Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan (skripsi dan tesis)

Berdasarkan uraian di bawah ini maka diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor eksternal dan internal. Penghasilan, kesehatan, bentuk tubuh, dan faktor demografis (usia, jenis kelamin dan pendidikan) merupakan faktor eksternal sementara temperamen, nilai-nilai hidup yang ada pada diri manusia dan kepribadian merupakan faktor internal.

  1. Penghasilan

Daerah bottom-up yang sering dieksplorasi dan dipercaya berpengaruh besar adalah kekayaan. Pada awalnya banyak pemerintah mengira bahwa kebahagiaan akan meningkat dengan meningkatnya pendapatan (materi). Perkiraan ini membuat banyak negara, berusaha keras meningkatkan kepemilikan materi. Kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian ternyata tidak demikian (Boven Iet al., 2003). Orang Amerika sekarang memperoleh Dollar dua kali lipat dibandingkan tahun 1957, individu yang menyatakan sangat bahagia ternyata turun dari 35 % ke 29 %. Depresi meningkat menjadi 10 lipat, bunuh diri di kalangan remaja menjaadi tiga kali lipat (Myers, 2000). Hal ini merupakan salah satu contoh dari banyak penelitian yang pernah dilakukan. Penelitian terhadap remaja, yang miskin, kelas menengah atas dan kelas atas menunjukkan bahwa mereka yang miskin menunjukkan kebahagiaan yang tinggi. Pengukuran dilakukan beberpa kali dalam sehari selama tiga tahun (Csikszentmhalyi, 1999).

  1. Usia

Usia merupakan faktor yang diperkirakan turut mempengaruhi keadaan kebahagiaan individu. Penelitian Converse dan Robinson (dalam Diener et al., 1999) yang membandingkan antara siswa-siswa usia sekolah (6-17 tahun) menunjukkan bahwa siswa-siswa sekolah mempunyai ketidakpuasan yang lebih besar dibanding orang dewasa.

  1. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan atau pengetahuan materi pelajaran tertentu merupakan salah satu faktor penentu status sosial yang akan mempengaruhi kebahagiaan individu. Bahkan skor dalam pelajaran diasumsikan merupakan kriteria status sosial bagi siswa-siswa sekolah.

  1. Budaya

Individu yang tinggal dalam budaya koletivistik mempunyai pandangan yang berbeda dengan budaya individualistik tentang apa yang membuat orang bahagia (Suh et al., 1998). Secara lebih rinci, Suh et al. (1998) dan Diener et al. (2001) menjelaskan bahwa dalam budaya kolektivistik, orang cenderung menilai kebahagiaan sesuai dengan norma. Ia cenderung mengorbankan kebahagiaan pribadi demi kebahagiaan orang banyak (Diener, 2000). Individu yang tinggal dalam budaya individualistik, afek dan self-esteem lebih berpengaruh terhadap kepuasan hidup.

  1. Agama

Sebenarnya penelitian agama dalam psikologi cukup penting (McCrae, 1999). APA mempunyai devisi khusus yang berkaitan dengan agama. Penelitian agama dan kebahagiaan untuk agama-agama tertentu pernah dilakukan (Diener et al., 1999). Agama-agama yang bersifat komunal seperti Nasrani, Yahudi dan Islam berpotensi untuk meningkatkan kebahagiaan individu. Ketiga agama ini mempunyai kegiatan keagamaan yang mempunyai kesamaan. Mereka mempunyai tempat ibadah tertentu dan pada saat-saat tertentu melakukan acara-acara yang dihadiri oleh pemeluknya. Beberapa ajaran lain yang berasal dari agama-agama tersebut yang berpotensi untuk meningkatkan kebahagiaan adalah kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati, adanya surga dan takdir (segala sesuatu yang telah ditentukan terhadap seseorang mempunyai arti yang positif bagi individu tersebut) (Diener et al., 1999).