari. Suatu konsep juga akan cepat dikuasai anak apabila mereka dilibatkan langsung melalui praktik dari apa yang diajarkan guru. Oleh sebab itu, guru seharusnya merancang model 28 pembelajaran yang melibatkan anak secara langsung dalam proses pembelajaran.
Definisi Anak sekolah (skripsi dan tesis)
Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lain. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Wong, 2009).
Persepsi Anak Terhadap Kekerasan (skripsi dan tesis)
Persepsi anak terhadap kekerasan adalah proses pemaknaan stimulus yang di tangkap anak lewat inderanya (melihat, mendengar, merasakan kekerasan yang dilakukan orang-orang yang seharusnya menyayangi nya). Proses pemaknaan inilah yang menjadi dasar perilaku anak. (Lating, A. D, 2007) Skala persepsi anak terhadap kekerasan ini dikembangkan berdasarkan aspek-aspek dibawah ini :
a. Kekerasan merupakan pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violance). Menurut Gelles (Huraerah, 2007), pewarisan kekerasan antar generasi adalah perilaku kekerasan dipelajari seorang anak dari orangtuanya kemudian mengembangkannya ketika dewasa/ menjadi orangtua nantinya. Orangtua dulunya menjadi patuh, disiplin dan berhasil karena di perlakukan keras oleh orangtua mereka masing-masing, sehingga mereka meyakini bahwa cara pendidikan yang mereka terima dahulu adalah cara yang efektif untuk menghasilkan generasi yang unggul.
b. Kekerasan fisik Menurut Tampubulon, et al (2003) kekerasan fisik adalah semua tindakan yang mengakibatkan luka fisik pada anak. Kekerasan fisik itu meliputi menampar, menjewer, mencubit, memukul dengan dahan pohon, dengan tongkat, cambuk atau benda keras lainnya, melempar dengan benda keras, mendorong, menendang, membenturkan anak ke dinding, mengikat anak di pohon, push up, jalan dengan lutut dan dijemur.
c. Kekerasan emosional Kekerasan emosional adalah semua tindakan yang berpengaruh buruk terhadap perkembangan emosi dan sosial anak.
Menurut Banton (2004) kekerasan emosional seperti memarahi, menghardik, memaki, mengatai anak sebagai anak yang tidak berguna, tidak dicintai, bodoh dan selalu mengecewakan orangtua; dan Vaughan (1996) menambahkannya yaitu membicarakan kegagalan anak terus menerus dan menghinanya. d. Kekerasan seksual Kekerasan seksual adalah semua tindakan yang memaksa atau merayu anak untuk mengambil bagian dalam aktivitas seksual, baik itu yang disadari atau tidak. Menurut Lawson (Huraerah, 2007) kekerasan seksual meliputi kontak fisik, penetrasi/ tidak penetrasi, memegang bagian tubuh yang tidak boleh disentuh, serta aktivitas bukan kontak fisik seperti mengajak anak menonton adegan porno, memperlihatkan gambar-gambar porno, menganjurkan anak untuk berperilaku yang tidak pantas seperti exhibitionism, mengajak anak berbicara porno, tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi atau menggunakan anak sebagai model foto porno
Komponen persepsi (skripsi dan tesis)
Menurut Fisher, dkk (dalam Riyanti & Prabowo, 1998), komponen-komponen persepsi meliputi : komponen kognisi yang akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek, komponen afeksi yang memberikan evaluasi emosional terhadap objek, dan komponen konasi yang berperan dalam menentukan kesediaan atau kesiapan jawaban berupa tindakan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi (skripsi dan tesis)
Menurut Bimo Walgito (2004: 89-90), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi:
a. Objek yang dipersepsi maksudnya, menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun stimulus terbesar datang dari luar individu
. b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf maksudnya, untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respon deperlukan syaraf motoris.
c. Perhatian maksudnya, untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek. Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk mengadakan persepsi adanya beberapa faktor yang berperan yaitu: objek atau stimulus yang dipersepsi, alat indera dan syarafsyaraf serta pusat susunan syaraf yang merupakan syarat biologis, dan perhatian, yang merupakan syarat psikologis.
Jalaludin Rahmat (2005: 51) mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu:
a. Faktor fungsional, yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor – faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan bentuk ataustimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan pada stimuli itu.
b. Faktor struktural, yang berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efekefek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu