Konsep Pemilihan Kepala Daerah Langsung (skripsi dan tesis)

Menurut Kumolo, Tjahjo. 2017:79 (dalam bukunya Nawa Cita untuk kesahteraan rakyat) Pilkada kini lebih menarik dibincangkan banyak orang, khususnya sejak diselenggarakan secara langsung. Perbincangan yang dimaksud adalah tentang hal ihwal calon kepala daerah dan wakilnya. Lebih jauh, sinyal emen sementara, masyarakat mulai meyakini hubungan kepemimpinan daerah terhadap perikehidupan mereka sendiri dari kepala daerah yang dipilih. Ini mengiindikasikan, di satu sisi, dinamika demokrasi lokal memberi sinyal positif bahwa masyarakat makin dewassa berpolitik walaupun yang menjadi perhatian dalam sejarahnya adalah janji atau programprogram calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.  Oleh karena itu, pemerintah, sejak awal reformasi, terus memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang diarahkan untuk mewujudkan tata kelola negara yang demokratis. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan melaksanakan berbagai perubahan atas undang-undang bidang politik dan pemerintahan. Perubahan terhadap undangundang ini dilakukan agar proses penyelenggaraan pemerintahan dari yang awalnya sentralistik berubah menjadi desentralistik agar terwujud mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sesuai dengan kehendak rakyat, yaitu penyelenggaraan pilkada langsung. (Kumolo, Tjahjo. 2017 : 79-80).

Pelaksanaan pilkada langsung secara serentak ini menunjukan bahwa Indonesia tengah memasuki babak baru menuju good governance dan clean government yang saling bersinergi dengan Nawa Cita dan pembangunan daerah. Proses demokrasi yang berlangsung di daerah merupakan siklus awal dari perencanaan pembangunan menyangkut hajat kepemimpinan untuk mendapatkan visi pembangunan. Keberhasilan perencanaan pembangunan hingga ke siklus penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi ditentukan dari hasil proses demokrasi lokal. Proses penguatan demokrasi ini akan memperkuat legitimasi pemerintahan dari rakyat memalui terpilhnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas baik di pusat maupun di daerah. (Kumolo, Tjahjo. 2017: 80) Adapun, penguatan demokrasi di tingkat lokal akan menjamin mutu kepala daerah untuk dapat merencanakan kebijakan pembangunan yang efektif dan efisien. Jika masyarakat dapat memberikan sumbangsih besar pada daerahnya dengan aktif dan partisipatif pada pilkada, maka awal yang baik dari proses perencanaan pembangunan sudah dapat dipastikan. Singkatnya, pelaksanaan pilkada serentak telah membangun budaya politik baru dengan kebebasan yang beradab dalam demokrasi Indonesia.

Perjalanan demokrasi Indonesia mulai berkembang saat diselenggarakannya pemilu jujur dan adil pada tahun 1999, pemilihan presiden langsung pada tahun 2004, dan pemilihan kepala daerah langsung yang utuk pertama kalinya diselenggarakan pada bulan Juni di Kutai Kartanegara, hingga pencapaian monumental dengan terlaksananya pemilihan kepala daerah langsung secara serentak pada tahun 2015 dan 2017 yang menampakkan sebuah siklus pelaksanaan yang tertib dan tertata. Penguatan demokrasi melalui pilkada serentak ini dilakukan demi mencapai reformasi penyelenggaraan negara yang lebih baik di era sebelumnya, dimana rutinitas seremonial pilkada masa lalu cenderung melelahkan, tetapi tidak membawa perubahan yang signifikan. Selain karena alasan teknis terkait dengan penyusunan regulasi baru tentang pemilu, manfaat utamanya diselenggarakannya pemilu serentak adalah efisiensi biaya. Dengan menggabungkan dua pemilu pada saat bersamaan, diperoleh penghematan anggaran negara. Efisiensi sangat penting, meski kadang dilihat sebagai suatu proses dan bukan sesuatu yang bersifat substantif. Apabila berharap bisa terpilih kepala daerah yang efisien, setidaknya cara untk mencari dan memperolehnya juga melalui jalan yang efisien pula. (Kumolo, Tjahjo. 2017:80-81)

Wacana awal menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang ditetapkan oleh DPR RI Periode 2009-2014, mekanisme pilkada dilakukan oleh DPRD. Namun, wacana ini mendapatkan penolakan daeri rakyat, konsekuensinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tidak jadi diterapkan dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur mekanisme pilkada secara langsung oleh rakyat. Baru kemudian pada masa pemerintahan kabinet kerja terjadi pembahasan bersama antara pemerintah dan DPRD RI dengan hasil pembahasannya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang ini kemudian digantii menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Namun, Sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang ini mendapat gugatan ke Mahkamah Konstitusi sehingga putusan Mahkamah Konstitusi menjadi acuan dalam pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Guna mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi kedalam ketentuan undang-undang pilkada dan dalam rangka persiapan pelaksanaan pilkada serentak tahap kedua pada 15 Februari 2017, maka pemerintah bersama DPR RI kembali menetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015. (Kumolo, Tjahjo. 2017: 81)