. Bentuk Interaksi dalam Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan serta Ekosistemnya Secara Lestari dan Berkelanjutan (skripsi dan tesis)

Dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan ekosistemnya terdapat beberapa aspek penting adalah kekayaan jenis flora maupun fauna yang lebih dikenal dengan biodiversitas atau keaneka ragaman hayati.  Kekayaan spesies baik flora maupun fauna terdapat luar biasa jumlahnya, jika dibandingkan dengan jumlah spesies pada iklim sedang.  Indonesia dengan luas sekitar 1.3 % dari permukaan daratan bumi memiliki kekayaan jenis yang sangat besar antara lain mengandung 10% jenis tumbuhan berbunga di dunia (±25.000 jenis), 12% satwa menyusui (± 500 jenis),  16% jumlah jenis reptil dan ampibi ((± 3.000 jenis), 17% jenis burung ((±1.600 jenis), dan lebih dari 25% jenis ikan (±8.500 jenis),  disamping itu tercatat pula sekitar 663 jenis fauna indemik, 199 jenis mamalia, (Saparjudi:1994 dan Whitmore:1975, dalam Marsono, 2000).  Di bidang kehutanan Whitmore, (1975), melaporkan terdapat 500 jenis Dipterocarpaceae dan 3.000-4.000 jenis Ochidaeceae. Namun dalam kenyataannya, dari jumlah yang banyak tersebut pemanfaatan jenis masih sangat terbatas. Diantara jenis-jenis tumbuhan yang ada tersebut hanya sekitar 150 jenis tanaman pangan yang penting dalam perdagangan dunia.  95% sebagai bahan pengganti tidak lebih dari 30 jenis tumbuhan dan 75% kalori pangan hanya berasal dari 8 jenis tumbuhan sekitar 80% kalori pangan berasal dari 3 jenis tumbuhan yaitu padi, jangung dan gandum (Soemarwoto, 1987, dalam Marsono, 2000).

Berbagai kawasan hutan di Indonesia diperkirakan masih banyak lagi yang mengandung keanekaragaman jenis tumbuhan obat-obatan (herbal) namun saat ini masih terbatas penggunaan pada jenis tumbuhan tertentu.   Sedikitnya pemanfaatan tumbuhan herbal ini, karena minimnya informasi dan penelitian mengenai khasiat tumbuhan-tumbuhan herbal Indonesia yang sejak dahulu sudah dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan dan saat ini tersebar di berbagai fungsi hutan diantaranya hutan alam produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi.

Pemanfaatan tumbuhan obat-obatan sebenarnya telah berlangsung lama secara tradisional oleh berbagai masyarakat di Indonesia.  Hal ini terungkap dalam beberapa penelitian, Tuharea, dkk. (2000), bahwa masyarakat sekitar kawasan hutan telah memanfaatkan tumbuhan obat-obata secara tradisional mereka.  Dalam beberapa kasus menurut penelitian tersebut penggunaan obat telah ditemukan seperti di Anggi sekitar 27 jenis tumbuhan dapat menyembuhkan sebanyak 25 jenis penyakit tertentu, di Kokas sedikitnya masyarakat menemukan sedikitnya 26 jenis tumbuhan dan memberikan khasiat sebanyak 36 jenis penyakit masyarakat serta di Serui terdapat sedikitnya 38 jenis tumbuhan memberikan khasiat untuk 28 jenis penyakit.  Jenis tumbuhan obat-obatan ini pemanfaatannya masih terbatas pada masyarakat sekitar kawasan hutan saja dan belum mengemuka pada tingkat dunia kedokteran modern atau diproduksi untuk kebutuhan manusia secara masal.

Dari sisi yang lain, industri pengolahan hasil tumbuhan herbal misalnya, pemerintah belum mengupayakan diversifikasi  industri lebih spesifik dan bahkan tidak ada walaupun home industry sifatnya, sebagai bagian pemberdayaan.  Marsono (2000), mengatakan bahwa sedikitnya jenis yang dimanfaatkan mewarnai berbagai kebutuhan manusia seperti obat-obatan, kosmetik, bahan pakaian dan lain sebagainya.  Oleh karenanya tidak mustahil bahwa beberapa penyakit yang belum ditemukan obatnya saat ini sebenarnya ada di sumber daya alam yang tersebar di Indonesia.

Pengembangan potensi keanekaragaman sumber daya hutan saat ini belum optimal, dan masih terbuka peluang pada berbagai kawasan hutan tertentu untuk diusahakan dengan pengembangan kelembagaan masyarakat seperti pada kawasan penyangga areal konservasi, areal pemanfaatan pada kawasan lindung dan areal hutan produksi sekalipun yang saat ini hanya berorientasi pada hasil hutan kayunya saja (eksploitatif).  Akibat dari pemanfaatan yang bersifat ekploitatif, hanya dapat mengancam kelestarian kegunaan sumber daya hutan dan ekosistemnya.  Konservasi penggunaan sumber daya hutan dimaksudkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang lama dengan cara mengurangi atau membatasi tingkat pemakaian sumber daya hutan, penggunaan teknologi terbarukan terhadap tumbuhan yang diketemukan kemanfaatannya saat ini, mengurangi pemborosan baik secara ekonomis maupun sosial (Suparmoko, 2006).  Dalam konteks masa pertumbuhan atau riap, konservasi dimaksudkan sebagai penggunaan yang menghasilkan penerimaan bersih maksimum dan sekaligus dapat memperbaiki kapasitas produksi atau pertumbuhan itu sendiri.

Pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung merupakan segala bentuk upaya yang mencakup beberapa unit perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan dan pengendalian dalam rangka mengoptimalkan fungsi dan pengembangan manfaat hutan lindung secara optimal dengan tetap menjaga kelestariannya oleh instansi yang berwenang (cq. Dinas Kehutanan).  Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang juga merupakan unit pengelolaan hutan lindung adalah satu kesatuan luas wilayah pengelolaan yang meliputi satu atau lebih kelompok hutan lindung yang penetapannya didasarkan atas kriteria tertentu, dengan tercapainya pendayagunaan fungsi dan peranan hutan lindung secara optimal untuk : a) Mewujudkan sistem penyangga kehidupan yang berkualitas ; b) Mewujudkan terkendalinya tata air secara optimal; c) Menterpadukan semua unsur yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung; d) Mengakomodasikan kepentingan dan peran serta masyarakat.

Rencana pengelolaan kawasan hutan lindung dan segala sumber daya hutannya meliputi rencana-rencana yang terdiri atas : a) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung(RIPHL); b) Rencana Pengelolaan Hutan Lindung Propinsi (RPHLP); dan c) Rencana Unit Pengelolaan Hutan Lindung(RUPHL).  Rencana induk pengelolaan hutan lindung merupakan rencana jangka panjang pengelolaan hutan lindung dalam ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam jangka waktu dua puluh lima tahunan berisi : 1) Identifikasi keadaan dan masalah yang meliputi biogeofisik, sosial budaya, sosial ekonomi, kelembagaan masyarakat dan lingkungan; 2) Kajian faktor masalah secara ilmiah; 3) Arahan dan rekomendasi pengelolaan hutan lindung; 4) Tahapan pengelolaan; 5) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung di susun dan dinilai oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, disahkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Pelestarian Alam (PHPA).