Pengertian Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (skripsi dan tesis)

Seperti yang tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian konsumen yakni : Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari isi Pasal 1 ayat (2) tersebut dijelaskan bahwa pengertian konsumen memiliki unsur-unsur mengenai definisi tentang konsumen (Shidarta, 2000:4-9).

a. Setiap Orang
Pengertian yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum  (rechtspersoon). Pengertian ini sangat berbeda sekali dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian person di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perorangan atau badan usaha”. Seharusnya yang paling tepat adalah dengan tidak membatasi pengertian konsumen itu hanya sebatas pada orang perorangan, karena jika dilihat cakupan tentang konsumen bisa juga dimiliki oleh badan usaha.
 b. Pemakai
 Dilihat dari bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah mengenai “pemakai” dalam hal ini sangatlah tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak sertamerta merupakan hasil dari transaksi jual beli. Terkait hal tersebut jika dilihat bahwa konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu, dengan kata lain, dasar hubungan hukum yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha tidak perlu harus secara kontraktual (the privity of contract)

 c. Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah mengenai barang dan/atau jasa, katakata yang tepat untuk pengganti terminology tersebut dengan menggunakan kata produk, karena jika kita lihat kata produk pada semula  hanya mengacu pada pengertian barang, tetapi dalam perkembangannya kata produk sudah berkonotasi mengenai barang atau jasa. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen, tetapi Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan mengenai perbedaan istilah-istilah “dipakai,dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Mengenai pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukan bahwa jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya harus lebih dari satu orang, jika demikan berarti layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

d. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin maju dan kompleks ini, syarat itu tidak menjadi suatu keharusan dan mutlak lagi harus dituntut oleh masyarakat sebagai konsumen.

 e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, mahluk hidup lain. Unsur-unsur yang diletakan dalam definisi itu mencoba memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk mahluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
 f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini semakin dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup mengenai pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan menetapkan batas-batas seperti itu.