Pengertian Pelatihan Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)

Menurut Agochiya (Rosdiana, 2009), pelatihan merupakan suatu proses terdiri dari serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu, sehingga mengakibatkan perubahan perilaku sesuai dengan situasi dalam hidupnya.  Pelatihan membantu pesertanya mengeksplorasi dan menyadari potensi serta bakat yang dimiliki.  Melalui pelatihan pula, peserta terfasilitasi dalam mengidentifikasi kekurangan serta kelebihan dalam mencapai standar yang ditetapkan.  Pelatihan merupakan cara efektif untuk memanfaatkan pengetahuan dan kompetensi yang telah ada untuk memaksimalkan hasil usaha seseorang.  Prinsip-prinsip belajar dalam pelatihan merupakan prinsip adult learning yang berhubungan dengan pelatihan dan pendidikan.

Agochiya (Rosdiana 2009) mengungkapkan bahwa penggunaan teknik dan metode pelatihan dimaksudkan untuk memasilitasi proses pembelajaran selama program pelatihan dilaksanakan dengan cara meningkatkan partisipasi dan mendorong adanya interaksi di antara peserta pelatihan.  Pemilihan teknik dan metode pelatihan memertimbangkan hasil pembelajaran yang diinginkan, keahlian trainer mengoptimalkan penggunaan suatu metode, serta fasilitas yang tersedia selama pelatihan.  Beberapa metode dalam pelatihan yaitu ceramah, membaca, diskusi kelompok, permainan, dan bermain peran.  Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi terbuka, dan diskusi panel.

Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan manajemen konflik.  Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.  Pruitt & Rubin (2004) mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat diterima oleh semua pihak.

Konflik perkawinan menurut Esere (2003) adalah perbedaan persepsi dan harapan-harapan di antara pasangan suami-istri tentang masalah pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain tentang latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan.  Konflik dalam perkawinan berjalan ke arah positif atau negatif bergantung pada ada atau tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian dalam hubungan.  Keterikatan antar pasangan berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, komitmen, maupun intensitas.  Ketika masalah muncul dalam sifat hubungan demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam juga.  Walaupun demikian, banyak keluarga sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Lestari, 2014).  Salah satu faktor penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu. Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.

Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam perkawinannya.  Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.

Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011).

Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik. Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.  Oleh karena itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan lebih baik.

Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.