Hubungan antara Kebersyukuran dengan Resiliensi (skripsi dan tesis)

Berdasarkan definisi, aspek, hingga faktor yang telah dijelaskan di atas, bersyukur mampu menghasilkan sebuah masa yang begitu menenangkan dari apa yang telah dialami oleh seseorang. Walker dan Pitts (2006) juga menyatakan bahwa bersyukur merupakan kondisi yang membuat seseorang nyaman dan terkait dengan emosi yang positif. Emmons dan McCullogh (2003) telah menyimpulkan, orang-orang yang bersyukur setiap minggunya berolahraga lebih rutin, menunjukkan lebih sedikit keluhan fisik, merasa secara keseluruhan hidup mereka lebih baik dan lebih optimistis dalam menghadapi minggu berikutnya dibandingkan mereka yang justru menukis keluhan-keluhan atau peristiwaperistiwa kehidupan yang sifatnya netral. Orang-orang yang bersyukur lebih mungkin membuat kemajuan terhadap tujuan atau target penting mereka, seperti target akademik, interpersonal, atau menyangkut kesehatan, dibandingkan subjek lain yang tidak bersyukur. Kebersyukuran setiap hari pada orang dewasa menghasilkan level kewaspadaan (alertedness), antusiasme, determinasi, kepedulian (attentiveness) dan energi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berfokus pada mengeluh atau melakukan perbandingan sosial ke bawah (downward social comparison/merasa diri lebih baik dari pada orang lain). Disimpulkan juga bahwa, bersyukur yang dilakukan oleh penderita penyakit neuromuskular menghasilkan mood positif yang lebih tinggi, sense of-connectedness yang lebih tinggi dengan orang lain, lebih optimis dalam hidup dan memiliki durasi dan kualitas tidur yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (Emmons,2003). Hasil ini mengisyaratkan tingkat resiliensi lebih baik pada orang yang bersyukur. Orang yang bersyukur melaporkan level emosi positif, kepuasan hidup, semangat hidup dan optimisme yang lebih tinggi, serta level depresi dan stres yang lebih rendah. Orang yang bersyukur bukannya mengabaikan atau menyangkal aspek-aspek negatif dalam hidup, melainkan dapat mengelola sudut pandangnya untuk dapat menerima. Kebersyukurannya mampu meningkatkan perasaan senang lebih daripada dibanding emosi tidak menyenangkan (Wood, 2007).
Perkembangan lebih lanjut, kebersyukuran dapat menjadi terapi psikologis yang potensial. Latihan/intervensi kebersyukuran dapat diterapkan diberbagai bidang kehidupan, di sekolah, organisasi atau perusahaan, bidang kesehatan, untuk menyelesaikan masalah sosial dan keluarga, dan macam-macam. Kebersyukuran lebih dari sekedar mengucapkan segala puji bagi Allah SWT dibibir. Hati orang-orang yang bersyukur berbicara. Jiwanya mencari-cari agar dapat selalu bersyukur, dengan banyak merenungkan nikmat kehidupan yang diberikan Allah, berefleksi atas kehidupan, menahan diri agar tidak mudah mengeluh, tidak terburu-buru dalam menilai suatu masalah atau situasi yang buruk dan sebagainya. Menurut Reivich, dkk (Helton & Smith, 2004), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sevelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Orang yang percaya bahwa mampu secara langsung menghadapi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya dan cepat mengambil tindakan dalam keadaan tersebut secara terkendali. Resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat dari kebersyukuran d iatas. Yu dan Zhang (2007) menyatakan, resiliensi dapat ditumbuhkan melalui tiga aspek, yaitu : kegigihan atau tidak putus asa, kekuatan dan optimisme. Ketiga aspek ini merupakan hasil dari kebersyukuran (McCullogh, 2003). Reivich dan Shatte (2002), resiliensi terdiri dari tujuh aspek, yaitu : regulasi emosi, pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimistis, empati dan keterjangkauan. Sementara Subandi (2014) pada kebersyukuran menyatakan, manfaat dari kebersyukuran meliputi regulasi emosi, pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimis, empati dan keterjangkauan. Dengan demikian tujuh aspek resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat kebersyukuran. Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang mebuat individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan , yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Dalam pengertian ini maka karakteristik orang bersyukur sangat berperan dalam membangun resiliensi. Reivich dan Shatte (2005), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan reaching out. Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah kondisi yang menekan. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif dan berperilaku agresif. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis. Causal Analysis menunjuk pada kemampuan individu untuk 17 mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Empati secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepribadian terhadap orang lain (Greef,2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005). Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). Menurut Ballenger-Browning dan Douglas (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi diantaranya adalah : 1) Pandangan positif, menggunakan strategi kognitif-behavioral untuk meningkatkan optimisme dan menurunkan pesimisme, salah satunya adalah menggunakan selera humor. 2) Spritualitas, mengembangkan dan hidup dengan prinsip-prinsip yang bermakna dan menempatkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam tindakan altruisme. 3) Penerimaan, memahami dan mempunyai keyakinan atas suatu peristiwa yang sedang terjadi atau yang telah terjadi. Kemampuan untuk membentuk resiliensi yang disampaikan oleh Reivich (2005) dan faktor yang mempengaruhi resiliensi oleh Douglas (2010) di atas, terkandung dalam hikmah bersyukur sebagaimana telah diuraikan pada awal paragraf. Kebersyukuran dapat menenangkan hati orang yang sedang menderita ketenangan ini sangat penting agar tidak panik dan menjaga seseorang dari kekesalan emosi akibat penyakit yang diderita. Pembicaraan mereka akan lebih diarahkan untuk hal-hal positif, misalnya saling berbagi pengalaman dengan narapidana lain, membangun komunitas sesama narapidana dengan tujuan meringankan tekanan, berbagai pengalaman dengan orang lain yang masih terhindar dari berbagai macam masalah dan sebagainya. Seseorang yang menyandang sebagai narapidana perlu memiliki kemampuan khusus, seperti rasa syukur agar lebih mudah dalam membangun kemampuan untuk bertahan dan mampu bangkit dari keadaan yang sulit (resiliensi). Resiliensi itu sendiri diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk tetap berkondisi baik dan memiliki solusi yang produktif ketika berhadapan dengan kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan adanya stres di kehidupannya. Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang membuat individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan, yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Individu yang resilien mampu tenang dalam situasi yang menekan, hal ini dapat terjadi bila individu selalu beribadah dan taat kepada Allah SWT, karena bersyukur juga mengingatkan bahwa manusia memiliki Sang Maha Pencipta yang mengetahui kemampuan dan keterbasan kemampuannya, terlebih bagi para narapidana yang memiliki kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Individu yang bersyukur percaya atas segala yang menjadi keputusan Allah SWT adalah hal yang terbaik untuk dirinya sekalipun itu berupa kesulitan dan Allah menegaskan bahwa kesulitan tidak pernah berdiri sendiri (Rakhmat, 19 2010), kesulitan akan selalu berdampingan dengan kemudahan, sehingga manusia patut tetap merasa tenang untuk situasi yang sulit.